Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200109 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amrul M. S. Baroos
"Tidak diragukan lagi bahwa gangguan kesehatan mental karyawan dapat menimbulkan akibat-akibat yang serius bagi perusahaan maupun industri. Sebagai contoh: depresi, kehilangan harga diri, tekanan darah tinggi, kecanduan alkohol ataupun ketergantungan obat semuanya memperlihatkan hubungan dengan kesehatan mental (Ivancevich & Matteson,1980). Kesemua hal yang disebutkan ini berpengaruh langsung terhadap perusahaan baik dari segi sumberdaya manusia maupun keuangan perusahaan.
Demikian juga halnya dengan penyelam, adanya gangguan kesehatan mental pada penyelam akan memberikan pengaruh yang sangat serius tidak saja bagi diri penyelam itu sendiri tetapi juga kerugian pada perusahaan yang mempekerjakan penyelam tersebut secara operasional maupun moral, yang akhirnya bermuara pada kerugian finansial. Seberapa besar kemungkinan seorang penyelam mendapat gangguan kesehatan mental paling tidak dapat disimpulkan dari gambaran tentang pekerjaan serta lingkungan kerja yang digeluti seorang penyelam yang bekerja pada operasi perminyakan di lepas pantai sebagaimana yang digambarkan berikut ini.]
Penyelam adalah suatu profesi yang tidak dapat dikesampingkan dalam operasi pencarian dan pengeksploitasian lapangan minyak dan gas bumi di lepas pantai. Lingkungan pekerjaan dan cara-cara melakukan tugas yang harus dilaksanakan dengan menyelam di dalam laut sangatlah berbeda dengan lingkungan pekerjaan dan cara-cara bekerja yang dilakukan orang di darat. Lingkungan pekerjaan di dalam air menuntut ketahanan fisik dan kesehatan seorang penyelam tetap prima serta membutuhkan peralatan khusus yang harus dapat melindungi para penyelam dari pengaruh lingkungan kerja yang mengelilinginya. Beberapa perlengkapan selam yang dikenakan pada tubuh seperti pengatur aliran udara untuk bernafas, tangki cadangan udara, pakaian selam yang melindungi penyelam dari penurunan suhu badan, alat pemberat yang membantu penyelam untuk turun ke kedalaman yang lebih besar, sepatu selam dengan ship dan lain-lain peralatan, menuntut kemampuan penyelam untuk menyesuaikan diri dalam menggunakannya.
Pada pekerjaan menyelam yang membutuhkan waktu relatif lama serta kedalaman yang lebih besar, teknik dan peralatan yang digunakan lebih khusus lagi. Selain itu diperlukan pula suatu proses treatment terhadap penyelam untuk mengembalikan kondisi fisiknya kepada keadaan normal setelah baru saja mengalami tekanan-tekanan fisik ketika berada di kedalaman laut. Treatment dilakukan baik ketika sedang menyelam yaitu berupa penggunaan gas-gas campuran untuk meringankan pernafasan, maupun setelah selesai menyelam yaitu dengan proses dekompresi secara bertahap untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan pada organ tubuh penyelam seperti pecahnya paru paru, pendarahan otak, keracunan gas dan lain-lain. Demikian pula lingkungan kerja di dalam laut yang sifatnya sangat berbeda dengan kondisi lingkungan kerja di darat, seperti ombak, arus laut, suhu yang dingin, tekanan air terhadap tubuh, bouyancy, visibility, maupun ancaman dari binatang laut merupakan stresor yang dapat memberikan tekanan secara fisik maupun psikis kepada penyelam. Di samping itu dibutuhkan kemaanpuan untuk dapat bekerja sendiri di dalam air karena keterbatasan jarak pandang serta adanya hambatan-hambatan untuk dapat berkomunikasi antara seorang penyelam dengan penyelam lainnya.
