Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168813 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naila Elvarra Octiasti
"Tanaman ganja atau cannabis sativa merupakan tanaman liar yang seluruh bagiannya memiliki kandungan psikoaktif, yaitu delta 9 tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). Tanaman ganja dapat digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit tertentu, salah satunya adalah cerebral palsy. Cerebral palsy merupakan gangguan pada fungsi otak. Isu penggunaan ganja sebagai pengobatan untuk penyakit tertentu kembali terangkat di Indonesia ketika seorang ibu melakukan aksinya yang menyerukan ia membutuhkan tanaman ganja untuk pengobatan anaknya yang mengalami cerebral palsy. Berangkat dari hal tersebut timbul beberapa rumusan masalah antara lain: (1) Pengaturan penyandang disabilitas terkait penyakit cerebral palsy; (2) Pengaturan ganja di Indonesia untuk keperluan medis; dan (3) Analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XVIII/2020. Bentuk penelitian berupa yuridis-normatif, tipe penelitian deskriptif, pendekatan kualitatif, dan bahan hukum primer, sekunder, serta tersier. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara. Pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan cerebral palsy dengan kejang tidak dapat digunakan di Indonesia karena selain penggunaannya dilarang oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Indonesia juga belum memiliki penelitian terhadap pemanfaatan tanaman ganja dalam bidang. Dampak adanya putusan tersebut antara lain adalah adanya kepastian hukum, tertutupnya peluang pengujian kembali, pemerintah harus segera melakukan penelitian ganja medis, serta penentuan kebijakan ada di Dewan Perwakilan Rakyat.

Cannabis plant or cannabis sativa is a wild plant that contains of psychoactive component: delta 9 tetrahydrocannabinol (THC) and cannabidiol (CBD). Based on literature, it is stated that cannabis plant can be used as a treatment for a certain diseases, one of which is cerebral palsy. Cerebral palsy is a neurological disorder caused by a brain injury. The issue of the use of cannabis as a therapy treatment for certain disease was again raised in Indonesia when a mother took action on behalf of her daughter who has cerebral palsy and needs cannabis plants for the treatment. Departing from this, several questions arise, including: (1) Regulations for person with disabilities related to cerebral palsy; (2) Regulations of cannabis in Indonesia in the medical field; (3) Analysis Decisions of the Constitutional Court Number 106/PUU-XVIII/2020. The research was using juridical-normative methods, descriptive research types, qualitative approaches, and primary, secondary, and tertiary legal materials. The data collection tools used were literature studies and interviews. The use of the cannabis plant for therapy treatment of cerebral palsy with seizures cannot be used in Indonesia, apart from being prohibited by Law of the Republic of Indonesia Number 35 of 2009, Indonesia also does not have research on the use of cannabis plants in the medical field. The impact of this decision includes the existence of legal certainty, closing the opportunity for re-testing, the government must immediately conduct research on medical cannabis, and policies in the House of Representatives."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tati Asiati Pouw
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1968
S2193
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rambe, Abdul Mutholib
"Telah dilakukan penelitian mengenai tingkat kecerdasan pasien anak penyandang kelumpuhan otak (CP) di Yayasan pembinaan anak cacad (YPAC) Medan, dengan menghubungkan antara jenis CP, derajat retardasi mental, serta jenis kelamin. Penelitian dilaksanakan secara potong lintang, meliputi semua pasien dengan CP yang terdaftar dalam buku registrasi poliklinik YPAC Medan antara Juli 1987-Juni 1998. Semua di antara 74 pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini mempunyai IQ di bawah rata-rata dan 62% di antaranya berjenis perempuan. Jenis yang paling banyak ialah tipe spastik (65%), kemudian campuran (16%), diskinetik (11%) dan hipotonik (8%). Secara keseluruhan, golongan CP campuran mempunyai derajat retardasi mental paling berat. Secara statistik terdapat hubungan bermakna antara jenis CP dengan tingkat retardasi mental (P < 0.001), dan tak terdapat hubungan bermakna antara jenis CP dengan jenis kelamin. (Med J Indones 2002; 11: 242-5)

