Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102830 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ridwan Bohari
"Kualitas suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat dipengaruhi oleh cara-
cara manusia memanfaatkan lahan DAS itu selanjutnya akan menentukan DAS
tetap produktif secara lestari atau sebaliknya menjadi rusak atau tidak produktif
lagi. Penelitian ini untuk melihat aspek hukum dalam pengelolaan DAS
Jeneberang Sulawesi Salatan. DAS diyakini sebagai suatu ekosistem yang
kompleks dan berkembang dengan perubahan waktu, oleh karena itu, dengan
mengetahui aspek-aspek hukum dalam pengelolaan DAS Jeneberang,
kerusakan ekosistem yang terjadi akibat dari kegiatan yang dilakukan pada
Daerah Aliran Sungai dapat diminimalkan atau dengan kata lain dapat dihindari.
Ditinjau dari aspek penggunaan Iahan di DAS Jeneberang mempunyai tingkat
kerusakan yang cukup berat, meliputi kawasan hutan, perkebunan, sungai, serta
pemukiman. Kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi di Kawasan Daerah
Aliran Sungai Jeneberang akibat kegiatan kegiatan yang dilakukan tanpa kontrol.
Hal ini akibat karena penerapan Undang-undang No. 23. Tahun 1997 tentang
pengeloaan Iingkungan hidup dan berbagai peraturan pelaksanaan yang telah
diundangkan oleh pemerintah daerah Propinsi Sulawesi-Selatan, belum
diterapkan secara konsisten, khususnya pada sangsi-sangsi hukum.
Pemanfaatan lahan di Daerah Aliran Sungai Jeneberang melibatkan banyak
pihak dengan kepentingan masing-masing. Dalam kondisi seperti ini di perlukan
suatu pendekatan sistematik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal. Untuk
memberikan pengaturan yang mantap dalam usaha pengelolaan sumber daya
alam dan Iingkungan hidup di kawasan Daerah Sungai Jeneberang. Untuk itu
diperlukan peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur dan
mengendalikan manusia dalam mengelola Iingkungan dan sumberdaya aIam.
Peraturan perundangan itu dapat meliputi tataguna Iahan, tata guna air, dan
sebagainya yang dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan serta pedoman
kerja yang jelas. Strategi dalam penerapan hukum lingkungan perlu dilakukan
agar hukum Iingkungan dapat tersosialisasi dalam masyarakat antara Iain:
memasyarakatkan hukum Iingkungan melalui penyuluhan-penyuluhan secara
terpadu dan berkesinambungan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi
masyrakat, efektifitas dan efisiensi, pemerataan dan keadilan, penegakan
hukum, peningkatan ekonomi serta pemberdayaan masyarakat."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T16802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Bohari
"Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang mempunyai peranan sangat panting di Sulawesi Selatan terutama Kabupaten Gowa dan Kotamadya Makassar. Sebagai daerah aliran sungai yang mempunyai potensi sumberdaya alam, DAS Jeneberang memberikan manfaat dalam pembangunan pertanian, perikanan, industri, pertambangan, sumber air bersih, sumber energi, sumber hara dan menyediakan lahan yang baik untuk pencarian nafkah dan permukiman bagi penduduk. Namun demikian pemanfaatan lahan di DAS Jeneberang cenderung menurunkan kuaIitas DAS akibat erosi dan kerusakan tanah. Meningkatnya laju erosi dan kerusakan tanah tersebut terutama disebabkan oleh penduduk yangmemanfaatkan lahan secara berlebihan tanpa memperhatikan prinsip konservasi tanah dan mengolah Iahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya.
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menetapkan faktor penyebab menurunnya kualitas DAS Jeneberang.
2. Menetapkan pola pemanfaatan lahan yang meningkatkan kualitas DAS Jeneberang
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan metode eksposfakto. Penelitian dilakukan di DAS Jeneberang Sulawesi Selatan. Satuan analisis yang digunakan adalah kelas kemampuan lahan.

