Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174650 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Fauzi
"Dengan berlakunya UU No 22 Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah yang kemudian dilanjutkan dengan penggantinya UU No. 32 Tahun 2004, tentang Otonomi Daerah. Sebagaimana yang diatur pada pasal 18 ayat (1) dalam UU No. 32 tahun 2004 ini bahwa Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kemudian Pemerintah Daerah Kota Cilegon memberlakukan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kepelabuhanan, yang disertai beberapa Instruksi dan Keputusan Wali Kota Cilegon untuk mengatur masalah kepelabuhanan yang intinya bahwa di antara isi intruksi dan keputusan tersebut adalah perintah menghentikan semua bentuk perjanjian sewa peralran, jasa pelayanan kepelabuhanan dengan PT Pelindo II (Persero) Cabang Banten, dan penyerahan wewenang pemanduan dan penundaan kapal kepada Perusahaan Daerah Pelabuhan Cilegon Mandiri selaku BUMD kepelabuhanan. Sehingga terjadilah sengketa kewenangan pengelolaan kepelabuhanan antara PT Pelindo II (Persero) Cabang Banten dengan Pemerintah Daerah Kota Cilegon. PT. Pelindo 11 (Persero) melalui Pemerintah Pusat Cq Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 112 tahun 2001, mencabut dan membatalkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kepelabuhanan. Selanjutnya Pemerintah Daerah Kota Cilegon mengajukan Permohonan Uji Materiil kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk meninjau kembali Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, yang kemudian oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dikabulkannya permohonan Uji Materiil tersebut dan melalui Keputusannya No. 21.P/HUK/2003, tanggal 28 Juli 2005, pada item b. "Menyatakan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 112 tahun 2003 tentang Pembatalan Peraturan Daerah No 1 tahun 2001, tentang Kepelabuhan di Kota Cilegon tidak sah dan tidak berlaku untuk umum?. Namun PT Pelindo II (Persero) Cabang Banten melalui Kejaksaan Tinggi Negeri Banten melalui suratnya No. B-656/0.61Gpt.1/04/2006 tentang Putusan Mahkamah Agung RI No.21.P/HUM/2003 tanggal 4 April 2006 memberikan penjelasan dan penegasan kepada seluruh Pengguna Jasa Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) agar tetap melakukan kewajibannya sesuai dengan Kesepakatan Karawaci dan Surat Perjanjian antara PT Pelindo 11 (Persero) Cabang Banten dengan Pemerintah Daerah Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Pengusaha Pengguna Jasa DUKS. Dengan demikian menyikapi hal tersebut di atas seharusnya Pemerintah Pusat bertindak sebagai regulator untuk mengatur dan menentukan pengelolaan Pemerintahan yang baik (good governance) dan juga sebagai koordinator untuk penyelesaian sengketa kewenangan pengelolaan kepelabuhanan di Kota Cilegon."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17332
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Sutisna
"Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap dampak kebijakan Otonomi Daerah terhadap Pengaturan dan Pengelolaan Kewenangan di Bidang Perhubungan Laut di kabupaten/kota Cilegon.
Permasalahan yang diangkat dalam Tesis ini adalah:
1) Ketidaksamaan persepsi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
2) Adanya Peraturan yang tidak sejalan atau bertentangan antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan Peraturan pelaksanaannya.
3) Khusus di bidang perhubungan laut lahirnya PP 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan yang materinya tidak sejalan dengan jiwa UU No. 22 Tahun 1999,
4) Lahirnya Peraturan Daerah No. I Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan yang ditetapkan pemerintah kota Cilegon yang materinya bertentangan dengan PP 69 Tahun 2001.
