Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144608 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustiyanto
"Serious Human Rights violation in East Timor alleged by HAM Adhoc Jakarta court Attorney where conducted by Police Member (as Defendant) insufficient of evidence, so that the Judge ceremony break free. Serious HAM Collision case that happened before this code of law is invited, formed a HAM Ad hoc Justice after proposed by DPR through President Decision. Crystal clear, Timor Timur case is wight to political aspect compared to legal aspect and competent in consequence terminated.
To terminate various case East Timor, Indonesia Government offer a solution through choice for two options, refuse or accept the autonomy. At May 5'h 1999 in New York, this option is written into an agreement between Indonesia" and Portugal under wings of UN Secretary General. In this agreement, agreed that Indonesia Government hold responsible to keep peace and security in East Timor, to ascertain enforceable opinion determination by fair and peaceful, which free from intimidation, hardness or interference from various parties.
But the effect of determination of this opinion emerging riot as a result of dissatisfy group of pro-autonomy which fail in determination of this opinion. Effect of the riots and incidence, hence Police as law enforcer and protector of society which that moment undertake in East Timor, is blamed and assumed to conduct serious Human Rights violation. To prove that Police have conducted matter alleged, this thesis tried to prove that police have run its duty by answering three following question:
1. What will be Police role in handling riot after polling opinion at the date of 4'h of September 1999 causing killing of a number of people?
2. Operation and security action like what conducted by Police?
3. What is the negative impacts that emerge as effect of action of the operation and security that included in serious Human Rights violation?
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safrizar
"Seiring perubahan situasi sosial politik setelah mundurnya Soeharto, berubah pula kehidupan pars di Indonesia. Undang-Undang No 4011999 tentang Pers memberi jaminan kebebasan bagi insan pers untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Dengan kebebasan ini, media massa di Indonesia bisa leluasa memberi makna pada suatu peristiwa atau mengemukakan pendapatnya melalui berita yang mereka sajikan. Salah satunya adalah ketika pers memberitakan kebijakan Presiden BJ Habibie di Timor Timur. Peristiwa ini menjadi menarik bukan saja karena hasil kebijakan tersebut menimbulkan pro kontra, tetapi juga karena menyangkut pencalonan Habibie untuk kembali menjadi presiden RI.
Intisari dari penelitian ini adalah melihat bagaimana Kompas, Media Indonesia dan Republika memaknai kebijakan Habibie di Timor Timur, khususnya kebijakan jajak pendapat yang mengakibatkan berpisahnya Timor Timur dari Indonesia.
Penelitian yang menggunakan metode analisis framing ini mengambil teks berita dan editorial Kompas, Media Indonesia dan Republika sebagai objek analisisnya. Asumsinya adalah bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita.
Dengan meminjam teknik analisis Pan & Kosicki dan van Dijk, penelitian ini berupaya menemukan elemen yang berbeda itu melalui perangkat tanda seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat. Dari perangkat tanda inilah diketahui bagaimana media memaknai suatu peristiwa.
Frame yang dipilih Kompas ketika menyajikan berita tentang hasil kebijakan jajak di Timor Timur pendapat yang dimenangkan oleh kelompok prokemerdekaan adalah "aspek politik". Media Indonesia lebih menekankan penilaiannya pada "aspek sosial ekonomi". Republika menggunakan frame "nilai universal" dalam pemberitaan dan editorialnya.
Melalui frame yang dipilihnya, Kompas, Media Indonesia dan Republika telah melakukan legitimasi dan delegitimasi terhadap Habibie dalam rangka pencalonannya sebagai Presiden RI dalam SU MPR 1999."
2001
T7197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Chandra Anggiat L.
