Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196424 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Resky Mustafa
"Latar Belakang: Obstruksi saluran nafas atas merupakan salah satu kelainan saluran nafas atas yang disebabkan karena terjadinya sumbatan. Proses obstruksi yang terjadi mempengaruhi morfologi, fisiologis dan patologis yang merupakan predisposisi terhambatnya pernafasan saluran atas. Secara anatomis faring yang merupakan bagian dari saluran nafas atas dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring dan
hipofaring. Perubahan morfologi dan patologis faring pada penderita gangguan nafas yang berhubungan dengan penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan struktur kraniofasial dan morfologi dentofasial. Salah satu modalitas yang digunakan untuk menilai perubahan pada saluran nafas atas adalah sefalometri lateral yang dapat memperlihatkan saluran nafas dalam perspektif dua dimensi dalam mengevaluasi jaringan keras dan jaringan lunak kraniofasial termasuk faring, bila terjadi penyempitan. Tujuan: Untuk membandingkan ukuran normal saluran nafas atas pada
populasi sehat kelompok usia 20-30 dan 31-40 tahun pada populasi laki-laki dan perempuan di Indonesia melalui analisis sistematis radiograf sefalometrik lateral.
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder radiograf sefalometri lateral pada usia 20-40 tahun di Unit Radiologi Kedokteran Gigi RSKGM FKG UI dan RSKGM FKG TRISAKTI. Pengukuran saluran nafas atas dilakukan dengan analis sefalometri lateral yang diukur menggunakan variabel nasofaring (PNS-ad1, PNS-ad2), variabel orofaring (Ve1-Ve2, U1-U2, RL1-RL2) dan variabel hipofaring (Va1-Va2). Hasil: Pengukuran saluran nafas atas variable Ve1-Ve2 dan Va1-Va2 menujukkan ada perbedaan bermakna (p value < 0.05) antara jenis kelamin. Sedangkan variable PNSAd1,
PNS-Ad2, U1-U2 dan RL1-RL2 (p value > 0.05) menujukan tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin. Sementara pada pengukuran saluran nafas atas yang membandingkan antar kelompok usia pada seluruh jenis kelamin, yang menunjukkan perbedaan bermakna (p value < 0.05) pada variabel pengukuran PNS-Ad1 dan PNSAd2. Sedangkan variabel Ve1-Ve2, U1-U2, RL1-RL2 dan Va1-Va2 tidak berbeda bermakna (p value > 0.05). Kesimpulan: Penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada jenis kelamin untuk ukuran saluran nafas atas yaitu
ukuran orofaring variabel Ve1-Ve2 dan hipofaring variabel Va1-Va2. Jika dikaitkan
dengan peningkatan usia ukuran saluran nafas atas hanya variabel nasofaring yang
memiliki perbedaan secara bermakna yaitu melebar seiring bertambahnya usia

Background: Upper airway obstruction is one of the upper airway disorders caused by
obstruction. Obstructive processes that occur affect the morphology, physiology and
pathology which predisposes to obstructed upper respiratory tract. Anatomically, the
pharynx, part of the Upper airway, is divided into three parts: the nasopharynx,
oropharynx and hypopharynx. Pharyngeal morphology and pathological changes in
patients with respiratory disorders associated with deviations in the growth and
development of craniofacial structures and dentofacial morphology. One of the modalities
used to assess changes in the Upper airway is lateral cephalometrics which can show the
airways in a two-dimensional perspective in evaluating the craniofacial hard and soft
tissues including the pharynx, if narrowing occurs. Objective: To compare the normal
size of the upper respiratory tract in healthy populations aged 20-30 and 31-40 years in
male and female populations in Indonesia through systematic analysis of lateral
cephalometric radiographs. Methods: This study used secondary data from lateral
cephalometric radiographs at the age of 20-40 years at the Dentistry Radiology Unit at
RSKGM FKG UI and RSKGM FKG TRISAKTI. Upper airway measurements were
performed using a lateral cephalometric analysis using nasopharyngeal variables (PNSad1,
PNS-ad2), oropharyngeal variables (Ve1-Ve2, U1-U2, RL1-RL2) and
hypopharyngeal variables (Va1-Va2). Results: Measurement of the upper airway
variables Ve1-Ve2 and Va1-Va2 (p value <0.05) showed that there was a significant
difference between the sexes in the measurement of the upper Upper airway in a healthy
population. While the PNS-Ad1, PNS-Ad2, U1-U2 and RL1-RL2 variables (p value >
0.05) showed no significant difference between the sexes. While the upper Upper airway
measurements compared between age groups in all sexes, which showed that there were
significant differences (p value <0.05) between age groups for the PNS-Ad1 and PNSAd2
measurement variables. Meanwhile, the variables Ve1-Ve2, U1-U2, RL1-RL2 and
Va1-Va2 were not significantly different (p value > 0.05). Conclusion: This study shows
that there are significant differences in sex for the size of the upper airway, namely the
