Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182630 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nangoy, Honnie
"Telah dilakukan penelitian dari berat dan ukuran berbagai organ tubuh pada suatu populasi orang Indonesia, yaitu sebanyak 122 kasus yang terdiri dari 94 pria dan 26 wanita, berumur sekitar 20 sampai 49 tahun, pada tahun 1989.
Pada penelitian ini ditemukan berat otak pria 1346,22 x 130,05 gr, wanita 1197,02 ± 143,71 gr, berat otak besar pria 1175,2O ± 118,03 gr, wanita 1042,10 ± 135,42 gr, ukuran otak besar pria 17,29 x 14,60 x 6,97 cm, wanita 16,89 x 12,96 x 6,62 cm, berat otak kecil pria 137,00 ± 16,52 gr, wanita 127,63 ± 11,66 gr, ukuran otak kecil pria 5,89 x 10,01 x3,13 cm, wanita 6,05 x 9,87 x x 3,02 cm, berat batang otak pria 33,91 ± 11,55 gr, wanita 28,13 ± 9,67 gr, berat kelenjar gondok dan paratiroid pria 17,28 x 4,80 gr, wanita 18,22 x 5,14 gr, ukuran baga kanan gondok pria 4 ,80 x 2 40 x 1 57 wanita 4,44 x 2,32 x 1,63 cm, baga kiri gondok pria 4,60 x 2,23 x 1,46 cm, wanita 4,43 x 2,03 x 1,50 cm isthmus pria 1,70 x 1,12 x 0,31 cm, wanita 1,62 x 1,04 x 0,29 cm, berat jantung pria 257,45 x 38,78 gr, wanita 218,50 ± 34,16 gr, ukuran jantung pria 11,90 x 9,95 x 4,43 cm, wanita 11,80 x 9,83 x 4,22 cm, berat paru kanan pria 420,80 ± 205,00 gr,wanita 394,40 ± 133,60gr, paru kiri pria 381,90 ± 175,00 gr, wanita 336,80 ± 107,30 gr, ukuran paru kanan pria 21,60 x 15,50 x 6,62 cm, wanita 20,10 x 15,00 x 7,36 cm, paru kiri pria 22,70 x 14,80 x 6,02 cm, wanita 21,50 x 14,30 x 6,34 cm, berat hati pria 1162,80 ± 292,53 gr, wanita 1081,00 ± 228,38 gr, ukuran hati pria 27,60 x 16,70 x 5,88 cm, wanita 27,60 x 16,40 x5,04 cm, berat limpa pria 112,50 ± 37,77 gr, wanita 104,20± 27,77gr, ukuran limpa pria 11,50 x 7,18 x 2,15 cm, wanita 11,80 x 6,94 x 2,22 cm, berat kelenjar liur perut pria 80,57 ± 19,95 gr, wanita 67,83 ± 16,90 gr , ukuran kelenjar liur perut pria 20,40 x 4,54 x 1,58 cm, wanita 19,40 x 4,64 x 1,36 cm, berat anak ginjal kanan pria 5,99± 1,70 gr, wanita 4,81 ± 1,48 gr, ukuran anak ginjal kanan pria 5,16 x 5,60 x 0,41 cm, wanita 4,78 x 2,90 X 0,55 cm, berat anak ginjal kiri pria 5,77 ± 1,70 gr, wanita 4,82 ± 1,66 gr, ukuran anak ginjal kiri pria 5,13 x 2,73 x 0,41 cm, wanita 4,85 x 2,70 x 0,46 cm, berat ginjal kanan pria 102,70 ± 20,06 gr, wanita 96,48 ± 23,71 gr, ukuran ginjal kanan pria 10,00 x 5,41 x 2,51 cm, wanita 9,94 x 5,13 x 2,45 cm, berat ginjal kiri pria 104,80 ± 21,11 gr, wanita 95,74 ± 21,38 gr, ukuran ginjal kiri pria 10,00 x 5,22 x 2,53 cm, wanita 9,77 x 5,13 x 2,47 cm, berat kelenjar prostat 16,86 ± 2,99 gr, ukuran prostat 3,35 x 4,46 x 1,95 cm, berat buah zakar kanan 13,89 ± 3,38 gr, kiri 13,45 ± 3,13 gr, ukuran buah zakar kanan 4,08 x 2,71 x 1,55 cm, kiri 3,95 x 2,64 x 1,54 cm. Berat rahim 69,53 ± 22,52 gr, ukuran rahim 7,97 x 5,53 x 2,75 cm, berat indung telur kanan 7,29 ± 2,33 gr, kiri 7,07 ± 2,02 gr, ukuran indung telur kanan 3,36 x 2,31 x 0,94 cm, kiri 3,45 x 2,04 x 0,98 cm.
