Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133228 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Gau Kadir
"Paul Allen Beck, mengemukakan bahwa penelitian sosialisasi politik dapat digolongkan dalam dua perspektif umum. Pertama, disebut perspektif pengajaran (the teaching perspective) yang menggambarkan sosialisasi politik sebagai proses melalui mana orientasi-orientasi politik diajarkan. Kedua, perspektif belajar (the learning perspective) yang menekankan pada aktivitas individu untuk belajar sendiri. Pengaruh perspektif pengajaran menjadi dominan setelah munculnya salah satu topik utama dalam penelitian sosialisasi politik yaitu peranan agen-agen sosialisasi politik.
Perhatian para ilmuan terhadap topik tersebut di atas dapat dilihat dalam beberapa tulisan. Tulisan Hyman Greenstein, Hess dan Torney, yang membatasi telaahnya pada penelitian empiris dan berusaha menggambarkan pengaruh masing-masing agen sosialisasi politik terhadap 2 pandangan politik individu. Di Indonesia studi sosialisasi politik telah dilakukan oleh para sarjana seperti Win Gandasari Abdullah, Stephen Arneal Douglas, yang lingkup studinya pada tingkat nasional. Sedangkan pada tingkat lokal (pedesaan), studi ini masih jarang dijumpai.
Khusus di Sulawesi Selatan studi sosialisasi politik pada masyarakat pedesaan dapat dikatakan belum ada. Walaupun ada tulisan mengenai sosialisasi politik, tetapi tidaklah merupakan perhatian utama. Fakta ini mendorong penulis untuk melakukan studi sosialisasi politik agar dapat dipahami agen-agen sosialisasi politik yang mana berperanan dalam meningkatkan pengetahuan politik masyarakat mengenai sistem politik yang dikembangkan oleh pemerintah Republik Indonesia, yaitu sistem demokrasi.
Pada dasarnya sistem politik demokrasi menghendaki adanya keseimbangan yang wajar antara hak dan kewajiban politik anggota masyarakat. Di dalam sistem teori, hak dan kewajiban politik melekat pada "komponen input" dalam sistem politik. Hak politik berkaitan dengan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politik. Sedangkan kewajiban politik berhubungan dengan dukungan-dukungan yang diberikan kepada sistem politik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa di dalam sistem pengambilan keputusan yang demokratis, setiap anggota masyarakat di samping mempunyai hak politik untuk melakukan tuntutan, juga memikul kewajiban politik untuk mendukung sistem politik yang berlaku.
Meskipun demikian, dalam perkembangan sistem politik di Indonesia sering ditemui munculnya tuntutan-tuntutan yang berbeda-beda yang cenderung menimbulkan konflik dalam masyarakat. Hal ini dapat diamati pada masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada periode pertama, muncul tuntutan-tuntutan masyarakat yang sangat besar jumlahnya, sementara kapasitas sistem politik belum mampu memenuhi semua tuntutan-tuntutan itu. Pemerintah belum mampu memanfaatkan kekayaan alam untuk melaksanakan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga partai-partai politik yang beroposisi sering melancarkan mosi tidak percaya kepada partai politik yang berkuasa, sehingga sering terjadi pergantian kabinet sebelum masa pemerintahannya berakhir. Keadaan ini menunjukkan lemahnya dukungan masyarakat terhadap sistem politiknya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwondo
"Latar Belakang Masalah
Sejak terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa telah memandang demokrasi sebagai suatu sistem politik yang ideal. Kata "ideal" tersebut berarti bahwa bangsa kita mempunyai keinginan yang besar untuk melaksanakan mekanisme pembuatan keputusan sesuai dengan yang dituntut oleh sistem demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Yang dikehendaki oleh sistem demokrasi itu adalah suatu keseimbangan yang wajar antara hak dan kewajiban politik warganegaranya dalam proses kehidupan politik. Hak politik berhubungan dengan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politiknya seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, petisi-petisi kepada lembaga-lembaga ataupun pejabat-pejabat pemerintah, menghimpun perkumpulan-perkumpulan politik dan lain sebagainya. Sedangkan kewajiban politik berkaitan dengan dukungan-dukungan yang harus diberikan kepada sistem politik bersangkutan, misalnya masuk menjadi anggota suatu organisasi politik, mendukung kebijaksanaan yang ada dan berkomunikasi dalam masalah-masalah politik.