size of the oropharynx Ve1-Ve2 variable and the hypopharynx Va1-Va2 variable. If it is
associated with an increase in age, the size of the upper airway is only the nasopharyngeal
variable which has a significant difference, which increases with age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Isfan Rialdy
"Obesitas merupakan masalah mendunia dengan peningkatan angka prevalensi yang semakin tinggi baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 dan 2013, obesitas juga menjadi permasalahan di Indonesia. Obesitas disebabkan oleh asupan energi yang lebih banyak dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan. Asupan energi tersebut diperoleh dari asupan makronutrien yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang untuk mengetahui hubungan antara obesitas pada laki-laki dewasa usia 19-64 tahun dengan asupan energi dan makronutrien. Jumlah subyek dalam penelitian ini sebanyak 51 orang laki-laki dewasa usia 19-64 tahun di Jakarta tahun 2012. Data obesitas diperoleh dengan mengukur Indeks Massa Tubuh subyek penelitian dan digolongkan sesuai dengan kriteria IMT Asia Pasifik. Data Asupan energi dan makronutrien dari subyek penelitian diperoleh dengan metode 24-hour food recall dan food record kemudian diambil rerata dari kedua metode tersebut. Hasil penelitian ini memperoleh data bahwa sebanyak 31,3% laki-laki dewasa mengalami obesitas. Berdasarkan uji chi square untuk protein dan uji fisher untuk energi, karbohidrat dan lemak didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dan makronutrien dengan obesitas pada laki-laki dewasa usia 19-64 tahun di Jakarta. Terdapat beberapa faktor yang tidak diteliti pada penelitian ini terutama faktor genetik, tingkat aktivitas fisik dan perilaku hidup sedentary.

Obesity is a worldwide problem with increased prevalence rates in both the developed and developing countries. Based on Riskesdas 2007 and 2013, obesity is also become problem in Indonesia. Obesity caused by the intake of more energy than the energy expended. Energy intake is derived from macronutrient intake consists of carbohydrates, proteins and fats. This study used a cross-sectional study design to examine the relationship between obesity in men aged 19-64 years. Numbers of subjects in this study were 51 men aged 19-64 years in Jakarta 2012. Data obtained by measuring Body Mass Index and then classified according to BMI criteria for the Asia Pacific region. Energy and macronutrient intake data of the subjects was obtained by the 24-hour food recall and a food record then taken the average of the two methods. This study result showed that 31.3% men are obesity. Based on chi-square test for protein and Fisher test for energy, carbohydrates and fat showed that there was no relationship between energy and macronutrient intakes to obesity in men aged 19-64 years in Jakarta. There are several factors which are not examined in this study especially genetic factor, physical activity level and sedentary lifestyle."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almira Devina Gunawan
"Latar Belakang: Penyakit jantung merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan penyebab nomor satu kematian di dunia. Salah satu penyebabnya adalah kelainan profil lipid aterogenik yang ditandai dengan peningkatan kadar LDL. Apolipoprotein B (apo B) merupakan inti dari partikel VLDL, LDL, IDL dan Lpa yang dapat menunjukkan secara langsung dari jumlah keseluruhan partikel lipoprotein aterogenik dalam sirkulasi. Asupan serat total yang rendah diduga berperan dalam peningkatan apo B dalam darah, akan tetapi hasil penelitian sebelumnya masih bervariasi.
Tujuan: mengetahui korelasi antara asupan serat total, serat larut dan tidak larut dengan apo B pada pekerja normal dan overweight usia 19–49 tahun di Jakarta.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang pada karyawan perusahaan dengan status gizi normal dan overweight usia 19–49 tahun di Jakarta pada bulan Oktober–Desember 2020. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner, 3-day food record dan pengukuran kadar apo B darah. Analisis data dilakukan dengan uji korelasi Spearman menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20.0.
Hasil: Dari 54 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian, proporsi laki-laki dan perempuan sama, dengan mayoritas status gizi normal. Sebagian besar subjek tidak merokok dan memiliki tingkat aktivitas rendah. Kadar Apo B memiliki nilai rata-rata sebesar 87,31±19,95 mg/dL. Asupan serat subjek memiliki nilai tengah 8,05 (3,50– 37,80) gram/hari. Asupan serat larut dan tidak larut subjek memiliki nilai tengah 2,10 (0,88–13,40) dan 6,30 (2,26–39,45) gram/hari. Asupan serat total, serat larut dan serat tidak larut tidak berkorelasi dengan Apo B (hasil uji korelasi Spearman, masingmasing r = -0,084, p = 0,546; r = -0,055, p = 0,691; dan r = -0,068, p = 0,623).