Dari penelitian pada suatu populasi orang Indonesia terlihat bahwa secara umum berat dan ukuran rata-rata berbagai organ tuhuh orang Indonesia adalah lebih kecil dibandingkan dengan data-data dari peneliti Barat, serta ratio berat organ-organ terhadap berat badan, terutama ratio berat limpa terhadap berat badan (rumus Spencer dan Chaudhuri) dapat digunakan untuk identifiikasi berat badan jenazah, khususnya pada kasus mutilasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Putri Laksmidewi
"Diagnosis strok sering ditegakkan berdasarkan pembuktian klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis neurologis saja. Akan tetapi gambaran klinis yang ditemukan tidaklah selalu sama, seringkali bervariasi sehingga diagnosa topis tidak selalu tepat. Diteliti hubungan antara gambaran klinis dengan topografi anatomi/ tipe infark pada CT-sken otak pad a penderita strok iskemik. Penelitian ini dilakukan secara prospektif, "cross sectional" dan bersifat deskriptif analitik. Populasi adalah penderita strok iskernik kejadian pertama berusia 40 tahun dan 65 tahun yang dirawat di ruang perawatan klas III RSUPN-CM Jakarta. Sejak bulan April sampai dengan Juli 1996, didapatkan 52 kasus strok iskemik kejadian pertama. Terdiri dari 34 laki-laki (65,3%) dan perempuan 18 (34,7%) dengan rasio laki : perempuan adalah 1,9 : 1 . Strok trombosis ditemukan terbanyak yaitu 93,9% sedangkan strok emboli 6,1 %. Dari 52 penderita yang diteliti, didapatkan basil CT-sken otak adalah 29 (59,2 %) berupa infark tentorial , 20 (40,8%) adalah infark lakunar, hanya satu kasus ditemukan berupa infark watershed dan dua lainnya dengan infark multipel. Pada pemeriksaan CT otak pertama, dua kasus tidak memperlihatkan adanya gambaran infark sehingga dilakukan pemeriksaan CT otak yang kedua yaitu antara hari ke 7 - 10 , didapatkan hasil berupa infark lakunar pada kedua kasus tersebut. Hemihipatesis ringan ditemukan pada 44,8% strok dengan tipe infark tentorial dan 70 % pada strok lakunar. Hemihipatesis berat hanya ditemukan pada strok dengan tipe infark tentorial. Hemihipestesi ditemukan 55,2% pada strok tipe tentorial dan 75 % pada strok tipe lakunar. Afasis hanya ditemukan pada strok tent
The diagnosis of stroke is often made based on clinical evidence with anamnesis and neurological clinical examination alone. However, the clinical picture found is not always the same, it often varies so that the diagnosis of topis is not always correct. The relationship between clinical features and anatomical topography/type of infarction on brain CT scans in ischemic stroke sufferers was studied. This research was conducted prospectively, "cross sectional" and is descriptive analytic in nature. The population was first-time iskernic stroke sufferers aged 40 years and 65 years who were treated in class III treatment rooms at RSUPN-CM Jakarta. From April to July 1996, there were 52 cases of first-occurrence ischemic stroke. Consisting of 34 men (65.3%) and 18 women (34.7%) with a male: female ratio of 1.9: 1. The highest number of thrombotic strokes was found, namely 93.9%, while embolic strokes were 6.1%. Of the 52 patients studied, brain CT scan results showed that 29 (59.2%) were tentorial infarctions, 20 (40.8%) were lacunar infarctions, only one case was found to be a watershed infarction and the other two were multiple infarctions. In the first brain CT examination, two cases did not show any signs of infarction so a second brain CT examination was carried out, namely between days 7 - 10, the results were lacunar infarcts in both cases. Mild hemihypathesis was found in 44.8% of tentorial strokes and 70% of lacunar strokes. Severe hemihypathesis is only found in strokes with tentorial infarction type. Hemihypesthesia was found in 55.2% of tentorial type strokes and 75% of lacunar type strokes. Aphasis is only found in tentorial strokes."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Martiem Mawi
