Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188024 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Velna Elvisa
"Alasan mendesak sebagai dasar pemutusan hubungan kerja sering kali menimbulkan perdebatan hukum yang kompleks. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan, penting untuk mendefinisikan alasan mendesak secara jelas dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tidak terjadi penafsiran yang beragam atau penyalahgunaan oleh para pihak. Alasan mendesak biasanya mencakup situasi tak terduga dan di luar kendali kedua belah pihak, seperti krisis ekonomi, keadaan darurat, atau situasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022, terjadi perbedaan pendapat antara pekerja, yang beranggapan tidak melakukan kesalahan, dan pengusaha, yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan karena pelanggaran oleh pekerja sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kriteria alasan mendesak dan prosedur pemutusan hubungan kerja, serta penerapan kedua aspek tersebut dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dengan pendekatan Deskriptif-Analitis dan menganalisis data secara kualitatif dari data sekunder yang berfokus pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui studi pustaka.

Urgent reasons as a basis for termination of employment often lead to complex legal debates. In the context of labor law, it is important to clearly define urgent reasons in accordance with applicable regulations to prevent diverse interpretations or misuse by the parties involved. Urgent reasons usually include unforeseen situations and circumstances beyond the control of both parties, such as economic crises, emergencies, or other situations regulated by law. In the case of the Supreme Court of the Republic of Indonesia's Decision No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022, there was a disagreement between the worker, who believed they had not committed any wrongdoing, and the employer, who stated that the termination of employment (PHK) was due to a violation by the worker as regulated in the Collective Labor Agreement. This paper aims to analyze the criteria for urgent reasons and the procedures for employment termination, as well as the application of these aspects in the case of the Supreme Court of the Republic of Indonesia's Decision No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022. This research uses a doctrinal method with a Descriptive-Analytical approach, analyzing qualitative data from secondary sources focusing on primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through literature study."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Hanizah Mahatri
"Kompensasi sebagai hak yang harus diterima oleh pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan Pelanggaran Disiplin sebagai alasan yang dibenarkan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. Penelitian Direpresentasikan melalui pengkajian pada Putusan Mahkamah Agung Nomor No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis ketentuan hukum mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dengan Alasan Pelanggaran Disiplin dan Kompensasi pada Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan Pelanggaran Disiplin berdasarkan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian doktrinal melalui penelusuran kepustakaan menggunakan data sekunder dan di olah secara kualitatif. Simpulan dari penelitian ini, Pemutusan Hubungan Kerja dengan Alasan Pelanggaran Disiplin dilakukan setelah perusahaan memberikan Surat Peringatan sebanyak ketiga kali dengan tujuan sebagai pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja sekaligus untuk memperbaiki kinerja pekerja. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023 dimana perusahaan hanya memberikan surat peringatan ketiga (SP-3) atas pelanggaran disiplin pekerja. Majelis Hakim menyatakan surat peringatan tidak sah dan batal demi hukum. Namun, Pemutusan Hubungan Kerja di setujui dengan alasan pekerja melakukan pelanggaran yaitu penukaran shift tanpa koordinasi pimpinan keamanan dan kompensasi mengenai pemutusan hubungan kerja ini telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.

