Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212615 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puput Tripeni Juniman
"Penelitian ini mengkaji resepsi pembaca fan fiksi subgenre alternate universe (AU) yang menggunakan face claim atau visualisasi tokoh di media sosial Twitter. Penelitian ini melihat AU dalam ruang media baru yang mesti dipahami dalam konteks transmedia storytelling dan budaya konvergensi atau convergence culture . Studi resepsi encoding/decoding dari Stuart Hall digunakan untuk memahami fenomena yang diteliti. Penulis AU dan enam pembaca menjadi sumber data dalam penelitian kualitatif interpretif yang dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga posisi pembacaan: dominan, negosiasi, dan negasi, namun ketiganya bersifat dinamis dan bukan trikotomis seperti asumsi Stuart Hall. Hubungan parasosial, pengalaman, posisi sosial, emosional, kecakapan terhadap teknologi, dan sosiodemografi pembaca dalam proses resepsi menciptakan posisi pembacaan yang dinamis dan kontekstual. Rekomendasi terkait studi kedepan dan implikasi praktis diajukan dalam tesis ini.

This research examines fan fiction readers' receptions of Alternate Universe (AU) using face claims or face visualization on Twitter. This research sees AU in a new media space that must be understood in the context of transmedia storytelling and convergence culture. Stuart Hall's encoding/decoding reception study is used to understand the phenomenon under study. The AU writer and six readers became the data sources in the interpretative qualitative research conducted. The results show that there are three reading positions: dominant, negotiation, and negation, but the three are dynamic and not trichotomous as assumed by Stuart Hall. The reader's parasocial, experiential, environmental, emotional, technological, and sociodemographic relationships in the reception process create dynamic and contextualized reading positions. Recommendations regarding future research and practical implications are proposed in this thesis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shastia Chita Adedisza
"Campur kode adalah fenomena bahasa ketika terdapat penggunaan lebih dari satu bahasa dalam suatu tuturan atau wacana. Fenomena campur kode dapat ditemukan dalam wacana lisan dan tulis. Penggunaan campur kode dalam data tertulis banyak terdapat dalam karya fan fiksi alternate universe (AU) di Twitter. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan bentuk dan jenis campur kode yang terdapat dalam AU. Data bersumber dari kumpulan AU karya akun Twitter @NAAMER1CANØ. Karya yang digunakan adalah AU dari cerita Jagat & Sodkat periode Agustus 2022, yaitu (1) “Dipertemukan pendidikan, disatukan kesalahpahaman, namun harus dipisahkan oleh masa depan”; (2) “Saya bukan Jagat yang dulu”; dan (3) “Belajar Gitar”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan berlandaskan teori campur kode. Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil berupa campur kode berbentuk kata, frasa, klausa, baster, reduplikasi kata, dan idiom. Selain itu, ditemukan 3 jenis campur kode, yaitu campur kode ke dalam, campur kode ke luar, dan campur kode campuran.

Code-mixing is a language phenomenon when there is the use of more than one language in an utterance or discourse. The phenomenon of code-mixing can be found in spoken and written discourse. There are many uses of code-mixing in written data, one of which is in the work of alternate universe fan fiction (AU) on Twitter. This study aims to explain and describe the form and type of code-mixing contained in AU. The data comes from a collection of AUs by the Twitter account @NAAMER1CANØ. The works used are AUs from the Jagat & Sodkat story in the August 2022 period, namely (1) “Dipertemukan pendidikan, disatukan kesalahpahaman, namun harus dipisahkan oleh masa depan”; (2) “Saya bukan Jagat yang dulu”; and (3) “Belajar Gitar”. This research uses descriptive qualitative method based on the theory of code-mixing. Based on the research, the results obtained in the form of code- mixing in the form of words, phrases, clauses, baster, word reduplication, and idioms. In addition, 3 types of code-mixing were found, namely inner code-mixing, outer code-mixing, and hybrid code-mixing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Anggi Ropininta
"Perluasan budaya populer Korea Selatan ke seluruh penjuru dunia beberapa tahun ke belakang secara pesat membuatnya digemari oleh banyak masyarakat dunia. Industri musik pop Korea Selatan atau yang dikenal sebagai K-Pop merupakan salah satu di antaranya. Kondisi tersebut didorong oleh masifnya pertumbuhan media sosial yang mampu menyebarkan informasi secara cepat dan luas. Dengan media baru tersebut, industri musik kemudian mencari berbagai cara untuk memasarkan musiknya ke seluruh dunia dan strategi transmedia storytelling menjadi salah satu strategi pemasaran yang disukai oleh industri kreatif. Dengan membangun narasi fiktif dan memperkenalkan worldview industri musik masa depan bernama SM Culture Universe (SMCU), SM Entertainment kemudian memulai strategi pemasaran transmedia. Di dalam jurnal makalah ini, peneliti berfokus untuk menelaah penggunaan strategi transmedia storytelling oleh SM Entertainment dan pemenuhan ketujuh prinsip dari strategi tersebut. Peneliti menggunakan metode konten analisis kualitatif dari berbagai konten yang diunggah oleh SM Entertainment melalui platform media sosial seperti instagram, twitter, dan youtube. Secara keseluruhan, agensi tersebut telah menerapkan ketujuh prinsip transmedia storytelling secara baik dengan kemampuan agensi tersebut untuk menarik perhatian dan partisipasi khalayaknya.

