Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133225 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Akbar Magistra Putra
"Seiring dengan adanya pembaharuan hukum, khususnya dalam tujuan pemidanaan yang bersifat memuaskan hak dan kewajiban seluruh pihak menjadikan istilah ADR diserap ke dalam sistem hukum acara pidana. ADR di dalam sistem hukum acara pidana dikenal dengan istilah mediasi penal yang merupakan pengejawantahan dari konsep restorative justice. Dewasa ini, salah satu aparatur penegak hukum yang sering kali menerapkan mediasi penal adalah Polri, khususnya melalui fungsi Bhabinkamtibmas. Hal ini merupakan pengaktualisasian dari telah dihapuskannya wewenang penyidikan pada Polsek dan peluncuran Polisi RW yang keduanya sengaja diprogramkan untuk mengorientasikan fungsi kepolisian untuk membina dan menjaga kamtibmas melalui tindakan preemtif dan preventif. Padahal, ketentuan-ketentuan mengenai mekanisme mediasi penal sejatinya belum diatur secara letterlijk bagi Bhabinkamtibmas. Secara lahiriah, fungsi Bhabinkamtibmas sejatinya adalah untuk melaksanakan fungsi kepolisian berupa pembinaan dan penjagaan kamtibmas. Namun, saat ini juga dituntut untuk membantu penyelengaraan fungsi-fungsi kepolisian di Polri lainnya, yakni salah satunya adalah fungsi reskrim dalam hal penyelesaian perkara di luar pengadilan. Hal tersebut dapat ditemui secara parsial pada aturan internal kepolisian di Polri yang menyebutkan bahwa Bhabinkamtibmas dapat “menyelesaikan perkara ringan” dan “memediasi antar pihak” dalam penanganan tindak pidana, sehingga tuntutan ini berkaitan dengan adanya penerapan mediasi penal oleh Polri. Atas dasar tersebut, salah satu bentuk persoalan yang sering kali menjadi landasan bagi Bhabinkamtibmas dalam menerapkan mediasi penal adalah pada penanganan konflik horizontal. Di sisi lain, tuntutan bagi Bhabinkamtibmas tersebut nyatanya tidak selaras dengan adanya pembekalan pengetahuan, kompetensi, dan keterampilan dalam hal sebagai mediator dalam adanya penanganan konflik. Hal tersebut terbukti dengan adanya penanganan konflik horizontal melalui penerapan mediasi penal yang dilakukan oleh Bhabinkamtibmas di Polsek Serpong yang hingga saat ini belum mencapai kesepakatan damai, sehingga mengakibatkan terganggunya kamtibmas. Oleh karena itu, melalui metode penelitian yang bersifat normatif berdasarkan studi literatur, penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara menyeluruh mengenai persoalan penerapan mediasi penal oleh Polri, khususnya bagi Bhabinkamtibmas. Berdasarkan persoalan tersebut, Penulis menggagas adanya usulan sertifikasi konflik mediator bagi Bhabinkamtibmas dalam upaya optimalisasi mediasi penal oleh Polri.

As part of legal reforms, particularly in the area of punishment that takes into account the rights and obligations of all parties involved, the criminal procedural law system incorporated the term ADR. This later came to be known as penal mediation embodying the concept of restorative justice which has been implemented by The Indonesian National Police (Polri) through the role of Bhabinkamtibmas. It discusses the implementation of changes in the investigative authority at the Sector Police Station and the introduction of the RW Police, whose goal is to redefine the role of the police in promoting and preserving public safety through preemptive and preventive actions. However, there has been an absence of specific regulations in place for Bhabinkamtibmas regarding the penal mediation mechanism. Apart from their main duty to ensure public safety, Bhabinkamtibmas is expected to support the police in carrying out their functions, including criminal investigations to resolve cases without going to court. As stated in the