Kesimpulan: Tidak ada korelasi antara asupan serat total, serat larut, dan serat tidak larut dengan apo B karyawan perusahaan dengan berat badan normal dan overweight usia 19–49 tahun di Jakarta.

Background: Heart disease has been reported worldwide as leading cause of death, with atherosclerosis as one of the most common etiology. One of the causes an abnormality of the atherosclerosis is characterized by an increase LDL levels. Apo B is the core of VLDL, LDL, IDL, and Lpa that provides the real amount of whole aterogenic lipoprotein in circulation. Low fiber intake plays a role in increasing apo B in blood, however previous findings are still controversial.
Objective: To determine the correlation between total fiber intake, soluble and insoluble fiber with Apo B in normal and overweight workers aged 19–49 years in Jakarta.
Metods: This was a cross-sectional study among normal and overweight workers aged 19–49 years old. Data were collected during October–Desember 2020 in Jakarta through questionnaires using 3 days food records and measurement of apo B level. Spearman correlation test was perfomed using SPSS version 20.0 software.
Results: Result shows an equal proportion of male and female subjects, and mostly with normal nutritional status. Most of the subjects did not smoke and had low activity levels. Apo B level has a mean value of 87,31±19,95 mg/dL. The median fiber intake 8.05 (3.50–37.80) gram/day. The median soluble and insoluble fiber intake were 2.10 (0.88–13.40) and 6.30 (2.26–39.45) gram/day, respectively. The total fiber, soluble and insoluble fiber were not correlate with Apo B (Spearman correlation test, r = - 0.084, p = 0.546; r = -0.055, p = 0.691, and r = -0.068, p = 0.623, respectively).
Conclusion: The total fiber, soluble and insoluble fiber were not correlate with Apo B among workers with normal and overweight age 19–49 years old in Jakarta.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Kurniawan
"Positioning yang optimal pada pasien akan berdampak pada airway manajemen dan ventilasi, menjaga keselarasan posisi tubuh, serta memberikan keamanan dan kenyamanan fisiologis. Tindakan positioning sudah dilakukan di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo dengan tujuan untuk mengurangi resiko luka dekubitus, tetapi belum dilihat efeknya pada kemampuan fisiologis paru pasien yang terpasang ventilator. Dari berbagai bentuk tindakan positioning yang dapat dilakukan terhadap pasien hingga saat ini belum ada protokol – protokol khusus yang menjelaskan terkait positioning mana yang paling efektif dan efisien terhadap pasien khususnya pada pasien dengan kejadian prolong ventilator diruang ICU. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh dan efektifitas positioning lateral kanan kiri 30 ° dan positioning lateral kanan kiri 90 ° terhadap keberhasilan weaning pada pasien dengan prolong ventilator mekanik di ruang ICU. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 responden yang dibagi menjadi 20 responden kelompok intervensi 1 ( positioning lateral kanan kiri 90 ° ) dan 20 responden kelompok intervensi 2 ( positioning lateral kanan kiri 30 ° ). Metode penelitan ini adalah quasy eksperiment dengan desain Pre test and post test pada kedua kelompok intervensi ( with control group ). Hasil penelitian menunjukan positioning lateral kanan kiri 30 ° berpengaruh secara sigifikan terhadap keberhasilan weaning pada pasien dengan prolong ventilator mekanik ( p value 0,000 ) dibandingkan positioning lateral kanan kiri 90 ° (p value 0,180). Pengaturan sudut kemiringan pada saat pemberian positioning lateral akan mengurangi tahanan otot - otot perut sehingga mengurangi tekanan ke diafragma dan meringankan kompresi dada. Hal ini akan berdampak pada masuknya udara lebih banyak ke dalam paru – paru serta meningkatnya oksigenasi dalam meningkatkan fungsi fisiologis paru. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi suatu gold standar baru berupa pemberian intervensi positioning lateral kanan kiri 30 ° khususnya pada pasien dengan penggunaan ventilator diruang ICU.