South Korean popular culture's expansion in the past few years has rapidly made it popular worldwide. The South Korean pop music industry, known as K-Pop, is one of them. This current condition is driven by the massive growth of social media and its ability to disseminate information quickly and widely. With this new media, the music industry is looking for various ways to market their music worldwide. Transmedia storytelling strategy is one of the marketing strategies favored by the creative industry. By building a fictitious narrative and introducing a worldview of the future music industry called SM Culture Universe (SMCU), SM Entertainment then started their transmedia marketing strategy. In this journal paper, the author focuses on examining the use of the transmedia storytelling strategy by SM Entertainment and the fulfillment of the seven principles of this particular strategy. The study uses a qualitative content analysis method of various content uploaded by SM Entertainment through social media platforms such as Instagram, Twitter and YouTube. Overall, the agency has implemented the seven principles of transmedia storytelling well with the agency's ability to attract audience attention and participation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Aloina Majesty
"Penelitian ini menekankan peran media dalam mengkonstruksi dan menyebarkan konten yang membentuk persepsi penggemar terhadap realitas asli dan realitas semu. Penelitian ini mengkaji Alternate Universe (AU) di X (Formerly Twitter) sebagai salah satu bentuk media di ruang digital dengan dasar berpikir teori Computer Mediated Communication (CMC). Penggemar AU dengan face-claim grup idola K-Pop Neo Culture Technology (NCT) menjadi fokus pada penelitian ini. Hiperrealitas yang dialami penggemar dalam studi ini dilihat melalui beberapa konsep: media sebagai simulasi, pengaburan realitas nyata dan semu, multiplisitas realitas dan partisipasi dalam hiperrealitas.
Menggunakan strategi penelitian etnografi digital, penelitian ini mengkaji pengalaman dan aktivitas informan yang secara unik mengkonstruksi hiperrealitas sebagai penggemar AU NCT di X (Formerly Twitter) secara kualitatif. Melalui wawancara mendalam terhadap empat orang informan, ditemukan bahwa penggemar membangun pengalaman hiperrealitas melalui konsumsi AU, yang mengarah pada pengaburan realitas nyata. Meski demikian, kegiatan ini memantik partisipasi aktif dalam konsumsi dan produksi AU.
Temuan menunjukkan bahwa penggemar mengalami tiga fase hiperrealitas (simulacra sebagai cerminan realitas, menutup reaitas, dan menutupi realitas) yang berkontribusi terhadap konstruksi budaya penggemar dan budaya partisipatif. Hiperrealitas yang dialami penggemar mengarah pada berkembangnya budaya penggemar dan budaya partisipatif, sehingga mengubah penggemar dari konsumen pasif menjadi produsen aktif fiksi penggemar AU.