Namun demikian, dalam kehidupan politik sering tampak bahwa tuntutan-tuntutan yang berbeda-beda cenderung menimbulkan pertentangan-pertentangan yang sangat berbahayn. Pertentangan atau konflik-konflik tersebut, akan berakhir jika pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, baik menggunakan cara musyawarah maupun voting telah mencapai suatu kesepakatan.
Di negara-negara berkembang yang sebagian besar tuntutannya banyak dlpengaruhi oleh hal-hal yang bersifat primordial, suasana konflik cenderung menjurus ke arah situasi yang berbahaya. Demikian halnya yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada periode I, partisipasi politik anggota masyarakat ditandai oleh mengalirnya tuntutan-tuntutan yang sangat banyak jumlahnya, sedangkan kapasitas sistem politik belum mampu untuk menampungnya. Misalnya pemerintah belum mampu menggali kekayaan-kekayaan alam yang ada untuk melaksanakan pembangunan.
Di samping itu struktur-struktur politik ataupun pejabat-pejabat pemerintah belum mampu untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut. Konsekwensinya, maka muncullah situasi dan kondisi yang tidak mendukung sistem politik yang ada. Terlebih-lebih lagi dengan lahirnya pemherontakan-pemberontakan di daerah yang menentang ataupun tidak puas kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah pusat, misalnya pemberontakan PRRI (15 Pebruari 1959).
Di lain pihak partai-partai politik yang beroposisi sering melancarkan mosi tidak percaya kepada partai politik yang berkuasa, sehingga tidak mengherankan jika banyak terjadi pergantian pemerintahan dalam beberapa bulan atau satu tahun saja. Adanya mosi tersebut, pada dasarnya merupakan indikator bahwa dukungan yang diberikan kepada jalannya pemerintahan cukup lemah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inggrid Novianti H.W.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musyarrafah Hamdani
"ABSTRAK
Hasil Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2013 menunjukkan bahwa Makassar 6.9 menempati posisi ketiga pada data proporsi remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah berdasarkan kota dengan usia termuda 13 tahun. Penelitian bertujuan untuk mengeksplorasi sejauh mana implementasi budaya siri rsquo; dalam pengasuhan anak di keluarga masyarakat suku Bugis dan Makassar berkaitan dengan perilaku seks pranikah pada remaja di Kota Makassar. Pendekatan kualitatif yang menggunakan etnografi dengan life history approach sebagai metode penelitian melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif. Melalui proses belajar kebudayaan sendiri, yaitu internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi orang tua telah menerapkan budaya siri rsquo; dalam mengasuh anaknya yang dimulai saat anak memasuki masa pubertas. Orang tua menanamkan secara tersirat dengan nasihat lsquo;jaga diri dan nama baik keluarga rsquo; yang ditujukan kepada perilaku seks pranikah. Usaha remaja menjaga siri rsquo; keluarga menjadi penahan dalam melakukan seks pranikah. Diharapkan adanya pengarusutamaan siri rsquo; dalam upaya mencegah remaja sekolah untuk melakukan perilaku seks pranikah, terutama Dinas Pendidikan Kota Makassar diharapkan memasukkan materi siri rsquo; dalam ajaran Muatan Lokal. Begitupun dengan orang tua yang senantiasa menanamkan siri rsquo; kepada anaknya tidak hanya saat masa pubertas, namun dimulai sejak masih kanak-kanak.

ABSTRACT
Integrated Surveys of Biological and Behavior in 2013 showed that Makassar 6.9 ranked third on of teenagers who had premarital sexual intercourse according to the city with the youngest age of 13 years. The study aimed to explore the implementation of siri rsquo in parenting of Buginese and Makassar ethnic families related to adolescents rsquo premarital sex behavior in Makassar. Qualitative approach that used ethnography with life history approach as a research method through in depth interviews and participant observation. Through the process of learning their own culture internalization, socialization, and enculturation , the parents had implemented siri rsquo in raising their children since the child entered the period of puberty. Parents instilled siri rsquo implicitly through advice lsquo protect yourself and the good name of the family rsquo aimed to prevent premarital sex behavior. Teenagers take care of siri rsquo family to be a barrier in premarital sex. Siri rsquo mainstreaming should be held to prevent school adolescents to engage in premarital sexual behaviors, particularly the Provincial Education Board of Makassar is expected to involve siri rsquo as material in Local Content ldquo Muatan Lokal rdquo subject. As well parents should instill the values of siri rsquo to their child not only during puberty, but since as a child."
