Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138296 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theodorus Sardjito
"Dalam tesis ini saya ingin menunjukkan bahwa hukum tertulis tentang sewa tanah beserta pelaksanaannya adalah sebagai perwujudan nilai-nilai budaya kolonialisme Belanda yang menekankan pada kapitalisme dan penguasaan pasar dunia, yang dijalankan sesuai dengan keadaan setempat di residentie Banyumas. Hukum tertulis tentang sewa tanah tersebut mengatur mengenai penyewaan tanah milik pribumi oleh non-pribumi.
Kajian tentang hal tersebut di atas dibatasi pada tiga hal yaitu: (1) pengaturan penyewaan tanah, (2) wilayah berlakunya pengaturan tersebut, dan (3) masa berlakunya. Adanya penyewaan tanah milik pribumi oleh non-pribumi sebagaimana diatur oleh ordonansi-ordonansi yang berdasarkan pada Agrarische Wet (Undang-undang Agraria tahun 1570) yang keberlakuannya dipaksakan sesuai dengan kepentingan kolonial Belanda, maka yang menjadi pusat perhatian dalam tesis ini adalah :
1.1. pengaturan sewa tanah serta latar belakangnya;
1.2. hubungan antara penguasa Belanda dan pribumi, pengusaha non-pribumi yang menyewa tanah dan penduduk pribumi yang menyewakan tanah;
1.3. akibat yang timbul di bidang pertanian penduduk pribumi dan reaksi yang dilakukan penduduk pribumi terhadap praktek penyewaan tanah.
Masalah pertama menyangkut analisa tentang peraturan sewa tanah yang diatur dalam Agrarische Wet dan perubahan-perubahan yang terdapat dalam ordonansi tentang sewa tanah. Mengingat Agrarische Wet merupakan satu kesatuan yang berisikan pengaturan tentang sewa tanah dan hak-hak lainnya atas tanah, maka kajian mengenai masalah ini dilakukan sejalan dengan pembahasan yang dilakukan oleh para anggota parlemen Belanda pada saat pembentukan undang-undang tersebut. Mengenai perubahan-perubahan yang terdapat dalam ordonansi sewa tanah, dalam kajian ini dipusatkan pada penelusuran faktor-faktor yang mengakibatkan perubahan-perubahan yang terdapat dalam ordonansi tersebut. Dalam hal ini kajian dilakukan secara umum yang menyangkut pelaksanaan sewa tanah di Jawa dan Madura. Mengenai masalah kedua dan ketiga, perhatian sepenuhnya dicurahkan kepada wilayah penelitian residentie Banyumas, Jawa Tengah.
Residentie Banyumas merupakan salah satu wilayah berlakunya pengaturan sewa tanah yang saya pilih, berdasarkan alasan bahwa hampir dalam setiap laporan pemerintah Belanda mengenai pelaksanaan sewa tanah, wilayah tersebut kurang mendapat perhatian, dalam arti tidak begitu banyak masalah di mata pemerintah Belanda. Pada hal pada tahun 1882, dalam regerings almanak tercatat 11 perusahaan di bidang tembakau (nicotiana tabacum) yang menyewa tanah dari kaum pribumi. Pada tahun 1883, jumlah perusahaan yang menyewa tanah dari kaum pribumi menyusut menjadi tujuh perusahaan. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah perusahaan, baik di bidang tembakau, gula dan tarum (indigofera tinctoria), tidak melebihi 11 perusahaan. Hal tersebut menarik perhatian saya, dalam arti apakah memang benar-benar tidak terdapat masalah ataukah terdapat masalah tetapi tidak dipandang penting oleh pemerintah Belanda. Pada hal apabila dikaji lebih teliti, pengaturan sewa tanah sebagaimana diatur dalam hukum tertulis ciptaan pemerintah Belanda, merupakan suatu unsur kebudayaan asing yang diterapkan pada masyarakat pribumi residentie Banyumas. Hal ini berarti bahwa hal tersebut sedikit banyak akan menimbulkan masalah dalam arti pertama, penyesuaian unsur kebudayaan yang asing tersebut dengan nilai-nilai budaya setempat. Kedua, timbulnya dampak dari penerapan unsur-unsur asing tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octiani Eka Hapsari
"Kawin lari merupakan suatu fenomena yang ada di kebudayaan Palembang. Istilah kawin lari dalam masyarakat Palembang sangat beragam ada yang menyebutnya sebagai larian, begujalan, atau kawin ketip. Umumnya kawin lan dilakukan oleh seseorang dikarenakan orangtua tidak menyetujui pasangan pilihannya. Ketidak setujuan orangtua ini disebabkan adanya perbedaan agama atau perbedaan etnis. Dalam diri orangtua akan terjadi permasalahan jika anaknya tetap memaksa ingin menikah. Ketidaksetujuan orangtua untuk menikahkan anaknya dengan seseorang yang berbeda etnis dan agama dikarenakan adanya faktor prasangka. Orangtua cenderung menilai pasangan pilihan anaknya mempunyai sikap-sikap yang negatif.