This research emphasizes the role of the media in constructing and disseminating content that shapes fans' perceptions of real reality and pseudo reality. This research examines Alternate Universe (AU) on X (Formerly Twitter) as a form of media in the digital space based on Computer Mediated Communication (CMC) theory. AU fans with the face-claim of the K-Pop idol group Neo Culture Technology (NCT) are the focus of this research. The hyperreality experienced by fans in this study is seen through several concepts: media as simulation, blurring of real and pseudo reality, multiplicity of realities and participation in hyperreality.Using a digital ethnographic research strategy, this research qualitatively examines the experiences and activities of informants who uniquely construct hyperreality as NCT AU fans on X (Formerly Twitter). Through in-depth interviews with four informants, it was found that fans construct hyperreality experiences through AU consumption, which leads to the blurring of real reality. However, this activity sparked active participation in AU consumption and production. The findings show that fans experience three phases of hyperreality (simulacra as a reflection of reality, covering up reality, and covering up reality) which contribute to the construction of fan culture and participatory culture. The hyperreality experienced by fans leads to the development of fan culture and participatory culture, thereby changing fans from passive consumers to active producers of AU fan fiction."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Natanael
"Riset ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam identitas dan hierarki para penggemar Marvel Cinematic Universe (MCU) dalam gerakan #RecastTChalla dan mengaitkannya dengan penelitian-penelitian terdahulu. Gerakan ini muncul sebagai respon untuk mendorong Marvel Studios agar mempertimbangkan kembali keputusan mereka yang menolak untuk mencari pengganti Chadwick Boseman dalam perannya sebagai T'Challa. Identitas dan hierarki antara penggemar satu dengan lainnya dapat terbentuk dan terlihat melalui interaksi mereka di Twitter. Kajian ini akan menggunakan konsep fandom, online fandom, fan identities, dan hierarchies of fan identity. Metode penelitian yang dilakukan adalah observasi interaksi penggemar MCU di Twitter dengan tagar #RecastTChalla, kajian literatur, dan analisis tematik idetintas penggemar. Hasil temuan riset ini menunjukkan bahwa terdapat dua tema untuk mengungkap identitas penggemar, yaitu “being a stan” dan “being an anti”. Kemudian, kedua tema identitas reguler tersebut menunjukkan atau berubah menjadi identitas hierarkis. Terdapat tiga tema untuk mengungkap identitas hierarkis, yaitu “parasocial”, “theorizing”, dan “anger”. Berdasarkan hasil temuan, dapat disimpulkan bahwa tema-tema yang digunakan dapat membantu dalam memahami cara penggemar menegaskan identitas dan hierarki mereka melalui interaksi dalam gerakan #RecastTChalla. Kajian fandom ini juga akan memberikan keunggulan pemasaran untuk para produser, karena fandom sebagai komunitas dengan segala praktik dan aktivitasnya dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi produser.
This research aims to further dissect the identities and hierarchies of Marvel Cinematic Universe (MCU) fans within the #RecastTChalla movement and connect these findings to past research. This movement emerged in response to urging Marvel Studios to reconsider their decision not to recast Chadwick Boseman in his role as T'Challa. Identities and hierarchies among fans can be formed and observed through their interactions on Twitter. This research uses the concept of fandom, online fandom, fan identities, and hierarchies of fan identity. The research methods include observing MCU fans' interactions on Twitter using the hashtag #RecastTChalla, literature review, and thematic analysis of fan identities. The research findings indicate that there are two themes for revealing fan identities: "being a stan" and "being an anti". These regular identity themes then show or evolve into hierarchical identities. There are three themes for revealing hierarchical identities: "parasocial", "theorizing", and "anger". Based on the findings, it can be concluded that these themes help in understanding how fans assert their identities and hierarchies through interactions in the #RecastTChalla movement. This fandom study will also provide marketing advantages for producers, as the fandom, with all its practices and activities, can become a significant source of revenue for producers."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: KEMENTRIAN PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,
059 TRM
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Jessycarania Jaxentia
"Korean Wave atau Hallyu telah memasuki era 2.0 di mana fans global dari seluruh penjuru dunia dapat menikmati budaya populer Korea melalui pengalaman transmedia di media sosial. Fenomena ini kemudian mendorong meningkatnya penggunaan konsep transmedia dalam strategi branding grup K-pop sebagai aktor budaya dalam Hallyu 2.0, salah satunya adalah penerapan transmedia branding. Menggunakan metode analisis konten, penelitian ini menganalisis bagaimana AESPA membangun brand persona melalui implementasi transmedia branding pada strategi branding mereka sebagai girl group K-pop representatif di era Hallyu 2.0. Penelitian ini menemukan bahwa AESPA menerapkan konsep transmedia branding dengan menggunakan tiga elemen desain, yaitu: narasi, partisipasi, dan brand. Penerapan elemen desain ini diperkuat dengan penciptaan worldview yang secara eksklusif mewadahi narasi AESPA serta inkorporasi teknologi mutakhir yang mendorong perluasan penyampaian pesan brand secara berkelanjutan ke cakupan audiens baik di ruang virtual dan juga dunia nyata. Melalui citra, identitas, nilai, dan keunggulan dari brand AESPA yang terdefinisi melalui penerapan ketiga elemen transmedia branding tersebut, AESPA dapat memperkuat brand persona-nya sebagai “Metaverse girl group” yang membuat nilai kompetitif AESPA di lanskap industri K-pop menjadi lebih tinggi.

