Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169681 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andrea Valencie
"Pengalaman buruk masa kecil menjadi suatu kejadian yang dampaknya besar bagi seseorang. Pengaruhnya dapat berlanjut hingga tahapan perkembangan selanjutnya dalam kehidupan. Kini, di Indonesia terdapat peningkatan kasus penganiayaan dan penelantaran anak. Pemahaman umum menekankan pengaruh negatif dari pengalaman buruk masa kecil. Namun, hal ini berbeda dengan yang ditemukan pada kasus kehidupan nyata, di mana individu yang mengalami pengalaman buruk masa kecil mengembangkan resiliensi dan perilaku prososial yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dan perilaku prososial pada populasi dewasa muda di Indonesia. Partisipan penelitian ini adalah 275 individu berusia 18-29 tahun yang berdomisili di Indonesia. Pengalaman buruk masa kecil diukur menggunakan alat ukur Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) dan perilaku prososial diukur menggunakan Prosocialness Scale for Adults (PSA). Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi pengalaman buruk masa kecil (M=39,51, SD=9,31), akan diikuti dengan penurunan frekuensi kecenderungan perilaku prososial (M=61,56, SD=9,56). Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia perlu menciptakan pengalaman yang baik di masa kecil, sehingga perilaku membantu di masa dewasa muda pun meningkat.

Adverse Childhood Experience (ACE) becomes an impactful event for someone. Its influence can continue into later stages of development in life. In Indonesia, there is an increase in cases of child abuse and neglect. Common understanding emphasizes the negative effects of ACE. However, this differs from what is found in real life cases, where individuals who experience ACE develop resilience and high prosocial behavior. This study aims to examine the relationship between ACE and prosocial behavior in emerging adults in Indonesia. The participants of this study were 275 individuals aged 18-29 who live in Indonesia. ACE were measured using the Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) and prosocial behavior was measured using the Prosocialness Scale for Adults (PSA). The results of the research analysis showed that the higher the frequency of negative childhood experiences (M=39.51, SD=9.31), the lower the frequency of prosocial behavior tendencies (M=61.56, SD=9.56). This demonstrates how Indonesians need to create good experiences in childhood, in order to help increase prosocial behavior in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Pebruarini
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dan kecenderungan malingering pada partisipan yang merupakan warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat kecenderungan untuk melakukan malingering pada korban yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa kecil, karena adanya keuntungan eksternal yang diharapkan. Malingering kerap kali muncul pada warga binaan. Warga binaan juga ditemukan seringkali mengalami pengalaman buruk masa kecil. Partisipan berjumlah 86 warga binaan yang diminta untuk mengisi kuesioner Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) milik WHO (2011) dan Structured Inventory of Malingered Symptomatology (SIMS) milik Smith dan Burger (1997), yang kemudian diolah dengan mengunakan Pearson Correlations. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman buruk masa kecil dan kecenderungan malingering pada warga binaan dewasa di Lembaga Pemasyarakan Salemba, Cipinang, dan Cibinong.

ABSTRACT
This study is conducted to determine the relationship between adverse childhood experiences and the tendency of malingering among prisoner participants. Previous research found that victims who have experienced childhood sexual abuse have a tendency for malingering, because of the external incentive expected. Malingering often arise on inmates. Inmates also found that often got adverse childhood experiences. 86 inmates were asked to fill Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) made by WHO (2011) and Structured Inventory of Malingered Symptomatology (SIMS) made by Smith and Burger (1997). The data were then processed by using Pearson Correlations. The results of the find that there is a significant relationship between adverse childhood experiences and the tendency of malingering among adult inmates at the Lembaga Pemasyarakan Salemba, Cipinang, and Cibinong."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S65480
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nini Hidayati Jusuf
"Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa cerita kenangan merupakan genre yang mempunyai susunan naratologis atau struktur cerita tertentu. Dengan kata lain untuk menemukan konvensi cerita kenangan masa kanak-kanak.
Pilihan atas korpus didasarkan pada asumsi bahwa karya-karya tersebut memiliki unsur-unsur cerita yang khas sesuai dengan pernyataan pengarang Pagnol dan Dini. Pertimbangan lai, kedua karya merupakan bagian pertama dari serial cerita kenangan Pagnol dan Dini yang khusus mengungkapkan kenangan masa kanak-kanak mereka.