Optimal positioning of the patient will have an impact on airway management and ventilation, maintain body position alignment, and provide physiological safety and comfort. Positioning action has been carried out in the ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo with the aim of reducing the risk of pressure sores, but the effect has not been seen on the physiological abilities of the lungs of patients on ventilators. Of the various forms of positioning actions that can be performed on patients, there are currently no specific protocols that explain which positioning is most effective and efficient for patients, especially in patients with prolong ventilator events in the ICU. The purpose of this study was to determine the effect and effectiveness of right and left lateral positioning of 30 ° and right and left lateral positioning of 90 ° on the success of weaning in patients with mechanical ventilator prolong in the ICU. The sample in this study amounted to 40 respondents who were divided into 20 respondents in the intervention group 1 (right and left lateral positioning 90 °) and 20 respondents in the intervention group 2 (right and left lateral positioning 30 °). This research method is a quasi-experimental design with pre-test and post-test in both intervention groups (with control group). The results showed that right and left lateral positioning of 30 ° had a significant effect on the success of weaning in patients with mechanical ventilator prolong (p value 0.000) compared to right and left lateral positioning of 90 ° (p value 0.180). Adjusting the angle of inclination at the time of lateral positioning will reduce the resistance of the abdominal muscles thereby reducing pressure on the diaphragm and relieve chest compressions. This will have an impact on the entry of more air into the lungs and increased oxygenation in improving the physiological function of the lungs. The results of this study are expected to become a new gold standard in the form of giving an intervention of 30° right and left lateral positioning, especially in patients using ventilators in the ICU."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Wirdah Budiastuti
"Ekstubasi merupakan salah satu upaya manajemen jalan napas bertujuan untuk mencegah resiko penggunaan EndoTrakeal Tube (ETT) dan ventilasi mekanik. Keberhasilan ekstubasi adalah tidak terjadinya reintubasi dalam waktu 24-72 jam pasca ekstubasi. Pasien dengan kondisi penyulit jalan napas beresiko besar terhadap kejadian reintubasi. Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di Intensive Care Unit (ICU) Dewasa, ICU IGD dan ICU luka bakar RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk mengetahui faktor-faktor prediktor keberhasilan ekstubasi pada kasus jalan napas dengan penyulit. Uji statistik menggunakan regresi logistik ganda. Hasil analisis didapatkan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan keberhasilan ekstubasi pada penyulit jalan napas yaitu lama terintubasi (p value=0,034), hemodinamik (p value=0,001) dan refleks batuk (p value=0,005), sedangkan faktor yang tidak memiliki hubungan dengan keberhasilan ekstubasi pada penyulit jalan napas yaitu adalah usia, jenis kelamin, penyulit jalan napas, tingkat kesadaran, sikap koperatif pasien, hasil AGD, lama Spontaneous Breathing Trial (SBT) dan kesiapan pasien. Faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan ekstubasi adalah refleks batuk (OR=20,805 95%CI 1,298-333,422) dan hemodinamik (OR=17,746 95% CI 2,083-151,213). Penatalaksaan ekstubasi dengan melakukan asesmen pra ekstubasi menggunakan ceklist akan mampu mendeteksi keberhasilan ekstubasi, sehingga prosedur ekstubasi dapat dilakukan dengan lebih aman untuk menghindari kejadian reintubasi
Extubation is an airway management that aimed to prevent the risk of using ETT and Mechanical Ventilation. Extubation success is no reintubation within 24-72 hour. Patients with difficult airway condition has greater risk of reintubation events. This prospective cohort study was conducted at General ICU, ICU IGD and ICU burns RSCM to find out predictor factors of extubation success in difficult airway cases.. Statistical tests use multiple logistic regression. The results of the analysis obtained factors that have a relationship with extubation success in the difficult airway are the length of intubation (p value = 0.034), hemodynamics (p value = 0.001) and cough reflexes (p value = 0.005), and factors that have no relationship are age, gender, difficult airway, level of Consciousness (LoC), cooperative attitude, AGD results, SBT duration and patient readiness. The most influential factors on extubation success are cough reflexes (OR = 20,805 95% CI 1,298-333,422) and hemodynamics (OR = 17,746 95% CI 2,083-151,213). Management of extubation by conducting pre-extubation assessment using a checklist methode will be able to detect the extubation success and the procedure can be done more safely.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T54904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diffa Akiela Damayanti