internal police rules, they have the authority to “handle minor cases” and “mediate between parties” in criminal acts. Practically, there have been some problems with the horizontal conflict management suggesting that Bhabinkamtibmas lack the necessary knowledge, competence, and skills required to effectively mediate conflicts. This can be seen from the resolution of horizontal conflicts through penal mediation conducted by Bhabinkamtibmas at Serpong Sector Police Station, which has not yet to achieve a compromise, leading to issues in security and public order. Using normative research methods and drawing on literature studies, this study aims to offer a comprehensive understanding of the challenges surrounding the implementation of penal mediation by the National Police, with a particular focus on Bhabinkamtibmas. Based on these problems, the author initiated an initiative to certify conflict mediators within the Bhabinkamtibmas to enhance the effectiveness of Polri penal mediation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Agus Mahendra Iswara
"Dalam perkembangan hukum pidana dikenal Keadilan Restoratif yaitu keadilan yang berorientadi pada pemulihan kekeadaan semula (restorasi). Dalam Hukum Adat Bali dikenal beberapa aturan yang mengatur menganai Tindak Pidana Adat Bali. Permasalahan adalah : Bagaimana Implementasi penerapan nilai-nilai Restorative Justice melalui mekanisme Mediasi Penal dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali? Pada umumnya penyelesaian suatu perkara pidana menggunakan mekanisme peradilan formal (Sistem Peradilan Pidana) akan tetapi untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat yaitu untuk menciptakan keseimbangan lahir dan batin yang sesuai dengan tujuan Hukum Adat Bali, maka penyelesaian dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai Restorative Justice pantas dikedepankan. Salah satu bentuk penerapan Keadilan Restorative adalah dengan menggunakan mekanisme Mediasi. Mediasi pada umumnya dikenal sebagai salah satu bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam hukum perdata, namun dalam perkembangannya mediasi dapat dilakukan dalam perkara pidana yang dikenal dengan Mediasi Penal. Dalam Masyarakat Adat Bali yang berlandaskan nilai-nilai agama hindu, nilai-nilai Restoratif dapat dipergunakan dalam penyelesaian perkara-perkara adat. Dalam masyarakat adat bali terdapat lembaga-lembaga adat seperti Subak, Banjar, Desa Pekraman, Majelis Desa Pekraman dan sebagainya. Lembaga-lembaga adat ini berperan penting dalam membantu menyelesaikan suatu perkara-perkara adat yang terjadi dalam masyarakatnya. Dalam Masyarakat Adat Bali suatu perkara adat diselesaikan secara berjenjang dimulai dari penyelesaian secara intern kekeluargaan, kemudian penyelesaian diselesaikan ditingkat Banjar, jika gagal dilanjutkan dengan bantuan bendesa adat (Desa pekraman), apabila desa pekraman gagal dilanjutkan ke Majelis Desa Pekraman (MDP) yang diselesaikan pada awalnya tetap dengan mediasi (mejelis alit desa pekaraman), kemudian bila gagal dilanjutkan dengan sabha kertha (peradilan adat oleh Majelis madya desa pekraman), dan tingkat bandingnya oleh Majelis Utama Desa Pekraman. Dalam penyelesaian perkara adat juga terdapat sutau sinergi (kerjasama) antara Sub sistem peradilan Pidana (Kepolisian dalam bentuk Polisi masyarakat) bekerjasama dengan Lembaga adat (Banjar, Desa Pekraman, dan Majelis Desa Pekraman) yang kita kenal sebagai Model Hybrid Justice System. Penerapan model Hybrid Justice System masih berfungsi dengan baik dalam penyelesaian perkara-perkara pidana umum yang ringan maupun Tindak Pidana Adat Bali. Model Hybrid Justice System merupakan salah satu model dari penjabaran nilai-nilai Restorative Justice.