Korean Wave or Hallyu has entered its 2.0 era where global fans from around the world can enjoy Korean pop culture through transmedia experience in social media. This phemomenon then has led onto the increasing of transmedia concept usage on K-pop groups’ branding strategies as one of the cultural actors in Hallyu 2.0, which one of them is transmedia branding implementation. Using content analysis method, this study analyses how AESPA build their brand persona through transmedia branding implementation in their branding strategy as one of the representative K-pop girl groups in Hallyu 2.0 era. Findings found that AESPA has implemented transmedia branding concept using its three design elements, which are: narratives, participation, and brands. This three element designs impelementation is amplified by worldview building that exclusively accomodated AESPA’s narration and also advent technology incorporation that has driven expansive message dissemination continuously to audiences in virtual and also real world. Thus, through image, identity, value, and competitive values of AESPA as a brand that have been defined through transmedia branding’s elemen designs, AESPA are able to strengthen their brand persona as a “Metaverse girl group” that has significantly elevated AESPA’s competitive value in K-pop industry landscape."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adiva Charisma Zafira
"Korean pop music often referred to as K-pop, is one of Hallyu’s biggest industries. Hallyu, or the Korean wave, is the term used to describe the globalisation of South Korean culture that encompasses many aspects of Korean pop culture (Nye, 2009). The K-pop industry has participated in various ways throughout the many generations to renew and enhance the K-pop experience as a means to tackle the boundaries of the international entertainment industry as well as globalisation and the oversaturation of the market itself. This study's curiosity is focused on K-pop idol groups' content and product distribution, especially for Stray Kids, one of the many currently active fourth-generation idol groups and Hallyu 4.0. Thus, grounded in Jenkins' Transmedia Storytelling principles (2009), this study seeks to examine the various media channels used by Stray Kids to release their content using Jenkins' concept of the Principles of Transmedia Storytelling. The findings suggest that 1) Stray Kids’ content dispersal encompasses transmedia storytelling; 2) there is an obvious highlight of interest in the creation of content that provides depth to idols’ identity.

Musik pop Korea, sering disebut sebagai K-pop, adalah salah satu industri terbesar Hallyu. Hallyu, atau Korean
wave, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan globalisasi budaya Korea Selatan yang mencakup
banyak aspek budaya pop Korea (Nye, 2009). Industri K-pop telah memperbarui dan meningkatkan K-pop, sebuah
perluasan yang terlihat dari generasi ke generasi, khususnya dalam hal konten; baik secara kuantitas,
kualitas, maupun penggunaan media selama empat era Hallyu atau gelombang budaya pop Korea. Oleh
karena itu, penelitian ini akan berfokus pada sifat transmisi konten dan distribusi produk Stray Kids sebagai
salah satu idol group K-pop generasi keempat yang juga merupakan bagian dari Hallyu 4.0. Studi kasus ini
akan menggunakan analisis konten serta prinsip Transmedia Storytelling dari Henry Jenkins (2009) sebagai
landasan teori dalam menelaah berbagai saluran media yang digunakan oleh Stray Kids untuk merilis
konten mereka. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penilitian ini adalah sebagai berikut: 1)
penyebaran konten Stray Kids mencakup transmedia storytelling; dan 2) terdapat minat pada produksi
konten yang membantu dalam membangun identitas idol.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Azzura Fredella
"Popularitas industri hiburan Korea Selatan mengalami perkembangan pesat dalam satu dekade terakhir dan K-pop menjadi salah satu faktor pendorong di balik popularitas tersebut. Hal ini tidak lepas dari beragam strategi pemasaran yang dilakukan oleh agensi pengelola dalam memasarkan musik para artisnya. Agensi pengelola sangat pandai penggunakan media sosial untuk meningkatkan kesadaran akan artis dan musik baru, berinteraksi dengan penggemar, dan mendistribusikan musik dengan biaya yang relatif rendah. Salah satu strategi yang kini mulai dilirik oleh banyak agensi pengelola adalah transmedia storytelling, sebuah strategi perluasan narasi yang didistribusikan melalui berbagai saluran media untuk menambah wawasan baru terhadap keseluruhan narasi. Strategi ini telah digunakan oleh beberapa grup, tetapi perluasan narasi yang kompleks terlihat dari SM Culture Universe (SMCU) milik SM Entertainment dan Bangtan Universe milik BTS. SMCU menggunakan jenis transmedia bergaya West Coast yang bersifat ringan, sedangkan Bangtan Universe menggunakan perpaduan gaya West Coast dan East Coast yang bersifat lebih interaktif. Kedua semesta ini menggunakan pendekatan media yang berbeda yang menyesuaikan dengan narasi yang mereka angkat. Melalui transmedia storytelling, baik SMCU maupun Bangtan Universe membuka ruang partisipasi bagi penggemar untuk terlibat dalam narasi utama melalui petunjuk-petunjuk kecil yang diberikan dalam setiap media. Hal ini tentunya akan semakin membangun loyalitas antara artis dan penggemarnya.