"Latar Belakang: Hipertrofi adenoid merupakan kelainan pada kelenjar adenoid yaitu berupa membesarnya ukuran dari kelenjar adenoid. Hipertrofi adenoid pada usia anak-anak dianggap suatu hal yang umum sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh. Obstruksi saluran pernapasan oleh hipertrofi adenoid dapat menimbulkan kebiasaan buruk mouth breathing yang jika tidak segera ditangani dapat mengakibatkan efek berkepanjangan seperti long face syndrome atau adenoid facies, rongga mulut kering, maloklusi dan postur tubuh yang cenderung membungkuk. Oleh sebab itu, ukuran adenoid dianggap penting karena tidak hanya berpotensi mempengaruhi fungsi respirasi, namun juga bila terjadi pada usia anak-anak dapat berdampak pada kelainan tumbuh kembang kraniofasial. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure pada anak usia 6-15 tahun sebagai kelompok berisiko mengalami obstruksi saluran pernapasan atas akibat hipertrofi adenoid di RSKGM FKG UI. Metode: Studi cross-sectional dengan rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure pada 126 sampel radiograf sefalometri lateral digital laki-laki dan perempuan usia 6-15 tahun yang diukur menggunakan aplikasi I-Dixel Morita. Uji kesesuaian pengukuran intraobserver dan interobserver dilakukan menggunakan uji ICC dan Kappa. Analisis deskriptif dilakukan untuk setiap parameter pengukuran pada setiap kelompok usia. Hasil: Nilai rerata rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure menunjukkan nilai terbesar 0,70 ± 0,009 (SD) pada usia 6 tahun dan terkecil terdapat pada kelompok usia 15 tahun yaitu, 0,54 ± 0,05 (SD). Hasil pengukuran dan evaluasi lebar nasofaring menunjukkan bahwa lebar nasofaring dengan kategori normal terbanyak terdapat pada usia 15 tahun. Kesimpulan: Nilai rata – rata rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure menunjukkan kecenderungan penurunan seiring bertambahnya usia. Sementara itu, lebar nasofaring menunjukkan kecenderungan peningkatan seiring bertambahnya usia.

Background: Adenoid hypertrophy is an abnormality of the adenoid gland, characterized by its enlargement. It is common in children as part of the body's defense mechanism. Obstruction of the respiratory tract caused by adenoid hypertrophy can lead to the development of mouth breathing habits, which, if not treated promptly, can result in long-term effects such as long face syndrome, adenoid facies, dry mouth, malocclusion, and poor posture. Therefore, adenoid dimensions are important not only because they potentially affect respiratory function, but also because they impact craniofacial growth and development if it occurs in children. Objective: To determine the average ratio of the adenoid to the bony nasopharynx structure in children aged 6-15 years, a group at risk of upper respiratory tract obstruction due to adenoid hypertrophy at RSKGM FKG UI. Methods: This cross-sectional study measured the ratio of the adenoid to the bony nasopharyngeal structure in 126 digital lateral cephalometric radiographs of both male and female children aged 6-15 years, using the I-Dixel Morita application. Intraobserver and interobserver reliability were assessed using the ICC and Kappa tests. Descriptive analysis was performed for each measurement parameter across different age groups. Results: The mean adenoid-to-bony nasopharynx structure ratio was highest at 0.70 ± 0.009 (SD) in the 6-year-old group and lowest at 0.54 ± 0.05 (SD) in the 15-year-old group. In the evaluation of nasopharyngeal width, the highest normal category was observed in the 15-year-old group. Conclusion: The mean adenoid-to-bony nasopharynx structure ratio showed a tendency to decrease with age, while the nasopharyngeal width showed a tendency to increase with age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shendy Meike Sari
"Latar belakang. Bonfils adalah alat fiberoptik kaku yang dapat digunakan untuk intubasi baik pada jalan nafas normal maupun sulit. Penelitian ini membandingkan teknik pendekatan midline dan retromolar dalam melakukan intubasi dengan Bonfils pada suatu pelatihan dengan subjek penelitian adalah PPDS Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM tahap mandiri dan paripurna. Pelatihan pada maneken ini dilakukan di SIMUBEAR (Simulation Based Education and Research Center) IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute). Subjek tidak terbiasa menggunakan Bonfils, sehingga pelatihan ini menjadi kesempatan yang baik. Terdapat 10 langkah DOPS (Direct Observation of Procedural Skills) yang harus dikerjakan oleh setiap subjek untuk masing-masing teknik. Penelitian ini menilai DOPS, lama waktu intubasi dan jumlah upaya yang dilakukan untuk melakukan intubasi dengan Bonfils.
Metode. Penelitian ini merupakan uji eksperimental, acak, tidak tersamar, crossover yang dilakukan pada bulan September 2018. Subjek penelitian sebanyak 45 orang yang diambil dengan metode total sampling, dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda dalam sekuens. Kelompok 1 terdiri dari 23 orang yang melakukan intubasi dengan Bonfils pendekatan midline terlebih dahulu kemudian pendekatan retromolar dan kelompok 2 terdiri dari 22 orang yang melakukan sebaliknya. Uji statistik data kategorik berpasangan menggunakan uji McNemar dan data numerik berpasangan dengan uji Wilcoxon Signed Ranks Test.