"Pelanggaran HAM Berat Timor Timur yang terjadi dalam kurun waktu Januari-September 1999 pada saat pra dan pasca jajak pendapat menurut KPP HAM TIMTIM, berdasarkan fakta dokumen, keterangan dan kesaksian, dari berbagai pihak, pelanggaran tersebut tak hanya merupakan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia atau gross violation of human rights yang menjadi tanggung jawab negara (states responsibilities), namun dapat dipastikan, seluruh pelanggaran berat HAM tersebut dapat digolongkan sebagai universal jurisdiction. Yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi, terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup (the rights to life), hak atas intregrasi jasmani (the rights to personal integrity), hak akan kebebasan (the rights to liberty), hak akan kebebasan bergerak dan bermukim (the rights of movement and to residence), serta hak milik (the rights to property).
Pemerintah atas desakan internasional akhirnya mengadakan persidangan terhadap pelaku melalui Pengadilan HAM Ad Hoc TIMTIM di Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan bahwa akan terjadi kekecewaan dalam vonis pengadilan tersebut. Hal ini sudah terlihat dari kerancuan definisi-definisi mengenai pelaku pelanggar HAM, tindakan pidana dan tanggung jawab komando dalam pasal-pasal di UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta ketidakmampuan para penegak hukum dalam membuktikan dakwaan yang dimaksudkan. Dunia Internasional kecewa terhadap vonis yang telah dikeluarkan dan melalui Komisi Ahli PBB direkomendasikan agar dilakukan pengadilan ulang atau dilakukan pengadilan tribunal. Untuk itu Indonesia harus menyikapi secara serius hal-hal tersebut dan sesegera mungkin mengubah cara pandang pespektif HAM sesuai dengan Hukum Internasional dan melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap perundangundangannya sehingga tidak terulang kembali pelanggaran HAM yang serupa. Dan hendaknya di kawasan Asia Tenggara di bentuk Pengadilan HAM agar HAM dapat ditegakkan, karena pada hakekatnya Penegakan HAM adalah tugas negara dan jika negara gagal melakukannya maka negara yang harus diadili sebagai bentuk tanggung jawab di dunia internasional melalui pengadilan yang tidak dibentuk oleh negara yang bersangkutan tapi merupakan pengadilan yang sesuai dengan standar internasional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Yuliana
"Hubungan Indonesia - Australia sejak masa kemerdekaan Indonesia sampai saat ini selalu mengalami pasang surut. Ditambah lagi ketika Timor Timur bergabung dengan Indonesia, Australia melihatnya sebagai perwujudan nafsu ekspansionisme dari Indonesia. Pers-pun banyak memberikan liputan berita yang bernada negatif tentang Indonesia. Apalagi ketika lima wartawan Australia tewas pada pertemuan di Balibo Sejak itu liputan pars selalu menyudutkan posisi Indonesia.
Peran Pers dalam memberikan input bagi para pengambil kebijakan di Australia sangatlah besar, terutama berkaitan dengan masalah Indonesia. Dalam melihat sejauh mana Faktor Pers Dalam Politik Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia Dalam kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat, penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut : 1). Bagaimana liputan pers Australia tentang masalah Timor Timur pasca jajak pendapat ? 2). Bagaimana pengaruh liputan pers tersebut pada kebijakan politik luar negeri Australia terhadap Indonesia ?
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti sejauh mana pandangan pers Australia terhadap kasus Timor Timur pasca jajak pendapat, dan menjelaskan bahwa pers memiliki pesan dalam Hubungan Intemasional serta memaparkan peranan pers dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini adalah model aktor rasional yang di ajukan oleh Graham Allison, proses pembuatan kebijakan luar negeri Australia dari Mediansky serta pendapat Cohen bahwa pers juga mempengaruhi kebijakan luar negeri dari input-input yang di terima oleh para pengambil kebijakan.
