Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203429 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gery Gilbert
"Latar Belakang : Distribusi frekuensi impaksi gigi molar tiga maksila berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory, Winter, dan hubungan dengan sinus maksila dapat menunjukan variasi yang dapat berperan penting dalam mengantisipasi kesulitan pada saat odontektomi. Tujuan : Mengetahui frekuensi kasus impaksi molar tiga maksila pada radiograf panoramik berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory dan Winter serta hubungan dengan sinus maksila di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil : Penelitian yang dilakukan pada 102 kasus impaksi molar tiga maksila menunjukkan kasus impaksi molar tiga maksila paling banyak pada wanita dengan persentase 62.7%, namun hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perbedaan gender dengan masing-masing klasifikasi impaksi. Frekuensi tertinggi dari masing-masing klasifikasi adalah Kelas C sebesar 46.08% pada klasifikasi Pell-Gregory, impaksi distoangular sebesar 35.3% pada klasifikasi Winter, dan impaksi tipe 4 sebesar 60.78% pada klasifikasi berdasarkan hubungan dengan sinus maksila. Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi frekuensi impaksi molar tiga maksila yang dapat menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesulitan perawatan odontektomi.

Background : A method of classification of third molar impaction is needed because the anatomical position of impacted third molars can show variations that will play an important role in anticipating difficulties during extraction. Objective : To determine the impaction frequency of maxillary third molar impaction cases, as seen on panoramic radiographs and classified based on Pell-Gregory and Winter classification and also the relationship with maxillary sinus in RSKGM FKG UI. Methods : The type of research conducted is categorical descriptive research, using secondary data in the form of patient medical records at RSKGM FKG UI. Results : From 102 cases of maxillary third molar impaction, it was found that maxillary third molar impaction was most common in women with a percentage of 60%, but the results of statistical tests show no significant relationship between gender differences with each classification. The highest frequency of each classification is Class C of 46.08%, distoangular impaction of 35.3%, and impaction of type 4 by 60.78%. Conclusion : Classification of maxillary third molar impact can be a reference in determining the difficulty level of odontectomy treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niki Putri Irianti
"Pasien gigi impaksi meningkat jumlahnya setiap tahun dan terjadi dalam rentang usia yang luas. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi frekuensi dan distribusi impaksi gigi kaninus, premolar, dan molar ketiga pada pasien RSKGM FKGUI tahun 2010-2013. Metode: Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif melalui pengamatan data sekunder yaitu kartu rekam medik di RSKGM FKGUI. Hasil: Terdapat 500 sampel penelitian dengan 904 kasus gigi impaksi yang terdiri dari 0.44% impaksi gigi kaninus, 0.44% premolar, 14.93% molar ketiga maksila, dan 84.18% molar ketiga mandibula. Kesimpulan: Jumlah gigi impaksi di RSKGM FKGUI tahun 2010-2013 mengalami peningkatan, penurunan frekuensi hanya terjadi pada tahun 2012, dengan frekuensi tertinggi terdapat pada perempuan dan kelompok usia 26-35 tahun.
The number of patient with impacted teeth is increasing every year in a wide range of ages. Objective: This study aims to evaluate the frequency and distribution of impacted canine, premolar, and third molar in RSKGM FKGUI 2010-2013. Methods: A descriptive study through observation of secondary data which is patient’s medical record in RSKGM FKGUI. Results: There were 500 samples with 904 cases of impacted tooth consist of 0.44% impacted canine, 0.44% premolar, 14.93% maxillary third molar, and 84.18% mandibular third molar. Conclusion: The number of impacted teeth in RSKGM FKGUI 2010-2013 was increasing, the frequency decreases only in 2012, the highest frequency mostly happened on female and age group 26-35 years old."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susilo
"Latar Belakang Masalah
Hilangnya dukungan periodontal merupakan problema penting dalam periodontologi, seringkali dimulai sejak usia muda dan biasanya melanjut seumur hidup. Para peneliti berpendapat, bahwa celah interproksimal merupakan salah satu etiologi terjadinya kerusakan tulang alveolar. Pendapat tersebut didukung-oleh alasan bahwa adanya celah memudahkan impaksi dam retensi makanan, berarti memudahkan plak bakteri berkumpul pada tempat tersebut (Hirschfeld-1930, Ramfjord 1952, Ditto 1954, Pelton 1969).