Disini peneliti hendak melihat bagaimana dinamika disonansi kognitif yang dialami orangtua yang anaknya melakukan larian dengan menggunakan teori disonansi kognitif dari Leon Festinger (1957). Inti dari teori disonansi kognitif ini adalah terjadinya hubungan yang tidak pas (non-fitting relations) antara elemenelemen kognisi yang menimbulkan disonansi (ketidaknyamanan kognisi). Disonansi menimbulkan desakan untuk memgurangi disonansi dan menghindari peningkatannya. Hasil dari desakan ini terwujud dalam perubahan-perubahan dalam kognisi seseorang berupa perubahan tingkah laku dan keterbukaan akan informasi-informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih Metode penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian kualitatif studi kasus.
Studi kasus digunakan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam dan mendetil tentang pengalaman dinamika kognitif yang dialami orangtua yang anaknya melakukan larian. Adapun alat yang digunakan adalah pedoman wawancara, alat perekam untuk merekam hasil wawancara, dan observasi yang dilakukan oleh peneliti. Dari hasil penelitian diketahui bahwa semua subyek mengalami disonansi. Hal ini terlihat dari ekspresi ketidaknyamanan mereka berupa rasa ketakutan, kekhawatiran, kebimbangan, dan kekecewaan. Disonansi yang dialami subyek bersumber pada inkonsistensi logis, generalisasi opini, nilai-nilai budaya, dan pengalaman masa lalu. Adapun cara yang dipilih subyek untuk mengurangi disonansi yang dialaminya adalah dengan merubah elemen perilaku, merubah elemen kognisi lingkungan, menambah elemen kognisi baru, dan melakukan penghindaran disonansi. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa ketidaksetujuan orangtua untuk menikahkan anaknya dengan pasangan pilihannya dikarenakan adanya faktor prasangka. Prasangka ini bisa diketahui oleh orangtua berdasarkan pengalamannya sendiri, maupun dari orang lain."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3031
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.D. La Ode
Jakarta: Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia (KIPI), 2018
305.8 LAO t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nindya Anggarini
"ABSTRAK
Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan beraneka ragam suku bangsa dengan berbagai
macam adat-istiadatnya, dan tidak hanya suku bangsa Pribumi saja, namun banyak pula kaum
pendatang dari luar (non pribumi) yang kemudian menetap di Indonesia. Salah satu kaum
pendatang yang jumlahnya cukup besar adalah golongan Cina, yang kemudian menjadi Warga
negara Indonesia Keturunan Cina. Masyarakat golongan Cina ini hidup bersama-sama dengan
masyarakat pribumi. Adanya perbedaan latar belakang budaya menyebabkan timbulnya masalah
dalam penyesuaian satu sama lain. Golongan Pribumi, dimana leluhurnya merupakan
masyarakat agraris, lebih bersifat feodal dan idealis, mereka memiliki rasa gotong-royong dan
