Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179442 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diah Artanti Sekarayu Budi Sarwono
"Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang paling umum. Sebagaimana diketahui, kanker suatu jaringan dapat menyebar atau bermetastasis ke jaringan lain sebagai kanker sekunder, di mana pada kanker payudara 90% kematian selama pengobatan dikaitkan pada metastasis. Penelitian ini fokus kepada karakteristik metastasis bone only sebagai subtipe metastasis tulang kanker payudara yang belum banyak diteliti walaupun angka kelangsungan hidup (survival)nya paling bagus dibandingkan bila metastasis ke organ/tempat lainnya. Gambaran karakteristik pasien KPD BMO yg berobat di RSCM juga belum pernah diteliti. Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional deskriptif dengan desain studi cross sectional dengan teknik sampel total sampling. Terdapat 1278 pasien KPD metastasis yg berobat di RSCM 2017-2022. Didapatkan 148 pasien KPD BMO, namun karena ketidak lengkapan informasi di hasil pemeriksaan penunjang maka yang masuk kriteria inklusi penelitian ini adalah 47 pasien. Dari 47 pasien, ditemukan karakteristik 100% perempuan, rentang usia terbanyak 45-64 tahun (70,2%), 46,8% bersuku Jawa, 85,1% dalam usia menopause, dengan sebagian besar kanker karsinoma duktal invasif (85,1%) grade 2 (68,1%) dan subtipe luminal A (42,6%). Kasus Denovo sebanyak 48,9%. Ditemukan metastasis multiple (91,5%) lesi osteolitik(29,8%) , dan berlokasi di Os. Vertebrae (31,7%). Sejalan dengan penelitian sebelumnya dan faktor risiko metastasis bone only, sehingga dapat dilakukan studi lanjutan berupa studi analitik maupun genomic untuk mengkonfirmasi hubungan kausalitas tiap variabel.

Breast cancer is one of the most common types of cancer. As we know, cancer in one tissue can spread or metastasize to other tissues as secondary cancer, where in breast cancer 90% of deaths during treatment are attributed to these metastases. This study focuses on the characteristics of bone only metastases as a subtype of breast cancer bone metastases that has not been widely studied although its survival is better than breast cancer which metastases to other organs. This research uses a descriptive observational research design with a cross sectional study design with a total sampling technique. We found 1278 breast cancer with metastasis treated in RSCM within 2017-2022. There are 148 breast cancer bone metastasis only, but only 47 patients were included in the research due to the completed radiology data. Of the 47 patients, the characteristics of the 47 patients were 100% female; 70,2% aged 45-64 years-old ;46,8% Javanese ; 85,1% in menopausal age, 68,1% with grade 2 invasive ductal carcinoma and 42,6% luminal A subtype; 48,9% Denovo cases ; 91,5% suffered from Multiple osteolytic lesion metastases and 31,7% were located in Os. Vertebrae. In line with previous research and risk factors for bone only metastasis, further studies can be carried out in the form of analytical or genomic studies to confirm the causal relationship between each variable."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuningtyas Setyoreni
"Latar Belakang : Metastasis tulang merupakan masalah pada pasien kanker paru karena memperburuk prognosis dan kualitashidup. Nyeri merupakan salah satugejala yang paling umum. Tatalaksana metastasis tulang pada pasien kanker paru meliputi terapi pada tumor primer, radioterapi pada lesi metastasis dan pemberian ibandronic acid.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif. Kami mencatat pasien kanker paru bermetastasis tulang dan dirawat di rumah sakit pusat rujukan respirasi nasional Persahabatan Jakarta dari tanggal 1 Januari 2016 sampai 30 Juni 2018. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi penurunan nyeri kanker yang berhubungan dengan metastasis tulang. Semua pasien menerima terapi ibandronic acid 6 mg intravena setiap bulan dan diukur skala nyerinya dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS). Selain mendapat terapi ibandronic acid, setiap pasien juga mendapatkan modalitas terapi nyeri kanker lain seperti analgetik, radioterapi atau kombinasi keduanya.