Compensation is a right that must be received by workers who experience Termination of Employment (PHK) for reasons of Disciplinary Violation as a justified reason in Employment Law Number 13 of 2003 as amended into Job Creation Law Number 6 of 2023. Research is represented through studies in Supreme Court Decision Number No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023. This research was conducted to analyze the legal provisions regarding Termination of Employment for Reasons of Disciplinary Violations and Compensation for Termination of Employment for Reasons of Disciplinary Violations based on the provisions of labor law in force in Indonesia. Doctrinal research method through literature searches using secondary data and processed qualitatively. The conclusion of this research is that termination of employment for reasons of disciplinary violations was carried out after the company gave a warning letter three times with the aim of preventing termination of employment as well as improving employee performance. In case of Judgment Supreme Court Number No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023 where the company only gave a third warning letter (SP-3) for violations of worker discipline. The Panel of Judges declared the warning letter invalid and null and void. However, the termination of employment was approved on the grounds that the worker committed a violation, namely changing shifts without coordination from the security leadership and compensation regarding the termination of employment was in accordance with the current provisions in force."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Annisa Aprilia
"Ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak mengatur perihal batas masa waktu perundingan PKB sehingga memberikan keleluasaan waktu kepada pihak perusahaan dan pihak serikat pekerja/serikat buruh dalam merundingkan PKB yang terbaik bagi semua pihak namun di sisi lain menyebabkan pemenuhan hak-hak pekerja dalam PKB yang baru saja disepakati justru berpengaruh akibat telah terpotong masa waktu perundingan PKB itu sendiri apabila dalam perundingan tidak mengalami kesepakatan. Penelitian menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus. Bahan penelitian dianalisis dengan metode analitis deskriptif dengan mengumpulkan dan menganalisa bahan hukum. Ketentuan hak-hak pekerja PT Freeport Indonesia dan pokok-pokok permasalahan yang dirundingkan dalam Perjanjian Kerja Bersama ke-21 PT Freeport Indonesia adalah tuntutan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; Pph 21 atas THR dan PHK ditanggung perusahaan; kenaikan upah pekerja pratama dan kenaikan upah pekerja muda level 1-3; usia pensiun 57 tahun; dan masa berlaku PKB sejak tanggal 1 Oktober 2019. Implikasi masa perundingan perjanjian kerja bersama terhadap hak pekerja berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST adalah pelindungan hukum bagi hak pekerja menjadi terderogasi akibat masa perundingan PKB itu sendiri yang tidak ada kesepakatan. Ius constituendum terhadap ketentuan masa perundingan perjanjian kerja bersama dan terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST adalah harus adanya batas waktu perundingan PKB; perlunya aturan pihak yang menolak anjuran mediasi harus mengambil upaya selanjutnya perihal penyelesaian perselisihan hubungan industrial; dan perlunya pertimbangan hakim perihal teori pelindungan hukum pada putusan.

The provisions of the Collective Labor Agreement (CLA) do not stipulate the time limit for the CLA negotiations so as to provide flexibility of time for the company and the trade unions/labor unions in negotiating the best CLA for all parties but on the other hand it causes the fulfillment of worker’s rights in the CLA that is what had just been agreed had an effect because the time period for the CLA negotiations had been cut short if there was no agreement in the negotiations. This research uses normative juridical research with a case study approach. Research materials were analyzed by descriptive analytical method by collecting and analyzing legal materials. The provisions on the rights of PT Freeport Indonesia's workers and the main issues negotiated in the 21st Collective Labor Agreement of PT Freeport Indonesia are the demands for improving the welfare of workers/laborers; Pph 21 on THR and layoffs borne by the company; an increase in the wages of primary workers and an increase in the wages of young workers level 1-3; retirement age 57 years; and the validity period of the CLA is from October 1, 2019. The implication of the period of negotiating collective labor agreements on worker’s rights based on the Decision of the Industrial Relations Court at the Central Jakarta District Court Number 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST is legal protection for worker’s rights to be derogated as a result of During the CLA negotiation period, there was no agreement. The ius constituendum on the terms of the negotiation period for the collective bargaining agreement and the Industrial Relations Court Decision at the Central Jakarta District Court Number 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST is that there must be a time limit for the CLA negotiations; the need for rules that parties who reject the suggestion of mediation must take further measures regarding the settlement of industrial relations disputes; and the need for judges' considerations regarding the theory of legal protection in decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Nora Sabilla
"ABSTRAK
Dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis berupa ketenangan dalam bekerja dan berusaha, dibutuhkan pengaturan syarat kerja dalam suatu hubungan industrial di setiap perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah kesepakatan yang dicapai melalui perundingan antara serikat pekerja dengan perwakilan pengusaha mengenai hak dan kewajiban kedua pihak tersebut. Meskipun PKB merupakan bentuk pengaturan syarat kerja berlandaskan kesepakatan, jumlah perusahaan yang telah membuat PKB masih sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang menerapkan peraturan perusahaan (PP). Dikarenakan PKB yang menyangkut hubungan antara dua pihak, kehadiran pemerintah sebagai pihak ketiga yang berada di tengah dua kepentingan tersebut diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan mengenai upaya yang dilakukan oleh Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan dalam meningkatkan pembuatan PKB di Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini hubungan industrial, perjanjian kerja bersama, serikat pekerja, serta teori nilai publik dari Moore guna meninjau upaya dilakukan oleh Direktorat Persyaratan melalui aspek kapasitas operasional, dan legitimacy and support. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan upaya yang dilakukan oleh Direktorat Persyaratan Kerja guna meningkatkan pembuatan PKB diwujudkan melalui pelaksanaan program dialog sosial, bimbingan teknis, training of trainers (TOT), serta penyediaan pelayanan melalui pelayanan terpadu satu atap (PTSA). Dalam pelaksanaannya, program-program tersebut masih mengalami beberapa kendala, diantaranya serikat pekerja (SP) yang bersifat radikal, sikap denial yang ditunjukkan oleh calon peserta program, dan lemahnya sanksi yang diberikan saat terdapat perusahaan yang membuat PKB dengan kualitas lebih rendah dari undang-undang mengenai syarat kerja.