2017
T48744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfaidah Said
"Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari sektor agraris. Olehnya itu tanah merupakan salah satu sumber hidup dan mata pencaharian. Tanah sebagai harta dan modal yang sangat panting. Selain itu pula, tanah terkait dengan harkat dan martabat seseorang jika ditinjau dari aspek religius, hukum dan adat istiadat. Keterkaitan tanah dengan adat istiadat dapat dilihat dalam sistem perkawinan dalam masyarakat suku Bugis-Makassar. Salah satu syarat dalam perkawinan suku Bugis-Makassar adanya mahar. Mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan dalam bentuk tanah.
Permasalahan dalam penelitian ini sejauh mana pemahaman perempuan atas tanah pemberian, bagaimana implementasi hak-hak perempuan atas tanah pemberian, bagaimana akses dan kontrol perempuan atas tanah pemberian dan bagaimana kebijakan pemerintah tentang tanah pemberian ini.
Analisis berpusat pada budaya patriarki dan bias gender yang terkonstruksi dalam keluarga suku Bugis-Makassar, dan konsep pemilikan tanah pemberian dikaitkan dengan Undang-undang Pokok Agraria. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif berperspektif perempuan. Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan untuk mengungkapkan pengalaman dan permasalahan perempuan yang menerima tanah pada waktu menikah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam perkawinan suku Bugis-Makassar sudah memahami sejak awal yaitu pada proses pelamaran bahwa ia akan menerima tanah sebagai mahar dalam perkawinannya. Pemahaman ini sebagai langkah awal untuk mengetahui hak-hak perempuan atas tanah tersebut. Terdapat tiga pola dalam pemilikan perempuan atas tanah pemberian yaitu (1) pemilikan tanah pemberian secara penuh; maksudnya memiliki sertifikat serta menikmati hasilnya (2) pemilikan tanah pemberian hanya sebagian; maksudnya tidak memiliki sertifikat tetapi menikmati hasilnya dan (3) pemilikan tanah pemberian hanya sebagai simbol, maksudnya tidak memiliki sertifikat dan juga tidak menikmati hasilnya. Paling dominan adalah pola yang kedua, pemilikan hanya sebagian saja. Berdasarkan pola pemilikan tersebut akses dan kontrol perempuan atas tanah dapat terjawabkan. Pada pola pemilikan 1 dan 2 perempuan mempunyai akses dan kontrol, sedang pada pola ketiga, perempuan sama sekali tidak mempunyai akses maupun kontrol. Kontrol perempuan atas tanah terbagi dua yaitu kontrol atas penikmatan dan kontrol atas pemilikan. Perempuan sebagai pemilik tanah yang diterimanya pada waktu menikah belum terlindungi oleh hukum dalam hal ini Undang-undang pokok Agraria, karena untuk mendaftarkan tanah tersebut masih diperlukan surat keterangan hibah dari pihak laki-laki sebagai pemberi kepada perempuan.

Land as Dowry in Marriage; Case Study Women from Bugis-Makssar Ethnic Group in South Sulawesi Receiving Land in Marriage Indonesia is a nation with most of its people making a living from Agricultural sector. Therefore, a plot of land constitutes one of living and livelihood sources_ Land is a very important property and capital. In addition, land is related to someone's pride and dignity if it is viewed from the aspects of religions, laws and traditional custom. Relatedness of land and traditional custom can be seen in the marriage system in the community of Bugis-Makassar ethnic group. One of the requirements in the marriage of Bugis-Makassar ethnic group is the existence of dowry. The dowry given by a man to a woman in the form of land. The study aims to gain insights of women's concepts of a gift land, implementation of women's right over the land, women's access and control to the land and the government's policy regarding the land.
The analysis focuses on patriarchal culture and constructed gender bias in the Bugis-Makassar family, and the concept of ownership of the given land related to Law on Agrarian Principles. This study uses qualitative study method with women's perspective. The use of the qualitative method is aimed at exploring experience and problems of women receiving land when getting married.