Adapun metode yang di pakai dalam tesis ini adalah melalui analisis isi berita dari surat kabar The Australian dan The Canberra Times yang terbit dari tanggal 30 Agustus yaitu Pasca Jajak Pendapat di Timor Timur sampai dengan tanggal 16 September 1999 sebagai tanda pemutusan kerjasama keamanan Indonesia -- Australia yang menandakan hubungan bilateral yang terendah antara kedua negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah berita yang begitu banyak , letak berita dan isi berita serta tema dan artikel banyak memberikan input bagi para pangambil kebijakan luar negeri Australia khususnya Perdana Menteri (eksekutif). Begitu juga dari analisis jenis imbauan pesan yang diungkapkan oleh Jalaluddin Raahmat, artikel yang terdapat di kedua surat kabar tersebut banyak menggunakan imbauan motivasional dan imbauan emosional yang memberikan input kepada pengambil kebijakan untuk mengeluarkan kebijakan tentang pengiriman pasukan dan pemberian bantuan kemanusiaan keapada Timor Timur. Dengan demikian apa yang di ungkapkan oleh Perdana Menteri Australia sendiri, kemudian oleh Harold Crouch, mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia Wirjono dan Kim Beazley serta Derek Manangka bahwa para ikut memanasi dan mempengaruhi hubungan Indonesia - Australia dapat di tunjukkan melalui penelitian ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T10255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Melani
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Meskipun para pelaku atau terdakwa dapat diadili dan dijatuhi hukuman, namun tidak ada satu pun putusan pengadilan HAM yang memberikan hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban.
Penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat cenderung berpijak pada model pendakwaan (judisial), padahal dimungkinkan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme lainnya. Beberapa negara bahkan sudah menerapkan mekanisme yang disebut sebagai keadilan transisional untuk menghadapi pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya Pelanggaran HAM Berat. Salah satunya melalui mekanisme kebenaran dan rekonsiliasi.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Untuk itu, seiring dengan rencana pemerintah dan DPR RI untuk mengajukan kembali rancangan undang-undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Keadilan (KKR), diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara 2 (dua) orang narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis isi.

Gross violation of human rights could be categorized as extraordinary crime which cause physical and material loss to the victims. Often, the victim is not well protected and fulfilled on their rights which have been assured in rule of law. The issue to be raised in this thesis is How the protection of gross human rights violation victims is in order to fulfill victim rights especially in Timor Timur human rights violation case. Although, the perpretators and the defendant could be trialed and accused, but none of the human rights judgment giving the victims and their families? rights on reparation are including compensation, restitution or rehabilitation.
The settlement of gross violation of human rights cases tends to be following the judicial model where there are other possible mechanisms in handling gross human rights violation. Even, several countries have implemented mechanism which called as transitional justice in handling past human rights violation especially the gross one. One of which is the truth and reconciliation mechanism.
In relation with that, the expected results from this research is suggestion that government could review the current mechanisms used in handling gross human rights violation because our experiences showed that the resolution through trial in handling them always ignoring the victim in fulfilling their right to justice. Therefore, in line with the government and legislative plan to resubmit the Bill on Truth and Justice Commission (TRC), it is expected that government to be more serious and to be more have intention to settle their debts in resolving gross human rights violation cases.
The method used in this research is normative legal-research equipped with material collection technique on law literature study related to gross human rights violation in Indonesia strengthen with the interview on 2 (two) sources. The data collected is based on literature research which will be analyzed based on content analysis.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T 28682
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
P. Ferry Helianto
"Lepasnya Timor Timur dari negara kesatuan Republik Indonesia berdampak negatif terhadap hubungan bilateral Indonesia-Australia. Berawal dari disposisi surat PM Howard yang dialamatkan kepada Presiden Habibie, yang dalam suratnya, Howard menyarankan agar Indonesia memberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri bagi rakyat Timor Timur. Surat tersebut jelas membuat posisi Indonesia merasa dilecehkan dan kemudian balas mengecam Australia karena dinilai terlalu jauh mencampuri masalah dalam negeri Indonesia.