ABSTRACT
In order to create industrial peace among workers and companies, the arrangement of work requirements in industrial relations of every companies is necessary. Collective Labor Agreement (CLA) is an agreement reached by negotiations between workers union and companys delegation, which discuss both rights and duties. However, despite CLA is a form of arrangement of work requirements, the amount of the companies that have made CLA is still very far compared to the number of companies that implement company regulations. Because CLA involves both parties relation, therefore Governments presence as their third party and/or mediator is needed. This study aims to describe the efforts made by the Directorate of Work Requirements of the Ministry of Manpower in increasing the making of CLA in Indonesia. The theory used in this research are industrial relations, CLA, trade unions, and Moores public value theory to review efforts made by the Directorate of Requirements through aspects of operational capacity, and legitimacy and support. This study uses qualitative methods by collecting data through in-depth interviews and literature studies. The results of this study shows that the efforts made are realized through the implementation of a social dialogue program, technical guidance, training of trainers (TOT), and providing services through one-stop integrated services. In its implementation, these programs still experience several obstacles such as radical unions (SP), denial attitudes shown by prospective program participants, and weak sanctions given when there are companies that make the PKB with a quality lower than the law concerning work conditions."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Harvestia Oriszasativa
"Pemanggilan kerja kembali kepada pekerja yang dirumahkan dapat menjadi penyebab terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan mangkir kerja yang menimbulkan terjadinya perselisihan PHK. Penelitian Direpresentasikan melalui pengkajian pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 159K/Pdt.Sus-PHI/2023, Permasalahan yang dikaji adalah ketentuan pemanggilan kembali pekerja yang dirumahkan dan proses penyelesaian PHK dengan alasan mangkir. Penelitian dilakukan dengan metode doktrinal dengan tipe deskriptif-analisis menggunakan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Simpulan diperoleh bahwa ketentuan mengenai pemanggilan kerja secara patut tidak terdapat dalam ketentuan khusus, akan tetapi telah diatur sebagai unsur pemenuhan kualifikasi pekerja mangkir pada Pasal 154A Ayat (1) Huruf J Undang-Undang Cipta Kerja yang harus dilakukan dalam mekanisme tertulis dan dikirim kepada alamat masing-masing pekerja sebanyak dua (2) kali. Kemudian dalam proses penyelesaian perselisihan PHK dengan alasan mangkir masih ditemukan ketidaksesuaian dikarenakan masih terdapat inkonsistensi dalam penggunaan perundang-undangan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan PHK tersebut.

Calling workers who have been laid off to work again can be the cause of Termination of Employment on the grounds that they are absent from work. The research focuses on the Supreme Court Decision Number 159K/Pdt.Sus-PHI/2023. The issues are about the provisions for calling back laid-off workers and the process of resolving termination of employment for reasons absenteeism. The research was carried out using a doctrinal method with a descriptive-analysis type using secondary data obtained through literature study and analyzed qualitatively. The conclusion is that the provisions regarding proper calling for work are not contained in special provisions, but have been regulated as qualifications of absent workers in Article 154A Paragraph (1) Letter J of the Job Creation Law which must be carried out in a written mechanism and sent to the address for each worker two (2) times. Then, in the process of resolving layoffs due to absenteeism, discrepancies were still found because there were still inconsistencies in the use of statutory regulations as the legal basis for resolving layoffs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Alzura
"Tulisan ini membahas peraturan pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran bersifat mendesak setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dan perbandingan pertimbangan hakim dalam pemutusan hubungan kerja akibat kesalahan berat dan pelanggaran bersifat mendesak pada dua putusan yang berbeda. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pengumpulan data melalui penelusuran literatur. Peraturan pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran bersifat mendesak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 memungkinkan pengusaha dapat langsung melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang diduga melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Mekanisme ini memiliki persamaan dengan pemutusan hubungan kerja akibat kesalahan berat pada Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 karena melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 dan asas praduga tak bersalah. Pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bgl mengenai kesalahan berat dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr mengenai pelanggaran bersifat mendesak juga menunjukkan persamaan dalam menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Kedua putusan memperbolehkan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena pekerja diduga melakukan tindak pidana yang dikategorikan sebagai kesalahan berat pelanggaran bersifat mendesak tanpa adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut menandakan bahwa kesalahan berat yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dilahirkan kembali dengan mekanisme yang sama, tetapi dalam istilah yang berbeda, yaitu pelanggaran bersifat mendesak.