Bentuk pekerjaan yang dilakukan para penyelam pada operasi eksploitasi minyak dan gas bumi di lepas pantai sebagian terbesar merupakan pekerjaan-pekerjaan yang banyak hubungannya dengan pemasangan konstruksi bawah laut. Pemasangan pipa-pipa untuk mengalirkan minyak dan gas bumi, penempatan anjungan-anjungan produksi maupun anjungan pemboran pada posisinya yang tepat di dasar laut, pemeriksaan dan perbaikan kerusakan-kerusakan yang terdapat pada fasilitas bawah air karena adanya keretakan pada sambungan las kaki-kaki anjungan, kebocoran pipa-pipa alir minyak dan gas maupun kerusakan-kerusakan yang ada pada dinding kapal yang ada di bawah permukaaan air. Jenis pekerjaan yang diutarakan di atas melibatkan ukuran maupun bentuk benda-benda yang besar dan rumit dengan berat yang tidak biasa bila dibandingkan dengan ukuran, bentuk maupun berat benda-benda yang biasa ditangani di darat? "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trinzi Mulamawitri
"ABSTRAK
Masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia adalah suatu fenomena yang sudah tidak asing lagi apalagi dengan semakin maraknya globalisasi. Namun bertugas di luar negeri apalagi jika negara tersebut memiliki latar belakang budaya berbeda adalah hal yang tidak mudah. Selama tinggal di luar negeri, TKA akan mengalami akulturasi psikologis yaitu perubahan yang terjadi pada diri individu akibat kontak dengan budaya lain yang berlangsung secara terus menerus (Graves dalam Berry & Kim, 1988). Selama proses akulturasi inilah acap kali muncul berbagai sumber stres yang diakibatkan adanya perubahan tersebut (Berry, 1994). Adanya nilai-nilai budaya yang bertentangan antara negara asal dan negara yang didatanginya juga meningkatkan stres akulturatif yang dihadapinya (Adler, 1991). Penelitian ini akan melihat gambaran sumber stres akulturatif serta strategi coping yang dilakukan TKA Amerika ketika bekerja di Indonesia. Negara asal Amerika dipilih sebab jumlah ekspatriat terbanyak dari negara Barat berasal dari negara ini (Depnaker, 2002).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif melalui wawancara dan observasi. Subyek yang diperoleh adalah 3 orang manajer Amerika yang telah tinggal di Indonesia selama 1,5 tahun hingga 2,8 tahun. Berbagai masalah dalam pekerjaan yang diakibatkan perbedaan budaya yang dikemukakan oleh Shuetzendorf (1989 dalam Ruky, 2000) serta permasalahan lainnya ternyata dialami oleh semua subyek. Sumber stres utama yang ditemukan pada ketiga subyek adalah adanya penekanan pada hubungan baik dan harmonitas kelompok saat bekerja daripada kinerja individu. Sumber stres lain adalah masalah kurangnya keterbukaan karyawan dalam berkomunikasi, kurangnya inisiatif karyawan dan kurangnya rasa tanggung jawab personal karyawan.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan teori Hofstede (1995), Ruky (2000) dan Koentjaraningrat (1997 dalam Ruky, 2000) maka memang terbukti bahwa masalah-masalah tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dimensi nilai dalam budaya kerja Amerika dan Indonesia yang mengganggu TK A saat melaksanakan pekerjaannya. Perbedaan utama terlihat dari dimensi individualisme dan kolektivisme antara dua negara yang saling bertentangan. Kemudian adanya kesenjangan power distance juga kerap menimbulkan berbagai masalah. Dalam penelitian ini berdasarkan strategi coping yang dikemukakan oleh Carver, Scheier & Weintraub (1989) ditemukan bahwa strategi coping yang sering digunakan semua subyek untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah strategi active coping.- Strategi emotion focused coping berbentuk acceptance juga sering digunakan secara bersamasama dengan active coping.
Adanya kesamaan latar belakang budaya Amerika dan budaya perusahaan asing tempat mereka bekerja kemungkinan mempengaruhi stressor akulturatif yang dihadapi. Untuk mendapatkan gambaran stressor akulturatif yang lebih kaya maka penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan subyek yang berasal dari berbagai negara dan bekerja untuk perusahaan dalam negeri. Saran terutama diberikan pada perusahaan agar memberikan informasi lebih lanjut tentang budaya kerja Indonesia pada TKA untuk mendorong keterbukaan terhadap budaya lain. Kegiatan konseling bagi TKA untuk mengatasi stres akulturatif juga akan sangat bermanfaat."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3101
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lugina Prativi
"Skripsi ini membahas faktor yang mempengaruhi stres kerja di fungsi Operasi dan Produksi PT. Pertamina Geothermal Energy area Kamojang tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian ini menggunakan teori Cox, Griffith, dan Rial-Gonzales tahun 2000 dengan variabel yang digunakan yaitu Bahaya Fisik berupa kebisingan, Konten Pekerjaan (Beban Kerja dan Desain Kerja) dan Konteks Pekerjaanyaitu (Hubungan Interpersonal, Peran di Organisasi dan Pengembangan Karir). Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam kepada informan dan observasi langsung ke area kerja, sedangkan data sekunder didapatkan dari data perusahaan dan studi literatur terdahulu. Hasil yang didapat, faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah bahaya fisik dari kebisingan, sedangkan bahaya psikososial pada konten pekerjaan yaitu beban kerja dan kontek pekerjaan yaitu hubungan intepersonal.