The results of study indicate that women in the marriage of Bugis-Makassar ethnic group have acknowledged that they will receive land as dowry since they were being proposed. This acknowledgment is considered as early step to recognize women's rights over the land. There are three (3) patterns in the women's ownership over the given land, namely (I) fully given land ownership; it means that they posses land certificate and take the harvests; (2) partly given land ownership; it means that they do not posses the land certificate but they take the harvests and (3) the given Iand ownership as a symbol only; it means that they neither possess the land certificate nor take the harvests. The foremost if of the second pattern, the land shall be only partly owned. In the ownership pattern Nos I and 2 the women have access and control, while in the pattern no. 3 the women have no access and control at all. The women's control over the land is divided into two, i.e. control over the harvest and control over the ownership. Women's rights over the the land as dowry have not been protected by Law in this case Law on Agrarian Principles because to register the land, it still needs formal and written statement from the man giving the land.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Saputra
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengeni Jual beli hak atas tanah berdasarkan hokum adat
yang dijadikan dasar untuk pendaftaran tanah di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi
Selatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, sehingga penelitian
ini dapat memberikan gambaran tentang kedudukan jual beli tanah yang dilakukan
berdasarkan hokum adat dalam pandangan hokum positif di Indonesia dan bagaimana
perlindungan hukum serta solusi hokum terhadap pemegang hak terakhir yang
mengalami kesukaran dalam melakukan pendaftaran tanah akibat jual beli
berdasarkan hokum adat, dari hasil penelitian disarankan bahwa jual beli hak atas
tanah hendaknya dilakukan dihadapan PPAT. Untuk Kantor Pertanahan berkewajiban
untuk memberikan informasi serta penyuluhan tentang hokum tanah nasional kepada
masyarakat setempat agar terciptanya kepastian hokum dan agar masyarakat mengerti
bagaimana system atau tata cara pendaftaran tanah yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

ABSTRACT
This thesis discusses about sales and purchase of the rights of landaccording to customary
law which those kind of law was the basis for the registration of land in South Sulawesi Province
in Gowa District. This research are using research methods of normative research with
qualitative approach, so therefore this research can provide an overview about the status of the
sale and purchase of land made under the customary laws in Indonesiapositive law perspective
and how its gives legal protection alsodispute settlement concerning to the previous of land right
holders which experienced difficulties in land registration as a result of sales and purchase of
land with customary law as it foundation, from this research were suggests thatthe sale and
purchase of land rights should be done in the presence of PPAT. For the Land Agency Office is
obliged to provide information and guidance about the national law of the land to the local
community so that legal certainty can be assure and also in order for the community to
understand how the system or the procedures for land registration as governed/regulated in
Indonesia land law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sitti Syahar Inayah
"Masyarakat Adat memiliki kearifan Iokal dalam berinteraksi dengan Iingkungannya. Salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia yang mempunyai kearifan Iokal tersebut adalah masyarakat suku Ammatoa yang bermukim di Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Masyarakat Ammatoa mempunyai pandangan tersendiri terhadap Iingkungan hidup utamanya hutan.
Untuk mengungkap makna hutan bagi masyarakat Ammatoa digunakan Teori lnteraksionisme Simbolik sebagai alat analisis. Tujuannya untuk melihat bagaimana Teori Interaksi Simbolik menjelaskan makna hutan sebagai objek sosial Adapun alat analisis strategi ketua adat menjaga makna digunakan strategi komunikasi yaitu pola kontrol lingkungan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif model interaksi simbolik. Etnografi menjadi pilihan metode penelltian. Data diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi berperanserta. Adapun unit analisisnya adalah tindakan individu-individu yang berinteraksi sosial. lnforman berjumlah 16 orang dipilih dengan menggunakan teknik purposive atau snowball sampling Puto Palasa dipilih menjadi informan karena jabatannya sebagai ketua adat. Puto Beceng dipilih sebagai informan disebabkan kedudukannya sebagai Galle Puto, salah satu unsur adat yang bertugas menjaga hutan. lnforman lainnya adalah Puto Nungga, salah seorang tokoh masyarakat bertugas membakar kemeyang dalam setiap upacara adat.