Tidak semua celah menimbulkan impaksi dam retensi makanan, tergantung lebar sempitnya celah dam juga letak celah. Selain itu tergantung juga pada lawanya celah tersebut berada, dan hal tersebut berhubungan dengan faktor umur. Celah interproksimal pada gigi posterior sering menimbulkan gangguan pada pasien dengan keluhan rasa tidak nyaman karena terselipnya makanan berserat seperti daging dam sayuran pada waktu mengunyah. Pengeluaran serat tersebut sering tidak dapat dilakukan dengan prosedur penyikatan gigi biasa. Untuk menghindari rasa tidak nyaman yang kadang-kadang sampai menimbulkan rasa sakit, seringkali pasien menggunakan tusuk gigi dengan cara yang salah sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal iebih lanjut.
Kehadiran pasien pada seorang dokter gigidengan keluhan tersebut di atas, sering menimbulkan keragu-raguan para dokter gigi untuk merawatnya,lebih-lebih bila celah sempit dan gigi masih dal.am keadaan utuh. Pertanyaan selalu timbul antara menghilangkan keluhan pasien dengan cara merusak gigi yang masih baik (penainbalan), ataukah sekedar memberi petunjuk mengenai cara pembersihannya. Untuk memberikan keyakinan mengenai pemilihan terapi yang harus dilakukan, pada penelitian ini akan dibuktikan apakah melalui celah interproksimal suatu proses pantologi yang lama dapat merusak jaringan pendukung gigi. Demikian juga apakah lebar sempitnya celah dan umur pasien berpengaruh terhadap kerusakan tulang alveolar.
Tujuan Penelitian, Tujuan umum untuk melihat sampai berapa jauh pengaruh celah interproksimal terhadap kerusak an tulang alveolar. Tujuan khusus, untuk melihat pengaruh celah interproksimal, lebar celah dan umur terhadap kerusakan interdental septum pada gigi posterior 4-5-6-7."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
zhiara Aulia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Distribusi frekuensi gigi molar tiga mandibula impaksi berdasarkan Pell-Gregory dan Winter serta hubungannya dengan kanalis mandibula dapat berguna untuk diagnosis dan menentukan rencana perawatan. Kebijakan BPJS belum dinyatakan dengan jelas tentang cakupan pelayanan pencabutan gigi molar tiga impaksi. Tujuan: Memperoleh frekuensi kasus impaksi gigi molar tiga mandibula berdasarkan klasifikasi Winter dan Pell-Greory, serta hubungannya dengan kanalis mandibula dari radiograf panoramik di RSKGM FKG UI dan dapat berkontribusi dalam kebijakan BPJS untuk cakupan pelayanan pencabutan gigi molar tiga mandibula impaksi. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik, dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil: Peneliltian dilakukan pada 109 sampel kasus gigi molar tiga mandibula impaksi, dimana 55,96% kasus adalah pada pasien perempuan. Hasil uji Chi-Square dan Mann-Whitney yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p ≥ 0,5) pada frekuensi klasifikasi molar tiga mandibula impaksi berdasarkan jenis kelamin. Frekuensi tertinggi berdasarkan klasifikasi Pell Greory adalah Kelas 2 (57,8%), Posisi A (59,6%), klasifikasi Winter adalah mesioangular (31,2%), dan hubungan antara molar tiga mandibula impaksi dengan kanalis mandibula tertinggi adalah Relasi C, yaitu garis radiopak dari kanalis mandibula terputus, sebanyak 28,4%. Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi gigi molar tiga mandibula impaksi yang dapat menjadi acuan dalam penilaian kesulitan dalam penatalaksanaannya.