This research is the factors that influence job stress in the worker of Operations and Production PT. Pertamina Geothermal Energy Kamojang area in 2012. This research is a qualitative case study design. This study using the theory of Cox, Griffith, and Rial-Gonzalez in 2000 with the variable is a Physical Hazards such as noise, Content to Works (Workload and Work Design) and Context to Work (Interpersonal Relationships, Role in Organizations and Career Development). The primary data obtained by the informant in-depth interviews and direct observation to the work area, while the secondary data obtained from the company's data and previous literature. The results, factors affecting job stress is physical hazards of noise, whereas psychosocial hazards on the job content and context of the work load and the intepersonal relationships."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S43975
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zackya Yahya Setiawan
"Latar belakang dan Tujuan
Pekerja redaksi merupakan aset utama bagi suatu perusahaan media cetak. Mereka bekerja dengan deadline yang sangat ketat, etch karena itu mereka harus senantiasa sehat secara fisik, mental dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan stres kerja dan hubungannya dengan kecenderungan gejala gangguan, mental emosional.
Metode
Penelitian ini menggunakan disain potong melintang dengan analisis perbandingan internal. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi responden, karakteristik lingkungan kerja, data pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner Survey Diagnostic Stress, data pengukuran kecenderungan gejala gangguan mental emosional dengan Symptom]) Check List 90 (SCL-90), serta data pengukuran tingkat kebisingan, pencahayaan, dan suhu kelembaban di lingkungan kerja.
Hasil
Dari 100 responden didapatkan prevalensi kecenderungan gejala gangguan mental sebesar 58% dengan kecenderungan gejala terbanyak adalah psikolism 36%, somatisasi dari paranoid masing-masing 33%, serta obsesif-konvulsif 29%. Stres kerja bemakna berhubungan dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karma (p 0.00, OR 13.75, CI 3.69-51.11). Jenis stresor kerja yang dominan terhadap stres kerja adalah beban kerja berlebih kuantitatif 83%. Faktor karakteristik yang bermakna berhubungan dengan stres kerja adalah pendidikan pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif (p 0.00, OR 0.17, CI 0.05-0.52), masa kerja pada stresor konflik peran (p 0.04, OR 2 72, CI 1.04-7.09), dan olah raga pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain (p 0.00, OR 4.66, Cl 1.66-13.08). Faktor kebiasaan yang bermakna berhubungan dengan sires kerja adalah merokok pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain
(p 0.00, OR 4.77, CI 1.37-1L64 ).
Kesimpulan
Stres kerja mcmpunyai hubungan bermakna dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karir. Pendidikan werupakan faktor protektif lerhadap stres kerja pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif. Masa kerja pada stresor konflik peran dan olah raga pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain berisiko terhadap stres kerja. Responden yang mengalami sires kerja karena stresor tanggung jawab terhadap orang lain berisiko mengkonsumsi rokok empat kali lebih banyak dibanding dengan responden yang tidak stres.

Background and Objectives
The journalist is a valuable asset for publishing company. They work with a very strict deadline and that requires them to have a good state of physical, mental. and social health. This research aims to find out the existance of work-related stress and its relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder.
Method
This research uses a cross sectional design with internal comparison analysis. The data collected were respondent's characteristic of sociodemography, work environment's characteristic, measurement of work-related stress by using Survey iDisgnostic Stress questionnaire, data of the tendencies of acquiring symptom of mental emotional disorder by using Symptomp Check List 90 (SCL-90), and data measurement of noise, lighting, and moisture level within work environment.
Result
From 100 respondents, it was found that the prevalence of the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder is 58% with tendency of phsycotism 36%, somatisation and paranoid symptoms each of 33%, and obsesive-convulsive 29%. There is significant relationship between work-related stress and the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder on stressor of carrier development (p 0.00, OR 13.75, CI 3.69-51.111 The dominant stressor is role of overload quantitative 83%. The significant characteristic relationship to work-related stress is education on stressor of role of overload quantitative (p 0.00, OR 0.17, CI 0.05-0.52), work period on stressor of role of conflict (p 0.04, OR 2.72, CI 1.04-7.09), and time spent on exercise on stressor of responsibility for people (p 0.00, OR 4.66, CI 1.66-13.0a). Smoking has significant relationship to work-rclated stress on stressor of responsibility for people (p 0.00, OR 4. 77, CI 1.37-11.64).