Hasil : Lokasi lesi kanker paru bermetastasis ke tulang paling sering (dari 51/71 pasien) adalah vertebra 74 (43,79%), toraks 55 (32,54%) dan pelvis 28 (17,75%). Rerata jumlah pemberian ibandronic acid adalah 8 kali pemberian. Rentang waktu pemberian ibandronic acid dari tegak jenis adalah 6 bulan. Nyeri VAS setelah pemberian ibandronic acid berturut-turut nyeri VAS ringan (VAS 1-3) 14 (27,54%), nyeri VAS sedang (VAS 4-6) 37 (72,46%) dan nyeri berat (VAS 7-10) 0 (0%). Total waktu penurunan nyeri setelah pemberian ibandronic acid adalah 4 bulan. Rerata penurunan nyeri VAS pada grup nyeri VAS ringan-sedang terjadi setelah 5 kali pemberian sedangkan rerata penurunan grup nyeri VAS berat setelah 1 kali pemberian (p = 0.0001). Terdapat beberapa kejadian efek samping setelah pemberian ibandronic acid yang ditemukan pada 9 dari 51 subjek antara lain 2 (3,9%) ruam kulit, 3 (5,9%) mual dan muntah, 3 (5,9%) sakit kepala dan 1 (2,0%) demam.
Kesimpulan : Terapi ibandronic acid sangat bermanfaat untuk menurunkan nyeri kanker pada pasien kanker paru bermetastasis ke tulang

Background: Bone metastasis (BM) is one of the problems in lung cancer because it affects the prognosis and quality of life. Pain is most common symptom. The management of bone metastasis (BM) in lung cancer are treatment of primary cancer lesion, radiotherapy on the metastatic lesions and ibandronic acid.
Method : In this retrospective study, lung cancer patients with BM and treated in Persahabatan National Respiratory Referral Hospital, Jakarta, between January 1st 2016 and June 30th 2018 were enrolled. The aim of study was to evaluate the efficacy of ibandronic acid in the treatment of cancer pain caused by BM. All of patients received ibandronic acid 6 mg (intravenously) monthly and Visual Analogue Scale (VAS) was used to evaluate pain. All patients received other management cancer pain such as analgesics, radiotherapy or combination.
Results : Most BM lesions (51/71 cases) were located in vertebra 74 (43,79%), thoracic cage 55( 32,54%) and pelvic 28 (17,75%). The averages of administration of ibandronic acid 6 mg iv was 8 times. The mean time-to-treat of ibandronic acid since the first time of lung cancer diagnosis was 6 months. VAS pain scale after administration of ibandronic acid was classified to mild pain (VAS 1-3) 14 cases (27,54%), moderate pain (VAS 4-6) 37 cases (72,46%) and severe pain (VAS 7-10) 0 cases. Overall the decrease in VAS scale was seen after 4 times ibandronic acid administration. Pain was significantly improved after the fifth administration in patients which initially suffered from moderate to mild pain and was significantly improved immediately after the first administration in patients which initially suffered from severe pain (p=0,0001). The side effects caused by ibandronic acid was observed in 9 patients, in which 2 subjects (3,9%) had a rash skin, 3 subjects (5,9%) suffered nausea and vomiting, 3 subjects (5,9%) had headache, and 1 subject (2,0%) fever.
Conclusion : Ibandronic acid treatment was useful to relieve metastatic bone pain in lung cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Gde Sanjaya
"[Tujuan: Mengidentifikasi korelasi dan insiden metastasis tulang pada pasien kanker prostat dengan Gleason Score (GS) dan Prostate Specific Antigen (PSA) yang rendah.
Material dan Metode: Studi deskriptif retrospektif pada pasien kanker prostat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode 2006-2011. Ada 478 pasien dengan kanker prostat. Pasien kanker prostat dengan PSA rendah, telah menjalani pemeriksaan histopatologi, dan bone scan diikutsertakan dalam studi, sehingga didapatkan 358 pasien sebagai subjek penelitian.
Nilai PSA diukur dengan sandwich electrochemiluminescent immunoassay. Pemeriksaan histopatologi diklasifikasikan menurut sistem grading Gleason dan dibagi menjadi 3 kategori: diferensiasi baik (GS ≤6), diferensiasi sedang (GS 7), dan diferensiasi buruk (GS 8-10). Bone scan dikerjakan dengan dengan agen radiofarmaka (Tc99m methylenendiphosphonate) dan kemudian gambar ditangkap dengan kamera gamma.