ABSTRACT
Background: The frequency and distribution of impacted mandibular third molar based on Pell-Gregory and Winters classification and its relationship with mandibular canal could be used to establish the diagnosis and determain the treatment plan. The coverage of impacted third molar extraction has not been clearly stated in the BPJS policy. Objective: This study aims to obtain the frequency and distribution of impacted mandibular third molar and the relation with mandibular canal from panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Methods: This was a descriptive study using secondary data which is patients medical record at RSKGM FKG UI. Results: There are 109 cases of impacted mandibula third molar, and 55,96% of the cases are in female patients. The results of Chi-Square test and Mann-Whitney test shows that statistically there are no significant differences (p ≥ 0,5) in the frequency of impacted mandibular third molar based on the gender. The highest frequency of Pell-Gregorys classification are Class 2 (57,8%) and Position A (59,6%), Winters classification is mesioangular (31,2%), and the highest frequency of the relation between impacted mandibular third molar with the mandibular canal is Relation C, that is interruption of the white line (28,4%). Conclusion: The results of the frequency and distribution of impacted mandibular third molar in this study could be used as a reference in assessing the difficulties of its management."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Amelinda Prayogo
"Tindakan odontektomi gigi molar 3 bawah merupakan salah satu tindakan yang cukup sering dilakukan. Namun, hingga saat ini pengaruh faktor pasien dan faktor dental terhadap tingkat kesulitan bedah masih menjadi kontroversi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, dan klasifikasi impaksi dengan lama tindakan odontektomi gigi molar 3 bawah. Lama tindakan bedah masih menjadi standar emas untuk mengukur tingkat kesulitan bedah. Sebanyak 49 pasien yang memerlukan 49 odontektomi gigi molar 3 bawah dilibatkan dalam studi ini. Uji korelasi dilakukan pada faktor pasien dan dental dengan lama tindakan odontektomi. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara klasifikasi Pell dan Gregory bedasarkan kedalaman impaksi (P=0,037) dan klasifikasi Winter (P=0,039) dengan lama tindakan odontektomi. Studi ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara klasifikasi Pell dan Gregory bedasarkan kedalaman impaksi dan klasifikasi Winter dengan lama tindakan odontektomi.

Mandibular third molar extraction is a common practice in dentistry. However, the relationship between patient and dental factors on surgical difficulty is still a controversy. The aim of the study is to determine the effect of age, gender, and impacted teeth classification on operation time during mandibular third molar extraction. Operation time has been considered as the gold standard to quantify surgical difficulty A total of 47 patients who required 49 mandibular third molar extraction were involved in the study. The correlation between patient and dental factors and operation time were examined. There were statistically significant correlation between Pell and Gregory's depth of impacted teeth classification (P=0,037) and Winter's classification (P=0,039). This study showed that there were statistically significant correlation between Pell and Gregory's depth of impacted teeth classification and Winter's classification with operation time."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, William Carlos
"ABSTRAK
Latar belakang: Kecemasan dental merupakan respon stress pasien terhadap keadaan spesifik terkait perawatan dental. Ekstraksi gigi molar tiga mandibula impaksi merupakan perawatan dalam bedah kedokteran gigi yang paling sering menimbulkan kecemasan. Musik mengambil peran dalam mengurangi kecemasan pasien saat prosedur ekstraksi tersebut. Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh musik pilihan pasien pada saat ekstraksi gigi molar tiga mandibula impaksi terhadap kecemasan dan membandingkannya dengan musik klasik. Metode : Penelitian ini menggunakan desain eksperimental single-blinded acak dengan kontrol di RSKGM FKG UI. Intervensi menggunakan musik dengan alat BoseÒ SoundWearÔ untuk memutarkan musik. Subjek penelitian dibagi dalam 3 kelompok : Musik Pilihan Pasien, Musik Klasik, dan Kontrol (tanpa musik). Operator ekstraksi adalah Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut FKG UI. Pengukuran kecemasan menggunakan MDAS, APAIS, VAS, dan mengukur tanda vital. Pengukuran tanda vital, tekanan darah dan frekuensi nadi, menggunakan OMRON HEM-7130, JAPAN. Analisis data menggunakan SPSS dengan analisis bivariat Paired T-Test dan Independent T-Test pada setiap kelompoknya. Hasil : Terdapat pengurangan rata rata skor total tingkat kecemasan antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok (A) musik pilihan pasien dan kelompok (B) musik klasik yang diukur dengan MDAS, APAIS, dan VAS (p < 0,05). Kelompok kontrol menunjukkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi sesudah intervensi (p < 0,05). Kesimpulan : Musik pilihan pasien dan musik klasik memberikan efek dalam mengurangi kecemasan pasien yang diukur dengan MDAS, APAIS, dan VAS dibandingkan tanpa menggunakan musik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pimanih