Analisis Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta Pelaksanaanya di bidang Perhubungan Laut Pada Pemerintah Kota Cilegon diangkat 6 (enam) hal pokok, yakni Desentralisasi dan otonomi Daerah. Kewenangan Pemerintah Desentralisasi di Bidang Perhubungan laut, Aspek Kepelabuhanan. Aspek Keselamatan Pelayaran. Aspek Lalu Lintas dan. Angkutan Laut. Hubungan Kebijakan Otonomi Daerah dengan Ketahanan Nasional.
Hasil Penelitian menemukan:
1) Pelabuhan laut merupakan potensi yang membedakan secara signifikan Kota Cilegon dengan daerah lainnya di Indonesia,
2) Masalah krusial ketidaksinkronan antara Perda dengan PP adalah pengertian pelabuhan khusus, pengelompokan pelabuhan, pengelolaan kepelabuhanan,
3) Secara rill di wilayab Kota Cilegon tetjadi perebutan kewenangan pengelolaan wilayah Kepelabuhanan antara PT Pelindo dengan Pemda Cilegon , sebagai akibat adanya dualisme Peraturan di bidang Kepelabuhan yang menimbulkan kondisi ketidakpastian hukum,
4) Pelabuhan sebagai pusat pengembangan mempunyai multiplier efek yang sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi dan pertumbuhan di Kota Cilegon,
5) Sikap yang masih sentralistik dari Pemeritah Pusat,
6) Sistem legislasi kepelabuhan harus disempurnakan dengan memperhatikan maksud dan tujuan dan pada otonomi daerah serta ketentuanketentuan dan konvensi internasional.
Kebijakan otonomi daerah telah memberikan keleluasaan kepada Pemda, tetapi dalam pelaksanaannya masih memerlukan penyesuaian karena masih banyak ketentuan yang bertentangan dengan jiwa dan maksud dan pada otonomi daerah.
Pelabuhan Laut memegang peranan yang penting dalam menunjang perekonomian daerah dan perekonomian nasional, karena pelabuhan merupakan tempat mobilitas penduduk dan distribusi barang yang diperlukan oleh masyarakat. Pemda diharapkan dengan kebijakan otonomi daerah dapat memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di daerah, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Begitu pula pengelolaan pelabuhan di Kota Cilegon supaya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perdagangan, industri dan mengurangi pengangguran.
Untuk menunjang Ketahanan Daerah dan Ketahanan Nasional, semua ketentuan yang mengatur mengenai Kepelabuhanan, agar disempurnakan sesuai dengan jiwa Otonomi Daerah.
This research is an, valuation on the impact of Regional Autonomy policy on port authority management and maritime regulations in the regency/city of Cilegon.
The focal point of the thesis is:
1) Different perceptions of regional autonomy implementation between the central/provincial government and the regiona4lmunicipal government;
2) Contradictory regulations between Law No 22 Year 1999 and its lower implementing regulations;
3) Particularly in the field of maritime, the Government Regulation No 69 Year 2001 on the port management in which the content is contradicting with the spirit Law No 22 Year 1999;
4) The Regional Regulation No I Year 2001 on port management stipulated by the municipal government of Cilegon City in which the material conflicts with the Government Regulation No 69 Year 2001.
The analysis of the decentralization and regional autonomy and their implementation in the field of sea transportation in the municipal government of Cilegon discusses 6 (six) main points: i.e. decentralization and regional autonomy, the authority of decentralized government in the field of sea transportation, the aspect of the port, the safety aspect in sailing, the aspect of traffic and sea transportation, the relationship between the regional autonomy policy and national defense.
The finding of the research shows that:
1) The port has made significant difference between Cilegon City and other cities in Indonesia;
2) The crucial discrepancy between the Regional Regulation and the Government Regulation situates on the perception of particular port, grouping the ports, and port management;
3) In Cilegon City, there are two managerial authorities on port management, between PT Pelindo and Cilegon Municipal Government, as a result of dualistic regulations, which in turn bringing to the inconsistency of laws;
4) The port as the development center has a multiplied effects which greatly influences the economy and growth of Cilegon City;
5) Centralistic attitude of the Central Government;
6) Port legislation system needs to be improved considering the aim and goal of regional autonomy and the international laws and conventions.