Hasil: Rerata usia 67.52±7.8 tahun, rerata GS 7.7±1.3, dan median PSA adalah 56.9 (rentang: 0,48-17000 ng/mL). Ada 11 orang pasien (3,0%) dengan bone scan positif dengan PSA <20 ng/mL dan GS<8. Lebih lanjut, ada 2 pasien (0,6%) dengan GS≤6 dan PSA<10 ng/mL memperlihatkan metastasis ke tulang.
Kesimpulan: Pada studi ini, ada sebagian kecil pasien mengalami metastasis tulang dengan PSA (PSA<10 mg/mL) dan GS (GS≤6) rendah., Objective This study was aimed to identify correlation and incidence of bone metastases in prostate cancer patient with low Gleason Score GS and Prostate Specific Antigen PSA Materials and Methods A descriptive restrospective study to patients with prostate cancer in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2006 2011 There were 478 patient with prostate cancer Patients with prostate cancer who had PSA value histological examination and bone scan were included in the study resulting in 358 eligible patients for the study PSA value was measured using the sandwich electrochemiluminescent immunoassay Histological examination was graded according to Gleason rsquo s grading system and divided into 3 category well differentiated GS le 6 moderately differentiated GS 7 and poorly differentiated GS 8 10 Bone scan was done using radiopharmaceuticals agent Tc 99m methylenen diphosphonate and then the image was captured using gamma camera Results The mean age was 67 52 7 8 mean GS was 7 7 1 3 and median PSA was 56 9 range 0 48 17000 ng mL There were 11 patients 3 0 with positive bone scan with PSA]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Deryl Ivansyah
"Pendahuluan: Metastatic Bone Disease (MBD) merupakan tempat penyebaran jauh terbanyak ketiga setelah paru dan liver. Hal ini menimbulkan morbiditas yang tidak sedikit dan pada akhirnya memengaruhi kualitas hidup dan kesintasan pasien. Metode: Penelitian ini menggunakan studi potong lintang di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan total sampling. Pasien yang terdiagnosis MBD selama periode 2008 – 2018 dilihat karakteristik, kesintasan, dan jika masih hidup, dilakukan penghitungan skor fungsional menggunakan kuesioner SF-36 dan MSTS. Hasil: Terdapat 113 pasien MBD dengan rerata usia 54,34 ± 11,09, 69% perempuan, 24,8% tumor primer dari paru, 17,7% dari mammae, 16,8% dari tiroid. 55,8% lesi MBD terdapat pada ekstremitas dan 74,3% merupakan lesi soliter. 65,5% pasien tidak menjalani operasi, namun 78,8% mendapatkan bisfosfonat dan 51,3% mendapatkan radioterapi. Sebanyak 82,3% pasien sudah meninggal, sehingga terdapat 20 pasien yang masih hidup. SF-36 menunjukkan rentang median 40,0 – 100,0 dari 8 skala yang ada. MSTS ekstremitas atas rerata 45,55 ± 24,46 dan ekstremitas bawah median 26,67 (20,00 – 60,00). Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara pembedahan dengan kesintasan (P=0,034). Analisis multivariat menunjukkan operasi memiliki peluang terhadap kesintasan yang lebih baik sebesar 2,8 kali (95%CI 1,1 – 7,6). Kesimpulan: Operasi memiliki hubungan yang bermakna terhadap kesintasan pasien MBD.