In the development of criminal law known restorative justice the justice recovery-oriented reconstruction (restoration). Customary law in Bali known some rules that govern Traditional Balinese about the crime. The problem is: How does the implementation of the application of Restorative Justice through the mechanism of mediation in the settlement of penal Criminal Adat Bali? In General, completion of a criminal to use the mechanism of formal judicial (criminal justice system) but to create harmony in society, namely to create the balance of birth and inner purpose in accordance with the customary law of bali, then finishing by using a values approach to Restorative Justice deserved the most noteworthy. One form of application of restorative justice is to use the mechanisms of mediation. Mediation is generally known as a form of alternative dispute resolution in civil law, but in its development of mediation can be done in criminal cases, known as penal of mediation. In indigenous communities, based on the Balinese hindu values, restorative values can be used in the settlement of cases of indigenous peoples. In bali there are indigenous institutions of indigenous peoples such as Subak, Banjar, Desa Pekraman, Majelis Desa Pekaraman (MDP) and so on. This indigenous institutions played an important role in helping solve a customs matters taking place within society. In the case of indigenous peoples indigenous to bali a tiered basis resolved starting from the resolution of internal kinship, then completed the present settlement of Banjar, if failed to proceed with the help of Bendesa adat (Desa Pekraman), in the Desa pekraman failed to proceed to the Majelis Desa Pekraman who settled at first stick with mediation (mejelis alit desa pekraman), then when it failed to proceed with the sabha kertha (indigenous justice by the Majelis Madya Desa Pekraman), and the level of the appeal by Majelis Utama Desa Pekaraman. In the settlement, there is an indigenous case synergies (of cooperation) between Sub criminal justice system (police, in the form of the police community) in collaboration with the Institute for indigenous peoples (Banjar, Desa Pekraman, and Majelis Desa Pekraman) that we know as a Model of the Hybrid Justice System. The application of model the Hybrid Justice System still works fine in the settlement of criminal cases of mild or general criminal adat bali. Model of the Hybrid Justice System was one of the models from the translation of the values of restorative justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara
"Keadilan restoratif (restorative justice) dimaknai sebagai pemulihan keadaan korban dan masyarakat oleh terdakwa sebagai pemenuhan kewajibannya karena menginsyafi kesalahannya. Dalam praktik peradilan, masyarakat sering tidak puas atas putusan Hakim yang tidak mengakomodir konsep keadilan restoratif. Sesuai hasil penelitian, seharusnya dalam kasus ORLI MASUDARA Alias OLING dan ASMAN HUSIN Alias ASMAN dapat diterapkan konsep keadilan restoratif. Mengingat berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan Hakim dan hambatan yang dialaminya, direkomendasikan pengaturan konsep keadilan restoratif dalam KUHP berupa perluasan makna alasan pemaaf. Sebagai kebijakan pidana, terdakwa-terdakwa tersebut seharusnya dilepaskan dari tuntutan hukum/ onslag.

Restorative justice understood as a state of recovery of victims and the community by the defendant as the fulfillment of its obligations due to realizing the fault. In judicial practice, people often are not satisfied with the Judge's decision that does not accommodate the concept of restorative justice. The research result, in the case of ORLI MASUDARA Alias OLING and ASMAN HUSIN Alias ​​ASMAN should be apply the concept of restorative justice. Given the variety of factors that affect judgment and barriers experienced judge, recommended setting the concept of restorative justice in the Criminal Code in the form of expansion of the meaning of the forgiving ground. As a penal policy, both defendants should be released from prosecution/onslag."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Verdy Firmansyah
"Restorative justice dewasa ini telah diadopsi menjadi suatu bentuk baru dalam upaya penegakan hukum di Indonesia oleh aparat penegak hukum. Secara khusus, metode ini telah diadopsi oleh kepolisian dan kejaksaan selama beberapa tahun terakhir. Pelaksanaan restorative justice ini telah dilandasi oleh payung hukum di masing-masing institusi namun payung hukum tersebut justru menimbulkan kesenjangan di lapangan ketika restorative justice diimplementasikan. Kesenjangan ini dapat diatasi ketika restorative justice dioptimalkan di tingkat kepolisian sehingga implementasi restorative justice antara kepolisian dan kejaksaan menjadi lebih seirama.
Maka, penelitian ini dilaksanakan untuk: (1) mengetahui faktor non-penal yang membuat kepolisian tidak optimal dalam menerapkan restorative justice; dan (2) mengidentifikasi upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki restorative justice di lingkungan Polri dari perspektif faktor non-penal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan data-data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara dan studi literatur. Seluruh data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan berpedoman pada empat teori yang terdiri dari: (1) Sistem Peradilan Pidana; (2) Crime Control Model dan Due Process Model; (3) Sosiologi Hukum; dan (4) Restorative Justice. Adapun tahapan dalam analisis ini terdiri dari: (1) pengolahan dan persiapan data untuk dianalisis; (2) pembacaan data secara keseluruhan; (3) analisis detail terhadap data yang telah dikumpulkan; (4) mendeskripsikan tatanan, kategori, dan tema yang hendak dianalisis terhadap data yang telah dikumpulkan; (5) menyajikan deskripsi dan tema dalam narasi atau laporan naratif; dan (6) interpretasi atau pemaknaan data.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tiga faktor non-penal dapat mempengaruhi implementasi restorative justice yang optimal di tingkat penyelidikan-penyidikan yaitu faktor psikologis, faktor ekonomis, dan faktor administratif; dan (2) implementasi restorative justice di lingkungan kepolisian ini dapat diperbaiki dan ditingkatkan melalui inisiatif berupa pendampingan atau edukasi untuk faktor psikologis, mekanisme pengawasan untuk faktor ekonomis, dan fasilitasi keluarga untuk faktor administratif

Restorative justice has recently been adopted into a new form of law enforcement in Indonesia. Specifically, the method has been adopted by the police and the prosecutors within the last several years. The implementation of restorative justice has been based on the legal protection of each institution but, unfortunately, the legal protection has instead triggered the discrepancy in the field as the restorative justice is implemented. The discrepancy may thus be solved when the restorative justice is optimized in the police; thereby, the implementation of restorative justice between the police and the prosecutors can be more harmonious.