This paper discuss the regulation of employment termination due to urgent violations following Constitutional Court Decision Number 012/PUU-I/2003 and compares the opinion of the court in related to grave wrongdoings and urgent violations in two different decisions. The study uses doctrinal research and data collection through literature reviews. Government Regulations Number 35 of 2021, a derivative of the Job Creation Law, addresses the termination of the employment relationship due to urgent violations. According to Article 52 paragraphs (2) and (3) of this regulation, employers can immediately terminate employees suspected of urgent violations without a notification letter. This mechanism is similar to the annulled Article 158 of the Labour Law, which allows termination for grave wrongdoings, nullified by the Constitutional Court for the violating Article 27 of the 1945 Constitution and the principle of presumption of innocence. The opinion of court in the Industrial Relations Court decisions at the Bengkulu District Court Number 16/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bgl and the Pekanbaru District Court Number 10/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr also show similarities in handling such disputes. Both decisions permit the termination based on suspected criminal offenses without permanent legal force decision. These similarities suggest that the annulled concept of grave wrongdoings has re-emerged under the different term urgent violations, using the same mechanism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Puspitasari
"Saat ini belum ada pengaturan mengenai aturan teknis perpanjangan perjanjian kerja bersama yang tidak disepakati dalam waktu dua kali perundingan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya pengaturan mengenai perjanjian kerja bersama yang deadlock antara pengusaha dan serikat pekerja. Oleh karenanya, penelitian ini mencoba untuk membahas waktu keberlakuan perjanjian kerja bersama sebelum tercapainya kesepakatan dalam perundingan. Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam perjanjian ini adalah bagaimana ketentuan mengenai waktu keberlakuan perjanjian kerja bersama yang sudah berlaku? bagaimana pelaksanaan perjanjian kerja bersama sebelum tercapainya kesepakatan selama masa perundingan? bagaimana seharusnya pengaturan mengenai waktu keberlakuan perjanjian kerja bersama ketika belum tercapainya kesepakatan selama masa perundingan perjanjian kerja bersama baru. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Penelitian ini menemukan bahwa tidak adanya pembatasan terhadap perundingan perjanjian kerja bersama yang belum selesai menyebabkan ketidakpastian hukum dan cenderung merugikan hak para pekerja. Ditemukan pula adanya praktek perpanjangan perjanjian kerja bersama hingga mencapai waktu 5 tahun karena tidak adanya kesepakatan antara para pihak. Dengan begitu, di dalam penelitian ini diberikan rekomendasi pembatasan perpanjangan jangka waktu pemberlakuan perjanjian kerja bersama yang tidak disepakati adalah selama satu tahun dan apabila tidak mencapai kesepakatan maka SPKD terkait dapat melakukan intervensi untuk membantu menengahi benturan kepentingan antara kedua belah pihak.

Currently there are no regulations regarding the technical rules for extending collective work agreements that are not agreed upon within two negotiations. This causes legal uncertainty because there is no regulation regarding deadlocked collective work agreements between employers and labor unions. Therefore, this research will try to discuss the validity period of the collective work agreement before reaching an agreement in negotiations. The formulation of the problem that will be discussed in this agreement is what are the provisions regarding the validity period of collective work agreements that are already in force? How is the collective work agreement implemented before an agreement is reached during the negotiation period? What should be the regulations regarding the time a collective work agreement comes into force when an agreement has not been reached during the negotiation period for a new collective work agreement? This research uses normative legal methods with a statutory regulation approach, a conceptual approach and a case approach. This research found that the absence of restrictions on incomplete collective labor agreement negotiations causes legal uncertainty and tends to harm workers' rights. It was also found that there was a practice of extending collective work agreements up to 5 years because there was no agreement between the parties. In this way, in this research recomendations are the limitation period of extending the implementation of a collective work agreement that is not agreed upon is one year and if an agreement is not reached, the relevant SKPD can intervene to help meditate the conflict of interest between the two parties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suny Sanomia
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang hubungan persepsi karyawan PT. Telkomsel atas hasil penyelesaian perselisihan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) terhadap komitmen organisasi. Penelitian ini menggunakan pengumpulan data dengan kuisoner dan wawancara. Variabel independen dari penelitian ini adalah hubungan industrial hasil penyelesaian perselisihan PKB, yang dinilai dengan tiga indikator, yaitu : komunikasi, kesejahteraan karyawan dan sarana hubungan industrial. Sedangkan variabel dipendennya adalah komitmen organisasi yang dinilai dengan tiga dimensi, yaitu : affective commitment, continuance commitment dan normative commitment. Kesimpulan yang didapat adalah adanya hubungan antara persepsi karyawan atas hubungan industrial terhadap komitmen organisasi di PT. Telkomsel.