kebersamaan serta rasa toleransi yang tinggi dan juga memiliki sifat yang kurang ulet dan
kurang pandai berdagang. Sedangkan golongan Non pribumi (Cina) adalah orang yang ulet dan
tekun, lebih suka menyatu dengan golongannya dan menganggap dirinya superior dibandmg
orang di luar golongannya. Perbedaan inilah yang kemudian menimbulkan konflik-konflik
diantara kedua golongan. Kesenjangan sosial mulai tampak, dimana golongan Non pribumi
lebih menguasai bidang perekonomian negara dibandingkan golongan pribumi. Konflik-konflik
yang timbul ini kemudian juga mengarah pada adanya prasangka yang negatif dimana akan
menjadi penghambat untuk proses pembauran. Beberapa cara untuk dapat mengurangi konflikkonflik
tersebut adalah diadakannya kontak dan kerjasama antara kedua golongan. Pandangan
atau penilaian individu terhadap kontak dan kerjasama dapat mempengaruhi kecenderungan
tingkah laku individu tersebut. Sikap individu terhadap kontak-kkerjasama dapat dipengaruhi
adanya latar belakang budaya yang berbeda atau adanya prasangka. Berdasarkan latar belakang
ini maka permasalahan yang akan diteliti adalah: Bagaimanakah prasangka dan sikap terhadap
kontak-kerjasama antara golongan pribumi dan golongan non pribumi yang memiliki latar
belakang budaya berbeda.Prasangka adalah sikap dari seseorang atau sekolompok orang tentang kelompok lain
yang berupa peniiaian yang bersifat negatif (Watson, 1984). Beberapa cara untuk dapat mengurangi
konflik atau prasangka adalah dengan mengadakan kontak dan kerjasama antara kedua
golongan (Myers, 1991). Kontak sosial oleh Suwarsih Warnaen (1979) didefinisikan sebagai
kontak sosial antar kelompok etnik yang bisa melalui pertemuan langsung, melalui berita dan
bisa juga melalui kehadiran di tempat. Sedangkan Kerjasama menurut Worchel (1988) adalah
suatu bentuk kerjasama dimana kelompok akan memberikan perhatian yang lebih pada penyelesaian
masalah daripada terhadap konflik yang ada. Baron (1994) mengatakan dalam kondisi
kerjasama, kelompok mempunyai tujuan yang sama dan memiliki harapan dapat membagi basil
secara adil. Kontak yang terjadi antara dua kelompok akan menjadi lebih menguntungkan
apabila diantara mereka juga terjadi kerjasama untuk mencapai suatu tujuan (Myers, 1991).
Sikap terhadap kontak-kerjasama adalah bagaimana peniiaian individu terhadap kontak dan
kerjasama dengan golongan lain. Menurut Feldman (1985), obyek sikap tidak hanya ditujukan
pada benda atau kelompok, tetapi juga tingkah laku.
Subyek dari penelitian ini adalah siswa SMU golongan Pribumi dan golongan Cina.
Dimana yang diperoleh dari SMU yang memiliki siswa mayoritas golongan Pribumi dan
minoritas golongan Cina serta dari SMU yang memiliki siswa mayoritas golongan Cina dan
minoritas golongan Pribumi. Golongan pribumi ini diwakilik oleh 4 suku bangsa terbesar di
Indonesia yaitu suku bangsa Jawa, Sunda, Batak dan Minang.