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Ruang di sistem pernafasan yang tidak ikut dalam pertukaran gas disebut ruang rugi. Ruang rugi fisiologik terdiri dari ruang rugi anatomik dan ruang rugi alveolar. Pengukuran ruang rugi fisiologik mempunyai arti penting di klinik antara lain, rasioruang rugi fisiologik (V0) dan volume alun nafas (VT) merupakan indikator sensitif untuk gangguan perfusi paru, misalnya emboli paru.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai V pada orang normal dan penderita penyakit paru obstruksi menahun (PPOM), serta faktor yang mempengaruhinya. Penelitian dilakukan pada 30 pria sehat berumur 40 tahun ke atas dan 30 pria penderita PPOM dengan umur yang sama. Penderita PPOM terdiri dari kelompok bronkitis kronik dan asma kronik, serta kelompok bronkitis-emfisema dan emfisema. Dilakukan pengukuran volume alun nafas, tekanan CO2 darah arteri (P C02) dan tekanan CO2 rata-rata udara ekspirasi (PECO2). Pengukuran PEC02 dilakukan dengan cara baru, yaitu berdasarkan analisis kapnogram. Nilai VD diperoleh berdasarkan persamaan Bohr dari ketiga parameter di atas dikurangi dengan besarnya ruang rugi alat.
Hasil dan Kesimpulan: Nilai VD kelompok PPOM adalah 361,6 ± 91,6 ml (X ± SD), dan pada kelompok kontrol 201,03 ± 26,83 ml. Pada kelompok bronkitis kronik dan asma kronik, VD 381 ± 21,24 ml, tidak berbeda dari kelompok bronkitis-emfisema dan emfisema yaitu 344,43 ± 26,43 ml. Tidak ada hubungan antara VD dengan lama sakit maupun dengan FEV1 pada kelompok PPOM. Demikian pula antara kelompok bronkitis kronik dan asma kronik dengan kelompok bronkitis-emfisema dan emfisema. Penyakit paru obstruksi menahun menyebabkan peningkatan ruang rugi fisiologik. Pengukuran PECO2 dengan analisis kapnogram lebih praktis, hanya menggunakan satu macam alat, waktu pemeriksaan lebih singkat, dan hasil yang diperoleh ekivalen dengan cara konvensional. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1990
T58403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisia
"ABSTRAK
Latar belakang: Tesis ini bertujuan untuk mengetahui insidens retensio urin
pasca rekonstruksi POP dan faktor-faktor yang berhubungan.Retensio urin
merupakan komplikasi akut tindakan rekonstruksi dan banyak dijumpai pada
prosedur operasi, termasuk operasi POP (POP). Untuk menghindari morbiditas
lebih lanjut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidens rertensio urin
pasca rekonstruksi POP faktor-faktor risiko yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif yang dilaksanakan di
RS Cipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati dengan mengikutsertakan wanita
yang hendak mengalami rekonstruksi POP dalam rentang waktu April 2013
hingga April 2015. Kriteria inklusi dan eksklusi subjek meliputi wanita dengan
POP derajat 2,3 dan 4 tanpa riwayat retensio urin sebelumnya, konsumsi obatobatan
yang
dapat menyebabkan retensio urin dan tanpa cedera kandung kemih.
Pasca rekonstruksi, subjek dilakukan pemasangan kateter urin selama 24 jam.
Kemudian, enam jam pasca pelesapan kateter, dilakukan pengukuran residu urin
pada kandung kemih. Retensio urin didefinisikan dengan didapatkannya residu
urin >100 ml.
Hasil: Dari 200 subjek, ditemukan 59 subjek (29,5%) mengalami retensio urin.
