Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159540 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salma Qonita Thifal
"Skripsi ini membahas tentang analisis faktor risiko compassion fatigue (burnout & secondary tramatic stress) pada tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit Jabodetabek. Compassion fatigue adalah fenomena yang dapat terjadi pada tenaga kesehatan yang dapat memengaruhi pekerjaan maupun individu. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif potong lintang dan teknik simple random sampling dan analisis menggunakan analisis Chi Square dan regresi logistik untuk mengetahui nilai OR. Instrumen yang digunakan adan Professional Quality of Life Scale Version 5 (ProQOL). Ditemukan bahwa faktor pekerjaan yang signifikan terhadap compassion fatigue (burnout dan secondary traumatic stress) adalah kelompok tenaga kesehatan, shift kerja, panjang shift, lama kerja per minggu, departemen/unit kerja dan pengalaman kerja. Faktor individu terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, tingkat aktivitas fisik, dan kualitas tidur. Faktor individu lainnya yaitu anak dan status merokok juga signifikan terhadap burnout sebagai salah satu bagian dari compassion fatigue. Rumah sakit perlu menerapkan pengaturan kerja yang lebih baik untuk mengurangi risiko compassion fatigue pada tenaga kesehatan.

This research discusses the analysis of risk factors for compassion fatigue (burnout & secondary traumatic stress) in health care workers working in Jabodetabek hospitals. Compassion fatigue is a phenomenon that can occur in health workers and can affect work and individuals. This research was conducted using quantitative cross-sectional methods and simple random sampling techniques and analysis using Chi Square analysis and logistic regression to determine the OR value. The instrument used was the Professional Quality of Life Scale Version 5 (ProQOL). It was found that the work factors that were significant for compassion fatigue (burnout and secondary traumatic stress) were the group of health care workers, work shifts, shift length, length of work per week, department/work unit, and work experience. Individual factors consist of gender, age, education level, marital status, physical activity level, and sleep quality. Other individual factors, namely children and smoking status, are also significant in burnout as a part of compassion fatigue. Hospitals need to implement better work arrangements to reduce the risk of compassion fatigue among health workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Rizkia Putri Azahra
"Pekerja sosial rentan mengalami kelelahan dalam melaksanakan pekerjaannya, di mana salah satunya mencakup kelelahan empati. Apabila tidak ditangani dengan efektif, kelelahan empati dapat menyebabkan berbagai dampak negatif. Pekerja sosial yang merasakan kelelahan empati mengalami penurunan kinerja profesional hingga pengurangan kemampuan berempati secara fundamental. Penelitian ini mempelajari strategi resiliensi untuk mengatasi kelelahan empati pada pekerja sosial, terutama pekerja sosial di bidang perlindungan dan kesejahteraan anak, melalui tinjauan literatur dengan jenis tinjauan kritis. Temuan pada penelitian ini membuktikan bahwa strategi peningkatan resiliensi yang dapat dilakukan pekerja sosial dan lembaga pekerjaan sosial mencakup empat prinsip, yaitu lingkungan kerja yang sehat, perawatan diri, mekanisme koping stres, serta pelatihan dan persiapan kerja. Penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan sosial dari supervisor maupun rekan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat kelelahan empati, di mana dapat menjadi buffer atau penghalang tumbuhnya kelelahan empati.

Social workers are vulnerable in experiencing exhaustion while carrying out their work, which includes compassionfatigue. If not effectively addressed, compassion fatigue can lead to various negative impacts that may factor to a decline in professional performance and a reduction in fundamental empathetic abilities. This research examines resilience strategies to overcome compassion fatigue among social workers, particularly in the field of child protection and child welfare. This research is conducted through a literature review using a critical review approach with secondary data sources. The objective of this study is to describe the conditions and factors that lead to compassion fatigue and resilience strategies that can be implemented by social workers, especially in the field of child protection and welfare. The findings of this research demonstrate that resilience-enhancing strategies that can be undertaken by social workers and social work organizations encompass four principles: a healthy work environment, self-care, stress coping mechanisms, and training and preparedness. Additionally, this study found that social support from supervisors and colleagues is an important factor influencing the level of compassion fatigue, as it can serve as a buffer or barrier against the development of compassionfatigue. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isqi Karimah
"Secondary traumatic stress (STS) merupakan hal yang sulit untuk dihindari bagi para petugas layanan kasus kekerasan anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas intervensi dengan pendekatan MSC terhadap penurunan STS serta peningkatan mindfulness dan self-compassion pada para petugas layanan kasus kekerasan terhadap anak. Petugas layanan kasus kekerasan anak mencakup psikolog klinis, pekerja sosial/pendamping, konselor psikologi, konselor hukum, mediator dan pengadministrasi umum. Sebanyak 30 petugas layanan kasus kekerasan terbagi kedalam dua kelompok secara acak, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol wait-list. Intervensi diberikan sebanyak 6 kali pertemuan dengan durasi 2-3 jam per sesi secara online. STS diukur menggunakan subtes STS pada ProQol-V, mindfulness menggunakan MAAS, dan self-compassion menggunakan SCS yang telah diadaptasi ke bahasa indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hasil yang signifikan pada penurunan STS, peningkatan mindfulness, peningkatan aspek self-compassion (yaitu common humanity), serta peningkatan kesejahteraan pribadi bagi para petugas layanan kasus kekerasan pada kelompok intervensi. Individu yang mengikuti intervensi memiliki mindfulness dan self-compassion yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol wait-list. Dapat disimpulkan bahwa intervensi MSC memberikan dampak positif pada petugas layanan kasus kekerasan anak, meskipun efek intervensi belum konsisten bertahan pada 2 minggu follow-up. Adanya pemantauan terhadap kondisi partisipan secara berkala, pelaksanaan intervensi secara offline atau mixed (offline dan online), serta pertemuan rutin antar petugas layanan diduga menjadi faktor yang dapat dilakukan mempertahankan konsitensi dampak positif intervensi MSC.