Namun surat itu pula, yang pada akhirnya membuat pemerintahan Habibie memberikan dua opsi bagi rakyat Timor Timur untuk tetap bergabung dalam negara kesatuan Republik Indonesia, atau menolak otonomi luas dan melepaskan diri dari Indonesia. Situasi krisis multidimensi di Indonesia, adalah faktor yang memperlemah kinerja diplomasi Indonesia saat itu. Terlebih lagi, Indonesia harus menerima kenyataan pahit, bahwa Timor Timur akhirnya memilih lepas dan merdeka dari Indonesia. Hal ini membuat para pejuang integrasi yang setia kepada Indonesia menjadi kecewa dan marah, hingga terjadi huru hara dan pembumihangusan di Timor Timur, disinyalir telah terjadi pelanggaran HAM besar besaran di propinsi tersebut.
Dibawah tekanan dunia internasional dan sanksi yang akan dijatuhkan kepada Indonesia, membuat Presiden Habibie tidak punya pilihan lain, kecuali menerima kehadiran INTERFET untuk mengendalikan situasi keamanan yang bergejolak di Timor Timur pasca jajak pendapat. Komposisi Australia yang memiliki jumlah pasukan lebih besar dalam INTERFET menyebabkan Indonesia merasa dipermalukan. Hal ini menyebabkan ketegangan hubungan antara Jakarta dan Canberra pada tingkat yang terburuk dalam sejarah hubungan diplomatik kedua negara.
Seiring waktu berlalu, dan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia, ketegangan hubungan Jakarta-Canberra akibat keterlibatan Australia yang terlampau jauh di Timor Timur telah mengalami berbagai tahap perbaikan yang cukup berarti bagi pemulihan hubungan bilateral kedua negara.
Faktor-faktor seperti mendesaknya penyelesaian masalah dalam negeri di bidang ekonomi dan mengatasi gerakan separatisme pasca jajak pendapat di Timor Timur, adanya dorongan untuk memperkuat solidaritas Asia Pasifik, upaya memperbaiki citra Indonesia di luar negeri dalam bidang HAM, melemahnya peran ASEAN, serta mitos terhadap posisi Indonesia vis-à-vis dengan Australia dapat menjadi alat bedah dalam menganalisis bagaimana politik Iuar negeri Abdurrahman Wahid dijalankan selama setahun pemerintahannya.
Penulis menggunakan pemikiran Holsti dalam menganalisis berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi arah politik luar negeri Indonesia yang dijalankan pada masa Pemerintahan Habibie dan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Penulis menggunakan metode penelitian berdasarkan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analisis untuk membandingkan data-data yang tersedia dengan pemikiran-pemikiran yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Penulis membatasi pengumpulan data melalui studi kepustakaan, yaitu masa Pemerintahan Habibie dan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid pada kurun waktu tahun 1999-2001."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T12373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Karina Puspitawati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S22062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariawan Agustiartono
"Doktrin tanggungjawab atasan merupakan suatu mekanisme untuk menghukum para atasan sebagai akibat pombiaran yang dilakukan atas tindakan ( kejahatan) yang dilakukan bawahannya, dimana atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui kejahatan yang dllakukan bawahannya. Dokrin tanggung jawab atasan lahir dalam dunia kemiliteran akan tetapi berlaku secara mutatis mutandis kepada atasan sipil sepanjang atasan tersebut juga memiliki kontrol sepertl seorang komandan militer. Doktrin tanggungjawab atasan telah diterapkan dalam beberapa praktek pengadilan misalnya dalam Tribunal Tokyo, Tribunal Yugoslavia ( ICTY) dan Tribunal Rwanda ( ICTR) serta Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur.
Dalam tesis ini akan dipaparkan doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan dalam praktek ICTY. Setidaknya terdapat 3 (tiga) doktrin baru yang dihasilkan dalam praktek ICTY: pertama, mengenai syarat menarik tanggungjawab atasan yang merupakan hasil dari persidangan kasus Celebici Prison Camp. Kedua, komandan territorial bertanggungjawab atas tindakan semua pasukan yang berada diwilayahnya walaupun pasukan tersebut tidak dalam kendali efektifnya. Doktrin kedua ini dihasilkan dari praktek kasus lasva Valley dengan terdakwa Brigadir Jendral Tihomir Balskic. Doktrin ketiga, adalah kewajiban menghukum bawahan melekat kepada komandan baru. Doktrin ini dihasilkan dalam kasus Enver Hazihasanovic ( Komandan Kamp Kubura).