Jenis dari penelitian ini adalah penelitian Deskriptif, dimana peneliti ingin melihat
bagaimana gambaran individu tentang obyek/gejala tertentu. Dalam penelitian ini menggunakan
dua kuesioner untuk mengumpulkan data yaitu yaitu Skala jarak sosial dari Bogardus untuk
mengukur Prasangka dan Skala Sikap terhadap Kontak-Kerjasama. Untuk menghindari anggapan-
anggapan tertentu, maka penamaan golongan pribumi dan golongan non pribumi pada
kuesioner ditiadakan dan diganti dengan suku bangsa Jawa, Batak, Sunda dan Minang sebagai
golongan pribumi dan Cina sebagai golongan non pribumi. Perhitungan analisis dari data yang
diperoleh menggunakan Koefisen Konkordansi Kendal untuk mengukur keseragaman prasangka
dan analisis kualitatif untuk mengukur prasangka serta perhitungan mean dan .t-test untuk
mengukur sikap terhadap Kontak dan kerjasama.
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah pada siswa pribumi secara
keseluruhan memiliki prasangka tinggi dan lebih menolak golongan Cina. Begitupula jika
dalam kondisi mayoritas dan minoritas. Siswa pribumi secara keseluruhan juga memiliki sikap
terhadap kontak-kerjasama yang negatif dengan golongan Cina, namun jika dalam kondisimayoritas-minoritas, siswa minoritas pribumi memiliki sikap yang lebih positif pada golongan
Cina dibandingkan siswa mayoritas pribumi. Sedangkan subyek siswa golongan Cina secara
keseiuruhan memiliki prasangka tinggi dan lebih menolak suku bangsa Batak dan suku bangsa
Minang, begitupula jika dalam kondisi mayoritas-minoritas. Siswa Cina secara keseiuruhan
memiliki sikap terhadap kontak-kerjasama dengan suku bangsa Jawa yang negatif, namun jika
dalam kondisi mayoritas-minoritas, terdapat perbedaan yang sigiiifikan pada sikap terhadap
kontak-kerjasama dengan suku bangsa Minang, dimana siswa minoritas Cina lebih bersikap
negatif dibandingkan siswa mayoritas Cina.
Dari hasil yang tampaknya tidak menguntungkan bagi usaha integrasi bangsa, maka
diperlukan upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut seperti meningkatkan kualitas dan kuantitas
kontak, memberikan kesempatan pada kedua golongan untuk melakukan kegiatan-kegiatan
yang bersifat kerjasama, serta keterbukaan pada bidang pendidikan dan bidang pekerjaan di
masyarakat untuk semua golongan."
1996
S2687
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Budyatna
"Studi mengenai reduksi ketidakpastian dengan subyek pasangan suami-isteri kawin campur mencoba menganalisis mengenai bagaimana suatu interaksi awal terjadi dalam konteks reduksi ketidakpastian. Ternyata interaksi awal terjadi antar individu berbeda latarbelakang kultural tanpa hambatan bahkan secara mulus meningkat kepada hubungan yang romantis. Hambatan itu baru terjadi manakala individu yang bersangkutan berhadapan dengan kelompok yang diwarnai dengan berbagai stereotip sosial oleh kelompok yang satu terhadap yang lain secara timbal balik.
Prilaku pencarian informasi dengan berbagai strategi seperti pasif, aktif dan interaktif sebagai konsep Barat kurang adanya relevansi terhadap studi pasangan suami-isteri kawin. campur. Strategi pasif ternyata tidak digunakan sama sekali karena meriang tidak diperlukan. Begitu pula strategi aktif hampir tidak digunakan karena hambatan psikologis bentuk kawin campur semacam itu pada proses perkenalannya tidak mendapat dukungan dari jaringan sosial keluarga maupun lingkungannya. Sedangkan strategi interaktif dalam bentuk pengungkapan diri kurang dimanfaatkan oleh pihak pria pasangan tersebut. Hal ini antara lain disebabkan karena strategi tersebut tidak dirancang untuk masyarakat penganut budaya high-context di mana individu lebih banyak mengandalkan bahasa isyarat dalam suatu interaksi.