Untuk memperoleh jawaban terhadap masalah, maka penelitian kedua cerita kenangan akan menggunakan pendekatan struktural. Metode ini melakukan pendekaran terhadap karya sastra dengan mempelajari hubungan-hubungan antar unsur yang fugsional dalam karya sastra untuk menemukan maknanya. Pendekatan semacam ini mempergunakan ilmu bahasa sebagai dasarnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beviena Mariska WongsaputraGloryka Ednadita, supevisor
"Literatur menunjukkan bahwa kedua bentuk kekerasan hubungan intim, yakni secara langsung yang disebut sebagai in-person intimate partner aggression (IPA) dan secara siber yang disebut sebagai cyber intimate partner aggression (CIPA), kerap kali terjadi pada populasi dewasa muda. Berdasarkan penelitian terdahulu, IPA dan CIPA dapat diprediksi oleh adverse childhood experience (ACE) melalui proses belajar sosial. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat peran ACE dalam memprediksi IPA dan CIPA, serta menguji hubungan antara kedua bentuk kekerasan tersebut. Penelitian ini melibatkan 945 individu dewasa muda di Indonesia yang pernah atau sedang menjalani hubungan romantis. Instrumen-instrumen yang digunakan adalah Revised Conflict Tactics Scales–Short Form (CTS2S; Straus & Douglas, 2004) untuk mengukur tindakan IPA; (2) Cyber Aggression in Relationship Scale (CARS; Watkins dkk., 2018) untuk mengukur tindakan CIPA; dan (3) Childhood Trauma Questionnaire–Short Form (CTQ- SF; Bernstein dkk., 2003) untuk mengukur ACE. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa dimensi physical assault, psychological aggression, dan sexual coercion dari IPA dan perilaku CIPA secara keseluruhan dapat diprediksi secara signifikan dan positif oleh ACE (β=0.005, SE=0.001, p>0.001; β=0.016, SE=0.002, p>0.001; β=0.005, SE=0.001, p>0.001; β=0.085, SE=0.016, p>0.001). Seluruh dimensi IPA ditemukan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan CIPA (p<0.001). Implikasi hasil penelitian serta saran metodologis dan praktis dibahas lebih lanjut.

The literature shows that both direct and online forms of intimate partner aggression, known as in-person intimate partner aggression (IPA) and cyber intimate partner aggression (CIPA), are common in the young adult population. Based on earlier studies, IPA and CIPA can be predicted by adverse childhood experience (ACE) through social learning processes. Therefore, this study was conducted to examine the role of ACE in predicting IPA and CIPA, as well as the relationship between the two forms of intimate partner aggression. This study involved 945 young adults in Indonesia who were or are currently in a romantic relationship. The instruments used were Revised Conflict Tactics Scales–Short Form (CTS2S; Straus & Douglas, 2004) to measure IPA; (2) Cyber Aggression in Relationship Scale (CARS; Watkins et al., 2018) to measure CIPA; and (3) the Childhood Trauma Questionnaire–Short Form (CTQ-SF; Bernstein et al., 2003) to measure ACE. The results of the regression analysis showed that the dimensions of IPA (physical assault, psychological aggression, and sexual coercion) and CIPA can be predicted significantly and positively by ACE (β=0.005, SE=0.001, p>0.001; =0.016, SE=0.002 , p>0.001; =0.005, SE=0.001, p>0.001; =0.085, SE=0.016, p>0.001). All dimensions of IPA were also found to have a positive and significant relationship with CIPA (p<0.001). The implications of the research as well as methodological and practical suggestions are discussed further."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Cahsya Ariefa
"Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu dewasa muda yang pernah mengalami Adverse Childhood Experience memaknai hubungan romantis dengan memahami pengalaman masa kecil yang menyakitkan, pola asuh, dan proses sosialisasi gender yang dialami oleh masing-masing partisipan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe fenomenologi. Peneliti mewawancarai 4 partisipan perempuan dan 2 partisipan laki-laki di rentang usia 19-24 tahun. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa pengalaman masa kecil yang menyakitkan, pola asuh, dan proses sosialisasi gender yang dialami berpengaruh pada bagaimana partisipan memandang diri dan pasangan, konflik serta kekerasan dalam hubungan romantis, serta bagaimana mereka mendefinisikan hubungan romantis yang sehat. Pengaruh tersebut menghambat partisipan dalam membangun kompetensi romantis yang baik sehingga mempersulit partisipan untuk membangun hubungan romantis yang sehat. Kesulitan yang dialami partisipan berbeda-beda. Ada yang mengalami kesulitan untuk keluar dari hubungan romantis yang berkekerasan, ada partisipan yang memutuskan hubungan romantis karena takut untuk merasakan emosi positif, dan ada partisipan yang melakukan kekerasan kepada pasangan. Walaupun begitu, lebih dari separuhnya menunjukkan peningkatan kompetensi romantis, belajar dari pengalaman menjalin hubungan romantis sebelumnya
This study aims to find out how young adults who have experienced Adverse Childhood Experience interpret romantic relationships by understanding painful childhood experiences, parenting patterns, and the process of gender socialization experienced by each participant. This study uses a qualitative method with a phenomenological type. Researcher interviewed 4 female participants and 2 male participants in the age range of 19-24 years. Based on the results of the analysis, it was found that painful childhood experiences, parenting, and the process of gender socialization experienced affect how participants view themselves and their partners, conflict, and violence in romantic relationships, and how they define healthy romantic relationships. This influence inhibits participants from building good romantic competence, making it difficult for them to build healthy romantic relationships. The difficulties experienced by the participants varied. There are those who have difficulty getting out of violent romantic relationships, there are participants who break off romantic relationships because they are afraid to feel positive emotions, and there are participants who commit violence to their partners. Even so, more than half showed increased romantic competence by learning from experiences in previous romantic relationships."
Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Alisha
"Berbagai studi telah dilakukan mengenai keterkaitan antara pengalaman sulit di masa kecil dengan depresi dan keterkaitan makna hidup dengan depresi. Peran kedua variabel tersebut terhadap depresi juga telah diteliti, akan tetapi, belum ada penelitian yang membandingkan peran keduanya terhadap depresi, khususnya pada populasi dewasa muda di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran pengalaman sulit di masa kecil dan makna hidup (keberadaan makna dan pencarian makna) terhadap depresi pada dewasa muda. Partisipan penelitian adalah dewasa muda yang berasal dari wilayah Jabodetabek (N=482), yang diberikan kuesioner BDI-II untuk mengukur depresi, ACE-Q untuk mengukur pengalaman sulit di masa kecil, dan MLQ untuk mengukur makna hidup. Hasil penelitian menggunakan analisis multiple linear regression menunjukkan bahwa pengalaman sulit di masa kecil memprediksi depresi secara positif, makna hidup pada dimensi keberadaan makna memprediksi depresi secara negatif, dan dimensi pencarian makna memprediksi depresi secara positif. Dibandingkan pengalaman sulit di masa kecil, makna hidup merupakan prediktor yang lebih kuat terhadap depresi, khususnya dimensi keberadaan makna. Berdasarkan hasil penelitian ini, kesadaran masayarakat mengenai makna hidup sebagai faktor resiko depresi perlu ditingkatkan dan praktisi kesehatan sebaiknya tidak fokus pada faktor resiko lingkungan saja, namun juga pada faktor resiko personal.

Many studies have done research about the relationship between adverse childhood experiences and depression and the relationship between meaning in life and depression. The role of those two variables in depression has also been done, however, there isn't any research that compares the role of both variables in depression, specifically, in the young adults population in Indonesia. This study aims to test the role of adverse childhood experiences and meaning in life (presence of meaning and searching for meaning) in depression in young adults. Participants of this study are young adults who live in Jabodetabek (N=482), who were given BDI-II questionnaire to measure depression, ACE-Q to measure adverse childhood experiences, and MLQ to measure meaning in life. The results of this study, using multiple linear regression, showed that adverse childhood experiences predicted depression positively, meaning in life in Presence Of Meaning dimension predicted depression negatively, and meaning in life in Search For Meaning dimension predicted depression positively Compared to adverse childhood experiences, meaning in life is the stronger predictor in depression, especially, in the dimension of presence of meaning. According to the results of this study, public awareness of meaning in life as a risk factor for depression needs to be raised and health practitioners should not just focus on the environmental risk factors that might cause depression, but also on personal risk factors."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranindya Pramudita Aranira
"Jumlah warga Negara Indonesia yang melakukan bunuh diri adalah sebesar 11 juta orang dengan memiliki latar belakang depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebanyak 50% orang yang mengalami adverse childhood experience akan berakhir memiliki gejala depresi di masa dewasa. Jenis attachment style di masa dewasa juga berhubungan dengan adverse childhood experience dan berkontribusi dalam memunculkan gejala depresi. Penelitian kali ini mencoba melihat hubungan antara adverse childhood experience, jenis attachment style di masa dewasa, dan gejala depresi. Gejala depresi diukur menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experience diukur dengan menggunakan Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), dan attachment style di masa dewasa diukur dengan menggunakan Adult Attachment Scale (AAS). Penelitian kali ini dilakukan terhadap 482 orang dewasa muda di jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara adverse childhood experience (r = 0,388, n = 482, p < 0,01). Adverse childhood experience memiliki hubungan yang signifikan dan paling besar dengan anxious attachment style di masa dewasa dibandingkan dengan jenis attachment lain (r = 0,271, n = 482, p < 0,01). Anxious attachment style di masa dewasa juga memiliki hubungan yang signifikan dan paling tinggi dengan gejala depresi dibandingkan dengan jenis attachment lainnya (r = 0,486, n = 482, p < 0,01). Penelitian ini memiliki limitasi yakni kriteria partisipan yang kurang terfokus terhadap orang-orang yang pernah mengalami adverse childhood experience dan proporsi sampel yang kurang merata.