Conclusion
Work-related stress has a significant relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder on stressor of carrier development. Education is a work-related stress protective factor on stressor of role of overload quantitative. Work period on stressor of role of conflict and time spent on exercise on stressor of responsibility for people have a siginificant relationship to stress at work. Respondent who experiences work-related stress because of stressor of responsibility for people has a greater tendency to smoke four times more than one who does not experience it.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mesayu Hesti Azizah
"Latar belakang dan tujuan:
Sebagai asset bagi perusahaan, pekerja offshore harus sehat baik fisik maupun mental untuk dapat mencapai kreativitas dan produktivitas tertinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan gangguan mental.
Metode:
Penelitian ini menggunakan rangcangan kros seksional dengan 125 orang responder. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi responden, kebiasaan responden, karakteristik lingkungan kerja, pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner survai diagnosis stres dan pengukuran gangguan mental dengan menggunakan kuesioner symptom check list-90.
Hasil dan kesimpulan:
Pekerja offshore yang diduga memiliki gangguan mental sebanyak 47,2%. Jenis gangguan mental terbanyak adalah sensitifitas interpersonal kemudian obsesif konpulsif (21,6%) dan phobia (19,2%). Stres kerja tidak berpengaruh secara bermakna terhadap risiko terjadinya gangguan mental. Perkembangan karir adalah stresor dominan dengan nilai P paling kecil (0,069) tetapi belum bermakna. Faktor karakteristik responden yang secara bermakna berhubungan dengan gangguan mental adalah pendidikan. Faktor karakteristik responden yang secara bermakna berhubungan dengan stres kerja adalah pangkat dan status pernikahan. Bising kerja secara bermakna berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja.

Background and Objective:
As an asset to company, offshore personals have to stay healthy both physically and mentally to be highest creativity and productivity. The aim of this research is to study job stress and mental disorders relationship.
Methods:
This study was using cross sectional design that had 125 respondents. The data collected were respondent's characteristic of socio demography and habit, work environment's characteristic, measurement of job stress by using Survey Diagnostic Stress Questionnaire and measurement of mental disorders by using Symptoms Check List-90 Questionnaire.
Result and conclusion:
The offshore personals that presumed as mental disorders in this study is 47,2%, the prone symptom of mental disorder is interpersonal sensitivity (24,8%) followed by obsessive compulsive (21,6%) and phobia (19,2%). Job stress isn't influence the prevalence of mental disorder. Career development is job stressor that has smallest value of significance but the value isn't small enough to be significant. Respondent characteristic factor that has a significant relationship to mental disorders is education level. Respondent characteristic factors that show a significant relationship to job stress are job grade and marriage status but the prone is job grade. Working noise is the work environment characteristic that has a significant relationship to job stress.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Nova M.
"Stres mengakibatkan masalah pada kondisi fisik dan kesehatan psikologis pekerja, bahkan dapat membuat produktivitas pekerja menurun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi perjalanan ke tempat kerja yang tidak kondusif dapat memicu terjadinya stres. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat stres kerja dan jenis mekanisme koping pada pekerja, dan melihat hubungannya dengan karakteristik pekerja yang menggunakan jasa Kereta Listrik dari Bogor-Jakarta setiap hari. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan sampel kelompok pekerja sebesar 106 orang yang dipilih dengan teknik quota sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja (56,6%) mengalami stres kerja dalam tingkat sedang dan memiliki distribusi frekuensi yang hampir sama antara pekerja yang memiliki mekanisme koping adaptif (50,9%) dan maladaptif (49.1%). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat penghasilan pekerja (p=0,006) dan lama menjadi pekerja (p=0.006) memiliki hubungan dengan tingkat stres kerja dan status pernikahan pekerja (p=0,022) memiliki hubungan dengan mekanisme koping.

Stress effected physical and psychological problems of workers health, even decreasing worker productivity. Several studies have shown that the un-conducive journey to workplace lead to stress. This study aims to describe stress levels, types of coping mechanism, and both relationship with characteristic’s workers who use the services of Electric Trains at Bogor-Jakarta route every day. This study used cross-sectional design, using a sample group by 106 people that chosen by quota sampling technique.
