Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193958 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rozi Abdullah
"Infeksi merupakan komplikasi serius dan umum terjadi pada pasien di ruang rawat intensif rumah sakit. Pasien di ruang rawat intensif sering mengalami kondisi kritis dan imunosupresi yang membuat mereka rentan terhadap berbagai infeksi, termasuk yang disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap antibiotik. Seringkali, penyebab infeksi tidak dapat langsung diidentifikasi, sehingga pemberian antibiotik empiris harus dilakukan, di mana antibiotik diberikan berdasarkan pengalaman klinis dan pengetahuan tentang patogen yang kemungkinan besar terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kuman dan kesesuaian pemberian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman, serta menganalisis hubungan kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris di ruang rawat intensif rumah sakit Cipto Mangunkusumo periode 2022. an observasional yang dilakukan secara potong lintang (cross-sectional) pada penggunaan antibiotik empiris pada pasien ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama periode 2022. Data yang diambil adalah data rekam medis pasien yang dirawat di ruang rawat intensif periode Januari- Desember 2022 yang terdiri dari ICU Dewasa (Kanigara) dan ICU IGD RSCM. Perbaikan klinis setelah pemberian terapi antibiotik empiris dinilai dari penurunan jumlah leukosit, penurunan kadar prokalsitonin, perbaikan skor National Early Warning Score (NEWS) pada 0-48 jam setelah antiobiotik empiris dihentikan. Analisis bivariat dilakukan dengan Uji Chi Square, dengan nilai p signifikansi <0,05. Analisis multivariat dilakukan pada faktor perancu dengan Uji Regresi Logistik.

            Pada penelitian ini didapatkan 107 penggunaan antibiotik empiris. Hasil uji sensitivitas kuman pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris menunjukkan bahwa Klebsiella pneumonia dan Acinetobacter sp. adalah kuman yang paling banyak ditemukan, dengan tingkat sensitivitas yang rendah terhadap antibiotik di bawah 40% pada sebagian besar hasil uji sensitivitas kuman. Didapatkan jumlah kesesuaian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman lebih tinggi pada kategori tidak sesuai sebanyak 62,62% (n=67). Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien (p<0,05). Analisis multivariat menunjukkan kesesuaian penggunaan antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas memiliki signifikansi secara statistik terhadap perbaikan klinis (OR 5,26 (1,46-18,95), p = 0,011).

            Penggunaan antibiotik empiris di ruang rawat intensif sebagian besar tidak sesuai dengan hasil uji sensitivitas kuman. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien. Temuan ini menegaskan pentingnya pemilihan antibiotik empiris yang tepat berdasarkan pola kuman dan hasil uji sensitivitas kuman untuk meningkatkan efektivitas perawatan di ruang rawat intensif.


Infections are a serious and common complication in patients in hospital intensive care units. Patients in intensive care often experience critical conditions and immunosuppression, making them vulnerable to various infections, including those caused by antibiotic-resistant pathogens. Often, the cause of the infection cannot be immediately identified, necessitating the administration of empirical antibiotics, where antibiotics are given based on clinical experience and knowledge of the most likely involved pathogens. This study aims to determine the pattern of pathogens and the appropriateness of empirical antibiotic administration with the results of pathogen sensitivity tests, as well as to analyze the relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients receiving empirical antibiotics in the intensive care unit of Cipto Mangunkusumo Hospital for the period of 2022.

            This study is an observational cross-sectional research on the use of empirical antibiotics in intensive care patients at Cipto Mangunkusumo Hospital during the 2022 period. The data collected were medical record data of patients treated in the intensive care unit from January to December 2022, consisting of the Adult ICU (Kanigara) and the Emergency Department ICU of RSCM. Clinical improvement after the administration of empirical antibiotic therapy was assessed from the decrease in leukocyte count, the decrease in procalcitonin levels, and the improvement of the National Early Warning Score (NEWS) within 0-48 hours after the empirical antibiotics were discontinued. Bivariate analysis was performed using the Chi-Square Test, with a significance value of p<0.05. Multivariate analysis was performed on confounding factors using Logistic Regression Test.