Children with cerebral palsy has been investigated at YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat / Institute for Crippled Children) Medan to obtain the detailed description of patient?s intelligence level referring to cerebral palsy types and to determine the relationship between palsy types and mental retardation level as well as to relate cerebral palsy types and sex. The study is cross-sectionally conducted involving all cerebral palsy patients listed in registration book of YPAC Policlinic Medan from July 1987 to June 1998. Of 74 patients participated in the study, all had IQ under average and 62% them were female. The most common type is spastic (65%), followed by mixed (16%), dyskinetic (11%) and hypotonic (8%), respectively. Overall, the mixed type had severe mental retardation. Statistically, there is a significant relationship between cerebral palsy types and mental retardation level (p < 0.001). There is no significant relationship between cerebral palsy types and sex. (Med J Indones 2002; 11: 242-5)"
Medical Journal of Indonesia, 2002
MJIN-11-4-OctDec2002-242
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Oxford: Butterworth-Heinemann, 2009
618.92 FIN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dhea Erissa
"Para difabel (different ability) sering tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan layaknya individu lainnya akibat adanya stigma negatif, keterbatasan sarana, dan kelemahan penerapan kebijakan. Skripsi ini membahas mengenai keterbatasan fisik akibat Cerebral Palsy yang tidak menjadi penghalang mencapai cita-cita pada diri difabel. Melalui metode autoetnografi, penelitian ini menganalis pengalaman personal saat menjalani pendidikan, serta pengalaman berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sosial dalam perjalanan meraih cita-cita. Faktor penting untuk mencapai cita-cita adalah rasa percaya diri, serta dukungan pengelola pendidikan dalam menyiapkan sarana dalam proses pembelajaran. Terdapat beberapa penerapan kebijakan yang tidak mendukung kelancaran aktivitas para difabel.

Difabel (people with different ability) often have no opportunity to do activities like other people due to negative stigmas, limited facilities, and the weakness of policies framework. This scription discusses on the physical limitations due to Cerebral Palsy which is not hindering the achievement of difabel’s future. Through auto-etnography method, this research analyses the personal experiences in educational environment and other social environments. The important factors which contribute to achieving goals future self-confidence as well as support from education managers in setting up facilities. There are some policies that do not favor the fluency of difabel’s activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Herliana
"Cerebral palsy (CP) merupakan kelainan motorik yang banyak ditemukan pada anakanak dan kejadiannya semakin meningkat setiap tahun. Secara umum, merawat cerebral palsy membebani secara fisik, mental, sosial dan ekonomi. Penelitian fenomenologi ini penting dilakukan untuk mengeksplorasi secara mendalam pengalaman keluarga dalam merawat anak CP. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 7 orang caregiver CP yang diambil dengan menggunakan metode Criterion sampling dipilih oleh peneliti. Tema yang teridentifikasi terkait pengalaman merawat anak CP berjumlah 10 tema, yaitu kemungkinan penyebab CP, tanda dan gejala yang diamati oleh keluarga, upaya mencari pertolongan terhadap masalah CP, perkembangan anak CP, perilaku yang mendukung dan belum mendukung perawatan anak CP, sumber dan bentuk dukungan, sumber dan bentuk hambatan, bentuk harapan dan kebutuhan, dan makna yang terungkap adalah menerima kondisi ?kekurangan? anak CP dan pengalaman merawat anak CP merupakan "trauma" bagi ibu. Perawat komunitas berperan dalam tiga level pencegahan, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier baik itu bagi calon ibu, bagi ibu hamil, ibu dengan balita serta ibu yang memiliki anak CP.