Secondary traumatic stress (STS) is a challenging phenomenon that is hard to avoid for child welfare service providers. This study aims to examine the effectiveness of an intervention using the Mindful Self-Compassion (MSC) approach in reducing STS and enhancing mindfulness and self-compassion among child welfare service providers. Child welfare service providers include clinical psychologists, social workers/counselors, psychological counselors, legal counselors, mediators, and general administrators. Thirty child welfare service providers were randomly assigned to either the intervention group or the wait-list control group. The intervention consisted of six online sessions lasting 2-3 hours each. STS was measured using the STS sub-scale on the ProQol-V, mindfulness was assessed using the MAAS, and self-compassion was measured using the SCS adapted to Bahasa Indonesia. The results showed significant decreases in STS, increases in mindfulness, improvements in the self-compassion aspect of common humanity, and enhanced personal well-being among the intervention group. Individuals in the intervention group exhibited significantly higher levels of mindfulness and self-compassion compared to the wait-list control group. In conclusion, the MSC intervention had a positive impact on child welfare service providers, although the effects were not consistently sustained at the 2-week follow-up. Regular monitoring of participants, consideration of implementing offline or mixed interventions, and routine meetings among service providers are suggested factors that may help maintain the consistency of the positive impact of the MSC intervention."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Sukmaningrum
"Penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa pekerja kemanusiaan dapat mengalami dampak psikologis akibat pekerjaannya. Para pekerja kemanusiaan tersebut dalam penelitian ini disebut pendamping adalah ujung tombak dari upaya penanganan korban kekerasan, khususnya yangg dialami perempuan dan anak-anak. Di lain pihak, perhatian dan penghargaan yang diberikan institusi maupun masyarakat terhadap apa yang mereka lakukan dirasakan kurang. lsu mengenai kesehatan mental pada para pendamping itu sendiri juga masih sering terabaikan. Padahal mcreka yang berhadapan dengan kasus kekerasan ini sangat rentan terhadap berbagai dampak psikologis, yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas dari pelayanan mendarnpingi klien.
Dampak psikologis yang telah terlebih dahulu dikenal dalam konteks pekerjaan sebagai pendamping adalah burnout. Namun sejak awal awal tahun 90-an bcrkembang. puia konstruk lain yang dianggap lebih menggambarkan dampak hubungan antara pendamping dengan trauma yang dialami oleh kliennya, yaitu secondary traumatic stress (STS) dan vicarious trauma (VT).
Penelitian yang komprehensif menyangkut kcligu dampak psikologis yang dialami pendamping - yaitu STS, VT dan burnout - masih dirasakan kurang terutama dalam konteks pekerja kemanusiaan di Indonesia. Sementara itu, ketiga istilah tersebut masih digunakan secara tidak tepat sehingga dapat menghambat penanganannya. Oleh karel.a itu, penelitian ini hendak memahami secara lebih utuh dinamika terbentuk dan berkembangnya STS, VT maupun burnout, termasuk factor-faktor penyebab dan upaya penanganannya.
Pemahaman yang lebih utuh akan ketiga dampak psikologis ltu berusaha dicapai melalui wawancara mendalam terhadap 6 orang partisipan. Para partisipan ini dipilih melalui proses seleksi terhadap 43 orang pendamping yang berasal dari 9 institusi pendampingan anak dan perempuan korban kekerasan di Jakarta. KeA3 orang calon partisipan tersebut diminta untuk mengisi kuesioner ProQoL Rill yang mengukur tingkat STS dan burnout serta kuesioner TSI Belief Scale yang mengukur VT. Dengan cara ini diharapkan akan tcrpilih partisipan yang mcmang mcngalami dmnpak psikologi yang ingin didalami, serta memaksimalkan variasi respon di antara partisipan dengan dampak yang berbeda.