            In this study, 107 uses of empirical antibiotics were found. Pathogen sensitivity tests in patients receiving empirical antibiotics showed that Klebsiella pneumoniae and Acinetobacter sp. were the most commonly found pathogens, with a low level of sensitivity to antibiotics below 40% in most pathogen sensitivity test results. In addition, the number of appropriate empirical antibiotics with the results of pathogen sensitivity tests was higher in the inappropriate category by 62.62% (n=67). There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients (p<0.05). Multivariate analysis showed statistical significance (OR = 5,26 (1,46-18,95), p-value = 0.011).

            The use of empirical antibiotics in the intensive care unit was mostly not in accordance with the results of pathogen sensitivity tests. There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients. These findings affirm the importance of selecting the appropriate empirical antibiotics based on the pattern of pathogens and the results of pathogen sensitivity tests to enhance the effectiveness of care in the intensive care unit.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Chandra
"Latar Belakang: Keberhasilan terapi demam neutropenia berkaitan erat dengan pemberian antibiotik empiris awal. Pola kuman patogen berbeda-beda pada tempat satu dan yang lain. Penelitian mengenai kesesuaian antibiotik dengan kuman patogen dan pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi penting diteliti untuk mendapat gambaran mengenai pilihan antibiotik empiris di RSCM.
Tujuan: Mengetahui kesesuaian antibiotik empiris dengan kuman patogen dan pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi.Metode. Desain kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis RSCM periode Januari 2015-Maret 2018. Analisis kesesuaian menggunakan Uji Mc Nemar dan analisis kesesuaian terhadap keberhasilan terapi menggunakan Uji Chi Square dan menghitung nilai relative risk (RR).
Hasil: Didapatkan 114 subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Kejadian demam neutropenia lebih banyak dijumpai pada perempuan (52,6%), usia <60 tahun (80,7%), tumor hematologi (57%), tidak ada komorbid (54,4%), pasca kemoterapi siklus pertama (43,9%), regimen intensitas tinggi (57,9%), dan skor Multinational Association of Supportive Care in Cancer < 21 (72,8%); dengan nilai Absolute Neutrophil Count awal ≥100/uL (75,4%) dan durasi ≤ 7 hari (78,1%). Pada 38,6% kasus tidak ditemukan fokus infeksi. Penggunaan antibiotik anti-pseudomonas 86,8% dengan jenis tersering meropenem (20,3%). Patogen non-pseudomonas mendominasi (83,3%) dengan kuman terbanyak Klebsiella pneumoniae (22,7%). Angka keberhasilan terapi cukup tinggi (63,2%) dengan mortalitas 21,1%. Tidak terdapat kesesuaian antibiotik dengan patogen (nilai Kappa 0,012). Analisis bivariat menunjukkan tidak ada faktor perancu pada penelitian ini. Kesesuaian antibiotik tidak mempengaruhi keberhasilan terapi, dengan nilai RR 1,07 (IK 95% 0,79-1,45).
Kesimpulan: Tidak terdapat kesesuaian antara antibiotik empiris dengan kuman patogen namun hal ini tidak mempengaruhi keberhasilan terapi pada pasien demam neutropenia pasca kemoterapi di RSCM.