Hence, the study is conducted in order to: (1) identify the non-penal factors that have caused the police not optimally implement the restorative justice; and (2) identify the efforts that can be done in order to improve the restorative justice implementation in the jurisdiction of Indonesian National Police from the perspective of non-penal factors. The approach that has been adopted in the study is the qualitative approach and the data for the study have been collected through interview and literature study. All of the data that have been collected are then analyzed with reference to the four theories as follow: (1) Criminal Justice System; (2) Crime Control Model and Due Process Model; (3) Sociology of Law; and (4) Restorative Justice. Then, the stages in the data analysis consist of: (1) data processing and preparation for analysis; (2) data reading in overall; (3) detailed analysis toward the data that have been collected; (4) setting, category and theme description for the analysis toward the data that have been collected; (5) theme and description presentation in the form of narrative or narrative report; and (6) data interpretation.
The results of the study show that: (1) three non-penal factors, namely the psychological factor, the economic factor and the administrative factor, may influence the optimal restorative justice implementation; and (2) the restorative justice implementation in the police department can be improved by using mentoring or education for the psychological factors, monitoring mechanism for the economic factors and family facilitation for the administrative factors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Syarlitha Virgasari Sriyanto
"Keadilan restoratif (restorative justice) pada intinya mengutamakan partisipasi langsung para pihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan perkara pidana, menjunjung tinggi nilai perdamaian, rekonsiliasi, serta pemenuhan kewajiban dan kepentingan para pihak secara sukarela. Sebagai pendekatan baru dalam hukum pidana, keadilan restoratif memiliki prinsip-prinsip yang dapat diintegrasikan ke dalam hukum pidana konvensional, misalnya dalam hal pemidanaan. Salah satu bentuk pemidanaan yang berpotensi untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam pelaksanaannya adalah pidana bersyarat. Sesuai dengan hasil penelitian, putusan-putusan pidana bersyarat, baik secara umum maupun seperti yang terdapat dalam Putusan Nomor: 307 K/Pid.Sus/2010, Putusan Nomor: 732 K/PID/2010, Putusan Nomor: 43/Pid.B/2012/PN.Kb.Mn., Putusan Nomor: 229/Pid.B/2012/PN.Stb., dan Putusan Nomor: 243/Pid.B/2011/PN.Dmk., telah menerapkan prinsip-prinsip keadilan restoratif, akan tetapi belum secara keseluruhan. Selain itu, putusan pidana bersyarat yang tepat untuk menjadi bentuk penerapan keadilan restoratif hendaknya memuat prinsip-prinsip keadilan restoratif dan memaksimalkan ketentuan mengenai syarat umum dan syarat khusus seperti yang tercantum dalam Pasal 14a dan 14c KUHP.

Restorative justice essentially prioritizes direct participation of stakeholders in resolving the criminal case, upholding the values of peace, reconciliation, and the fulfillment of obligations and interests of the parties voluntarily. As a new approach in criminal law, restorative justice has principles that can be integrated into conventional criminal law, for example in terms of punishment. One form of punishment that has the potential to apply the principles of restorative justice in the criminal execution is conditional sentencing. In accordance with the results of the study, conditional sentences, both in general and as contained in Decision Number: 307 K/Pid.Sus/2010, Decision Number: 732 K/PID/2010, Decision Number: 43/Pid.B / 2012/PN.Kb.Mn., Decision Number: 229/Pid.B/2012/PN.Stb., and Decision Number: 243/Pid.B/2011/PN.Dmk., has applied the principles of restorative justice, but not on the whole. Moreover, conditional sentences which want to be an appropriate form of restorative justice should contains the principles of restorative justice and maximizing the provision of general and special terms and conditions as set out in Article 14a and 14c of the Indonesian Penal Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46248
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dormian
"ABSTRAK
Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia.