The policy on the regional autonomy has given authority to the regional government. However, at the implementing level, there are many aspects that need to be modified/revised due to the many regulatory instruments conflicting with the spirit and aim of the Regional Autonomy.
A seaport plays a very important role in supporting the regional and national economy because it is the place of people mobility and the goods distribution needed by the society. It has been expected that the Regional Government with regional autonomy policy can benefit the resources of the region so that the people welfare can be improved. It has also been expected that the port management in Cilegon City can improve the economic growth, trade, and industry and decrease unemployment.
In order to support the regional and national defense, all legal instruments regulating port management should be revised and adapted with the spirit of regional autonomy.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11384
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatullah
"Tesis ini membahas Kemitraan Antara Pemerintah Kota Cilegon Dengan Perusahaan Di Wilayah Kota Cilegon Dalam Melaksanakan Program Corporate Social Responsibility (CSR) Melalui Lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). Jenis penelitian ini deskriptif, menggunakan pendekatan kualitatif, dengan informan sebanyak tujuh orang. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya partisipasi perusahaan yang menjadi anggota CCSR, Perwal sebagai payung hukum memiliki kelemahan terkait keberlanjutan lembaga CCSR, CCSR belum memiliki prioritas program dan basis data sendiri, serta rendahnya keterlibatan masyarakat dalam tahapan pelaksanaan program. Saran penelitian ini, agar status hukum CCSR ditingkatkan dari Peraturan Walikota (Perwal) menjadi Peraturan Daerah (Perda), lembaga CCSR perlu memaksimalkan sosialisasi, agar bertambahnya jumlah perusahaan yang menjadi anggota CCSR, CCSR perlu membuat basis data dan memiliki program prioritas sendiri, serta perlunya pelibatan masyarakat dalam seluruh tahapan program.

This thesis is a research on partnership between local government and companies in Cilegon city on the implementation of corporate social responsibility program through Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). The research is descriptive using qualitative approach with the informants are seven persons. The research result shows low participation of companies to be CCSR members. Mayor Law has weaknesses related with continuity of CCSR. CCSR also doesn?t have priority program and own data. Besides, there is low involvement of society in the implementation of the program. Recommendations are: the Mayor Law should be changed into Regional Law, CCSR organizations needs to do more promotion to add members, CCSR has to make its own data and priority program, and more society involvement in the program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T29800
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Evita Fajiratur Rohmah
"ABSTRACT
Salah satu upaya swasta dalam mewujudkan upaya pembangunan adalah melalui program Corporate Social Responsibility. Dalam pelaksanaan programCSR, muncul istilah kemitraan, yakni kerjasama antar pihak-pihak terkait atau stakeholders dengan tujuan pelaksanaan program CSR yang lebih efektif dan tidak timpang tindih. Salah satu bentuk kemitraan Pemerintah dan Swasta yakni lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) yang berada di Kota Cilegon. Penelitian ini membahas mengenai implementasi model kerja Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) dalam melaksanakan program CSR perusahaan di Kota Cilegon. Penelitian ini menggunakan pendekatakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga model kerja yang dimiliki CCSR dalam melaksanakan program kemitraan CSR. Salah satu modelnya, yakni model kerja 2 yang menggabungkan program CSR perusahaan dengan RPJMD Kota Cilegon. Model ini memiliki beberapa tahapan dalam implementasinya yaitu, tahap pendefinisian program, need assessment, pengumpulan data untuk mengukur performa,menentukan dan mengembangkan objektif, mendesain program, monitoring, serta proses budgeting dan akunting. Adapun faktor penghambat CCSR dalam menjalankan model kerja 2 yakni rasa tidak percaya terhadap CCSR, bagi perusahaan-perusahaan yang belum bergabung atau bekerjasama dengan CCSR.