Background: Success rate of febrile neutropenia therapy closely related with initial empirical antibiotic. Spectrum of pathogen may differ from place to place. The appropriateness of empirical antibiotic therapy with pathogen and its effect toward successful therapy were vital in choosing the appropriate empirical antibiotic in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Objectives: To identify appropriateness of empirical antibiotic therapy with pathogen and its effect toward success of therapy.
Methods: A cohort retrospective study was conducted by using secondary data in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2015-March 2018. Mc Nemar test was used to analyze the appropriateness and Chi Square analysis was used to obtain relataive risk of success rate related with appropriateness.
Results: One hundred and fourteen subjects were included in this study. Febrile neutropenia more common in female (52,6%), <60 years of age (80,7%), hematological malignancies (57%), no comorbid (54,4%), after the first cycle of chemotherapy (43,9%), high intensity regimen (57,9%), and Multinational Association of Supportive Care in Cancer score < 21 (72,8%); with baseline Absolute Neutrophil Count ≥100/uL (75,4%) and ≤ 7 days of duration (78,1%). No documented infection in 38,6% cases. The use of anti-pseudomonas antibiotic were 86,8% with meropenem as the mostly used (20,3%). Non-pseudomonas pathogen were found in 83,3% cases with Klebsiella pneumoniae as the most common pathogen (22,7%). Success rate was good (63,2%) with 21,1% mortality. There were no appropriateness between antibiotics and pathogen (Kappa value 0,012). There were no confounding factors in this study. The relation between appropriateness and success rate were not statistically significant (RR 1,07; 95%CI 0,79-1,45).
Conclusion: There were no appropriateness between antibiotics and pathogen and there were no relation between appropriateness and success rate in chemo-related febrile neutropenic patients at Cipto Mangunkusumo Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie
"Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menyebabkan resistensi antibiotik di seluruh dunia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah resistensi antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi hubungan antara penggunaan antibiotik sesuai rekomendasi Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) dengan luaran klinis, luaran laboratorium, lama rawat dan luaran sekunder yang membaik pada anak dengan infeksi yang di rawat di ruang intensif anak. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif pada anak usia 1-18 tahun yang mendapat terapi antibiotik. Hasil penelitian, dari 85 anak, terdapat 126 penggunaan antibiotik, rerata usia 4,9 tahun, sebaran profil bakteri Gram negatif lebih banyak dibanding Gram positif, sebaran penggunaan antibiotik empiris sesuai rekomendasi PPAB (69,8%) menurut alur Gyssens merupakan kategori 0 (penggunaan antibiotik tepat). Berdasarkan analisis bivariat, variabel luaran klinis, luaran laboratorium, lama rawat dan luaran sekunder tidak  memiliki hubungan bermakna dengan penggunaan antibiotik sesuai PPAB (p>0,05). Sebagai saran, sosialisasi rutin oleh tim PPRA, evaluasi panduan PPAB terus diperbarui tiap 3-6 bulan sesuai data uji kepekaan antibiotik terbaru. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk evaluasi penggunaan antibiotik, secara prospektif dengan subyek yang lebih banyak, durasi lebih lama, kriteria inklusi yang lebih spesifik tanpa komorbid untuk memperkuat rekomendasi penggunaan antibiotik yang sesuai PPAB.

The irrational use of antibiotics causes antibiotic resistance worldwide. Various attempts have been made to prevent antibiotic resistance. This study aims to evaluate the relationship between the use of antibiotics according to PPAB recommendations and improved clinical outcomes, laboratory outcomes, length of stay and secondary outcomes in children with infections treated in the pediatric intensive care unit. This study used a retrospective cohort design in children aged 1-18 years who received antibiotic therapy. The results of the study, of 85 children, there are 126 antibiotic use, the mean age was 4,9 years, the distribution of Gram-negative bacteria profiles was more than Gram-positive, the distribution of empirical antibiotic use according to PPAB recommendations 69.8% according to the Gyssens flow is category 0 (appropriate use of antibiotics). Based on bivariate analysis, the clinical outcome variables, length of stay, laboratory outcomes and secondary outcomes had a p value > 0.05 which were statistically not significantly different to have a relationship with the use of antibiotics according to PPAB. As a suggestion, regular socialization by the PPRA team and evaluation of the PPAB guidelines are continuously updated every 6 months according to the latest antibiotic sensitivity test data. Further research is needed to evaluate the use of antibiotics, prospectively with more subjects, longer duration, more specific inclusion criteria without comorbidities to strengthen recommendations for the use of antibiotics according to PPAB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Nur Komarudin
"Latar Belakang
Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memiliki tingkat insidensi dan mortalitas yang tinggi di Indonesia serta berdampak pada aspek kesehatan, sosial, dan budaya. Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memicu inflamasi yang dapat mengakibatkan ganguan multi-organ. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai indikator keparahan untuk menilai inflamasi dan kerusakan organ. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas mengenai analisis kakteristik klinis dan hasil laboratorium pasien kanker ginekologi dengan COVID-19.
Metode
Metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah deskritif dan analitik dengan pendekatan potong lintang retrospektif.
Hasil
Tingkat insidensi pasien kanker ginekologi dengan COVID-19 2020-2022 sebesar 154 per 100.000. Kanker serviks (54,3%) menjadi diagnosis terbanyak diikuti dengan kanker ovarium (28,7%), kanker rahim (14,9%), kanker vulva (1,1%), dan kanker vagina (1,1%). Stadium III (37,2%) menjadi yang terbanyak diikuti stadium IV (26,6%), stadium I (20,2%), stadium II (16%). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan stadium kanker adalah obesitas (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), neutrofil absolut tinggi (OR 5,006; Cl 95%, 1,307 – 19,176; P value 0,019), ureum tinggi (OR 3,977; Cl 95%, 1,112 – 14,224; P value 0,034), dan platelet to leucocyte ratio (PLR) tinggi (OR 7,379; 95% CI 2,067-26,466; P value 0,002). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas (OR 12,364; Cl 95%, 4,148 – 36,848; P value <0.001) dan PLR tinggi (OR 6,787; 95% CI 1,103 - 41,774; P value 0,039).
Kesimpulan
Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan sebagai indikator keparahan berdasarkan stadium kanker ginekologi adalah obesitas, neutrofil absolut tingg, ureum dan PLR tinggi. Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan dengan indikator keparahan berdasarkan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas dan PLR tinggi.