Tidak ada hubungan antara faktor risiko umur, Indeks Massa Tubuh (IMT),
derajat POP, derajat sistokel, kejadian infeksi saluran kemih, dan durasi operasi
terhadap retensio urin. Jenis prosedur total vagina hysterectomy + kolporafi
anterior + kolpoperineorafi + sacrospinous fixation dan durasi operasi > 130
menit berhubungan dengan retensio urin dengan RR 3,66 95% IK 2,91-4,60
p<0,001 dan 1,66 95%IK 1,07-2,59 p=0,02, berturut-turut
Kesimpulan: Insidens retensio urin cukup tinggi pasca rekonstruksi POP. Jenis
tindakan rekonstruksi tertentu dan semakin lamanya durasi rekonstruksi
berhubungan dengan kejadian retensio urin.ABSTRACT
Background: The objective of this study was to know the incidence of post
operativeurinaryretention after pelvic organ prolapse surgery and associated
factors.Post operative urinary retention (POUR) is considered as an acute
complication after a surgey in many operative procedures, including pelvic organ
prolpase (POP) surgery. To avoid further morbidity, this study aimed to know the
incidence of POUR after POP surgery and its risk factors.
Methods: This is a prospective cohort study conducted in Cipto Mangunkusumo
hospital and Fatmawati Hospital from April 2013 to April 2015. Subjects were
women who wanted to undergo POP surgery with two to four degree of POP.
Subjects with history of urinary retention, drugs consumption that tend to cause
urinary retention or bladder unjury were excluded. After the reconstruction,
urinary catheter was placed for 24 hours. Then, after six hours, catheter was
removed and residual urine was measured. Urinary retention was defined as
residual urine more than 100 ml.
Results: Of 200 subjects recruited, 59 (29.5%) had POUR. There were no
association between age, body mass index, degree of uterine POPe, degree of
cystocele, urinary tract infectionand POUR. Duration of surgery > 130 minute and
Total vagina hysterectomy +anterior colporraphy + colpoperineorraphy +
sacrospinous fixation procedure and duration of surgery > 130 minute were
associated with POUR (RR 3.66, 2.91-4.60 95% CI, p<0.001 and 1.66 , 072.5995%CI,
p=0.02;
respectively)
Conclusion: POUR incidence after POP surgery was quite high. Type of the
procedure and duration of surgery were associated with POUR.
;Background: The objective of this study was to know the incidence of post
operativeurinaryretention after pelvic organ prolapse surgery and associated
factors.Post operative urinary retention (POUR) is considered as an acute
complication after a surgey in many operative procedures, including pelvic organ
prolpase (POP) surgery. To avoid further morbidity, this study aimed to know the
incidence of POUR after POP surgery and its risk factors.
Methods: This is a prospective cohort study conducted in Cipto Mangunkusumo
hospital and Fatmawati Hospital from April 2013 to April 2015. Subjects were
women who wanted to undergo POP surgery with two to four degree of POP.
Subjects with history of urinary retention, drugs consumption that tend to cause
urinary retention or bladder unjury were excluded. After the reconstruction,
urinary catheter was placed for 24 hours. Then, after six hours, catheter was
removed and residual urine was measured. Urinary retention was defined as
residual urine more than 100 ml.
Results: Of 200 subjects recruited, 59 (29.5%) had POUR. There were no
association between age, body mass index, degree of uterine POPe, degree of
cystocele, urinary tract infectionand POUR. Duration of surgery > 130 minute and
Total vagina hysterectomy +anterior colporraphy + colpoperineorraphy +
sacrospinous fixation procedure and duration of surgery > 130 minute were
associated with POUR (RR 3.66, 2.91-4.60 95% CI, p<0.001 and 1.66 , 072.5995%CI,
p=0.02;
respectively)
Conclusion: POUR incidence after POP surgery was quite high. Type of the
procedure and duration of surgery were associated with POUR.
;Background: The objective of this study was to know the incidence of post
operativeurinaryretention after pelvic organ prolapse surgery and associated
factors.Post operative urinary retention (POUR) is considered as an acute
complication after a surgey in many operative procedures, including pelvic organ
prolpase (POP) surgery. To avoid further morbidity, this study aimed to know the
incidence of POUR after POP surgery and its risk factors.
Methods: This is a prospective cohort study conducted in Cipto Mangunkusumo
hospital and Fatmawati Hospital from April 2013 to April 2015. Subjects were
women who wanted to undergo POP surgery with two to four degree of POP.