Hasil. Keberhasilan intubasi dengan Bonfils melalui pendekatan midline pada DOPS 1, DOPS 2 dan pada kasus jalan nafas sulit sebesar 71,1%, 86,7%, 88,9%, sedangkan pada pendekatan retromolar adalah 68,8%, 68,9%, 64,4%. Lama waktu intubasi yang diperlukan untuk pendekatan midline pada jalan nafas normal dan sulit adalah 59 (18-224) detik dan 55 (24-146) detik, sedangkan pada pendekatan retromolar adalah 64 (38-200) detik dan 74,5 (26-254) detik. Kemudahan melakukan intubasi dengan Bonfils dinilai dari jumlah upaya yang dilakukan oleh subjek sebanyak 1x, yaitu pada pendekatan midline 64,4% dan retromolar 35,6% pada jalan nafas normal, dan 66,7% serta 46,7% pada jalan nafas sulit.
Simpulan. Keberhasilan dan kemudahan intubasi dengan Bonfils melalui pendekatan midline lebih baik dibandingkan dengan pendekatan retromolar pada maneken.

Background. The Bonfils Intubation Fibrescope is a rigid optical instrument for performing orotracheal intubation has becomes a useful device in the management of normal and difficult airways. In this study, we compared midline and retromolar approach techniques using Bonfils in simulation-based training that would allow the highest level residents of Anesthesiology Department perform tracheal intubation faster and a higher success probability. Data were collected from 45 participants using an airway simulator in SIMUBEAR (Simulation Based Education and Research Center) IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute). The participants who uncommon using Bonfils were randomly assigned to a sequence of techniques to use. These two techniques become a challenge for the participants. The ten steps of DOPS (Direct Observation of Procedural Skills) were performed with each technique. We did the assessment of DOPS, time of intubation, and the amount of attempt of intubation.
Methods. We did the randomized crossover trials in which participants are assigned randomly to a sequence of techniques using Bonfils with midline and retromolar approach on September 2018. These 45 participants were collected by total sampling method, divided into two groups. Group 1 (n=23) did the intubation using midline approach first then retromolar and group 2 (n=22) did the retromolar first then midline approach. Each participant was being trained using those techniques by ten steps of DOPS, then they were tested to intubate a mannequin on normal and difficult airways. The researchers obtained the DOPS scores, time of intubation, and the amount of intubation attempts. We analyzed this study using McNemar test for categoric data and Wilcoxon Signed Ranks test for numeric data.
Results. This study compared the success rate, intubaton time and the amount of intubation attempts using Bonfils with midline and retromolar approach. It was found that the success rate in midline approach was better than retromolar. For the ease rate, we obtained data from the intubation time and the amount of intubation attempts. The intubation time in midline approach (59 (18-224) s and 55 (24-146) s) was shorter than retromolar (64 (38-200) s and 74,5 (26-254) s) in normal and difficult airways respectively. And also we found that 64,4% participants could did one attempt of intubation using Bonfils with midline approach and only 35,6% participants did the retromolar approach.
Conclusions. Success and ease rate of intubation using Bonfils with midline approach is better than retromolar approach techniques in mannequin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risha Ayuningtyas
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penilaian jalan napas saat ini menjadi suatu standar prosedur yang harus dilakukan setiap kunjungan pra-anestesia, termasuk pada populasi pediatrik. Namun demikian, pedoman yang sudah ada pada populasi dewasa tidak dapat begitu saja dipakai untuk populasi pediatrik.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara beberapa ukuran parameter kraniofasial dengan skor Cormack-Lehane pada populasi anak di Indonesia.
Metodologi: Data dikumpulkan secara consecutive pada 121 pasien yang akan menjalani anestesia umum. Dilakukan pengukuran jarak tepi bawah bibir ke ujung mentum, jarak tragus telinga ke sudut mulut, jarak angulus mandibula ke ujung mentum, jarak mentohioid, dan jarak horizontal antara angulus mandibula kanan dan kiri. Dilakukan penilaian tingkat kesulitan laringoskopi menggunakan klasifikasi Cormack-Lehane, yang kemudian dibagi menjadi mudah dan sulit laringoskopi. Kemudian dilakukan analisa data untuk mencari hubungan antara ukuran parameter-parameter ini dengan skor Cormack-Lehane.
Hasil: Insidensi skor Cormack-Lehane I sampai IV masing-masing 67,8%; 23,1%; 6,6%; dan 2,5%. Semua ukuran parameter kraniofasial yang diukur memiliki hubungan bermakna dengan skor Cormack-Lehane (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara ukuran parameter kraniofasial dengan skor Cormack-Lehane.