Jeneberang Watershed has important roles in South Sulawesi, especially for Gowa Municipality and Makassar City. As watershed that has natural resource potential, Jeneberang Watershed gives benehts for the development of agriculture, tisheries, industry, mining, clean water resource, energy resources, nutrient resources, space for income eaming, and for settlement. However, the utilization of land in Jeneberang Watershed degrades the quality of watershed as consequences of erosion and land damage. The increasing of erosion and land damage caused by the over utilization of land without pay attention to the land conservation principle and the use of land which does not fit with the population?s capability.
The purposes of research:
1. To determine the causing factor of the decreasing of Jeneberang Watershed quality.
2. To determine the land utilization pattem to improve the quality of the Jeneberang Watershed.
This research is a descriptive analysis with expostfacto method. The location in Jeneberang Watershed is in South Sulawesi. The unit analysis is the land capability."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumoindong, Yopie
"Pembangunan sekarang ini selain mempunyai dimensi pertumbuhan, juga mempunyai dimensi yang melihat pembangunan sebagai suatu proses transformasi yang mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam. Munculnya dimensi berkelanjutan ini dilatarbelakangi oleh mundurnya kearifan manusia dan keprihatinan umat manusia akan masa depannva sebagai akibat kurang berdayagunanya sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya alam yang sebaik-baiknya dan penggunaan teknologi bagi upaya berbagai pembangunan. Oleh Soerjani (I995:3) dikatakan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan itu disebabkan oleh penggunaan teknologi yang mencemari diikuti oleh konsumsi yang berkelebihan, kebijaksanaan pembangunan yang kurang serasi, pertambahan penduduk yang cepat serta masalah kemiskinan.
Permasalahan dalam pembangunan pertanian dan lingkungan hidup di Sub DAS Jeneberang Hulu adalah masalah lahan kritis dan dampaknya terhadap produktivitas pertanian serta manajemen dari lahan kritis tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika agroekosistem dan mengembangkan suatu konsep pendekatan agroekosistem dalam pemaniaatan sumberdaya lahan. Tiga model digunakan untuk mengkaji dinamika agroekosistem lahan kering, yaitu: i) model analisis daya tahan ekologis;2) model analisis kapabilitas agroekosistem;3) model analisis stabilitas agroekosistem.
Daya tahan ekologis agroekosistem lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu secara kualitas akan semakin menurun. diakibatkan "Indeks Bahaya Erosi" (IBE>1) (Hamer, 1982:46) telah mencapai pada tingkat "sangat tinggi/ekstrim". Dari hasil analisis bahaya erosi terlihat pada lahan tegalan dengan luas areal 831 hektar menimbulkan total erosi 121.655 ton/ha atau rata-rata 146,40 ton/ha/tahun dan lahan sawah dengan luas areal 1.283 hektar menimbulkan total erosi I05.667,60 ton/ha/tahun atau rata-rata 82.35 ton/ha/tahun.
Tingginya laju erosi tersebut disebabkan oleh, (1) pemanfaatan lahan kering tidak sesuai dengan kemampuan lahan terutama pada kawasan Unit Lahan IV (Desa Bulutana) dan Unit Lahan VII (Desa Kanreapia). masing-masing berada pada tingkat kemiringan lereng 25-40% dan >40%; (2) pemanfaatan lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu hanya ditujukan untuk mendapatkan produksi dan pendapatan usahatani tanpa tindakan-tindakan konservasi tanah yang tepat; (3) tingkat pemahaman dan tingkat keterampilan petani tenlang komponen-komponen teknologi konservasi tanah dalam mengendalikan laju erosi sangat terbatas.
Upaya pengendalian melalui program-program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah perlu mendapat prioritas utama dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Sub DAS Jeneberang Hulu. Pemanfaatan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan (land capability), terutama pada Unit Lahan VII (tingkat kemiringan lereng >40%) peruntukannya hanya untuk "kawasan lindung"", dengan desain agroekosistem yang menyerupai ekosistem alami yakni sistem agrosilvipasturral.