Pada eskalasi hubungan pada tingkat yang paling akrab yang ditandai oleh suatu perkawinan antar individu pasangan tersebut tidak selalu menunjukkan tahap pertukaran yang stabil dengan ciri-ciri saling keterbukaan dan mengenal pribadi masing-masing. Hal ini disebabkan karena pasangan yang bersangkutan pada proses perkenalannya tidak atau kurang memanfaatkan tahapan hubungan berdasarkan teori Altman dan Taylor. Hal ini Brat kaitannya dengan pola budaya yang berbeda di mana teori tersebut tidak dimaksudkan atau dirancang untuk masyarakat high-context culture. Begitu pula model hubungan dari Thibaut dan Kelley (1959) dalam menganalisis evaluasi hubungan yang dilakukan oleh masing-masing individu pasangan suami-isteri baru ada relevansinya kalau secara konsisten mengikuti tahapan hubungan dari Altman dan Taylor (1973).
Konflik yang terjadi antara anggota pasangan suami-isteri kawin campur pribumi dan non-pribumi Cina bukanlah merupakan konflik yang bersifat antar budaya. Tni disebabkan karena konflik tersebut bukan karena adanya perbedaan dalam mengekspresikan dan menginterpretasikan tindakan simbolis yang sama. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
D52
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fritz Hendrik Nino
"ABSTRAK
Kehidupan orang Indo di masa kolonial, adalah berbeda dengan orang Indo di masa sekarang. Kalau kini situasi yang dialami golongan Indo adalah relative menyenangkan maka dahulu tidaklah demikian.
Pada masa colonial orang-orang Indo berada dalam situasi terjepit. Mereka tidak bisa diterima oleh pihak Eropa (Belanda) maupun pribumi. Oleh pihak Eropa mereka dianggap remeh karena bukan orang-orang kulit putih asli. Sementara orang-orang pribumi mencurigai golongan Indo ini dan rnenganggapnya sebagai setengah Belanda saja.
Dalam situasi seperti ini orang-orang Indo telah menentukan beberapa macam sikap. Ada dari mereka yang memilih untuk lebih mendekatkan diri pada pihak Eropa (memihak Eropa), lalu ada pula yang memihak pribumi. Sementara itu tidak sedikit pula yang cenderung untuk berdiri sendiri, dalam arti tidak memihak Eropa ataupun pribumi.
Selama periode 1898 hingga 1922 akan terlihat bagaimana kompleksnya permasalahan orang Indo ini, yang antara lain tidak hanya ditunjuk:kan lewat faktor-faktor eskternal seperti adanya diskriminasi rasial oleh kaum totok (kulit putih asli), nasionalisme pribumi dan lain-lain, tapi juga faktor-faktor internal, yakni dari segi orang Indo itu sendiri, seperti suasana psikis mereka, perilaku mereka, dan sebagainya. Belum lagi tentang indikasi adanya semangat kebangsaan di kalangan orang Indo. Mereka ini mau bergabung dengan pihak pribumi dan berjuang untuk Hindia.
Semangat kebangsaan tersebut memanq masih perlu dipertanyakan, apakah murni atau tidak. Setelah banyak dari orang Indo itu berubah sikap semenjak tahun 1913, yakni tidak lagi menentang golongan totok maka pertanyaan tadi sedikit demi sedikit mulai terjawab.
Jadi selain menyorot kehidupan orang Indo dari tahun 1598 hingga 1922, maka tulisan ini melihat pula secara khusus semangat kebangsaan dari orang-orang Indo.

"
1990
S12348
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Anita Salim
"Negara Indonesia merupakan negara multietnik, yang terdiri dari bermacam-macam suku dan bangsa. Tetapi dari sekian banyak suku dan bangsa tersebut, dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi. Golongan Pribumi merupakan suku asli Indonesia, misalnya suku Jawa, Batak, Sunda dan sebagainya, sedangkan Golongan Non-Pribumi merupakan bangsa pendatang seperti Arab, India Cina dan sebagainya.