ABSTRACT
Background: Airway assessment is now becoming a standard of procedure in every pre-anesthesia visit, including in pediatric population. However, guidelines for adults may not be applied readily for pediatric population.
Objective: This study was performed to determine the association between craniofacial parameters and Cormack-Lehane Score in pediatric population in Indonesia.
Methods: We collected data on 121 consecutive patients who were scheduled for general anesthesia. The distance from lower lip to menthom, ear tragus to mouth, mandible angle to menthom, mentohyoid distance, and the horizontal length of right and left mandible were measured. Laryngeal view were graded using the Cormack-Lehane classification and divided into two groups: easy and difficult for laryngoscopic visualization. The association of these parameters with the Cormack-Lehane Score group was analyzed.
Results: The incidence of Cormack-Lehane Score grade I to IV was 67,8%; 23,1%; 6,6%; and 2,5% respectively. All the craniofacial parameters we measured have a significant association with the Cormack-Lehane Score (p<0,05).
Conclusion: There are significant association between craniofacial parameters and Cormack-Lehane Score."
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Sonata Miguna
"Latar Belakang: Tatalaksana kegawatdaruratan jalan napas pada populasi pediatrik dapat menyebabkan kejadian katastrofik kasus tersebut tidak ditangani dengan baik. Neonates- children study of anaesthesia practice in Europe melaporkan adanya 5.8% kasus sulit intubasi pada populasi neonatus dan bayi, di mana dua per tiga diantara kasus tersebut merupakan kasus sulit jalan napas yang tidak terprediksi sebelumnya. Adanya tim tatalaksana jalan napas yang terlatih dapat menjadi jawaban terhadap masalah ini karena tim telah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menangani kasus tatalaksana jalan napas pediatrik.
Tujuan: Menilai efektivitas pelatihan dan simulasi berkala dalam meningkatkan performa tim interprofesional sebelum dan setelah menjalani pelatihan dan simulasi berkala dalam tatalaksana pasien pediatrik dengan jalan napas sulit
Metode: Dua puluh empat residen telinga hidung dan tenggorokan, ilmu kesehatan anak, dan anestesi mengikuti empat modul pembelajaran dan dua sesi pelatihan keterampilan berupa pelatihan task training, dan simulasi kasus kritis menggunakan manikin high fidelity. Skenario simulasi disesuaikan dengan kasus klinis dan kemudian dilakukan debriefing pasca simulasi. Evaluasi kognitif dan keterampilan secara individual dan penilaian non-technical skills pada simulasi dinilai menggunakan daftar tilik yang sudah divaluasi kemudian hasil dianalisis secara statistik.
Hasil: Secara keseluruhan didapatkan peningkatan nilai yang signifikan antara penilaian kognitif pre-test dan post-test untuk semua modul pelatihan (p<0.05). Non-technicall skills yang dinilai saat simulasi kelompok menggunakan manikin high fidelity manikin juga menunjukkan peningkatan nilai yang signifikan dengan nilai p 0.028. Nilai keterampilan intubasi secara personal menunjukkan adanya penurunan nilai meskipun tidak signifikan secara statistik
Simpulan: Pelatihan dan simulasi berkala pada penelitian ini adalah salah satu metode yang efektif untuk pengajaran tatalaksana jalan napas dan keterampilan non technical skills bagi residen telinga hidung dan tenggorokan, ilmu kesehatan anak, dan anestesi

Background: Pediatric airway emergency might cause a catastrophic event if the responders do not understand well how to handle the case. Neonates- children study of anaesthesia practice in Europe reported 5.8% cases of difficult intubation in neonates and babies, where two thirds of the cases serve as an unpredicted case. A well developed airway team might be the anwer to those problem because they are trained and obligated to have the skills and knowlegde before managing the case
Objectives: To assess the effectivity of a well developed simulation based longitudinal curriculum method to increase knowlegdge and practical skills especially interprofessional interaction in managing pediatric difficult airway cases
Materials and Methods: Twenty-four residents from otolaringology, pediatrics, and anesthesiology participated in four modules and two simulation-based training session using task trainers, and crisis scenarios using high fidelity manikin. Scenarios were based on various clinical settings and were followed by video-assisted structured debriefings. Individual cognitive and skill assessment, and non-technical skills during team simulation were assessed using validated checklist then analyzed statistically
Result: Overall, there is statistically significant improvement between the pre-test and post-test knowledge for all airway module (p<0.05 for all). Non-technicall skills during repeated team simulation with high fidelity manikin also show significant improvement with p-value 0.028. As for personal intubation skills, the result shows score reduction three months after the first traning.