Penelitian ini berjudul "PENERAPAN DOKTRIN TANGGUNGJAWAB ATASAN DI INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL. FOR FORMER YUGOSLAVIA DAN PENGARUHNYA DALAM PENGADILAN HAM AD.HOC TIMOR-TIMUR".
Fokus pembahasan tesis ini pada penerapan doktrin tanggungjawab atasan di ICTY dan doktrin hukum yang dihasilkan dalam praktek ICTY. Disamping itu tesis ini juga memaparkan pembahasan tentang penggunaan doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan dalam praktek ICTY serta pengaruhnya dalam Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur. Untuk menjawab permasalahan tersebut menggunakan metode penlitian Yuridis Nonnatii dan pendekatan kualitatif dalam melakukan analisa permasalahan. Disamping itu juga dipaparkan tentang penerapan doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan ICTY dalam Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur serta pengaruhnya. Dalam pembahasan akan dipaparkan tentang kasus-kasus yang ditangani oleh Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur yang menggunakan doktrin tanggungjawab atasan hasil dari ICTY. Doktrin yang paling banyak digunakan adalah doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan dari kasus Ceiebici Prison Camp. Disamping banyak digunakan putusan kasus Celebici juga memberikan pengaruh yang besar dalam praktek Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wachid Ridwan
"Pembicaraan masaIah Timor Timur tetap saja menjadi agenda PBB dari masa ke masa yang tidak pemah mengakui keutuhan wilayah Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sementara kondisi di dalam negeri Indonesia sendiri diterpa berbagai krisis yang mengakibaikan kegoyahan stabilitas nasional sejak pertengahan tahun 1998. Dalam kondisi semacam ini pemerintah Presiden Habibie berusaha untuk menyelesaikan priorilas masalah dengan sebaik-baiknya. Beberapa proses demokrasi dalam bidang politik telah berjalan didalam negeri seperti tenaksananya pemilihan umum tahun 1999 yang menghasilkan wakil-wakil rakyat terpilih secara domokratis sekaligus terpilihnya Presiden RI secara demokratis untuk yang pertama kaIi semenjak kemerdekaan.
Krisis ekonomi yang akhirnya menjadikan Indonesia bergantung pada bantuan International Monetary Fund (IMF) telah banyak mempengaruhi kondisi di dalam negeri termasuk situasi sosial dan politik. IMF dan negara-negara asing yang terlibat didalamnya memberikan tekanan-tekanan terhadap Indonesia yang secara tidak Iangsung juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah RI.
Kebijakan opsi kemerdekaan pada masa pemerintahan presiden Habibie untuk Timor Timur merupakan hasil sebuah proses pengambilan keputusan yang secara rasional telah dipertimbangkan. Opsi ini diberikan secara demokralis melalui Jajak Pendapat bagi masyarakat Timor Timur untuk menentukan aspirasi mereka dimasa mendatang. Opsi kemerdekaan muncul sebagai konsekwensi apabila masyarakat Timtim menolak opsi pemberian otonomi khusus yang diperluas.
Dalam kurun proses pengambilan keputusan, pihak militer, tidak menyatakan secara kelembagaan, tidak sependapat dengan opsi kemerdekaan tersebut. kondisi ini dapat dipahami karena Tentara Nasional Indonesia (TNI) mempunyai sejarah yang sangat erat dengan Timtim. Pelepasan Timtim sebagai akibat dari Jajak Pendapat akan sangat melukai perasaan para prajurit militer khususnya yang pemah bertugas di daerah tersebut. Sebaliknya, Habibie adalah orang sipil yang tak pernah punya sejarah bertempur di Timtim sehingga dirinya hanya berpikir akan memberikan yang terbaik bagi bangsa Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T6119
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>