Kapabilitas agroekosistem dalam pemanfaatan lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu telah meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Mereka berada di atas "garis kemiskinan" atau secara relatif berada dalam "kecukupan pangan" dan dari pendapatan usahatani, petani dapat memenuhi "kebutuhan fisik minimum"nya (KFM), artinya secara ekonomi petani telah dapat memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam jumlah minimal. Namun tingkat kesejahteraan tersebut secara ekologis tidak berkelanjutan. jika tidak dilakukan upaya pengendalian degradasi sumberdaya lahan dan perhaikan teknik budidaya pertanian. Mengingat tingkat bahaya erosi di Sub DAS Jeneberang Hulu tergolong "sangat kritis/ekstrim", tekanan penduduk terhadap lahan dan kepadatan penduduk cukup tinggi.
Secara potensial, agroekosistem lahan kering menghasilkan pendapatan usahatani optimal Rp. 17.805.490.000,-. dengan luas lahan optimal 2.442,50 Hektar atau Rp. 7.289.986,85. per hektar. Stabilitas daya tahan ekologis mempcngaruhi kapabilitas agroekosistem untuk penyediaan bahan pangan dalam bentuk kalori di Sub DAS Jeneberang hulu. Perkembangan penduduk rata-rata 2,08% per tahun dan tekanan penduduk terhadap lahan mencapai 1.27, maka pada tahun 2020 kapabilitas agroekosistem hanya mampu mendukung 11,50 jiwa per hektar atau pada tingkat kepadatan optimum sebesar jiwa 49.858,80. (57,30%) dari total populasi penduduk (86.984 jiwa). Untuk peningkatkan daya dukung lahan, perlu upaya pengembangan sektor peternakan, hutan wisata dan sistem pertanian hutan.
Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daya tahan ekologis agroekosistem lahan kering adalah refleksi dari stabilitas dan kapabilitas agroekosistem akibat tekanan-tekanan yang bersifat kumulatif, sinerjik dan antagonis. Model pendekatan agroekosistem di desain untuk pencegahan dan pengendalian terjadinya kemerosotan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan dan tetap mernpertahankan produktivitas pertanian. Keterpaduan dua aspek tersebut merupakan konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan dan melembagakan aspek ekologi ke dalam kebijakan ekonomi.
Oleh karena itu, model pendekatan agroekosistem merupakan suatu konsep dan metode ilmiah yang mengkaji dinamika agroekosistem secara terpadu dan saling kait mengkait secara fungsional antar aspek-aspek daya tahan ekologis, kapabilitas dan stabilitas agroekosistem lahan kering dalam satuan analisis yang dilakukan melalui proses kegiatan penelitian secara ilmiah.

The current development beside having growth aspects, it also has a dimension of seeing the development as a transformation process that optimizes the utilization of natural resources. The appearance of the dimension of sustainability is based on the concern of mankind towards their own future and a set back in wisdom of as a result of the ineffective human resources in managing the natural resources properly as well as the application of technology in the various efforts of the development. Soerjani (1995:3) said that the deterioration of the environmental quality is caused by the application of polluting technology that is followed by over consumption. the non harmonization's development policy, the rapid growing population and poverty problem.
The problem in the agriculture development and living environment al The Watershed Area of Upper Jeneberang South Sulawesi are the critical land problem and its impacts towards agriculture productivity and its management. The objective of this research is to study the agroecosystem dynamics and to develop a concept of agroecosystem approach in the utilization of the land resources. The three models used to study dry land agroecosystem dynamics are: 1) ecological durability analysis model; 2) agroecosystem capability analysis model;3) agroecosystem stability analysis model.
The agroecosystem ecological durability of the dry land of the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang is qualitatively decreasing, because the erosion danger index has reached the level of a "very high/extreme" (IBE> 1) (I lamer. 1982:46). The result of erosion index analysis can be seen at the non-irrigated land with an area of 831 hectares have caused a total erosion of 121,655 tons/hectare or an average of 146.40 tons/hectare/year and wetpaddy field with an area of 1,283 hectares causing total erosion of 105,667.60 tons/hectare/year or average of 82.35 tons/hectare/year.