The number of Indonesian citizens who commit suicide is 11 million people with a background of depression. Previous research has shown that as many as 50% of people who experience bad childhood experiences end up with depressive symptoms in adulthood. This type of stylistic attachment in adulthood is also associated with adverse childhood experiences and contributes to depressive symptoms. The current study looks at the relationship between adverse childhood experiences, types of attachment styles in adulthood, and symptoms of depression. Depressive symptoms were measured using the Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experiences as measured using the Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), and attachment style in adulthood measured using the Adult Attachment Scale (AAS). The current research was conducted on 482 young adults in Jabodetabek. The results showed that there was a positive and significant relationship between bad experiences during childhood (r = 0.388, n = 482, p <0.01). Adverse childhood experiences had a significant and greatest association with anxious attachment style in adulthood compared with other attachment types (r = 0.271, n = 482, p <0.01). Anxious attachment style in adulthood also had a significant and highest association with depressive symptoms compared to other types of attachments (r = 0.486, n = 482, p <0.01). The limitations of this study are, the criteria of participants are less focused on people who have experienced adverse childhood experience and the proportion of the sample is not evenly distributed."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Angela Chantika Putri
"Adverse Childhood Experiences (ACE) atau pengalaman masa kecil yang menyakitkan berhubungan dengan masalah kesehatan di masa dewasa. Salah satu dampak ACE adalah individu mungkin mengalami kesulitan dalam menjalani kedekatan dengan orang lain. Studi ini merupakan studi kualitatif yang ditujukan untuk menelusuri bagaimana individu memaknai ACE serta bagaimana implikasinya pada perilaku kelekatan individu di masa dewasa, terutama dalam konteks hubungan Friends With Benefits (FWB) – yakni hubungan yang menyatukan aspek pertemanan dan intimasi secara fisik, tanpa melibatkan komitmen romantis. Studi ini mencakup enam informan (empat informan yang sedang menjalani hubungan FWB dan dua informan yang pernah menjalani hubungan FWB, namun saat ini sedang menjalani hubungan pacaran) berusia antara 19-25 tahun. Informan yang dilibatkan merupakan individu-individu dengan skor Childhood Trauma Questionnaire – Short Form (CTQ-SF) (Bernstein dkk., 2003) yang tergolong parah. Proses wawancara dilakukan secara daring dan direkam. Hasil rekaman diubah menjadi data transkrip, kemudian dianalisis secara tematis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa ACE dapat mengganggu kelekatan antara anak dan figur pengasuhnya. Hal itu yang kemudian memicu kecenderungan individu untuk mengembangkan ekspektasi yang negatif tentang diri sendiri atau orang lain. Dalam studi ini, lima informan pernah menjadi korban perselingkuhan dalam hubungan romantis. Ekspektasi negatif akibat ACE dan pengalaman dikhianati oleh pasangan romantis semakin mengganggu rasa aman pada individu, sehingga memicu keterlibatan dalam hubungan FWB. Hubungan FWB memungkinkan individu untuk merasa dekat dengan orang lain, meskipun hal tersebut mungkin bersifat sementara dan tidak membantu individu menemukan kelekatan yang aman. Studi ini dapat menjadi psikoedukasi mengenai pengalaman traumatis dan pola relasi berisiko.