Cerebral palsy (CP) is a motoric impairment that found in many children and the incidence increasing every year. Generally, caring CP is thoughtfull by physic, mental, social and economy. Study of phenomenology is important to explore the family experience of caring children with CP deeply. The participants in this study are 7 caregiver of CP and taken by criterion sampling method. Ten themes idenfied from this study. The themes are the effect of CP cause, the sign that the parents see, the things that to search the help CP problem, the kids grow up CP, the kind of habbits thas support and not support of caring of CP, the source and supports, the source and not support, hope and need, and the meaning that will be accept is to accept the ?less? of Cp condition and the caring of children with CP is the "traumatic" even for mother. There are primary, secondary, and tertiary level of prevention. Not only for the woman who want to be a mother, pregnant, the mother with toddler but also for mother who have children with CP."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eka Putri
"Spastisitas pada palsi serebral merupakan penyebab disabilitas terbesar pada anak-anak 80 . Akupunktur sebagai terapi tambahan diketahui dapat membantu mengurangi spastisitas pada anak dengan palsi serebral. Salah satu modalitas akupunktur dengan efek samping minimal dan aman untuk anak-anak adalah laserpunktur. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh laserpunktur pada titik GV20, GV14, LI4, GB34 dan LR3 terhadap spastisitas pada palsi serebral tipe spastik. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal dengan kontrol. Melibatkan 60 pasien palsi serebral tipe spastik usia 2-10 tahun yang dibagi menjadi dua kelompok. Pasien yang menyelesaikan terapi hingga akhir penelitian adalah 52 orang, 8 pasien dinyatakan dropout. Kelompok perlakuan sebanyak 26 pasien mendapatkan terapi laserpunktur dan kelompok kontrol sebanyak 26 pasien mendapatkan terapi laserpunktur plasebo, masing-masing sebanyak 12 kali terapi dengan frekuensi 3 kali seminggu. Kemudian pada kedua kelompok dilakukan penilaian spastisitas menggunakan Modified Ashworth Scale MAS sebelum dan setelah mendapatkan perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan nilai MAS setelah perlakuan pada kelompok laserpunktur dibandingkan kelompok laserpunktur plasebo p < 0,05; 95 IK = 2,616 - 15,230 , terdapat penurunan nilai MAS pada kelompok laserpunktur setelah perlakuan dibandingkan sebelum perlakuan p < 0,05; 95 IK = 2,354 - 11,030 , tidak terdapat penurunan nilai MAS pada kelompok laserpunktur plasebo setelah perlakuan dibandingkan sebelum perlakuan p > 0,05; 95 IK = -7,027 - 2,565 , dan terdapat penurunan nilai MAS 3,6 kali lebih besar pada kelompok laserpunktur dibandingkan kelompok laserpunktur plasebo OR = 3,6, p < 0,05 . Dapat disimpulkan bahwa laserpunktur pada titik akupunktur GV20, GV14, LI4, GB34 dan LR3 terbukti efektif terhadap penurunan nilai MAS dibandingkan dengan laserpunktur plasebo pada anak dengan palsi serebral tipe spastik.