Introduction: Metastatic Bone Disease (MBD) is the third distant sites after lungs and liver. This creates quite morbidity and in the end affect the patient’s quality of life and survival. Methods: This study uses cross sectional design with total sampling at Cipto Mangunkusumo Hospital. MBD diagnosed patient during 2008 – 2018 were evaluated for characteristics, survival rate. Survived patient will evaluated for functional score with SF-36 and MSTS. Results: From 113 patients, with mean age of 54,34 ± 11,09, 69% were female, 24,8% were lung primary tumor, 17,7% from breast tumor, and 16,8% from thyroid tumor. 55,8% of the lesions were from extremity and 74,3% were solitary lesions. 65,5% patients did not get a surgery, 78,8% were given bisphosphonates, and 51,3% got a radiotherapy treatment. 82,3% patients were already died, so we got 20 patients that were still alive and being evaluated for the functional score. SF-36 shows median of 40,0 – 100,0 from 8 scales, and upper extremity MSTS results mean 45,55 ± 24,46, and lower extremity MSTS results median 26,67 (20,00 – 60,00). Bivariate analysis shows statistically significant association of surgery with survival (P=0,034). Multivariate analysis shows surgery has a 2,8 times higher chance of survival (95%CI 1,1 – 7,6). Conclusion: Surgery has a significant association with MBD patient survival."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Edi Leonardo
"[ABSTRAK
Pendahuluan: GCT tulang merupakan lesi jinak tetapi secara lokal dapat bersifat agresif pada daerah epifisis. Angka rekurensi yang tinggi, dilaporkan mencapai 75%. Tumor dapat bermetastasis ke paru (2-9%) dan tercatat 0-37% angka mortalitas akibat metastasis. Beberapa penelitian menghasilkan variasi berbeda penanganan tumor ini terhadap luaran onkologi dan fungsional serta angka kematian paska pembedahan. Penelitian ini bertujuan melaporkan pengalaman dalam penatalaksanaan pembedahan tumor ini dan untuk melihat adanya hubungan antara tatalaksana pembedahan dengan dampak klinis.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif, sebanyak 99 pasien GCT tulang menjalani tindakan kuretase ataupun wide resection di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 1995 - 2014. Luaran onkologi berdasarkan angka rekurensi lokal, metastasis tumor serta mortalitas dan luaran fungsional berdasarkan sistem penilaian Musculoskeletal Tumor Society (MSTS).
Hasil: Lokasi tumor terutama di distal femur (25,2%). Rekurensi lokal terjadi pada 4 pasien, terutama di distal femur (50%). Rekurensi lokal terjadi seimbang pada wide resection dan kuretase dan secara statistik tidak bermakna (p 0.578, uji eksak Fischer). Tidak dijumpai kejadian rekurensi lokal pada seluruh pasien yang mengalami metastasis. Metastasis terjadi pada kelompok wide resection. Kematian terjadi pada 4 pasien yang mengalami metastasis. Sebagian besar pasien (51,1%) menunjukkan luaran fungsional kategori sangat baik (skor MSTS di atas 75%). Analisis kesintasan bebas rekurensi lokal secara statistik tidak bermakna (p 0.564). Analisis multivariat (regresi Cox) hanya faktor metastasis yang berpengaruh pada mortalitas (p. 0.001)
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara stadium tumor dengan metastasis dan jenis tindakan operasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kejadian rekurensi lokal dan metastasis serta luaran fungsional dengan jenis tindakan operasi.

ABSTRACT
Introduction: Giant cell tumor of bone is benign lesion with ability to be locally aggressive in epiphysis. Its recurrence rate was reported as high as 75%. Tumor can metastasize to lungs (2-9%) and up to 37% mortality rate due to metastasis. Several studies have reported different rates of local recurrence, lung metastasis, mortality rate, and functional outcome. This study aims to report our experience and analyze the correlation between surgery and clinical findings.
Methods: In this retrospective cohort, 99 patients GCT of bone undergone curettage or wide resection in Cipto Mangunkusumo Hospital during 1995-2014. Oncological outcome were analyzed according to local recurrence rate, metastasis, and mortality rate, while functional outcome were measured according to Musculoskeletal Tumor Society Score (MSTS).
Results: Tumor location were predominantly in distal femur (25.2%). Local recurrence were observed in 4 patient and mainly in distal femur (50%). Local recurrence were evenly balanced between surgical curettage and wide resection (50% each) and thus not statistically significant (Exact Fischer, p=0.578). Metastasis were observed in patients who undergone wide resection, however, no significant correlation were found between metastasis incidence and types of surgical intervention (Exact Fischer, p=0.318). Four have died related to metastasis. No local recurrence were observed in patients suffering from metastasis. In more than half of patients (51.5%), the functional status were very good (MSTS >75. Recurrence-free survival analysis not significant statistically (p 0.564).Multivariate analysis (Cox regression) showed that only metastasis was found to be significantly correlated to mortality (p. 0.001).
Conclusion: Tumor stage was correlated to metastasis, and type of surgical intervention. No significant correlation were found between local recurrence, metastasis, and functional outcome to types of surgical intervention., Introduction: Giant cell tumor of bone is benign lesion with ability to be locally aggressive in epiphysis. Its recurrence rate was reported as high as 75%. Tumor can metastasize to lungs (2-9%) and up to 37% mortality rate due to metastasis. Several studies have reported different rates of local recurrence, lung metastasis, mortality rate, and functional outcome. This study aims to report our experience and analyze the correlation between surgery and clinical findings.