Conclusion: A longitudinal simulation-based medical curriculum can be an effective method to teach airway management and non-technical skills to otolaryngology, pediatrics, and anesthesiology residents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dicka Adhitya Kamil
"Latar Belakang Pneumonia adalah suatu penyakit akibat infeksi pada paru yang menjadi masalah serius, dengan tingkat mortalitas yang mencapai 42,4% di Indonesia sendiri. Pneumonia dikaitkan dengan mortalitas tinggi, salah satunya pada kondisi kegagalan ekstubasi yang terjadi pada pasien yang memerlukan intubasi. Proses patologis ini dikaitkan dengan peningkatan sitokin proinflamasi seperti IL-6 yang dapat ditemukan pada serum ataupun bilasan bronkoalveolar. Penelitian-penelitin terdahulu belum menentukan kaitan sitokin IL-6 dengan prognosis pasien terkait mortalitas dan kegagalan ekstubasi, serta belum menentukan korelasi kadar IL-6 serum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal dan pasien gagal ekstubasi.
Tujuan Mengetahui perbandingan kadar IL-6 pada serum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien sesuai dengan status mortalitas dan ekstubasi pada pasien pneumonia berat, serta korelasi kadar IL-6 sersum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal dan gagal ekstubasi.
Metode Penelitian dengan desain kohort prospektif dilakukan pada 40 pasien pneumonia berat yang terintubasi dan menjalani tindakan bronkoskopi di IGD dan ruang intensif RSCM sejak November 2020 hingga Januari 2021. Kadar IL-6 pada pemeriksaan serum dan pemeriksaan bilasan bronkoalveolar kemudian dianalisis dengan observasi keberhasilan ekstubasi selama 20 hari dan status mortalitas selama 28 hari. Analisis univariat pada karakteristik pasien dilanjutkan dengan analisis bivariat dengan uji perbedaan dua rerata tidak berpasangan dengan data skala numerik dilakukan pada data sebaran normal dan uji Mann-Whitney dilakukan pada data sebaran tidak normal.
Hasil Dalam penelitian, didapatkan rasio gagal ekstubasi dan mortalitas sebesar 80% dan 75% secara berurutan. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar IL-6 serum ataupun bilasan bronkoalveolar pada status mortalitas dan ekstubasi pasien. Namun, ditemukan korelasi positif antara kadar IL-6 serum dan kadar IL-6 bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal (r=0,551) dan gagal ekstubasi (r=0,567).
Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar IL-6 serum dan bilasan bronkoalveolar antara pasien meninggal dan hidup, serta pasien berhasil atau gagal ekstubasi. Namun, terdapat hubungan positif antara kadar IL-6 serum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal dan gagal ekstubasi.

Background. Pneumonia is a disease caused by infection in the lungs which has become a serious health issue, with a mortality rate of 42.4% in Indonesia itself. Pneumonia is associated with high mortality, one of which is in conditions of extubation failure that occurs in patients who require intubation. This pathological process is associated with an increase in pro-inflammatory cytokines such as IL-6 that can be found in serum or bronchoalveolar lavage. Previous studies have not determined the association of the IL6 cytokine with the prognosis of patients related to mortality and extubation failure, nor have they determined the correlation of serum IL-6 levels and bronchoalveolar lavage in patients dying and patients failing to extubate.
Purpose. To analyze the comparison of IL-6 levels in serum and bronchoalveolar lavage in patients based on their mortality and extubation status in severe pneumonia patients, as well as the correlation of IL-6 levels in serum and bronchoalveolar lavage in patients who died and failed extubation.
Method. The study with a prospective cohort design was conducted on 40 severe pneumonia patients who were intubated and underwent bronchoscopic procedures in the emergency room and intensive room of RSCM from November 2020 to January 2021. IL6 levels were examined on serum and bronchoalveolar lavage sample, which then analyzed with the observation for extubation status for 20 days and mortality status for 28 days. Univariate analysis on patient characteristics was followed by bivariate analysis with unpaired two-mean difference tests with numerical scale data performed on normal distribution data and Mann-Whitney test performed on abnormal distribution data
Result. In the study, the ratio of extubation failure and mortality was 80% and 75% respectively. No significant difference was found between serum IL-6 levels or bronchoalveolar lavage IL-6 levels based on the mortality and extubation status of patients. However, a positive correlation was found between serum IL-6 levels and IL-6 levels of bronchoalveolar lavage in patients who died (r=0.551) and failed extubation (r=0.567).
Conclusion. There were no significant differences in serum IL-6 levels and bronchoalveolar lavage between deceased and living patients, as well as patients succeeded or failed to be extubated. However, there was a positive correlation between serum IL-6 levels and bronchoalveolar lavage IL-6 levels in patients who died and failed extubation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>