The high erosion rate is due to (1) the utilization of dried land is not accord with the land capacity, especially in the Unit IV area (Bulutana Village) and Unit VII area (Kanreapia Village), both situated respectively on a slope of 25-40% and >40%: (2) dry land utilization at the Watershed Area of Upper Jeneberang is only intended for production and agribusiness income without appropriate land conservation measures; (3) the level comprehension and skill of the farmer regarding soil conservation technology components in control-ling the erosion rate are very limited.
The controlling efforts through land rehabilitation and soil conservation program should receive top priority in planning and management of natural and human resources at the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang. The land utilization should be in accord with the land capability, especially in Unit VII Area (with a slope >40%) its allocation is only as "sanctum). area with an agroecosystem design that resembles natural ecosystem. named the agrosilvipasturral system.
The agroecosystem capability in utilizing of the dry land in the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang has increased the farmers and their families welfare. They are already above the 'poverty line" or have relatively "sufficient food" and from the agribusiness income, those farmers are able to meet the demand for goods and services in minimum amount. However, the welfare level is not sustainable ecologically, unless the land resource is controlled and agriculture techniques are improved. Due to the "very high/extreme" erosion rate in the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang the population pressure toward the land and population density is quite high.
Potentially, the agroecosystem of dry land provide an optimum agribusiness income of Rp. 17,805,490,000,-. The ecological resilience stability influences the agroecosystem capability in providing food in terms of calories in the Sub Watershed of Upper Jeneberang. The population growth is 2.08% per year and the population pressure toward the land is 1.27, therefore in the year 2020 the agroecosystem capability is only support 11.50 people per hectare or at the optimum density level is 49,858.80 (57.30%) of the total population 86.894 peoples in order to increase the land supporting capability. a development of animal husbandry, forest tourism and agroforestry is needed.
The result of this research disclosed that the agroecosystem ecological durability is a reflection of the stability and capability of the agroccosystem due to cumulative. synergistic and antagonistic pressures. The agroecosystem approach model is designed to prevent and control the deterioration of land resources and environmental quality as well as to maintain agricultural productivity. The integration of these two aspects constitutes the concept of sustainable agricultural development and institutionalizing ecological aspect into the economic policy.
Therelbre, the agroecosystem approach model constitutes a concept and scientific method that study the agroecosystem dynamics integrativcly and interrelated functionally between of ecological durability. capability and stability of the dry land agroecosystem in an analysis that is carried out through activity process of scientific research."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Pujatmiko
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan lingkungan hidup di DAS Cidanau Provinsi Banten. Berbagai institusi terlibat dalam pengelolaan DAS Cidanau, tetapi efektivitas lembaga tersebut dalam memecahkan permasalahan lingkungan hidup di DAS Cidanau belum efektif. Sefain lembaga formal (pemerintah), pada tahun 2002 dibentuk suatu forum DAS berdasarkan Surat Keputusan Gubemur Banten No. 124.3/Kep.64-Huk/2002, yang diperbaharui dengan SK Gubemur Banten No. 614/Kep.211-Huk/2006 tentang pembentukan Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC). Adanya fembaga pemerintah dan forum DAS tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja, sehingga dapat meningkatkan kelembagaan pengelolaan DAS Cidanau.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1). mengetahui kewenangan dan kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan DAS Cidanau di Provinsi Banten; (2). mengetahui efektivitas forum dalam pengelolaan DAS Cidanau di Provinsi Banten; (3). mengembangkan efektivitas Forum dalam membantu peningkatan kelembagaan pengelolaan DAS Cidanau di Provinsi Banten.