Tetapi semakin lama Golongan Non-Pribumi menunjuk pada satu bangsa yaitu keturunan Cina, karena dari sekian banyak bangsa pendatang, hanya bangsa Cina ini yang paling sulit berbaur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya konflik yang terjadi diantara kedua golongan ini. Konflik-konflik yang terjadi diantara kedua golongan ini disebabkan penguasaan sektor ekonomi oleh Golongan Non- Pribumi. Selain Golongan Non-Pribumi ini sudah bergerak di bidang ekonomi sejak jaman penjajahan Belanda, diduga ada faktor budaya yang berperan. Budaya antara Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi ini berbeda.
Berbicara tentang ekonomi, tidak lepas kaitannya dengan bekerja. Bekerja merupakan peranan penting dalam kehidupan manusia karena dengan bekerja manusia dapat memenuhi kebutuhannya yang bermacam-macam. Mulai dari kebutuhan fisiologis sampai dengan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Tidak lepas kaitannya dengan bekerja adalah arti bekerja. Ada dugaan bahwa sementara bahwa titik pangkal dari mantap atau tidaknya seseorang menekuni kegiatan kerjanya, berhasil atau tidaknya seseorang menekuni kegiatan kerjanya dan bahkan pula berkembang atau tidaknya seseorang menekuni pekerjaan lebih banyak ditentukan oleh arti bekerja yang dimiliki oleh seseorang. Arti bekerja ini dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, karakteristik pekeijaan, konteks sosial dan budaya.
Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan arti bekerja bagi Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dan melihat apakah ada perbedaan diantara kedua golongan. Arti bekerja diukur dalam 5 aspek, yaitu sentralitas keija sebagai peran hidup, norma sosial mengenai bekerja, hasil bekerja yang paling bernilai, tujuan bekerja yang penting dan identifikasi peran bekerja. Subjek penelitian yang diambil adalah individu yang telah bekerja (karyawan) di Jakarta, berada pada tahapan karir awal dan mempunyai tingkat pendidikan akademi ke atas.
Hasil penelitian menyatakan bahwa arti bekerja untuk Golongan Pribumi adalah sentralitas kerja yang dimiliki tinggi, bekerja dipandang sebagai hak dan kewajiban dari individu, hasil bekerja yang paling bemilai adalah pendapatan dan hubungan interpersonal, tujuan bekerja yang penting adalah pendapatan dan belajar, dan bekerja teridentifikasi pada pendapatan dan tugas. Sedangkan Golongan Non-Pribumi sentralitas kerja tinggi, bekerja dipandang sebagai kewajiban individu, hasil bekerja yang paling bernilai adalah pendapatan serta status dan prestise, tujuan bekerja yang penting adalah pendapatan dan tugas, dan bekerja teridentifikasi pada pendapatan dan tugas. Secara keseluruhan perbedaan yang terjadi tidak signifikan.
Perbedaan arti bekerja antara Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi tidak berbeda secara signifikan, sedangkan budaya yang dimiliki oleh kedua golongan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan adanya pergeseran nilai dari Golongan Pribumi dari budaya petani menjadi masyarakat modem, tahapan karir yang sama antara Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi, pengalihan bahasa yang mungkin kurang tepat, variabilitas sampel yang kurang besar, pengambilan sampel hanya di Jakarta, tidak dipisahkannya Golongan Pribumi ke dalam suku-suku yang lebih spesifik karena ada beberapa suku yang mempunyai budaya yang hampir sama dengan Golongan Pribumi, dan tidak dilakukannya pemisahan antara totok dan peranakan pada Golongan Pribumi. Oleh karena itu disarankan untuk memperbaiki tingkat pendidikan pada Golongan Pribumi, perbaikan dalam alih bahasa kuesioner, variabilitas sampel yang diperbesar, pengambilan sampel tidak hanya di Jakarta, dilakukannya pemisahan antara suku pada Golongan Pribumi dan pemisahan antara totok dan peranakan pada Golongan Non-Pribumi."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S3032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>