Subjects with history of urinary retention, drugs consumption that tend to cause
urinary retention or bladder unjury were excluded. After the reconstruction,
urinary catheter was placed for 24 hours. Then, after six hours, catheter was
removed and residual urine was measured. Urinary retention was defined as
residual urine more than 100 ml.
Results: Of 200 subjects recruited, 59 (29.5%) had POUR. There were no
association between age, body mass index, degree of uterine POPe, degree of
cystocele, urinary tract infectionand POUR. Duration of surgery > 130 minute and
Total vagina hysterectomy +anterior colporraphy + colpoperineorraphy +
sacrospinous fixation procedure and duration of surgery > 130 minute were
associated with POUR (RR 3.66, 2.91-4.60 95% CI, p<0.001 and 1.66 , 072.5995%CI,
p=0.02;
respectively)
Conclusion: POUR incidence after POP surgery was quite high. Type of the
procedure and duration of surgery were associated with POUR.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Alifia Ramadianti
"ABSTRAK
Keluhan paling umum yang seringkali dialami oleh perempuan usia reproduksi pada organ genitalianya adalah keputihan. Keputihan dapatmenjadi salah satu indikatoradanya infeksi atau penyakit pada organ reproduksi yang terjadi karena banyaknya faktor salah satunya adalah kebersihan vagina yang kurang terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perilaku merawat organ reproduksi (genital hygiene) dan kejadian keputihan pada perempuan di Kecamatan Bogor. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional, teknik sampel menggunakan teknik purposive sampling, jumlah sampel 120 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dikembangkan peneliti sebelumnya dengan nilai alpha cronbachdiatas 0,6. Analisis univariat dengan menggunakan nilai distribusi proporsi. Hasil penelitian menunjukkan 54,2% responden berperilaku genital hygiene yang kurang, 45,8% responden menunjukkan perilaku genital hygiene baik. 75% responden mengalami gejala keputihan patologis dalam 6 bulan terakhir, dan 25% yang tidak mengalami. Disarankan penelitian selanjutnya meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku genital hygiene, faktor-faktor lain penyebabkan keputihanpatologis dan korelasinya.

ABSTRACT
The most common complaint that is often experienced by women of reproductive age in their genital organs is leukorrhea. Leukorrheacan be an indicator of infection or disease in the reproductive organs that occurs due to many factors, one of which is poorly maintained vaginal hygiene. This study aims to see a picture of the behavior of caring for reproductive organs (genital hygiene) and the incidence of leukorrheain women in Bogor District. This type ofresearch is descriptive with cross sectional approach, the sample technique uses purposive sampling technique, the number of samples is 120 people. Data collection used a questionnaire developed by previous researchers with a Cronbach alpha value above 0.6. Univariate analysis using the proportion distribution value. The results showed 54.2% of respondents behaved less genital hygiene, 45.8% of respondents showed good genital hygiene behavior. 75% of respondents experienced symptoms of pathological leukorrheain the last 6 months, and 25% did not experience. It is suggested that further research should examine the factors that influence genital hygiene behavior, other factors that cause pathological leukorrheaand their correlation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Anom Suryawan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Drainase temporer saluran kemih bagian atas dapat dilakukan dengan pemasangan stent ureter. Pemasangan DJ stent dapat memberikan keluhan rasa tidak nyaman pada pasien yang bervariasi dari seseorang ke orang yang lain dan bersifat idiosinkrasi
Tujuan: Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap gejalagejala berkemih dan nyeri pada pasien-pasien yang terpasang DJ stent di RSUP Dr. Sardjito dan RSPAU Dr. Suhardi Hardjolukito Yogyakarta.
Metode: Penelitian prospektif ini dilakukan pada bulan Maret - Agustus. Semua pasien yang dipasang DJ stent diikutsertakan dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi adalah pasien yang dipasang DJ stent dengan kasus keganasan, pasien yang menjalani pemasangan DJ stent,dan pasien dengan DJ stent bilateral.