Masyarakat Ammatoa lebih melihat hutan dari segi manfaat dan fungsinya. Karena itu pulalah hutan mempunyai makna sesuai dengan manfaat dan kegunaannya sebagai penyedia air dan tempat melakukan upacara yang sakral. Makna tersebut dibawa dari, atau muncul dari interaksi sosial dengan sesamanya. Hutan keramat tidak berubah fungsi dari generasi ke generasi karena memang dijaga. Sementara hutan batas bisa berubah, ketika dilakukan upacara pernbuka hutan batas, maka hutan itu tidak sakral Iagi dan boleh diambil hasilnya secara terbatas. Hutan di luar kawasan Ammatoa berfungsi ekonomis. Pemahaman tentang hutan didapatkan dari pasang ri kajang (pesan-pesan dari kajang). lnteraksi mereka dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penting diantaranya bahasa, warna pakaian, rumah dan pohon dande.
Ammatoa sebagai ketua adat mendapat tugas utama dari Tuhan menjaga hutan. Ammatoa dibantu oleh pemangku adat yaitu Galla Puto yang tugas utamanya menjaga hutan. Masyarakat diminta menjaga hutan dengan menekankan imbalan yang akan didapatkan. Adapun dalam penegakan aturan, Ammatoa cenderung menggunakan strategi kontrol Iingkungan dengan level pengendalian.
Dalam Teori Interaksi Simbolik, makna sebagaimana benda tersebut di bawa dari, atau muncul dari interaksi sosial dengan sesamanya. Hal ini sejalan makna hutan bagi masyarakat Ammatoa muncul dari interaksi dalam masyarakat tersebut. Mereka bertindak terhadap hutan sesuai dengan makna tersebut. Makna dipelihara, dan dimodifikasi melalui, proses interpretasi yang digunakan orang dalam berhubungan dengan benda yang dihadapi. Premis ini ditemukan pula dalam makna hutan bagi masyarakat Ammatoa. Ada hutan yang maknanya tidak berubah karena makna tersebut memang sengaja dipelihara Ada pula hutan yang berubah maknanya sesuai konteksnya yaitu hutan batas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria E. Pandu
"INTISARI
Kedudukan dan peranan wanita dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat di mana wanita itu berada. Selain itu, bentuk tertentu dari masyarakat pun memberikan ciri tersendiri pula pada kedudukan dan peranan wanitanya.
Wanita sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat tentunya tidak hanya mempunyai satu kedudukan dan satu peranan saja, bertambah kompleks masyarakat di mana mereka berada bertambah bervariasi pula peranan mereka. Tetapi dari berbagai peranan yang diperankannya, menurut penulis tentu ada peranan-peranan khusus yang sangat spesifik yang justru dapat menandai seberapa jauh kedudukan dan peranan mereka baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat di mana mereka berada.
Di Sulawesi Selatan terdapat 4 suku bangsa utama yaitu suku Makassar, suku Bugis, suku Toraja dan suku Mandar. Kelompok etnik Mandar mempunyai sub kultur tersendiri, penulis beranggapan paling tidak orang Mandar mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri pula untuk mengatur peranan dari anggota-anggota masyarakatnya termasuk juga pengaturan tentang kedudukan dan peranan wanitanya yang biasa tercermin pada nilai dan norma yang mereka panuti. Sebagai kelompok etnik yang mendiami daerah, Sulawesi Selatan di mana pada umumnya penduduknya terkenal sebagai nelayan dan pelaut sejak dahulu kala, maka orang Mandar pun merupakan nelayan dan pelaut yang tak kalah cakapnya dengan orang Makassar maupun Bugis.
Pada masyarakat nelayan di mana laki-laki sebagai bapak dan kepala rumah tangga lebih sering meninggalkan rumah untuk waktu yang relatif cukup lama karena tergantung pada tempat dan daerah mana mereka akan memperoleh ikan yang banyak untuk ditangkap. Selama suami/bapak tidak ada di rumah banyak hal yang harus ditanggulangi oleh kaum wanita baik sebagai isteri maupun sebagai seorang ibu.
Pada masyarakat di mana suami/bapak lebih sering tidak ada di rumah untuk waktu yang relatif lama adakalanya terdapat kelainan dalam pembagian peranan dalam keluarga dan rumah tangga. Ada beberapa peranan yang terpusat pada wanita sebagai isteri/ibu, yang oleh beberapa ilmuwan soisial disebut sebagai matrifokalitas. konsep matrifokalitas mempunyai beberapa dimensi dan beberapa ciri. Matrifokalitas oleh Tanner dipakai untuk mengidentifikasikan kedudukan wanita dalam keluarga dan di masyarakat. Konsep ini pula dipergunakan oleh penulis untuk menelusuri sampai seberapa jauh kedudukan dan peranan wanita Mandar dalam keluarga dan masyarakatnya.