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dilengkapi penelitian kuantitatif, dengan pendekatan kualitatif sebagai pegangan utama. Penelitian bersifat multikasus dan eksploratoris, sehingga penelitian ini menggunakan tiga tahapan penelitian, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan analisis data. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Data primer kualitatif adalah data yang diperoleh dari pengamatan berperanserfa melalui interaksi sosial antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis. Data primer kualitatif ini, selanjutnya dilengkapi dengan data primer kuantitatif, yaitu pengumpulan data primer yang diperoleh dari responden melaluli wawancara dengan berpedoman pada kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder penelitian ini adalah data yang diperoleh dari Dinas atau instansi terkait serta dari pustaka yang relevan dengan penelitian. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan yaitu : (a) Pengolahan dan analisis data kualitatif menggunakan metode KEKEPAN/SWOT (Rangkuti, 1999), bertujuan untuk menganalisis efektivitas Forum Komunikasi DAS Cidanau dalam membantu pengelolaan DAS Cidanau di Provinsi Banten; (b) setelah pengolahan dan analisis data kualitatif didapat, maka dilengkapi dengan pengolahan dan analisis data kuantitatif menggunakan pengolahan dan analisis Proses Hierarkhi Analitik/AHP (Saaty,1993), bertujuan untuk menganalisis bentuk kelembagaan pengelolaan DAS yang sesuai, dalam mengatasi permasalahan Iingkungan hidup DAS Cidanau di Provinsi Banten.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : a). Kewenangan pengelolaan DAS Cidanau merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi, dengan kelembagaan yang terkait meliputi : (1). Pemerintah Provinsi Banten, yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) pada Dinas Pekerjaan Umum (DPU); (2) Pemerintah Pusat yaitu Departemen Kehutanan, yang dalam pelaksanaan tugasnya dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Sungai Citarum-Ciliwung dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar I seksi Konservasi Wilayah III Banten, dan; (3) Forum DAS yaitu Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC); b). Pelaksanaan tugas dan fungsi FKDC dalam membantu kelembagaan pengelolaan DAS Odanau belum dilaksanakan dengan efektif, diantaranya usaha mengurangi degradasi Iingkungan hidup yaitu semakin berkurangnya ketersediaan air Baku, meningkatnya kekeruhan air dan meningkatnya perambahan di kawasan Cagar Alam Rawa Danau, selain itu belum adanya keputusan dalam menyikapi kebijakan pengembangan daerah ekowisata dan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di cadmen area DAS Cidanau, dan dalam hal struktur organisasi yang masih didominasi unsur pemerintah, pendanaan yang belum Independent, pembagian tugas yang belum dilaksanakan khususnya bagi pengarah dan mekanisme kerja yang belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan, pelaksanaan mekanisme model pembayaran jasa Iingkungan belum melalui mekanisme pasar dengan jumlah seller dan buyer yang masih terbatas, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang belum maksimal bisa dilakukan, dan; c). Usulan pengembangan efektivitas FKDC agar menjadi kelembagaan pengelolaan DAS Cidanau yang baik, dapat dilakukan dengan menjalankan strategi : (1) peningkatan kapasitas lembaga pengelolaan DAS Cidanau; (2) peningkatan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat di sekitar DAS Cidanau; (3) peningkatan pelestarian clan pencegahan kerusakan Iingkungan hidup di DAS Cidanau; (4) peningkatan pertumbuhan dan keseimbangan ekonomi kawasan, dan; (5) pengembangan sistem penataan ruang yang konsisten.
Penulis menyarankan : a). Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk mengelola DAS Cidanau, hendaknya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Banten dengan baik, semua permasalahan yang ada dapat diselesaikan oleh instansi yang terkait, sehingga dapat dicapai pengelolaan DAS Odanau yang berkelanjutan dan berwawasan Iingkungan; b). Efektivitas FKDC perlu ditingkatkan dengan mengurangi keanggotaan dari unsur pemerintah dan subsidi pemerintah, serta melaksanakan mekanisme kerja dan pembagian tugas dengan maksimal, mengurangi campur tangan pemerintah dalam model pembayaran jasa Iingkungan, serta melakukan monitoring dan evalusi yang maksimal terhadap pelaksanaan keseluruhan program kerja yang telah dibuat, dan; c). FKDC harus menjalankan strategi yang telah dibuat, melalui perencanaan yang terarah, terkoordinasi dan fokus baik jangka pendek, menengah dan panjang, secara simultan dan berkesinambungan sesuai tata waktu yang telah ditetapkan."