The results showed that majority of workers (56.6%) experiencing moderate levels of stress work, and have nearly the same frequency distribution among workers who have adaptive coping mechanisms (50.9%) and maladaptive (49.1%). The results also showed that the level of labor income (p = 0.006) and duration become a worker (p = 0.006) had a relationship with the level of work stress, and marital status of workers (p = 0.022) had a relationship with coping mechanisms.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S46004
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lugita Agustina
"Alasan dan tujuan : penelitian dilakukan dengan dilatarbelakangi teori bahwa stres kerja dapat menimbulkan penyakit pada karyawan sehingga mengakibatkan tingginya jumlah ketidakhadiran karena sakit (cuti sakit). Cuti sakit tidak hanya berdampak pada tingginya beban biaya pengobatan yang harus ditanggung perusahaan tetapi juga mengganggu pola kerja dan produktivitas perusahaan. Dengan mengetahui bagaimana dinamika interaksi yang terjadi antara sumber stres kerja (stressor), yakni yang berasal dari faktor pekerjaan, individual dan extra organizational, dengan penyakit, maka dapat dilakukan langkah pengelolaan stres kerja yang akan mengurangi penyakit pada karyawan.
Metode : penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus, dengan sampel 4 (empat) orang karyawan yang bekerja sebagai operator produksi. Sampel dipilih secara purposive mewakili karyawan dengan cuti sakit tertinggi dan terendah. Data diperoleh terutama melalui wawancara pertanyaan terbuka kepada subyek penelitian, ditambah dengan informasi clan pihak terkait seperti atasan dan dokter perusahaan, serta didukung oleh catatan pemeriksaan medis.
Hasil penelitian : Subyek penelitian yang memiliki stressor faktor pekerjaan dan extraorganizational yang tinggi, serta didukung oleh faktor individual berupa NA (Negative Affect) yang tinggi, serta stress control dan hardiness yang lemah, mengeluhkan lebih banyak keluhan fisik, baik yang memang memiliki dasar fisiologis (disease) maupun yang bersifat subyektif (illness). Mereka memiliki cuti sakit yang tinggi. Sebaliknya, subyek penelitian dengan stressor faktor pekerjaan dan extraorganizational yang rendah, serta didukung oleh faktor individual berupa NA (Negative Affect) yang rendah, serta stress control dan hardiness yang kuat, tidak mengeluhkan keluhan fisik, psikologis maupun perilaku. Mereka lebih bahagia dan produktif dalam menjalani kehidupannya.
Kesimpulan dan saran : Interaksi antara stressor pekerjaan, individual dan extraorganizational dapat memicu stres, baik distress maupun eustress. Untuk mengatasi distress, yakni stres yang menimbulkan gangguan dalam kehidupan individu, perlu dilakukan konseling individual yang bertujuan untuk membantu individu untuk meningkatkan hardiness dan spiritual health, mengubah NA-nya yang tinggi, serta mempelajari teknik-teknik pengelolaan stres."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Vierdelina
"Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa bekerja sebagai pengemudi bus kota berisiko tinggi terhadap gangguan kesehatan (Kompier, 1996). Berbagai faktor kondisi pekerjaan maupun lingkungan kerja yang dapat menimbulkan stres, menurut pengamatan penulis, ditemui pada pengemudi Bus Patas 9B jurusan Bekasi Barat-Cililitan/Kampung Rambutan. Belum ada penelitian mengenai tingkat stres pada pengemudi Bus Patas 9B tersebut, hal ini yang membuat perlunya dilakukan penelitian mengenai gambaran stres kerja serta faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada pengemudi Bus Patas 9B tersebut.
Desain penelitian ini bersifat kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, sejak April hingga Juli 2008. Besar sampel diambil sama dengan jumlah populasi, yaitu 49 orang, dengan rumus kecukupan sampel hypotesis test for a population proportion (two-side test) didapatkan besar sampel 48 orang.