Sebelum dan 1 bulan setelah dipasang DJ stent, yakni ketika pasien dijadwalkan lepas DJ stent, pasien kembali mengisi kuesioner IPSS, USSQ dan VAS. Data IPSS, komponen berkemih USSQ dan VAS dicatat dan dianalisis dengan Chi Square/ Fisher exact test, Pearson/Spearman dan Mann Whitney
Hasil: Dari 40 pasien, laki-laki 23 orang (57,5%) dan perempuan 17 orang
(42,5%), rerata usia 44,92 tahun dan lama pemasangan DJ stent 38,22 hari.
Berdasarkan hasil IPSS, terdapat hubungan bermakna antara IPSS total sebelum dan setelah pemasangan DJ stent (p <0,001; r = 0,628). Distribusi gejala berkemih yang sering muncul pada kuesioner USSQ adalah disuria (62,5%), frekuensi (55%), nokturia (52,5%), buang air kecil tidak lampias (47,5%), hematuria (35%), dan urgensi (15%). Pada analisis bivariate, posisi DJ stent berhubungan dengan timbulnya frekuensi (p <0,001), nokturia (<0,001), urgensi (p=0,002), buang air kecil tidak lampias (p=0,049), dysuria (p=0,030), hematuria (p=0,026) dan nyeri (p<0,001).
Kesimpulan: Gejala berkemih sebelum dipasang DJ stent dan posisi DJ stent
merupakan faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala berkemih dan nyeri pada pemasangan DJ stent.

ABSTRACT
Background: Temporary drainage of upper urinary tract can be performed by ureteral stents. Stent discomfort can vary from one patient to another in an idiosyncratic manner.
Purpose: To study factors that influence urinary symptoms and pain related to stented ureter
Methode: This is prospectif study, from March 2014 to August 2014, to known factors that influence urinary symptoms and pain of patients with ureteral stent.
All patients were inserted ureteral stent participated in this study. Exclusion
criteria were patients with malignancy, patients who had history of DJ stent
placement previously, and patients with bilateral DJ stents. All patients completed IPSS questionnaire before inserted stents. After 1 month, when removal DJ stents performed, all patients completed IPSS,USSQ and VAS. All data was analized with Chi square/fisher exact test, pearson/spearman correlation and Mann Whitney.
Results: Fourty patients consist of 23 man (57.5%) and 17 women (42.5%)
completed this study. The mean age was 44.92 years old and length of stented
ureter was 38.22 days. There was significance correlation between IPSS of DJ
stent preinsertion and post insertion ( p<0.001; r = 0.628). Of the patients reported
dysuria (62.5%), frekuensi (55%), nocturia (52.5%), incomplete emptying
(47.5%), hematuria (35%) and ugency (15%). On bivariate analysis, there was
significance correlation between DJ stent position and frequency (p <0.001),
nocturia (<0.001), urgency (p=0.002), incomplete emptying (p=0.049), dysuria
(p=0.030), hematuria (p=0.026) and pain (p<0.001).
Conclusion: Previous urinary symptoms and DJ stent position were factors that influence urinary symptoms and pain related ureteral stent insertion.
"
2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Schunke, Michael
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2016
611 SCH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Mulyana
"Pengaruh hormon mengaktifkan kelenjar sebasea saat remaja, dan meningkatkan kelembaban genitalia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja awal tentang kesehatan organ reproduksi wanita dan perilaku vulva hygiene. Penelitian ini berjenis kuantitatif dengan desain deskriptif sederhana. Sampel penelitian mencakup 108 siswi kelas tujuh dan delapan, dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan, mayoritas pengetahuan remaja cukup (62,0%) dan perilaku vulva hygiene baik (51,9%). Informasi mempengaruhi pengetahuan, yang menentukan perilaku. Peneliti menyarankan pemberian informasi kesehatan reproduksi oleh peer group secara berkala, mahasiswa keperawatan juga perlu mempelajari keterampilan menyampaikan materi kesehatan reproduksi bagi remaja secara efektif.