Introduction
Gynecologic cancer and COVID-19 infection have high incidence and mortality rates in Indonesia and impact health, social and cultural aspects. Gynecological cancers and COVID-19 infections trigger inflammation that can lead to multi-organ disorders. Laboratory tests can be used as an indicator of severity to assess inflammation and organ damage. Therefore, this study will discuss the analysis of clinical characteristics and laboratory results of gynecological cancer patients with COVID-19.
Method
The method used in this study is descriptive and analytic with a retrospective cross- sectional approach.
Results
The incidence rate of gynecologic cancer patients with COVID-19 2020-2022 was 154 per 100,000. Cervical cancer (54.3%) was the most common diagnosis followed by ovarian cancer (28.7%), uterine cancer (14.9%), vulvar cancer (1.1%), and vaginal cancer (1.1%). Stage III (37.2%) was the most common followed by stage IV (26.6%), stage I (20.2%), stage II (16%). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with cancer stage were obesity (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), high absolute neutrophils (OR 5.006; 95% CI, 1.307-19.176; P value 0.019), high high ureum level (OR 3.977; 95% CI, 1.112-14.224; P value 0.034), and high PLR (OR 7.379; 95% CI 2.067-26.466; P value 0.002). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with COVID-19 severity were shortness of breath (OR 12.364; Cl 95%, 4.148 - 36.848; P value <0.001) and high PLR (OR 6.787; 95% CI 1.103 - 41.774; P value 0.039).
Conclusion Clinical characteristics and laboratory results associated with gynecologic cancer stage were obesity, high absolute neutrophils, high ureum level, and high PLR. Clinical characteristics and laboratory results associated with COVID-19 severity were shortness of breath and high PLR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Faisha
"

Pemakaian antibiotik yang tidak tepat pada penyakit infeksi akan menyebabkan resistensi bakteri dan akan memperburuk kondisi pasien. Sejumlah faktor yang memengaruhi, pola bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik dapat memengaruhi luaran perlu di nilai kembali. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil sensitivitas bakteri, penggunaan antibiotik dan faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas infeksi anak. Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif serta studi deskriptif terhadap 254 pasien di RSCM pada Januari-Desember 2018. Riwayat medis, pola kuman, sensitivitas antibiotik dan penggunaan antibiotik didata serta faktor yang memengaruhi dianalisis menggunakan uji multivariat regresi logistik. Bakteri terbanyak adalah gram negatif 57,1% diikuti gram positif 42,8%. Hampir semua golongan bakteri sensitif dengan ampisilin sulbaktam (87,5-100%). Amoksiklav, tigesiklin dan vankomisin sensitif dengan bakteri gram positif (100%). Amikasin dan meropenem sensitif dengan bakteri gram negatif (80-100%). Faktor yang memengaruhi peningkatan mortalitas adalah usia > 5 tahun (OR 2,482; IK95% 1,139-5,408), penggunaan selang nasogastrik (OR 2,516; IK95% 1,083-5,847), antibiotik yang tidak sesuai (OR 2,159; IK95% 1,034-4,508), serta fokus infeksi pada aliran darah (OR 5,021; IK95% 2,411-10,459).