Untuk menunjuk ketidakbenaran keberadaan matrifokalitas pada wanita Mandar sebagai isteri nelayan penulis menyusun beberapa hipotesa kerja. Untuk mencegah terjadinya kesimpangsiuran pengertian dilakukan operasionalisasi konsep-konsep yang digunakan, antara lain konsep tingkat pendapatan, konsep kelas sosial bawah, konsep kedudukan marjinal dalam kelompok, konsep perubahan sosial yang cepat, konsep nilai sosial budaya, konsep matrifokalitas itu sendiri.
Bentuk penelitian yang dipilih yaitu bentuk penelitian yang bersifat deskriptif. Sedangkan daerah penelitian sengaja dipilih dua dusun yaitu dusun Ujung Lero dan dusun Kassi Putte yang terletak di Desa Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Prc'pinsi Sulawesi Selatan, di mana pada umumnya penduduknya adalah kelompok etnik Mandar dan mata pencaharian mereka pada umumnya adalah sebagai nelayan.
Karena tujuan penelitian tidak bermaksud mengukur hubungan antar wariabel maka teknik pemilihan sampel yang tergolong dalam "Non Probability Sampling Technique" nampaknya cukup memadai dengan bentuk yang lebih spesifik lagi yaitu "Dimensional Sampling". Berdasarkan teknik ini diperoleh sampel yang terdiri dari beberapa sub sampel yang sesuai dengan kebutuhan penqungkapan masalah.
Untuk mendapatkan data yang akurat diqunakan metode pengumpulan data antara lain metode pengamatan tak terlibat, metode wawancara langsunq tak berstruktur, metode wawancara langsung terstruktur Setelah data terkumpul lalu dianalisis baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian adalah ;
1. bahwa tingkat pendapatan kepala keluarga tidak ada hubungannya dengan matrifokalitas.
2. bahwa kedudukan sosial seseorang tidak ada hubungannya dengan matrifokalitas.
3. bahwa perubahan sosial yang cepat yang terjadi di kalangan masyarakat nelayan Mandar di desa Lero turut mendukung terjadinya matrifokalitas.
4. bahwa unsur-unsur nilai budaya yang telah mendarah daging pada masyarakat nelayan Mandar di desa Lero, turut mendukung terjadinya matrifokalitas.
5. bahwa ketidakhadiran suami/bapak dalam keluarga/rumah tangga untuk waktu yang relatif lama memperkuat gejala matrifokalitas.
Berdasarkan keadaan yang ditemui dilapangan, upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk meningkatkan keterampilan wanita/isteri nelayan Mandar di desa Lero, sekaligus keluarga mereka antara lain adanya keterampilan tradisional yang dikerjakan oleh wanita/isteri nelayan Mandar di desa Lero, yang dapat menunjang pertambahan pendapatan keluarga, perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Hal lainnya himbauan bagi organisasi sosial wanita antara lain Dharma Wanita dan PKK untuk menyusun program kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan wanita/isteri nelayan Mandar di desa Lero. Mengingat Program Keluarga Berencana belum merakyat, perlu digalakkan pemahaman nilai keluarga kecil bahagia sejahtera.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusni Karma
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan lengkap tentang kondisi perempuan yang ditempatkan sebagai lambang "siri" di daerah Makassar Jeneponto Sulawesi Selatan, Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitataif berperspektif perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang dibesarkan dalam budaya siri', baik mereka yang mempertahankan/menaikkan maupun yang menurunkan/meruntuhkan "siri" keluarga yang terkait dengan kawin lari mengalami diskriminasi dan dilema yang berdampak secara psikis dan ekonomis. Selain itu, agama Islam yang disalahtafsirkan turut melanggengkan budaya "siri".

This research aims to reveal the woman condition who?s placed as symbol of "siri" in Jeneponto Makassar, south Sulawesi. This research was based on qualitative approach and feminist perspective. The research results showed that woman who lived in "siri" tradition, both of them who supported or against it, faced a discrimination and a dilemma. This condition affected the women as psychologically and economically. Besides, it was legitimized by community within misinterpretation of Islam religion."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>