The popularity of South Korean entertainment industry has grown rapidly in the last decade and K-pop is one of the supporting factors of this popularity. This is inseparable from the various marketing strategies conducted by the management agency to promote the music of its artists. Management agencies are very good at using social media to raise awareness of new artists and music, interact with fans, and distribute music at a relatively low cost. One strategy that is looked by many management agencies nowadays is transmedia storytelling, a narrative expansion strategy that is distributed through various media channels to add new insights to the overall narrative. This strategy has been used by several groups, but the complex narratives is seen in SM Entertainment's SM Culture Universe (SMCU) and BTS's Bangtan Universe. SMCU uses West Coast Transmedia style, meanwhile Bangtan Universe uses a blend of West Coast and East Coast styles that are more interactive. These two universes use different media approaches that conform to the narratives they adopt. Through transmedia storytelling, both SMCU and Bangtan Universe open up space for fans to be involved in the main narrative through small clues given in each medium. This of course will further build loyalty between the artist and the fans."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Azzura Fredella
"Popularitas industri hiburan Korea Selatan mengalami perkembangan pesat dalam satu dekade terakhir dan K-pop menjadi salah satu faktor pendorong di balik popularitas tersebut. Hal ini tidak lepas dari beragam strategi pemasaran yang dilakukan oleh agensi pengelola dalam memasarkan musik para artisnya. Agensi pengelola sangat pandai penggunakan media sosial untuk meningkatkan kesadaran akan artis dan musik baru, berinteraksi dengan penggemar, dan mendistribusikan musik dengan biaya yang relatif rendah. Salah satu strategi yang kini mulai dilirik oleh banyak agensi pengelola adalah transmedia storytelling, sebuah strategi perluasan narasi yang didistribusikan melalui berbagai saluran media untuk menambah wawasan baru terhadap keseluruhan narasi. Strategi ini telah digunakan oleh beberapa grup, tetapi perluasan narasi yang kompleks terlihat dari SM Culture Universe (SMCU) milik SM Entertainment dan Bangtan Universe milik BTS. SMCU menggunakan jenis transmedia bergaya West Coast yang bersifat ringan, sedangkan Bangtan Universe menggunakan perpaduan gaya West Coast dan East Coast yang bersifat lebih interaktif. Kedua semesta ini menggunakan pendekatan media yang berbeda yang menyesuaikan dengan narasi yang mereka angkat. Melalui transmedia storytelling, baik SMCU maupun Bangtan Universe membuka ruang partisipasi bagi penggemar untuk terlibat dalam narasi utama melalui petunjuk-petunjuk kecil yang diberikan dalam setiap media. Hal ini tentunya akan semakin membangun loyalitas antara artis dan penggemarnya.
The popularity of South Korean entertainment industry has grown rapidly in the last decade and K-pop is one of the supporting factors of this popularity. This is inseparable from the various marketing strategies conducted by the management agency to promote the music of its artists. Management agencies are very good at using social media to raise awareness of new artists and music, interact with fans, and distribute music at a relatively low cost. One strategy that is looked by many management agencies nowadays is transmedia storytelling, a narrative expansion strategy that is distributed through various media channels to add new insights to the overall narrative. This strategy has been used by several groups, but the complex narratives is seen in SM Entertainment's SM Culture Universe (SMCU) and BTS's Bangtan Universe. SMCU uses West Coast Transmedia style, meanwhile Bangtan Universe uses a blend of West Coast and East Coast styles that are more interactive. These two universes use different media approaches that conform to the narratives they adopt. Through transmedia storytelling, both SMCU and Bangtan Universe open up space for fans to be involved in the main narrative through small clues given in each medium. This of course will further build loyalty between the artist and the fans.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>