Spasticity is a common feature of cerebral palsy 80 and the most common cause of disability in children. Acupuncture as an adjunctive therapy is known to help reduce spasticity in children with cerebral palsy. One of the acupuncture modalities with minimal side effects and safe for children is laser acupuncture or laserpuncture. This study aims is to determine the laserpuncture effects on GV20, GV14, LI4, GB34 and LR3 to spasticity on spastic cerebral palsy patients. The study design is a randomized single blinded clinical trial, involving 60 patients aged 2 to 10 years, divided into two groups. Only 52 patients who completed therapy until the end of the study, 8 patients stated dropout. The treatment group 26 patients received laserpuncture therapy, and the control group 26 patients received laserpuncture plasebo, each patient get 12 times therapy with frequency 3 times a week. Both of groups evaluated for spasticity using Modified Ashworth Scale MAS before and after treatment. The results showed a decrease in MAS score after treatment p 0,05 95 CI 2,616 15,230 in the laserpuncture group compared to the placebo group, a decrease in MAS score in the laserpuncture group after treatment p 0,05 95 CI 2,354 11,030 compared to before treatment, there is no improvement in the placebo group after treatment p 0,05 95 CI 7,027 2,565 compared to before treatment, and there was a decrease in MAS score 3,6 time greater in the laserpuncture group compared to the placebo group OR 3,6, p 0,05 . It can be concluded that laserpuncture therapy more effectively reduce MAS score in patients with spastic cerebral palsy compared to laserpuncture placebo. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mia Wiyarsih
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas gambaran stress pada orang tua yang memiliki anak cerebral palsy di YPAC Jakarta dan bagaimana strategi coping dalam menghadapi stressor tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan stres yang terjadi pada orang tua yang memiliki anak cerebral palsy, mengetahui strategi coping yang digunakan oleh orang tua, bagaimana bentuk perilaku coping yang digunakan, dan apa dampak perilaku coping tersebut bagi orang tua. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam terhadap 18 orang, 9 informan orang tua, 7 informan guru pendamping, dan 2 informan pengasuh. Hasil penelitian mendapatkan orang tua mengalami gejala stress secara fisik dan psikologis, strategi coping berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi (Problem focused coping), sedangkan bentuk perilaku coping yang muncul yaitu Planfull Problem Soving, assistance Seeking, dan suppression of competing activities yang termasuk dalam Problem focused coping dan turning to religion, mental disengangement, positive reinterpretation and growth, acceptance, dan denial yang termasuk dalam Emotion focused coping. Dampak dari perilaku coping yang dilakukan orang tua yaitu Exercised Caution.

ABSTRACT
The focus of this study is a description of stress in cerebral palsy children?s parents in YPAC Jakarta and how coping strategies to deal with the stressor. The aim of this research is to find out stages of stress that occurs in cerebral palsy children?s parents, coping strategy orientation used by parent, how it works and what impact for the parent. This research is a qualitative in-depth interviews of 18 individuals, 9 informants parents, 7 informant teacher assistant, and 2 informants caregivers. The results show that parents experiencing symptoms of stress physically and psychologically, the coping orientation is on Problem Focused Coping, while coping behaviors are Planfull Problem Soving, assistance Seeking, dan suppression of competing activities which include in Problem Focused Coping, and then turning to religion, mental disengangement, positive reinterpretation and growth, acceptance, dan denial that included in Emotion Focused Coping. The impacts for the parent are Exercised Caution.
"
2016
S63052
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Pertin
"Epilepsi merupakan suatu kondisi kronis yang disebabkan oleh gangguan fungsi otak. Keadaan ini merupakan penyulit yang biasa ditemukan pada berbagai gangguan neurologis seperti kelumpuhan otak (cerebral palsy: CP) yang dapat mengakibatkan kerusakan otak lebih lanjut, terutama apabila disertai dengan serangan kejang yang berlangsung lama. Insidens epilepsi pada penyandang CP berkisar antara 25 ? 