"Pesawat terbang adalah hasil teknologi tinggi, selain memberikan dampak positif juga menimbulkan dampak negative. Dampak positif pesawat terbang yaitu dapat menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat, namun dampak negatif yang ditimbulkan cukup banyak, baik fisik, maupun mental dan juga pencemaran lingkungan. Gangguan kesehatan yang dialami oleh awak pesawat diantaranya hipoksia, gangguan mata, telinga, sinus-sinus di sekitar hidung, gigi, saluran pernapasan dan penyakit-penyakit dekompresi serta masalah lain yang diakibatkan oleh stress yang berkepanjangan berkaitan dengan fisik, faal dan kejiwaan. Menurut sebuah studi mengenai dekompresi terhadap 62.160 orang peserta latihan (tahun 1943 dan 1945), reaksi berupa rasa sakit yang paling banyak dirasakan oleh personel terbang selama mereka mengangkasa, gangguan pada sinus(1,17%), kemudian dilakukan penelitian pada tahun 1964 terhadap 52.113 aircrew Aerasinusitis (1,59%). Dan pada tahun 1965, aircrew 49.603 orang Aerosinusitis (1,86%). Data diatas menunjukan bahwa gangguan sinus (Aerosnusitis) pada awak pesawat semakin meningkat. Kenyataan yang ada, awak pesawat PT. Garuda Indonesia ± 3% mengalami gangguan sinus, namun data secara formal/secara tertulis berupa laporan belum kami dapatkan. Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui faktor yang mempengaruhi gangguan sinus pada awak pesawat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan penurunan tekanan udara dengan gangguan sinus pada awak pesawat. Rancangan penelitian adalah kasus kontrol, kasus yaitu awak pesawat yang mengalami gangguan sinus, sedangkan kontrol adalah awak pesawat yang tidak mengalami gangguan sinus. Populasi penelitian adalah awak pesawat PT. Garuda Indonesia. Pengumpulan data selain menggunakan data primer juga menggunakan data sekunder. Data yang terkumpul diolah secara univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 79,7% awak pesawat mengalami gangguan sinus setelah bekerja sebagai awak pesawat, hanya 20,3% awak pesawat mengalami gangguan sinus sebelum bekerja sebagai awak pesawat. Hasil analisis bivariat, dari 8 variabel independen hanya 4 variabel yang berhubungan dengan gangguan sinus yaitu variabel jam terbang, jabatan, alergi dan influenza. Hasil analisis mulivariat dengan uji regresi logistik diperoleh jam terbang (p-Value 0,039 dan OR 2,334), jabatan (p-Value 0,010 dan OR 3,811), algergi (p-Value 0,008 dan OR 2,938) dan influenza (p-Value 0,002 dan OR 3,941). Dan variabel yang paling berhubungan dengan gangguan sinus pada awak pesawat adalah influenza.
Penulis menyarankan, awak pesawat yang diterima tidak alergi terhadap sesuatu, dan awak pesawat yang sedang influenza tidak diizinkan terbang. Disamping itu awak pesawat yang jam terbangnya telah melebihi 6000 jam diberikan cuti panjang, agar tercapai kesehatan dan keselamatan dalam penerbangan.

Airplane is out come of high technology that possesses not merely positive impact but also negative one. The positive impact is that it could cover long distance in short time, but the negative side of it is also considerably a lot either physic or mental as well as environmental pollution. Medical ailments the crews usually experienced are such as hypoxia, ailment in eyes, ear, sinuses around nose, teeth, respiration system, and decompression illness as well as other problems resulted from ongoing stress connected with physic, faal (action and function of body), and psychological aspect. According to study on decompression at 62.160 training participants (1943 and -1945) the reaction in form of pain that was commonly felt by airplane personnel during flying was aero sinusitis (1,17%), and the research conducted in 1964 of 52.113 crews, aero sinusitis (1,59%) and in 1965 of 49.603 personnel, aero sinusitis (1,86%). The data above indicated that aero sinusitis at air plane crews gradually increased. The fact in the field shows the crews of PT. Garuda Indonesia, + 3% of them suffered from aero sinusitis; yet, we could not attain the formal 1 written data. Based on that case, it was urgent to know factors-influencing aero sinusitis on the air plane crews.