Inappropriate use of antibiotics in infectious diseases will lead to anti-microbial resistance and disease's complication. Among several contributing factors to disease outcome, anti-microbial pattern and antibiotics use need to be re-evaluated. This study aims to determine anti-microbial sensitivity profile, antibiotics use and factors affecting mortality in pediatric infection cases. Retrospective cohort study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 254 patients included for study analysis.  Data were obtained from medical records and electronic health records from January-December 2018. Patient’s medical history, anti-microbial pattern and sensitivity as well as antibiotic use were recorded and analyzed using a multivariate logistic regression test. The most common bacteria were gram negative bacteria (57.1%) followed by gram positive bacteria (42.8%). Majority of bacteria were sensitive with ampicillin sulbactam (87.5-100%). Antibiotics such as amoxicillin-clavulanic acid, tigecycline and vancomycin are sensitive to gram-positive bacteria (100%) while amikacin and meropenem are sensitive to gram-negative bacteria (80-100%). Factors  influencing  mortality were age > 5 years (OR 2.482; 95%CI 1.139-5,408), use of nasogastric tubes (OR 2.516; 95%CI 1.083-5.847), inappropriate antibiotics choice (OR 2.159; 95%CI 1.034-4.508), and presence of bloodstream infection (OR 5.021; 95%CI 2.411-10.459).

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Pramudita
"Latar Belakang: Resusitasi cairan merupakan terapi yang sering diberikan pada ruang rawat intensif untuk mengembalikan perfusi jaringan. Namun, seringkali terapi resusitasi cairan menyebabkan kelebihan cairan yang memiliki efek buruk terhadap pasien termasuk kematian.
Tujuan: Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara mortalitas dengan durasi kelebihan cairan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo.
Metode: Sebanyak 194 pasien yang mengalami kelebihan cairan dan berada di ruang rawat intensif selama 7 hari atau lebih, diperoleh melalui teknik consecutive sampling, dievaluasi. Durasi kelebihan cairan dan kematian 28 hari dicatat. Sampel yang diperoleh dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang mengalami kelebihan cairan kurang dari sama dengan 4 hari dan pasien yang mengalami kelebihan cairan lebih dari 4 hari. Sampel kemudian dianalisis menggunakan uji bivariat Chi square untuk diketahui hubungannya dengan kematian.
Hasil: Terdapat hubungan antara kematian dengan durasi kelebihan cairan dengan nilai P.

Background: Fluid resuscitation is a common therapy given at the Intensive Care Unit ICU to maintain tissue perfusions. However, this therapy usually results in fluid overload that has adverse outcome including death.
Objective: This retrospective study aimed to assess the association between mortality and fluid overload duration in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital's.
Methods: A total of 194 ICU patients with fluid overload and stayed for 7 days or more that obtained by consecutive sampling, were evaluated. Fluid overload duration and 28 days mortality were recorded. Samples were divided into two groups, patients with fluid overload less than or equal to 4 days and patients with fluid overload more than 4 days. A bivariate analysis Chi square were perform to assess the association of mortality and fluid overload duration.
Results: Mortality and fluid overload duration were significantly associated P.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lara Aristya
"Latar Belakang: Sepsis merupakan salah satu penyebab utama kematian di unit perawatan intensif. Dalam kasus infeksi, pemberian cairan intravena dan agen vasoaktif sangat direkomendasikan sebagai salah satu tatalaksana pasien sepsis. Namun, banyak studi yang belum dapat menunjukkan temuan positif sesuai dengan studi orisinil EGDT.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara mortalitas pasien sepsis dengan waktu pemberian vasoaktif selama proses resusitasi cairan di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi ini menggunakan metode cohort retrospective dengan 188 subjek yang didapatkan melalui pemenuhan kriteria penelitian dari rekam medis pasien. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien sepsis yang mendapatkan terapi vasoaktif dalam enam jam pertama dan setelah enam jam.
Hasil: Terdapat karateristik sosiodemografi dari subjek, antara lain jenis kelamin, usia, total cairan rerata, status transfusi, jenis cairan, jenis vasoaktif, penyakit penyerta, dan lama rawat di unit perawatan intensif. Dari hasil uji Chi-square didapatkan waktu pemberian vasoaktif terhadap mortalitas, bernilai P=0.282 dengan RR 1.060 95 CI 0.974-1.153.
Diskusi: Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan mortalitas dengan perbedaan waktu pemberian terapi vasoaktif tersebut.