2007
T20476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagong Setyo Nugroho
"Pembangunan Nasional yang sedang kita laksanakan sekarang ini telah mencapai tahap tinggal landas berarti pada tahap ini kita akan membangun industri kita secara besar besaran yang berarti diperlukan kewaspadaan dalam rangka mencegah timbulnya pencemaran akibat proses industri itu sendiri.
Jumlah penduduk yang makin berkembang juga tidak dapat kita abaikan. Penyediaan ''papan? dan lahan untuk membuatnya juga merupakan kendala yang kita hadapi baik keterbatasan pemerintah dalam menyediakannya maupun juga keterbatasan lahan yang tersedia menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perencanaan pembangunan terutama di kota - kota besar sebagai akibat pembangunan yang pesat menyebabkan terjadinya urbanisasi besar-besaran dari desa ke-kota.
Penduduk Jakarta yang hampir mencapai 20 juta orang sekarang ini, akan
meberikan tekanan yang makin besar karena daerah JABOTABEK merupakan daerah yang berkembang paling pesat dewasa ini di Indonesia. Perkembangan ini tentunya perlu kita waspadai bagaimana mengatur dan menyediakan fasilitas kota yang diperlukan untuk menampung bertambahnya penduduk dan keterbatasan kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas tersebut, hal ini akan menimbulkan berbagai masalah antara lain ialah masalah lingkungan. Dengan telah dikeluarkannya Undang - undang Nomar 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu dilaksanakan dan perlu ditindak lanjuti dengan mengeluarkan peraturan pelaksanaannya diantaranya adalah Peraturan Daerah (PERDA). Dan untuk melihat bagaimana kesiapan daerah dalam mengatisipasi perkembangan pengelolaan lingkungan dan bagaimana pelaksanaannya maka sebagai tempat penelitian dipilih Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sebagai studi kasus pelaksanaannya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipinang Jakarta Timur."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sukmananto
Jakarta: Rajawali, 2013
346.046 75 BAM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Hardjasoemantri
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993
344.046 KOE a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aisyah Bidara
"Pengelolaan DAS terpadu di Indonesia telah didorong oleh pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat. Sehubungan dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan DAS Ciliwung, sejak tahun 2009 terjadi fenomena tumbuhnya komunitas masyarakat di sepanjang Ciliwung dari hulu hingga ke hilir dengan nama Komunitas Peduli Ciliwung (KPC). Dengan mengunakan metode purposive sampling dan analisis pola keruangan deskriptif, penelitian ini diarahkan untuk mengetahui pola keruangan partisipasi masyarakat melalui KPC dalam pengelolaan DAS dilihat berdasarkan segmentasi DASnya. Hasilnya, kegiatan KPC secara umum terbagi ke dalam 4 jenis yaitu: (a) Kualitas Sumber Daya Air, (b) Kebersihan Sungai (Sampah), (c) Kendali Banjir, dan (d) Biodiversiti. Adapun kegiatan di masing-masing segmentasi DAS yaitu Segmen Hulu pada kualitas sumber daya air, Segmen Tengah pada kebersihan sungai dari sampah dan kendali banjir (advokasi ke Pemda), dan Segmen Hilir pada keanekaragaman hayati dan kendali banjir (berupa program/kegiatan). Dalam menjalankan kegiatan di masing-masing KPC, belum ada koordinasi terpusat antar-KPC dari hulu hingga ke hilir, baru terbatas pada program yang bersifat eventual atau berupa acara besar tahunan saja.