The aim of this research was to see whether there was relation between air pressure declination and aero sinusitis at the crews. The plan of the research was control cases, the case was airplane crews who suffered from aero sinusitis, and control was the crews who did not suffer from aero sinusitis. Population of this research was the crew of PT. Garuda Indonesia. Data collecting used not only primer data but also secondary one.
The collected data was processed in univariat, bivariat, and multivariat way with logistic regression test.
The results indicated that 79,7% of the crews experienced aero sinusitis after having job as airplane crews, but 20,3% of them had suffered from aero sinusitis before getting job as airplane crews. The out put of bivariat analysis implied that only 4 of 8 independent variables were correlated with aero sinusitis, and they are: flying our, position, allergy and influenza. The result of multivariat analysis with logistic regression test indicated that flying hour gained (p- Value 0.039 and OR 2.334), position gained (p-Value=0.010 and OR 3.811) Allergy got (p-Value 0.008 and OR 2.938) and influenza attained (p-Value 0.002 and OR 3,941), and the most correlated with aero sinusitis at airplane crews was influenza.
The writer recommended that the accepted airplane crews should not have allergy ailment of everything and the crew who is suffering from influenza is not permitted to fly. Besides, the crews whose flying hour is more than 6000 hours should be granted long vacation so that the safety and health could be achieved.;"
2001
T5495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunjung Prasetyo Nugroho
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Sinusistis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dengan berbagai faktor penyebab: variasi anatomi, infeksi bakterial/virus, alergi dan lain-lain. Deviasi septum nasi dan sinusitis kronis dapat mempengaruhi volume sinus maksila. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat deviasi septum nasi dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila. Metode : Penelitian retrospektif dengan desain kasus-kontrol, jumlah sampel diambil konsekutif dari sistem PACS hingga 86 subjek. Dilakukan pengukuran derajat deviasi septum nasi dan volume sinus maksila dari 3 dimensi. Hasil : Didapatkan rerata deviasi septum nasi pada kelompok kasus 9,35 3,05 derajat Derajat I dan II , dan 10,62 4,11 derajat Derajat I dan II pada kelompok kontrol. Volume sinus maksila sisi ipsilateral satu sisi dengan deviasi septum nasi pada kelompok kasus cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda signifikan p>0,05 . Volume sinus maksila ipsilateral yang disertai kejadian sinusitis kronis maksila ipsilateral tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol p>0,05 . Uji korelasi negatif yang tidak signifikan pada hubungan derajat deviasi septum nasi dengan delta volume sinus maksila ipsilateral baik kelompok kasus maupun kontrol. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara deviasi septum nasi Derajat I dan II dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila

ABSTRACT
Background and purpose Sinusistis is an inflammatory of mucosal sinuses by various factors anatomic variations, bacterial virus, allergies and others. Nasal septal deviation and chronic sinusitis can affect maxillary sinus volume. This study aims to assess the relationship between the degree of nasal septal deviation with the incidence of chronic maxillary sinusitis and maxillary sinus volume changes. Methods The study was a retrospective case control design, consecutive samples taken from the PACS system up to 86 subjects. Measurement of the degree of nasal septal deviation and maxillary sinus volume from 3 dimensions. Results the mean of nasal septal deviation in the case group 9.35 3.05 degrees Grade I and II , and 10.62 4.11 degrees Grade I and II in the control group. The ipsilateral maxillary sinus volume the same side with the nasal septal deviation in the case group tended to be smaller than the control, but did rsquo t differ significantly p 0.05 . The ipsilateral of the maxillary sinus volume with ipsilateral chronic maxillary sinusitis incidence not significantly different compared to control p 0.05 . Test negative correlation was not significant relationship of the degree of nasal septal deviation with ipsilateral maxillary sinus volume delta, both groups of cases and controls. Conclusion There is no significant relationship between nasal septal deviation Grade I and II and the incidence of chronic maxillary sinusitis and change of maxillary sinus volume."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>