Segala aktifitas manusia baik politik, social dan ekonomi, dapat menjadi kausa
kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu
dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan
kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pidana ganti kerugian
telah difungsikan sebagai syarat khusus dalam praktek pengadilan selama ini, dan
bagaimana semangat Restorative Justice diwujudkan dalam kebijakan formulasi
pidana ganti kerugian bagi korban sebagai syarat khusus dalam putusan pidana
bersyarat. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normative, diperoleh
gambaran bahwa secara yuridis, Indonesia telah merumuskan adanya lembaga
pidana bersyarat dalam induk hukum pidananya (KUHP) dan pidana ganti
kerugian (KUHAP). Namun penerapan pidana ganti kerugian sebagai syarat
khusus dalam putusan pidana bersyarat selama ini kurang difungsikan. Adanya
berbagai kendala di lapangan dianggap sebagai hambatan dalam penerapan pidana
bersyarat tersebut. Kendala tersebut baik berada pada pembinaan, kendala yuridis
dan perundang-undangan, kendala teknis dan administrasi, maupun kendala
sarana dan prasarana. Terdapat tiga model perumusan formulasi pidana bersyarat
yaitu sistem continental dan sistem common law. Pada sistem continental, pidana
tetap dijatuhkan, hanya saja pelaksanaannya ditiadakan dengan syarat-syarat
tertentu. Sedang pada common law system terdakwa hanya dinyatakan bersalah
sedangkan pidananya ditunda. Adapun KUHP menganut system campuran dengan
sistem continental lebih dominan sebagai model ketiga. Restorative Justice sendiri
muncul sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dan tindakan kepada para
pelakunya perlu diusahakan berbagai cara agar tercapai tujuan pemidanaan seperti
mencegah dilakukannya tindak pidana, memasyarakatkan terpidana,
menyelesaikan konflik, memuIihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat; dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana,
ternyata telah mengilhami para hakim dalam mengambil putusan pidana ganti
kerugian sebagai syarat khusus dalam putusan pidana bersyarat. Maka dengan
dirumuskanlah Konsep KUHP sebagai salah satu usaha penal reform (legal
reform) mampu merumuskan pidana bersyarat dan pidana ganti kerugian sebagai
salah satu alternative pemidanaan dengan semangat Restorative Justice.

ABSTRACT
Crime is present not only in the majority of societies of one particular species but
in all society that is not contronted with the problem of criminality. It is form
changes : the act thus caracterize are not the same every where : but every where
and always, there have been men who have behaved in such a way as to draw
upon then selves penal repression. (Emile Durkneim, 1971 : 6) This research aim
to know how far suspended sentence using approach of normative obtained that
by rule Indonesia have formulated the existence of conditional sentence in the
criminal law mains (KUHP), but in practice less is functioned. As for KUHP
embrace mixture system with system of continental more dominant. As effort to
overcome badness and act to the perpetrator need various means is performed by
effort to target of centencing like prevention of crime, finishing conflict, curing
balance, delivering to feel peace in society, and free to feel guilty at punished. To
support that thing is, hence formulated by concept of KUHP as one of the effort
penal reform. Conception KUHP formulate various alternative sanction having the
character to avoid of short term sentence for example social servis order and
probation as substitution of custodial sentence. This thesis discusses the issue of
criminal sentencing in personal reparation to the victim as the special condition in
probation sentencing in Indonesia. The research which is judicial normative in
nature and utilizes data gathering methods of literature review including primary
legal material, secondary legal material, secondary legal material, tertiary legal
material, as well as empirical research through in depth interviews with competent
sources. Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the
harm caused by criminal behaviour. It is best accomplished when the parties
themselves meet cooperatively to decide how to do this. This can lead to
transformation of people, relationships and communities. Meanwhile, the basic
used by the judge at Tangerang District Court, Koto Baru District Court in
awarding sentence with probation in special condition of restitution is primarily
for creating a sense of justice for both the convict and the victims alike. Where the
judges are ready making the sentencing base on Restorative Justice as how they
treat the victims to have a restitution for what they have lost because of what
criminal do to them."