ABSTRACT
This thesis discusses the Relations of Perception of Employees on the result of Dispute Settlement The Collective Labour Agreement (CLA) Against Commitment Organization from at Telkomsel Ltd. This study uses data collection with questionnaires and interviews. Independent variables of this study is industrial relations from the results of dispute settlement from CLA , which was assessed by three indicators, namely: communication, employee welfare and means of industrial relations. While the dependent variable is organizational commitment was assessed by three dimensions: affective commitment, continuance commitment and normative commitment. The conclusion is there is significant relationship between employee perceptions on the result of Dispute Settlement The Collective Labour Agreement (CLA) againts commitment organization."
2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Evalyn
"Syarat jabatan merupakan metode yang digunakan oleh pengusaha untuk mendapatkan tenaga kerja yang terbaik dan tersesuai untuk suatu jabatan. Disamping fakta bahwa penyusunan syarat jabatan merupakan hak prerogatif pengusaha, keberadaan syarat jabatan memang penting bagi keberlangsungan perusahaan. Namun demikian, di sisi lain, syarat jabatan tersebut dapat menjadi alasan pemutusan hubungan kerja. Adapun skripsi ini akan membahas mengenai pengaturan syarat jabatan sebagai alasan pemutusan hubungan kerja serta penerapan dari pengaturan tersebut. Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan alat pengumpulan data studi pustaka. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis dan dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pada akhirnya, penelitian ini menghasilkan kesimpulan yaitu syarat jabatan dapat dijadikan alasan pemutusan hubungan kerja apabila syarat tersebut merupakan syarat yang bonafide bagi suatu perusahaan. Penerapan dari pengaturan tersebutpun telah diterapkan dengan baik oleh Mahkamah Agung melalui putusan yang dianalisis.

Job requirement is a method used by employers to get the best and the most proper manpower to work at a job. Beside the fact that the job requirement drafting is the employers rsquo prerogative right, job requirement is essential to the company. On the contrary, job requirement can be used as a cause of employment termination. This following thesis will be discussing about the regulation of employment termination based on the unfulfillment of job requirement and the implementation of that regulation. This research is a juridical normative research and will be collecting data through documentary study. The nature of this research is analitical descriptive with qualitative approach. Eventually, this research concludes that the unfulfillment of job requirements can be used as a cause of employment termination. That regulation is properly implemented by the Supreme Court in the decision that is used in this research."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S63596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Nurhasanah
"Di dalam Negara Republik Indonesia, dalam segi ketenagakerjaan, terbentang berbagai kendala dan masalah serta tantangan yang dihadapi dan memerlukan pemecahan. Dengan kondisi ketenagakerjaan yang demikian diperlukan adanya suatu perangkat bagi sarana perlindungan dan kepastian hukum bagi para tenaga kerja. Baik bagi yang akan atau sedang melaksanakan hubungan kerja maupun setelah berakhirnya hubungan kerja. Salah satu bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi tenaga kerja adalah melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja. Dalam suatu perjanjian terdapat berbagai asas dan ketentuan-ketentuan seperti tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seperti asas konsensualitas, kebebasan berkontrak, kedudukan para pihak yang seimbang dan sebagainya. Disini penulis tertarik untuk membuat suatu penulisan tentang perjanjian kerja, apakah pembuatannya sesuai dengan ketentuan perjanjian pada umumnya. Sebab terdapat kenyataan adanya kesenjangan antara jumlah pencari kerja dengan kesempatan kerja yang tersedia juga dengan tingkat pendidikan mencari kerja, maka didapati kemungkinan tidak adanya kata sepakat yang murni di antara mereka yang mengadakan perjanjian kerja. Permasalahan yang ingin penulis kemukakan antara lain, apakah terdapat adanya kebebasan berkontrak bagi para pihak dalam membuat perjanjian kerja sebab untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus lepas dari segala unsur paksaan dan tekanan. Apakah dalam perjanjian kerja terdapat asas konsensualitas dalam arti bahwa para pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri. Bagaimanakah kedudukan para pihak yang membuat perjanjian kerja, sebab pada perjanjian kedudukannya adalah sejajar. Dan bagaimana pelaksanaan perjanjian kerja di perusahaan, menyangkut hak dan kewajiban yang terdapat di dalam perjanjian tersebut. Untuk mengetahui hal-hal tersebut di atas, penulis menggunakan metode penulisan dengan metode keputakaan dan penelitian lapangan. Penelitian lapangan dilakukan pada PT. Hyundai Wigantara Metal di Kabupaten Bekasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20713
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>