Methods: In this retrospective cohort, 99 patients GCT of bone undergone curettage or wide resection in Cipto Mangunkusumo Hospital during 1995-2014. Oncological outcome were analyzed according to local recurrence rate, metastasis, and mortality rate, while functional outcome were measured according to Musculoskeletal Tumor Society Score (MSTS).
Results: Tumor location were predominantly in distal femur (25.2%). Local recurrence were observed in 4 patient and mainly in distal femur (50%). Local recurrence were evenly balanced between surgical curettage and wide resection (50% each) and thus not statistically significant (Exact Fischer, p=0.578). Metastasis were observed in patients who undergone wide resection, however, no significant correlation were found between metastasis incidence and types of surgical intervention (Exact Fischer, p=0.318). Four have died related to metastasis. No local recurrence were observed in patients suffering from metastasis. In more than half of patients (51.5%), the functional status were very good (MSTS >75. Recurrence-free survival analysis not significant statistically (p 0.564).Multivariate analysis (Cox regression) showed that only metastasis was found to be significantly correlated to mortality (p. 0.001).
Conclusion: Tumor stage was correlated to metastasis, and type of surgical intervention. No significant correlation were found between local recurrence, metastasis, and functional outcome to types of surgical intervention.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ansi Rinjani
"Latar belakang: Insidens metastasis otak lebih tinggi dibanding tumor primer otak dan berisiko menimbulkan kematian dengan penyebab terbanyak berasal dari kanker paru (36,5%) di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Keterlambatan diagnosis berisiko menyebabkan herniasi otak, sehingga terjadi kecacatan dan kematian. Dibutuhkan data mengenai durasi penegakan diagnosis di RSCM.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan rancangan kohort retrospktif untuk mengetahui kesesuaian antara durasi penegakan diagnosis tumor otak metastasis akibat kanker paru dengan pedoman praktik klinis (durasi ≤2 minggu). Subjek merupakan pasien rawat inap di RSCM pada Januari 2019 s/d Desember 2021.
Hasil: Terdapat 12 subjek (30%) dapat ditegakkan dalam waktu ≤2 minggu dengan  median durasi 18,5 hari (IQR (12-34 hari). Selain itu didapatkan durasi 7 hari (IQR 4-11 hari) untuk sampai didapatkannya massa di paru,  durasi 8 hari (IQR 4.5-13 hari) sampai dilakukannya biopsi, dan 6 hari (IQR 3.5-7 hari) sampai keluarnya hasil patologi anatomi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel yang dinilai dengan durasi penegakan diagnosis ≤2 minggu (14 hari).
Kesimpulan: Hanya 30% subjek dengan durasi yang sesuai dengan panduan praktik klinis di RSCM. Dibutuhkan diseminasi hasil dan kolaborasi antar bagian agar penegakan diagnosis lebih cepat.

Background: Incidence of brain metastases is higher than primary brain tumors, with lung cancer as common etiology (36.5%) at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM). Delay in diagnosis can cause brain herniation, resulting in disability and death. Data is needed regarding the duration of diagnosis in RSCM.
Method: This is a descriptive analytic study with a retrospective cohort design to determine the conformity between the duration of diagnosis of metastatic brain tumors due to lung cancer in daily clinical practice with clinical practice guidelines (duration 2 weeks). Subjects were inpatients at RSCM from January 2019 to December 2021
Results: There were 12 subjects (30%) who could be diagnosed within 2 weeks with a median duration of 18.5 days (IQR (12-34 days). Duration of 7 days (IQR 4-11 days) to obtain a lung mass, 8 days (IQR 4.5-13 days) until a biopsy was performed, and 6 days (IQR 3.5-7 days) until anatomic pathology results were released. There is no statistically significant relationship between the variables assessed and the duration of diagnosis 2 weeks.