ABSTRACT
Social responsibility of business.One of Corporates effort to reach development is by Corporate Social Responsibility Program. In CSR practice, there is partnership concept, which all stakeholders are working together to make an effective CSR program. One of partnership form between corporate and government is Cilegon Corporate Social Responsibility in Cilegon city. This research discusses about Implementation of Cilegon Corporate Social Responsibilitys (CCSR) Work Model on CSR Program practice in Cilegon City. This study is conducted with qualitative approach, using descriptive studies. The result of the study shows that CCSR has three work models for implementing CSR partnership program. One of these models is 2nd model, which has collaboration between CSR programs from corporate and governments programs. There are several steps in this work model.The step insists of making program definition, collecting data to measure performance, desire and developing objectives, desaining program, monitoring, budgeting and accounting process. There is a factor that appear as a resistor in implementing this work model. The factor is a lack of trust towards CCSR from corporate that hasnt work together yet with CCSR."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Markus Gunawan
"ABSTRAK
Kewenangan bidang pertanahan di Batam menjadi kewenangan Otorita Batam melalui hak pengelolaan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam. Beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana status hukum kewenangan bidang pertanahan yang dimiliki oleh Otorita Batam sehubungan dengan diundangkannya Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan bagaimana status hukum terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam. Penults meneliti masalah tersebut dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan empiris. Hasil penelitian memperlihatkan adanya kewenangan bidang pertanahan yang tidak sinergis antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam. Untuk menyelesaikan masalah tersebut pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan pemerintah tentang Hubungan Kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam. Dalam hal konsep kekhususan pengembangan kawasan Batam tetap dipertahankan, maka keberadaan Otorita Batam perlu dilengkapi dengan dasar hukum yang kuat, termasuk pengaturan mengenai kewenangan bidang pertanahan. Dalam hal pemerintah memandang bahwa Batam perlu dikembangkan sesuai dengan semangat Otonomi daerah, maka peran Pemerintah Kota Batam harus lebih dioptimalkan dengan memberikan segala kewenangan yang selama ini dimiliki oleh Otorita Batam, termasuk kewenangan bidang pertanahan.
"
2007
T18978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marliesa Qadariani
"Batam adalah salah satu pulau yang termasuk dalam wilayah Propinsi Kepulauan Riau dan berada di antara perairan Selat Malaka dan Selat Singapura. Pada tahun 1973, Pemerintah Indonesia nwnetapkan pulau Batam sebagai daerah industri melalui Keputusan Presiden RI Nomor 41 Tahun 1973. Hal itu diikuti dengan dibentuknya Badan Otorita Batam selaku pengelolanya. Sejak ditetapkannya Batam sebagai daerah industri, kemajuannya relatif pesat. Bahkan kini Batam berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999 telah berstatus sebagai daerah otonom yang berbentuk Kbta, yang dipimpin oleh Pemerintah Kota Batam. Untuk mengantisipasi perkembangannya, kegiatan-kegiatan berupa reklamasi pantai telah dilakukan. Salah satunya adalah reklamasi pantai di wilayah Teluk Tering yang merupakan hasil dari perjanjian antara Pemerintah Kota Batam dengan PT. Batamas Puri Permai. Persoalannya adalah dengan perubahan status Batam sebagai sebuah Kota yang mempunyai pemerintahan sendiri disatu pihak dan masih diakuinya kedudukan Otorita Batam sampai saat ini menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang berwenang dalam hal pengelolaan tanah di Batam. Untuk menguraikan persoalan tersebut penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan kepustakaaan. Berdasarkan analisis yang dilakukan tampak bahwa perjanjian antara Pemerintah Kota Batam dengan PT. Batamas Puri Permai adalah kurang tepat jika ditinjau baik dari segi hukum pertanahan maupun dari segi hukum perikatan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadijah
Depok: Universitas Indonesia, 2000
S34234
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>