35%. Insidens epilepsi yang sering pada pasien penyandang CP menunjukkan bahwa kedua kelainan tersebut agaknya mempunyai penyebab yang sama atau saling berhubungan. Kami melaksanakan suatu studi retrospektif untuk menentukan apakah insidens epilepsi berbeda tergantung pada tipe CP. Data diambil dari rekam medik, meliputi: nama, jenis kelamin, paritas, usia ibu, penatalaksanaan pra, peri dan pasca lahir serta hasil rekaman EEG. Pengolahan data menggunakan uji statistik X2 pada P < 0,05. Didapatkan di antara 67 kasus dengan CP, 53 bertipe CP spastik, 13 kasus campuran dan 1 CP diskinetik. Lelaki 47,8%, Perempuan 52,2% dengan usia rerata 50,3 (SD 36,3) bulan. Pada 25 pasien dengan CP yang berhubungan dengan epilepsi ditemukan 72% dengan kejang umum, 20% dengan kejang parsial, dan 8% dengan spasme infantil. Insidens epilepsi ternyata menunjukkan perbedaan yang bermakna (P < 0,05) tergantung tipe CP dan usia kehamilan saat pasien dilahirkan. Disimpulkan bahwa insidens epilepsi pada pasien penyandang CP di YPAC medan ialah 37,3%, dan terdapat perbedaan bermakna sesuai tipe CP dan usia kehamilan saat pasien dilahirkan. (Med J Indones 2002; 11: 158-63)

Epilepsy is a chronic condition due to cerebral function disorders. Epilepsy occurs as a common complication of many neurological disorders such as cerebral palsy (CP) that can cause further brain damage if especially they are accompanied with prolonged seizure. The incidence of epilepsy among patients with CP varies, 25-35%. The high incidence of epilepsy among patients with CP suggests that these disorders has common or related origins. We carried out a retrospective study to determine the incidence of epilepsy among patients with CP registered July 1988 to June 1998 in YPAC Medan and to determine whether the incidence of epilepsy was different according to type of CP. Data was compiled from medical records, including name, sex, parity, mothers age, prenatal, perinatal, and postnatal history, and EEG resuts. Data were analysed using statistical computer program and its significance was evaluated by chi square test at p < 0.05. There were 67 cases with CP, 53 cases spastic CP, 13 cases mixed CP and one case dyskinetic CP. Of the 67 cases CP, 47.8% were male, 52.2% female with the mean age of 50.3 (SD 36.9) months. There were 25 (37.3%) patients CP associated with epilepsy, 72% general seizures, 20% partial seizures, and 8% infantile spasm. The incidence of epilepsy was significantly different among patients with CP associated with the type of CP and gestational age, p < 0.05. We concluded that the incidence of epilepsy among patient with CP in YPAC Medan was 37.3% and showed significant difference in CP according to type and gestational age. (Med J Indones 2002; 11: 158-63)"
Medical Journal of Indonesia, 2002
MJIN-11-3-JulSep2002-158
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Arminiati Zuhniah
"Perawatan menstrual hygiene pada anak dengan cerebral palsy memerlukan penanganan berbeda dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Ketidakmampuan mereka dalam mengganti pembalut serta menjaga kebersihan diri menjadikan alasan dibutuhkannya peran orang tua atau pengasuh dalam merawat kebersihan diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran praktik hygiene menstruasi pada remaja cerebral palsy yang dibantu oleh orang tua atau pengasuh. Penelitian menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Wawancara mendalam dilakukan pada 6 orang informan secara daring yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2020. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa orang tua dan pengasuh cerebral palsy sangat memahami dan peduli akan perawatan kebersihan menstruasi pada anaknya. Seluruh informan merasakan adanya kerentanan dan keparahan penyakit akibat hygiene menstruasi yang buruk. Informan juga merasakan adanya manfaat dan hambatan dari tindakan pencegahan yang telah dilakukan. Namun sebagian besar informan tidak mencari tahu dan tidak pernah diberikan informasi maupun pengarahan mengenai perawatan hygiene menstruasi pada anak dengan cerebral palsy.

Treatment for menstrual hygiene in children with cerebral palsy requires different treatment compared to normal children in general. Their inability to replace pads and maintain personal hygiene makes the reason for the need for the role of parents or caregivers in caring for personal hygiene. This study aims to determine the description of menstrual hygiene practices in adolescent cerebral palsy assisted by parents or caregivers. This research uses a qualitative approach with a case study design. In-depth interviews were conducted with 6 informants online conducted in June-July 2020. The results of the study showed that parents and caregivers of cerebral palsy were very understanding and concerned about menstrual hygiene care for their children. All informants felt the vulnerability and severity of the disease due to poor menstrual hygiene. The informant also felt the benefits and obstacles from the precautions that had been taken. However, most informants did not find out and were never given information or guidance regarding menstrual hygiene care in children with cerebral palsy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>