Background: Sepsis is the leading cause of death in intensive care unit. In case of infection, intravenous resuscitation and vasoactive agent are very recommended as one of the treatment for septic patient. However, many studies not yet able to show the positive findings in accordance with the EGDT original study.
Objectives: This study aims to find out the association between septic patient rsquo s mortality and the time of vasoactive administration during fluid resuscitation in Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This is a cohort retrospective study with 188 subject which meet the criteria from medical record. The subjects are divided into two groups septic patients that are given vasoactive therapy within six hours and after six hours during fluid resuscitation.
Results: This study shows sociodemographic characteristics of the subjects, such as gender, age, total fluid average, transfusion status, type of fluid, type of vasoactive, comorbidities, and length of stay in ICU. Based on Chi Square test, relationship between mortality and timing of vasoactive administration, sequentially P 0.282 with RR 1.060 95 CI 0.974 1.153.
Discussion: No association between septic patient rsquo s mortality and time difference in administrating the vasoactive therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Sejati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Terdapat gangguan sistem imun pada sepsis. Fase awal ditandai
dengan hiperinflamasi, sedangkan fase lanjut ditandai dengan imunosupresi.
Kematian kumulatif lebih banyak pada fase lanjut. Saat ini belum terdapat
penelitian yang secara khusus meneliti faktor prognostik mortalitas sepsis fase
lanjut dan mengembangkan model prediksi mortalitasnya.
Tujuan. Mengetahui faktor prognostik mortalitas sepsis berat fase lanjut di ICU
dan mengembangkan sistem skor untuk memprediksi mortalitas.
Metode. Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada pasien dewasa yang
mengalami sepsis berat di ICU RSCM pada periode Oktober 2011 – November
2012 dan masih bertahan setelah > 72 jam diagnosis sepsis ditegakkan di ICU.
Tujuh faktor prognostik diidentifikasi saat diagnosis sepsis berat ditegakkan di
ICU. Prediktor independen diidentifikasi dengan analisis Cox’s proportional
hazard. Prediktor yang bermakna secara statistik dikuantifikasi dalam model
prediksi. Kalibrasi model dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan kemampuan
diskriminasi dinilai dari area under curve (AUC) dari receiver operating curve.
Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 220 pasien. Mortalitas 28 hari sepsis berat
fase lanjut adalah 40%. Faktor prognostik yang bermakna adalah alasan masuk
ICU (medis (HR 2,75; IK95%:1,56-4,84), pembedahan emergensi (HR 1,96;
IK95%:0,99 – 3,90), indeks komorbiditas Charlson > 2 (HR 2,07; IK95%:1,32-
3,23), dan skor MSOFA > 4 (HR 2,84; IK95%:1,54-5,24). Model prediksi
memiliki kemampuan diskriminasi yang baik (AUC 0,844) dan kalibrasi yang
baik (uji Hosmer-Lemeshow p 0,674). Berdasarkan model tersebut risiko
mortalitas dapat dibagi menjadi rendah (skor 0, mortalitas 5,4%), sedang (skor 1 –
2,5, mortalitas 20,6%), dan tinggi (skor > 2,5, mortalitas 73,6%).
Simpulan. Alasan masuk medis dan pembedahan emergensi, indeks komorbiditas
Charlson > 2, dan skor MSOFA > 4 merupakan faktor prognostik mortalitas
sepsis berat fase lanjut di ICU RSCM. Sebuah model telah dikembangkan untuk
memprediksi dan mengklasifikasikan risiko mortalitas.