Hormonal changes activate sebacea glands and increase genitalia moisture. The study aimed to find the knowledge level of female reproductive health and vulva hygiene behaviour in early female adolescents. The method of this research was quantitative descriptive. The data were collected from 108 female students in seventh and eighth grade by simple random sampling. Result showed that most respondents had sufficient knowledge (62,0%) and good vulva hygiene behaviour (51,9%). Information influence knowledge, that determine human behaviour. Researcher suggested that delivering information about reproductive health by peer group should be done regularly, nursing students also need to learn communication skill in deliver reproductive health materials for adolescents effectively."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
S43300
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dearizka
"Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia menjadi salah satu primadona dalam bidang kedokteran karena dianggap sebagai metode pengobatan yang paling efektif untuk mengobati kerusakan atau kegagalan fungsi sel, jaringan, atau organ tubuh manusia. Tidak hanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan dalam kebijakan, penegakkan, dan ketatnya pengawasan hukum juga menjadi beberapa faktor penunjang peningkatan kualitas serta kuantitas praktik transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia. Pada umumnya, peraturan tentang transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia di tiap negara berbeda-beda, begitu pun dengan yang berlaku di Indonesia dan di Tiongkok. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perbedaan ideologi, budaya, serta sistem hukum yang kemudian memengaruhi penerapan hukum di kedua negara tersebut, termasuk dalam hukum perdata dan hukum kesehatan serta lebih khusus mengenai peraturan tentang transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia. Skripsi ini memaparkan tentang perbandingan peraturan tentang transplantasi organ dan jaringan tubuh yang berlaku di Indonesia dan Tiongkok ditinjau hukum perdata untuk menemukan persamaan, perbedaan, serta implikasi dari penerapannya.

Organ and body tissue transplantation became one of the crucial method in the medical field since it is considered as the most effective treatment method to cure the damage or malfunction of human body?s cell, tissue, or organ. Not only the advancement of knowledge and technology, the improvement of policy, enforcement, and the establishment of law supervision are also becoming several supporting factors that incrases the quality and quantity of organ and body tissue transplantation practice. Generally, the regulation about organ and body tissue transplantation in each country is different, thus also applied between Indonesia and China. This difference determined by several factors such as differences in ideology, culture, and legal system that influences the law implementation in both countries, including in private law and health law, specifically in the human organ and body tissue transplantation regulation. This thesis explains about the comparison of organ and body tissue transplantation regulation in Indonesia and China from private law perspective in order to uncover the similarities, differences, and also the implications from its implementation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65313
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Areska Ramadhan
"ABSTRAK
Studi literatur menemukan bahwa parameter gait telah stabil di umur 20 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetauhi apakah ada hubungan antara panjang kaki dan panjang langkah pada orang dewasa muda. Desain potong-melintang digunakan untuk penelitian ini, dengan menggunakan data primer dari subyek di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di usia 18-22. Subyek akan diminta untuk menandatangani informed consent, dan diukur berat badan, tinggi badan, panjang langkah, dan panjang tungkai. Semua data akan dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 23. Hasil analisis menemukan laki-laki memiliki ukuran panjang tungkai lebih panjang dari perempuan 89.42 4.42 cm, 85.14 3.40 cm; p 0,05 . Peneliti menemukan hubungan yang signifikan antara panjang langkah dan panjang kaki dalam kelompok laki-laki p 0,05, r = 0,142 . Peneliatan ini menemukan korelasi antara panjang langkah dan panjang tungkai pada laki-laki, namun tidak pada perempuan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil adalah kecepatan berjalan bebas di tanah dan obesitas.

ABSTRACT
Literature study found that the gait parameters are already stabilized in the age of 20. This study aims to see whether there is correlation between leg length and step length in young adult. Cross sectional study design is used in this study using primary data from subjects in Faculty of Medicine, Universitas Indonesia in the age of 18 22. Subjects will be asked to sign the informed consent, then researcher will measure the weight, height, step length, and leg length. Data will be analyzed using SPSS version 23. Data obtained shows male have a higher leg length measurement than female 89.42 4.42 cm, 85.14 3.40 cm p 0.05 and male step length is not differ than female 62.31 6.90 cm, 61.79 6.43 cm p 0.05 . Researcher found a significant relationship between step length and leg length in male p 0.05, r 0.414 . In contrary, female shows no correlation between the two variables p 0.05, r 0.142 . Correlation between step length and leg length was found in male, however not in female. Factors that may contributed to the results could be due to free walking speed ground and overweight. "
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>