Integrated watershed management in Indonesia has been driven by the government to involve public participation. Relate to the community involvement in the management of Ciliwung watershed, since 2009 occurred the phenomenon in the communities along the Ciliwung River from upstream to downstream with the name Community Care of Ciliwung (KPC). By using purposive sampling and analysis of spatial patterns , this study is directed to determine the spatial pattern through KPC's participation in watershed management based segmentation of watershed. As a result, KPC activities are generally divided into 4 types:(a) Quality of Water Resources, (b) River Cleanliness from Garbage, (c) Flood Control, and (d) Biodiversity. The activities in each watershed segmentation is Upstream Segment on the quality of water resource, the Middle Segment on river cleanliness (garbage) and flood control (advocacy to local government), and the Downstream Segment on biodiversity and flood control (in the form of programs/activities). In carrying out the activities in each of KPC, there is no centralized coordination of inter-KPC from upstream to downstream, which is limited only to the eventual program or a major annual event."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S53116
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listiani
"Situ adalah kawasan resapan air yang perlu mendapat perlindungan karena berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang potensial. Banyak penduduk di sekitar situ yang memanfaatkannya sebagai sumber ekonomi seperti usaha perikanan, sebagai sumber air baku, sumber irigasi, perhubungan dan tempat rekreasi. Situ juga menjadi penampungan massa air terutama pada saat curah hujan tinggi sehingga situ juga berperan sebagai pengendali banjir.
Permasalahan yang dihadapi situ-situ di wilayah Jabodetabek adalah semakin cenderung terjadinya penyusutan luas situ, terutama akibat permukiman ilegal sehingga menimbulkan permasalahan kekumuhan lingkungan, selain itu pencemaran situ oleh berbagai aktivitas masyarakat di sekitar situ. Dalam upaya pengelolaan situ-situ yang ada di Kota Depok, pada tahun 1999 telah dikeluarkan Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan dan Pelestarian Situ-situ. Namun, ternyata permasalahan yang dihadapi oleh situ-situ di Kota Depok masih belum dapat diselesaikan. Sehingga menimbulkan pertanyaan:(1) Mengapa kelembagaan pengelola situ yang ada selama ini tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada ?; (2) Kelembagaan yang bagaimana yang diharapkan mengelola situ-situ yang ada di Kota Depok, khususnya situ Rawa Besar ?
Penulisan Tesis ini bertujuan untuk : (1) Menggali informasi mengenai pelaksanaan pengelolaan situ-situ di Kota Depok, khususnya Situ Rawa Besar dan sekitarnya yang telah dilaksanakan selama ini oleh Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan dan Pelestarian Situ-situ di Kota Depok; (2) Mencari alternatif kelembagaan pengelola situ dalam upaya mengatasi permasalahan lingkungan yang dihadapi.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Populasi penelitian ini adalah dinas/instansi yang menangani pengelolaan situ-situ di Kota Depok sesuai dengan Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999. Sampel penelitian ditentukan dari populasi yang ada, pilihan ditentukan pada unsur dinas/instansi yang mengelola situ. Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah mereka yang secara purposif terpilih menjadi sampel penelitian, yaitu pejabat atau staf dari dinas/instansi yang terlibat dalam pengelolaan situ-situ masing-masing 3 orang dari dinas/instansi. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah : (1) kewenangan; (2) koordinasi; (3) sumber daya manusia; (4) pendanaan; dan (5) teknologi. Analisis dilakukan terhadap (1) lembaga pengelola situ di Kota Depok dan; (2) pengelolaan situ di Kota Depok.
Hasil pembahasan: dalam rangka meningkatkan kemanfaatan dan kelestarian situ-situ, Pemerintah Kota Depok membentuk Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan dan Pelestarian Situ-situ, dan menerbitkan berbagai peraturan yang mendukung upaya pelestarian situ, namun dalam pelaksanaannya belum mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi; hal ini dikarenakan (1) adanya situasi saling mengandalkan terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Depok dan Pemerintah Pusat; (2) koordinasi antar instansi dirasakan masih belum efektif; (3) terbatasnya jumlah dan kemampuan sumberdaya manusia dalam pengelolaan situ-situ di Kota Depok; (4) terbatasnya APED Kota Depok menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan situ-situ di Kota Depok, khususnya Situ Rawa 6esar; (5) terkait dengan kondisi anggaran, teknologi yang diterapkan untuk mengelola situ tidak dapat dilaksanakan secara optimal.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Pelaksanaan pengelolaan situ-situ di Kota Depok, khususnya situ Rawa Besar, selama ini oleh Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan dan Pelestarian Situ-situ di Kota Depok (Pokja Situ Kota Depok), belum mencerminkan pengelolaan situ secara berkelanjutan. Lemahnya kapasitas kelembagaan pengelola selama ini dikarenakan kurangnya sumberdaya pengelolaan baik sumberdaya manusia, pendanaan, serta tidak efektifnya koordinasi antar instansi yang terkait claim pengelolaan situ; (2) Untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh situ-situ di Kota Depok, perlu adanya penguatan terhadap kelembagaan koordinasi dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan sehingga memiliki kekuatan dalam menetapkan kebijakan pengelolaan situ.