Conclusion: Only 30% of subjects with the duration matched the clinical practice guidelines at RSCM. Dissemination of results and collaboration between departments is needed to make diagnosis faster.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Wisnu Brata
"
ABSTRAK
Nama : I Wayan Wisnu Latar belakang: Kanker payudara (KPD) merupakan kanker yang paling sering terjadi pada wanita di seluruh dunia. Pada tahun 2020, KPD merupakan kasus kanker baru terbanyak di Indonesia dengan 65,858 kasus dan kematian 22,430 kasus. Namun, 90% kematian tersebut disebabkan karena proses metastasis. KPD sering bermetastasis ke tulang (70-80%) dalam kurun waktu 18-20 bulan setelah ditegakkannya diagnosis. PTHrP (Parathyroid Hormone-related Protein) diduga berhubungan dengan KPD yang bermetastasis ke tulang dan menandakan perjalanan klinis KPD yang lebih agresif. PTHrP dapat muncul sebagai alat diagnostik prabedah penting dan memberi gambaran kesintasan pasien yang mengalami metastasis tulang. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan ekspresi PTHrP dengan kejadian metastasis tulang pada karsinoma payudara subtipe luminal (KPDL). Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain studi case control. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah pasien KPDL yang dilakukan biopsi atau operasi dan menjalani terapi di bagian Bedah Onkologi RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dan terdapat blok paraffin yang layak diproses. Data klinikopatologis seperti usia, indeks massa tubuh, ukuran tumor, keterlibatan KGB, dan stadium kanker diperoleh dari rekam medis. Dilakukan pewarnaan imunohistokimia dengan reagen AB75150 pada jaringan tumor payudara yang tersimpan dan tingkat ekspresi PTHrP disajikan dalam bentuk h-score. Analisis statistik dilakukan menggunakan program SPSS 27.0. Hasil: Didapatkan 45 sampel dengan 18 sampel dengan metastasis ke tulang dan 27 sampel tidak dengan metastasis ke tulang. Dari analisis data, didapatkan hubungan yang signifikan antara ekspresi PTHrP dengan kejadian metastasis tulang pada sampel KPDL (p = <0,001) dengan OR 31,2 (IK95% 5,3 – 185). OS sampel dengan ekspresi PTHrP kuat adalah 20.5% dengan HR 7.3 (IK95% 2-26.6). Proporsi ekspresi PTHrP kuat pada metastasis tulang 83%. Proporsi ekspresi kuat PTHrP pada KPDL sebesar 48.9 %. Kesimpulan: Peningkatan ekspresi PTHrP memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian metastasis tulang pada pasien KPDL serta OS yang lebih rendah.

Introduction: Breast cancer (BC) is the most common cancer in women throughout the world. In 2020, BC was the largest number of new cancer cases in Indonesia with 65,858 cases and 22,430 deaths. However, 90% of deaths are caused by the metastatic process. BC often metastasizes to the bones (70-80%) within 18-20 months after diagnosis. PTHrP (Parathyroid Hormone-related Protein) is thought to be associated with BC that metastasizes to the bone and indicates a more aggressive clinical course of breast cancer. PTHrP may emerge as an important presurgical diagnostic tool and provide insight into the survival of patients presenting with bone metastases. There has been no research that states a specific relationship between PTHrP and luminal subtype BC. Objective: This study aims to examine the relationship between PTHrP expression and the incidence of bone metastases in luminal subtype BC. Methods: This research is an analytical study with a case control study design. Samples were taken by consecutive sampling according to the inclusion and exclusion criteria. Inclusion criteria were patients with luminal subtype BC who underwent biopsy or surgery and underwent therapy in the Surgical Oncology department of Dr. RSUP. Cipto Mangunkusumo and there are paraffin blocks that are suitable for processing. Clinicopathological data such as age, body mass index, tumor size, lymph node involvement, and cancer stage were obtained from medical records. Immunohistochemical staining was carried out on stored breast tissue and the PTHrP expression level was presented in the form of an H-score. Statistical analysis was carried out using the SPSS 27.0 program. Results: There were 45 samples obtained with 18 samples with bone metastases and 27 samples without bone metastases. From data analysis, a significant relationship was found between PTHrP expression and the incidence of bone metastases in luminal subtype BC samples (p = <0.001) with OR 31.2 (95% CI 5.3 – 185). OS of samples with strong PTHrP expression was 20.5% with HR 7.3 (95% CI 2-26.6). The proportion of strong PTHrP expression in bone metastases was 83%. The proportion of strong expression of PTHrP in luminal subtype BC was 48.9%. Conclusion: Increased PTHrP expression has a significant association with the incidence of bone metastases in luminal subtype BC patients as well as lower OS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardy Wildan