ABSTRACT
Background. Immune system derrangement occurs during the course of sepsis,
characterized by hyperinflamation in early phase and hypoinflamation and
immunosupression in late phase. The number of patient die during late phase is
larger than early phase. Until now, there is no study specifically addressing
prognostic factors of mortality from late sepsis and developing a mortality
prediction model.
Aim. To determine prognostic factors of mortality from late phase of severe
sepsis in ICU and to develop scoring system to predict mortality.
Method. A retrospective cohort study was conducted to identify prognostic
factors associated with mortality. Adult patients admitted to ICU during
November 2011 until October 2012 who developed severe sepsis and still alive
for minimum 72 hours were included in this study. Seven predefined prognostic
factors were indentified at the onset of severe sepsis in ICU. Cox’s proportional
hazard ratio was used to identify independent prognostic factors. Each
independent factors was quantified to develop a prediction model. Calibration of
the model was tested by Hosmer-Lemeshow, and its discrimination ability was
calculated from area under receiver operating curve.
Result. Subjects consist of 220 patients. Twenty eight-day mortality was 40%.
Significant prognostic factors indentified were admission source (medical (HR
2.75; CI95%: 1.56 – 4.84), emergency surgery (HR 1.96; CI95%:0.99 – 3.90),
Charlson comorbidity index > 2(HR 2.07; CI95%:1.32 – 3.23), and MSOFA score
> 4 (HR 2.84; CI95% : 1.54 – 5.24). Prediction model developed has good
discrimination ability (AUC 0.844) and good calibration (Hosmer-Lemeshow test
p 0.674). Based on the model mortality risk can be classified as low (score 0,
mortality 5.4%), moderate (score 1 – 2.5, mortality 20.6%), and high (score > 2.5,
mortality 73.6%).
Conclusion. Medical and emergency surgery admission, Charlson comorbidity
index > 2, and MSOFA score > 4 were prognostic factors of mortality from late
phase of severe sepsis in ICU at Dr.Cipto Mangunkusumo general hospital. A
model has been developed to predict and classify mortality risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Freddy Guntur Mangapul
"Latar belakang : Pembedahan abdomen secara laparotomi menyebabkan penurunan kadar albumin. Kadar albumin di bawah 3,00 g/dL berperan dalam terjadinya mortalitas dan morbiditas pasca-operasi.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar albumin pre-operasi dan pasca-operasi terhadap luaran klinis pasca-operasi laparotomi.
Metode : Penelitian ini dengan desain kohort retrospektif menggunakan data rekam medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak tahun 2015-2017. Total sampling pada pasien pasca-laparotomi di PICU dengan rentang usia 1 bulan hingga 18 tahun, dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu: albumin ≤ 3,0 g/dL dan > 3,00 g/dL. Subyek diambil data luaran klinis pasca-operasi seperti sepsis pasca-operasi, infeksi luka operasi, dehisens, relaparotomi, dan lama rawat di PICU.
Hasil : Dua ratus satu subyek pasca-laparotomi diikutsertakan dalam penelitian ini. Kadar albumin pre-operasi ≤ 3,0 g/dL meningkatkan risiko terjadinya sepsis pasca-operasi (RR 3,40(95%IK: 1,54-7,51), relaparotomi (RR 3,84(95%IK: 1,28-11,49), dan lama rawat PICU 2 kali lebih lama daripada normoalbuminemia. Kadar albumin pasca-operasi ≤ 3,0 g/dL meningkatkan risiko terjadinya sepsis pasca-operasi (RR 2,55(95%IK: 1,40-4,63) dan lama rawat PICU 1 hari lebih lama daripada normoalbuminemia. Mortalitas pada kelompok hipoalbuminemia sebesar 19,2% dengan RR 3,44(95%IK: 1,07-11,07).
Simpulan : Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif meningkatkan risiko kejadian sepsis pasca-operatif. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif tidak berhubungan dengan infeksi luka operasi. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif tidak berhubungan dengan risiko kejadian dehisens. Hipoalbuminemia pre-operatif meningkatkan risiko untuk menjalani relaparotomi. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif memperpanjang lama rawat di PICU. Hipoalbuminemia pre-operatif meningkatkan angka mortalitas.

Backgrounds : Laparotomy abdominal surgery decreasing serum albumin. Serum albumin concentration below 3,00 g/dL associated with postoperative morbidity and mortality.
Aim: To determine the relationship between serum albumin (preoperative and postoperative) and postoperative clinical course.
Methods : Retrospesctive observational study in pediatric patients undergoing laparotomy and hospitalized in Pediatric Intensive Care Unit during January 2015- December 2017. Post-laparotomy patients over the age range 1 month to 18 years, classified according to serum albumin concentration: ≤ 3,0 g/dL and > 3,00 g/dL. Postoperative outcome measured by postoperative sepsis, surgical site infection, dehiscence, relaparotomy, PICU length of stay, and mortality.
Results : Two hundred and one subjects undergone laparotomy participated. Preoperative serum albumin ≤ 3,0 g/dL increase risk of postoperative sepsis (RR 3,40 (95%CI: 1,54-7,51)), relaparotomy (RR 3,84 (95%CI: 1,28-11,49)), and twice longer in Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Postoperative albumin ≤ 3,0 g/dL increase risk of postoperative sepsis (RR 2,55(95%CI: 1,40-4,63)) and Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Mortality rate in hypoalbuminemic group is 19,2% with RR 3,44(95%CI: 1,07-11,07).
Conclusions : Preoperative and postoperative hypoalbuminemia increase risk of postoperative sepsis. Preoperative and postoperative hypoalbuminemia not associated with risk of surgical site infection and wound dehiscense. Preoperative hypoalbuminemia increase risk of relaparotomy. Preoperative and postoperative albumin concentration inversely related with Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Preoperative hypoalbuminemia increase mortality rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>