Adverse Childhood Experiences (ACEs) are related to health problems in adulthood. One of the impacts of ACE is the difficulty in maintaining closeness with others. This qualitative study explores how individuals interpret ACEs and their implications on attachment behavior in adulthood, particularly in Friends With Benefits (FWB) relationships – a relationship that combines aspects of friendship and sexuality without romantic commitment. This study included six informants (four informants in FWB relationships and two informants who have had FWB relationships but are now in romantic relationships) aged 19-25 years. The informants had a Childhood Trauma Questionnaire – Short Form (CTQ-SF) score (Bernstein et al., 2003), classified as severe. The interview process was conducted online and recorded. The results were converted into transcript data and thematically analyzed. The results of this study indicate that ACEs can interfere with the attachment between children and their caregivers. It triggers the individual's tendency to develop negative expectations about oneself or others. In this study, five informants had been victims of infidelity in romantic relationships. Negative expectations due to ACEs and the experience of being betrayed by a romantic partner further interfere with the individual's sense of security, thus triggering involvement in the FWB relationships. FWB relationships allow individuals to feel close to others, even though this relationship may be temporary, and does not help individuals to be securely attached. This research can be used for psychoeducation about traumatic experiences and risky sexual behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Jose Matthew Aldo
"Trauma masa kanak-kanak merupakan salah satu pengalaman traumatis yang terjadi ketika individu memasuki rentang usia 1 hingga 12 tahun. Tingginya angka gangguan mental emosional dan depresi di DKI Jakarta menjadi pertanda kemungkinan adanya trauma masa kanak-kanak pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Adanya trauma masa kanak-kanak dapat saja menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang masih mencari makna hidupnya.  Penelitian ini sendiri bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara trauma masa kanak-kanak dengan makna hidup. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan kuesioner secara daring, menggunakan alat ukur Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF) dan Three-Dimensional Meaning in life scale (3DM). Penelitian melibatkan 146 partisipan dengan rentang usia 18—25 tahun dan berdomisili DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara trauma masa kanak-kanak dan makna hidup (r (145) = -0,632, p < 0,01, two-tailed). Dari hasil tersebut, terdapat hubungan negatif antara trauma masa kanak-kanak dengan makna hidup.

Childhood trauma is a traumatic experience that occurs when individuals enter the age range of 1 to 12 years. The high rate of emotional mental disorders and depression in DKI Jakarta is a sign of the possibility of childhood trauma in emerging adulthood in DKI Jakarta. The presence of childhood trauma can be a challenge in itself for those who are still looking for the meaning of their lives. This research itself aims to determine the relationship between childhood trauma and the meaning of life. The research was carried out using an online questionnaire, using the Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF) and Three-Dimensional Meaning in life scale (3DM) measuring instruments. The research involved 146 participants with an age range of 18-25 years and domiciled in DKI Jakarta. The results showed that there was a significant negative relationship between childhood trauma and meaning in life (r (145) = -0.632, p < 0.01, two-tailed). From the results, we can conclude that there’s a negative correlation between childhood trauma and meaning in life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Deceiria Adventine
"ABSTRAK
Studi ini menggunakan prinsip Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) untuk mengatasi masalah perilaku disruptive pada anak laki-laki usia 9 tahun. Melalui prinsip PCIT sebagai intervensi dyadic, ibu diajarkan dan dilatihkan kemampuan untuk menciptakan interaksi yang hangat dan cara pendisiplinan yang efektif.
Studi ini menggunakan desain penelitian single subject design. Guna mengevaluasi efektivitas hasil intervensi ini, peneliti menggunakan DPICS-III untuk mengukur perkembangan interaksi antara ibu dan anak, Eyberg Childhood Behavior Inventory (ECBI) dan Child Behavior Checklist (CBCL) untuk mengukur intensitas masalah perilaku disruptive. Hasil program intervensi menunjukkan bahwa terdapat perkembangan kualitas interaksi antara ibu dan anak, serta penurunan skor pada ECBI dan CBCL. Hasil yang didapatkan tersebut menunjukkan bahwa penerapan prinsip PCIT efektif untuk mengatasi perilaku disruptive pada anak usia middle childhood

ABSTRACT
The study used the Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) to overcome disruptive behavior on 9 years old male child. Through the principals used in PCIT as the dyadic intervention, the mother taught and coached on the ability to create a warm interaction as the effective disciplinary. The study is a singlesubject study. To evaluate the effectiveness of the result, the study measured the development of interaction between the mother and child using the Dyadic Parent-Child Interaction Coding System – III (DPICS-III) and the disruptive behavior intensity using Eyberg Childhood Behavior Inventory (ECBI) dan Child Behavior Checklist (CBCL). The result shows that the intervention resulted in a quality development between the mother-child interaction and a decrease in the ECBI and CBCL score. The result indicate that the principals used in PCIT may the effective to overcome disruptive behavior on middlechild-aged child."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T41894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>