"Latar Belakang. Kanker kolorektal merupakan penyakit keganasan ketiga terbanyak di dunia dan memiliki mortalitas yang cukup tinggi terutama bila ditemukan pada stadium lanjut. Kesintasan pasien KKR stadium IV dan faktor yang berhubungan perlu diketahui untuk menentukan perbaikan pada tata laksana KKR. Tujuan. Mengetahui kesintasan satu tahun pasien kanker kolorektal stadium IV serta hubungan usia, lokasi tumor, lokasi metastasis, kemoterapi, terapi target, serta diferensiasi tumor dengan kesintasan dalam satu tahun Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif dengan subyek penelitian pasien kanker kolorektal stadium IV yang berobat ke RSCM sejak Januari 2018 hingga Mei 2020. Data pasien dan faktor yang berhubungan diambil dan dilakukan pengamatan selama 1 tahun sejak pasien pertama kali terdiagnosis stadium IV. Kesintasan dinilai dengan metode Kaplan-Meier dan dilanjutkan dengan uji log-rank untuk faktor yang berhubungan. Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 214 subyek dengan kesintasan 1 tahun sebesar 43% dengan median kesintasan 11 bulan. Pasien yang memiliki berat badan kurang [HR 1,495; IK 1,028-2,173; (p=0,035)] dan tidak mendapatkan kemoterapi [HR 4,466; IK 3,027-6,588; (p=<0,001)] merupakan faktor yang bermakna secara statistic terhadap kesintasan satu tahun pasien KKR stadium IV di RSCM. Kesimpulan. Kesintasan satu tahun pasien KKR stadium IV di RSCM hampir sama dengan negara Asia lain. Pemberian kemoterapi dan berat badan kurang memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas KKR stadium IV.
Background. Colorectal cancer is the third most common types of cancer in the world. Colorectal cancer has high mortality especially when found in later stage. The survival and its associated factors should be known to improve the cancer treatment. Objective. This study was undertaken to document one year survival for colorectal cancer and whether age, tumor side, metastatic location, chemotherapy, targeted therapy, and tumor differentiation are associated with one year survival. Methods. This study is a retrospective cohort study. The subjects are stage IV colorectal cancer patients in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo since January 2018-May 2020. Data of patients and its mortality status within one year is documented since the patients diagnosed with stage IV colorectal cancer. Survival was done using Kaplan-Meier method and continued with log-rank test. Result. We collected 214 subjects and 1 year survival rate is 43% with survival median of 11 months. Patients who are underweight [HR 1,495; 95% CI 1,028-2,173; (p=0,035)] and did not received chemotherapy [HR 4,466; 95% CI 3,027-6,588; (p=<0,001)] were associated with one year survival of mCRC in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Conclusion. One year survival for mCRC in RSUPN Cipto Mangunkusumo is similar to other Asian countries. Chemotherapy and underweight were associated with survival in 1 year observation."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Wibisono
"Kanker adalah proliferasi sel yang abnormal dan berlebihan. Salah satu gejala kanker adalah rasa sakit. Faktor penting dalam mengelola nyeri kanker adalah melakukan nyeri yang akurat penilaian termasuk intensitas, lokasi, durasi, kualitas rasa sakit, dan upaya untuk mengurangi rasa sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rasa sakit berdasarkan demografi pada kanker pasien di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pengambilan sampel berurutan dan diaplikasikan pada 395 sampel, yaitu rekam medis PT pasien kanker di atas usia 17 tahun yang telah dirawat di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo sejak 2014 hingga 2019. Data dianalisis menggunakan proporsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase wanita yang mengalami nyeri parah lebih tinggi daripada pria 51,1%. Kelompok usia 41-65 tahun memiliki rasa sakit yang lebih parah daripada kelompok lain dengan 50,6%. Jenis kanker paling menyakitkan yang ditemukan pada kanker leher dan kepala adalah 57,6%. Selagi kanker dengan kelompok stadium 4 memiliki rasa sakit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain dengan 56,9%. Ini Studi merekomendasikan perlunya pedoman untuk penilaian nyeri, terutama di awal penilaian mengenai durasi, lokasi, dan kualitas nyeri sehingga penilaian nyeri bisa lebih akurat.