Adapun saran dari penelitian ini adalah : (1) Dalam mengakomodasikan seluruh kepentingan sektor, strategi pengelolaan situ hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan ekologis, kelembagaan serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, yang direalisasikan dalam bentuk program-program yang terintegrasi; (2) Pengelolaan situ hendaknya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan peran serta masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan sehingga ada rasa memiliki dari masyarakat, memahami adanya keuntungan yang akan dinikmati serta semakin meningkatkan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian situ. Di tingkat Kota, pengelolaan situ hendaknya dilaksanakan oleh suatu wadah yang keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur pemerintah dari berbagai tingkatan serta unsur masyarakat yang mewakili organisasi-organisasi yang ada di kawasan situ.

Situ or small lake is an area of water reservoir which needs protection because of its function as a life buffer and its potential richness of biological diversity. Many local residents around situ are benefited from its existence. They use It to fulfill their needs for a number of resources and services like fisheries, water supply, and source of Irrigation, provide a mode of transportation and an opportunity for recreation. Moreover, situ does not only become a water basin, but it also functions as a flood controller, especially when the heavy rainfall comes.
The problems faces by the small lakes in Jabodetabek areas are the size reduction and pollution. Increasing in population and other human Impacts on the lake catchments conditions may lead to a deterioration of lake environments. In the efforts of managing the existing lakes in Depok, in 1999 the Mayor of Depok issued the Decision Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok number 821.29/71/Kpts/Huk/1999 on the Establishment of Working Group on Controlling, Safeguarding and Preserving of the Small Lakes (known as Pokja Situ Kota Depok) . However, the lakes problems in Depok still) cannot be overcome that raising these following questions: (1) why has the existing institutional in lake management not been able to solve the present problems?; (2) what kind of institution is expected to manage the small lakes in Depok, especially for Situ Rawa Besar ?
The population of this research is government Institution which run the small lakes management in Depok based on the Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok number 821.29/71/Kpts/Huk/1999. The research samples are determined from the existing population; the choice taken on the elements of the institution which manage the small lakes. This descriptive research uses the qualitative approach. The respondents are those who purposively chosen being research samples, are officials of staff of the related Institutions managing the small lakes. The variables are (1) authority, (2) human resources, (3) financing, (4) coordination, and (5) technology.
The findings of the research are : to increase the utilization and preserving the small lakes, the Major of Depo City Establishment of Working Group on Controlling, Safeguarding and Preserving of the Small Lakes, and many regulations, but it was not effective yet because (1) the authorization made the Central Government and Local Government depended on each other; (2)inter institutions coordination is ineffective; (3) human resource was limited; (4) local financing was limited ; (5) technology was not optimal.
The conclusions of the research are (1) small lakes management in Depok City, especially Situ Rawa Besar, by Pokca Situ Kota Depok, didn't representative of sustainable lakes management. The weakness of management institution so far caused of lack of human resources and financial resources, and ineffectiveness of inter institution coordination ; (2) To solve the environmental problems which faced by the Depok's small lakes, it has to empowered inter institutions coordination.
To solve those problems, the small lakes management should be implemented comprehensively by involving community's participation and other Importance of related parties. It will encouraged growing the sense of belonging from community, understanding the existence of concrete enjoyable advantages, and also Increasing responsibility to keep the small lakes' preservation. On the city level, the small lakes management should be implemented by a forum which membership consists of various government's elements of various levels and elements of community which represent the existing organizations around the small lakes.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>