Hasil dari telitian ini menunjukkan dari 49 pengemudi Bus Patas 9B tersebut, ada sebanyak 25 orang (51%) yang mengalami stres sedang, sisanya 24 orang (49%)y ang mengalami stres ringan dan tidak ada yang mengalami stres berat. Belum terbukti ada hubungan yang signifikan antara karakteristik individu (umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan masa kerja) dan stres kerja pada pengemudi Bus Patas 9B tersebut. Belum terbukti ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap faktor kondisi pekerjaan (jumlah jam kerja dalam satu hari, shift kerja, hubungan interpersonal dengan kondektur, hubungan interpersonal dengan pengemudi Bus Patas 9B lainnya, dan jumlah pendapatan) dan stres kerja pada pengemudi Bus Patas 9B tersebut. Hanya persepsi terhadap faktor kondisi bus yang terbukti mempunyai hubungan signifikan dengan stres kerja pada pengemudi Bus Patas 9B tersebut, sedangkan persepsi terhadap faktor lingkungan kerja lainnya (kemacetan, penumpang bermasalah, suhu panas, dan kebisingan) belum terbukti signifikan hubungannya dengan stres kerja. Penulis memberikan saran sebaiknya dapat disediakan bus yang kondisinya layak, dengan memperbaiki, merawat, atau jika diperlukan mengganti bus yang tidak layak dengan bus yang baru, dan perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai stres kerja pada pengemudi bus tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Yulita
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko stres kerja pada pekerja kesehatan di remote site. Peneliti melakukan studi potong lintang pada Januari-Juni 2023 dengan melibatkan 103 responden dari berbagai industri. Peneliti menggunakan instrumen penelitian COPSOQ III untuk mengukur stres kerja dan faktor risikonya. Pada 103 responden industri Oil & Gas, pertambangan, dan konstruksi menunjukkan usia, durasi shift, dan lama kerja tidak berhubungan signifikan dengan stres kerja. Namun, jenis industri dan jenis kelamin memiliki hubungan signifikan dengan jenis stres tertentu. Pekerja kontrak lebih cenderung mengalami stres kerja, burnout, dan stres kognitif. Faktor risiko psikososial seperti tuntutan pekerjaan, konflik peran, kecepatan kerja, dan tuntutan emosional juga berhubungan dengan stres kerja. Tuntutan pekerjaan, kecepatan kerja, dan konflik peran mempengaruhi skor stres kerja, menjelaskan 26,5% variasi skor stres. Pekerja pelayanan kesehatan di remote site PT. X mengalami stres kerja yang signifikan, dipengaruhi oleh faktor seperti beban kerja, kecepatan kerja, dan konflik peran. Berdasarkan temuan ini, disarankan agar ada penyesuaian beban kerja, fleksibilitas shift kerja, dukungan sosial, serta kejelasan peran dan penghargaan untuk mengurangi stres kerja. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami dan menangani stres kerja di kalangan pekerja pelayanan kesehatan, khususnya di remote site.

This study aims to analyze the risk factors of occupational stress among healthcare workers in remote sites. The researchers conducted a cross-sectional study in January-June 2023 involving 103 respondents from various industries. The COPSOQ III research instrument was used to measure occupational stress and its risk factors. Out of the 103 respondents in the Oil & Gas, mining, and construction industries, it was observed that age, shift duration, and length of service were not significantly related to occupational stress. However, the type of industry and gender were significantly related to certain types of stress. Contract workers were more likely to experience occupational stress, burnout, and cognitive stress. Psychosocial risk factors such as job demands, role conflicts, work pace, and emotional demands were also associated with occupational stress. Job demands, work pace, and role conflicts influenced occupational stress scores, explaining 26.5% of the stress score variation. Healthcare workers in remote sites at PT. X experienced significant occupational stress, influenced by factors such as workload, work pace, and role conflicts. Based on these findings, it is suggested that adjustments be made to workload, shift flexibility, social support, as well as role clarity and rewards to reduce occupational stress. Further research is needed to understand and address occupational stress among healthcare workers, especially in remote sites."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Dewi Atika
"Stres kerja merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun psikologis terhadap suatu perubahan di lingkungan kerjanya yang dirasakan sangat mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja terhadap tingkat stres kerja pada guru SDLB dan SD. peneltian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional.
Hasil penelitian yang didapat adalah terdapatnya hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan tingkat stres kerja, terdapatnya hubungan yang bermakna antara iklim dan struktur organisasi dengan tingkat stres kerja, terdapatnya hubungan yang bermakna antara hubungan interpersonal dengan tingkat stres kerja dan terdapatnya hubungan yang bermakna antara pengembangan karir dengan tingkat stres kerja.

Occupational stress is a form of response to a person, both physically and psychologically against a change in the work environment is considered to be very disturbing and lead someone in danger. The purpose of this study was to analyze the factors that affect the level of work stress on primary school in special education and general primary school teachers. This research using quantitative research with cross sectional design.
The result is the presence of a significant association between workload with work stress levels, the presence of a significant association between climate and organizational structure with the level of work stress, the presence of a significant association between interpersonal relationship with the level of work stress and the presence of a significant association between the development of career with the level of work stress.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54752
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>