Cancer is an abnormal and excessive cell proliferation. One symptom of cancer is pain. Important factors in managing cancer pain are conducting accurate pain assessments including intensity, location, duration, quality of pain, and efforts to reduce pain. This study aims to identify pain based on demographics in cancer patients in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used a cross sectional design with sequential sampling and was applied to 395 samples, namely the medical records of PT cancer patients over the age of 17 who had been treated at Dr Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2014 to 2019. Data were analyzed using proportions.
The results showed that the percentage of women who experienced severe pain was higher than men 51.1%. The 41-65 year age group had more severe pain than the other group with 50.6%. The most painful type of cancer found in neck and head cancer is 57.6%. While cancers with the stage 4 group had higher pain than other groups with 56.9%. This study recommends the need for guidelines for pain assessment, especially in the initial assessment regarding the duration, location, and quality of pain so that pain assessment can be more accurate.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramita Nastiti
"Kanker orofaring termasuk kedalam kanker kepala dan leher, dimana kanker terjadi di bagian tengah tenggorokan yang berada tepat di belakang rongga mulut. Pada stadium lanjut, kanker ini dapat menyebar ke organ yang jauh. Tiga puluh dari 772 penderita kanker ini (3,9%) memiliki bukti klinis adanya metastase sel kanker ke area tulang belakan (Suzuki et al, 2020). Penyebaran sel kanker ke daerah tulang sering disebut dengan penyakit metastasis tulang atau Metastatic Bone Disease (MBD). Adanya fraktur patologis di segmen vetebra merupakan salah satu tanda adanya penyebaran kanker ke daerah spinal. Saraf spinalis pun berisiko mengalami cedera karena berada tepat dibawah dan di sepanjang tulang belakang. Pada kasus ini pasien mengeluh kedua kakinya tidak mampu digerakkan dan tidak dapat mengontrol BAK. Hal ini menunjukan adanya cedera neurologis di bagian saraf spinalis pasien. Tatalaksana medis yang sudah dilakukan adalah berupa dekompresi dan stabilisasi posterior di daerah thorakal dan lumbal. Pemasangan implan tersebut tidak serta merta mengembalikan fungsi sensorik dan motorik pasien, sehingga diperlukan adanya latihan untuk mempertahankan bagian tubuh yang terdampak. Selama 5 hari penulis melakukan interveni ROM untuk mempertahankan kekuatan otot dan fleksibilitas sendi pasien. Penulis juga melibatkan keluarga dalam latihan yang dilakukan 2 kali sehari selama 30 menit. Hasil yang didapat adalah kekuatan motorik ekstremitas atas 5555/5555 dan motorik ekstremitas bawah 1111/1111. Jari-jari kaki kiri dapat bergerak minimal. Kontraksi otot pasien makin teraba dan terlihat walau sedikit. Tidak ada spastisitas pada otot, kontraktur sendi maupun deformitas.
Oropharyngeal cancer is included in head and neck cancer, where cancer occurs in the middle of the throat which is right behind the oral cavity. In advanced stages, this cancer can spread to distant organs. Thirty of the 772 cancer sufferers (3.9%) had clinical evidence of cancer cell metastases to the spine area (Suzuki et al, 2020). The spread of cancer cells to the bone area is often called metastatic bone disease (MBD). The presence of a pathological fracture in the spinal segment is a sign of the spread of cancer to the spinal area. The spinal nerves are also at risk of injury because they are located directly below and along the spine. In this case the patient complained that he could not move his legs and could not control his urination. This indicates a neurological injury to the patient's spinal cord. The medical treatment that has been carried out is in the form of decompression and posterior stabilization in the thoracic and lumbar areas. Installation of these implants does not immediately restore the patient's sensory and motor function, so training is needed to maintain the affected body parts. For 5 days the author carried out ROM intervention to maintain the patient's muscle strength and joint flexibility. The author also involves the family in exercises which are carried out twice a day for 30 minutes. The results obtained were upper extremity motor strength 5555/5555 and lower extremity motor strength 1111/1111. The toes of the left foot can move minimally. The patient's muscle contractions become more palpable and visible, although slightly. There is no spasticity in muscles, joint contractures or deformities."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>