Universitas Indonesia, 2013
T35442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiyarto Makmur
"Pada hakikatnya negara menjamin perlindungan, pribadi, keluarga dan masyarakat yang diwujudkan dengan pembangunan serta pembaharuan hukum yang konsisten serta responsif pada kondisi maupun kebutuhan masyarakat. Dalam pembaharuan hukum termasuk hukum pidana harus mempertimbangakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga memiliki karakteristik tersendiri, terletak pada subyek yang spesifiknya yaitu pelaku sekaligus korbannya berada dalam satu lingkup rumah tangga. Pada umumnya penyelesaian suatu perkara pidana menggunakan mekanisme peradilan formal (Sistem Peradilan Pidana). Dalam perkembangan hukum pidana dikenal Keadilan Restoratif yaitu keadilan yang berorientasi pada pemulihan kekeadaan semula (restorasi).
Tesis ini membahas tentang penerapan restorative justice sebagai upaya penyelesaian tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui proses penanganan tindak kekerasan dalam rumah tangga di Polres Metro Jakarta Pusat, bagaimana mekanisme penerapan restorative justice dalam menanganai perkara KDRT, serta mengetahui kendala penegak hukum khusunya penyidik dalam menyelesaiakan perkara KDRT terkait dengan penerapan restorative justice tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Polres Metro Jakarta Pusat, dimana warga kota Jakarta berada dalam berbagai suku dan budaya serta etnis yang beragam.
Hasil penelitian ini bahwa penerapan mediasi penal sebagai implementasi dari nilai-nilai restorative justice dalam kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di wilayah Polres Metro Jakarta Pusat oleh penyidik dilakukan mesikipun terdapat kendala hukum dalam penerapannya, hal ini dilakukan karena penyidik yang lebih mengedepankan keutuhan rumah tangga tersebut serta lebih memperhatikan faktor-faktor sosial dan psikologis anak dalam rumah tangga tersebut. Hingga penelitian ini selesai, pihak Polres Metro Jakarta Pusat follow up atau tindak lanjut perlindungan hukum terhadap korban sebagai upaya pencegahan dengan cara mewajibkan kepada pelaku kekerasan untuk wajib lapor. Selanjutnya dengan adanya delik aduan pada UU PKDRT menjadi dasar bagi penyidik Unit PPA Polres Metro Jakarta Pusat untuk membuat kebijakan untuk menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga dengan mediasi yang mendamaikan antara pihak korban dan pelaku serta keluarga dalam mencari solusi yang terbaik (win-win solution).

In principal, the country guarantees the protection of individual, family and community through the development of consistent and responsive law reform towards the conditions and needs of the community. In the law reform including criminal law, the values that exist in the community must be considered. Domestic Violence has its own characteristics in which the perpetrators and victims are within the same domestic sphere. Generally, the resolution of a criminal case employs the formal justice mechanisms (Criminal Justice System). In the development of criminal law, Restorative Justice which is restorationoriented justice is employed to restore a case into its normal state (restoration).
This thesis discusses the implementation of restorative justice as an attempt in adjudicating domestic violence. The purpose of this study is to investigate the handling of domestic violence in Central Jakarta Metro Police Resort, the mechanism of the implementation of restorative justice in domestic violence cases, and to find out the constraints that the investigating officers have in solving the cases of domestic violence associated with the implementation of restorative justice. This research uses descriptive qualitative method. The study was conducted at the Central Jakarta Metro Police Resort which in charge for residents coming from various cultures and ethnics living in the area.
The results of this study revealed that the application of penal mediation as an implementation of the values of restorative justice in the cases of domestic violence that occurred in the area of Central Jakarta Metro Police Resort conducted by the investigating officers is employed because the unity of the household is primarily put into attention by considering the social and psychological factors of children. Until the completion of this study, the Central Jakarta Metro Police Resort keeps on following up legal protection for victims as prevention by requiring the crime abuser to do compulsory report to the police office. Furthermore, with the abuse compliance on the Domestic Violence Law (UU PKDRT) as the base for the PPA Unit investigating officers at the Central Jakarta Metro Police Resort to make a policy to resolve domestic violence cases through mediation between parties both victims and perpetrators as well as families in finding the best solution (win-win solution).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Hermanda
"Tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil. Saat melakukan tindak pidana, anak dipandang tidak mandiri secara kejiwaan, dan bukan pula miniatur orang dewasa. Anak yang menjadi pelaku pidana juga dapat dipandang sebagai korban, yakni korban dari keadaan disekitarnya. Dalam sistem peradilan pidana, mediasi penal dilatar belakangi pemikiran yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide "penal reform" itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana.
Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara, serta untuk penyederhanaan proses peradilan, salah satu caranya adalah dengan mekanisme "mediasi penal". Keadilan restoratif memfokuskan keadilan bagi korban sesuai keinginan dan kepentingan pribadi, tetapi tetap membuat pelaku bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya. Keadilan restoratif menawarkan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat. Aparat penegak hukum, pelaku, dan korban bisa bersepakat untuk mengalihkan kasus tersebut agar tidak dibawa hingga ke proses pemeriksaan dipengadilan jika pelakunya adalah anak-anak. Berdasarkan semua hal diatas, maka skripsi ini akan membahas mengenai studi perbandingan kasus mengenai penerapan mediasi penal dalam penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Berhadapan Dengan Hukum.

Law enforcement purpose was not to apply the law, but rather to achieve order, peace, tranquility, in a harmonious society and fair. When doing crime, psychiatric child was not independent, and it was not a miniature adult. Children who become perpetrators of crime can also be seen as victims, the victims of circumstances around it. In the criminal justice system, penal mediation against the background of thought associated with the ideas of criminal law reform (penal reform), and problems associated with pragmatism. Background ideas "penal reform" that among other things the protection of victims of an idea, the idea of harmonization, the idea of restorative justice, the idea to overcome the stiffness/formality in the existing system, the idea of avoiding the negative effects of the criminal justice system and criminal system that exists today, particularly in search of an alternative to the criminal.
Background of pragmatism among others to reduce stagnation or accumulation case, as well as to simplify the process of justice, one way is the mechanism 'penal mediation'. Restorative justice focuses justice for the victims at will and self-interest, but still makes the perpetrator responsible for his crime. Restorative justice offers recovery for all parties involved. Law enforcement officers, the offender, and the victim can agree to transfer the case not to be brought up to the inspection process in court if the perpetrators are children. Based on all the above, then this paper will discuss the Application of Penal Mediation Settlement In Case Crime Carried Out By Children Against the Law (Comparison Case Study of Court Decisions).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nofita Dwi Wahyuni
"Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan dalam Putusan Pengadilan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hakim dapat menerapkannya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tujuan sanksi adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan, keharmonisan dan kerukunan pihak yang berkonflik. Penerapan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan dalam putusan pengadilan, menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat. Penelitian ini menganalisa putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, kedua putusan ini telah menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan deskriptif analitis sebagai sifatnya. Hasil penelitian perlunya menerapkan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Hakim meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam menjatuhkan pemidanaan.

Restorative justice as the aim of punishment in the cout have not been set by the law. The Jusde could apply by exploring the value of living law in the society. The aim of customary sanctions is to restore balance, harmony and concord the conflicting parties. The application of restorative justice as the aim of punishment in the court, resolving the conflict between the offender, victim and society. This research analyzes the decision no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, both decisions have applied restorative justice as the aim of punishment.
This research is normative research with analytical description as its character. The research result of the importance of applying restorative justice in the court decision as the aim of punishment. Judge should increase their knowledge and ability to impose punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Wiroprayogo
"Skripsi ini membahas mengenai diversi yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis teori mengenai perilaku delikuensi anak yang kemudian dapat menghasilkan anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, dan pendekatan keadilan restoratif, serta peran serta Balai Pemasyarakatn sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada, serta dengan wawancara dengan narasumber yang mengatakan bahwa Balai Pemasyarakatan tidak mempunyai fungsi diversi secara penuh, dan diversi yang dilakukan tidak menyeluruh memenuhi aspek-aspek dalam pendekatan keadilan restoratif.

This thesis deals with the diversion is done by Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on restorative justice approaches in accordance with The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012. The matters are done by analyzing the theories about the behavior of delinquent children who can then produce children who are dealing with the law, diversion, and restorative justice approaches, as well as the role of Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012.
This research is juridical normative research that aims to examine the legal certainty based on the study of librarianship (the document or research libraries) and the existing positive law, as well as with interviews with the speakers, conclude that Balai Pemasyarakatan (Bapas) has no function fully versioned, and not done thorough fulfilling aspects of restorative justice approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>