Hasil analisis terhadap rcspon ke-6 partisipan peneUtian menunjukkan bahwa STS merupakan dampak dari keterpaparan pendamping pada malcri trauma klien, khususnya kekerasan yang ekstrim. Sedangkan VT, walaupun juga merupakan dampak dari kontak dengan materi trauma, tetapi baru dirasakan pendatnping setelah jangka waktu tertentu sejalan dengan proses akumulasi sejumlah pendampingan yang ditunjukkan dengan gangguan pada sejumlah kognitif. yaitu skema safety dan skema trust. Perbedaan lain antara STS dan VT juga tarnpak dari dampak jangka panjangnya. Bila dampak STS alum menghilang setelah waktu tertentu, VT akan cenderung bertahan pada pendamping karena telah terjadi perubahan skema kognitif tentang pandangannya terhadap "dunia". Berbeda dengan STS dan VT, burnout lebih merupakan dampak yang dirasakan akihat tekanan dari kondisi pekerjaan terlentu.
Namun, faktor sltuasi pekerjaan yang rnenyebabkan burnout juga dapat memperccpat terjadinya STS dan VT, Sedangkan STS, walaupun merupakan dampak yang wajar terjadi pada seseornng pendamping ketika ada pelibatan afektif pada masalah yang dialarni kliennya, tetapi dapat terakumulasi dan akhirnya menyebabkan VT, Dampak psikologis seperti STS, VT, dan burnout menjadi sesuatu yang bisa teramalkan, mengingat karakteristik pekerjaan mereka yang kompleks. Behan kerja yang beriebihan, tugas-tugas pendarnpingan yang beragam, jumlah dan jenis kasus yang berat disertai pula oleh kurangnya kompetensi dalam menangani kasus traumatik menyebabkan dampak semacam ini mungkin sekaii terkena pada pcndamping. Pada akhirnya memang dibuluhkan penanganan yang serius dan sistematis untuk meningkatkan kesejahteraan mental para pekerja kemanusiaan di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chiquita Pramesta
"ABSTRACT
Ada berbagai faktor yang dipengaruhi oleh kesejahteraan psikologis, seperti usia, jenis kelamin, dan pengalaman hidup. Relawan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi memiliki risiko rendah mengalami stres traumatis sekunder setelah kembali dari lokasi bencana. Skala Ryff's Well-Being Psychological dan Secondary Traumatic Stress Scale digunakan untuk mengidentifikasi kesejahteraan psikologis dan stres traumatis sekunder pada relawan yang ditugaskan setelah Tsunami di Pandeglang, Banten. Desain penelitian cross sectional digunakan, teknik sampel menggunakan total sampling yang melibatkan 32 relawan, dan analisis data menggunakan chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan stres traumatis sekunder (α = 0,001). Tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi dapat mengurangi stres traumatis sekunder (p = 18.701). Hal ini diperlukan untuk melakukan penyaringan kesejahteraan psikologis untuk mengurangi stres traumatis sekunder.

ABSTRACT
There are various factors that are influenced by psychological well-being, such as age, gender, and life experience. Volunteers with a high level of psychological well-being have a low risk of experiencing secondary traumatic stress after returning from the disaster site. The Ryff's Well-Being Psychological Scale and Secondary Traumatic Stress Scale are used to identify psychological well-being and secondary traumatic stress in volunteers assigned after the Tsunami in Pandeglang, Banten. The cross sectional research design was used, the sample technique used total sampling involving 32 volunteers, and the data analysis used chi square. The results showed that there was a significant correlation between psychological well-being and secondary traumatic stress (α = 0.001). A high level of psychological well-being can reduce secondary traumatic stress (p = 18,701). It is necessary to screen psychological well-being to reduce secondary traumatic stress."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah Suci Yanti
"Penelitian ini dilakukan pada petugas pemadam kebakaran yang memiliki aktivitas berisiko mengalami stres kerja dan kelelahan kerja. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kelelahan kerja dan stres dengan melihat faktor risiko fisik dan psikososial. Penelitian dilakukan pada 80 orang petugas pemadam kebakaran dan tenaga administrasi dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan melakukan observasi, pengisian kuisioner, melakukan pengujian aktivasi enzim amylase dalam saliva dengan alat Cocorometer (Nipro Cocoro), pengukuran waktu reaksi dengan aplikasi smartphone Sleep 2 Peak (S2P), dan pengukuran tanda vital tubuh seperti suhu tubuh, denyut nadi dan tekanan darah Faktor risiko fisik (force, postur janggal dan manual handling), faktor risiko psikososial (usaha, penghargaan, over committment, stres terhadap peran, beban emosional, dukungan sosial dan non pekerjaan) dan faktor organisasi kerja (shift kerja dan status pekerja) menjadi faktor independen penelitian terhadap stres dan kelelahan kerja. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Quick Exposures Checklist untuk menilai faktor fisik, kuesioner Effort Reward Imbalance, COPSOQ, NIOSH Generic Job Stress dan NIOSH Quality of Work Life (QWL) untuk menilai faktor risiko psikososial dan stres kerja. Kelelahan kerja diukur dengan menggunakan kuesioner Sweedish Occupational Fatigue Inventory (SOFI) dan Fatigue Assessment Scale (FAS). Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara faktor risiko pada leher memiliki pengaruh terhadap kelelahan (CI 95% 1,75 sampai 16,16; OR 5,32), faktor psikosoial yaitu beban emosional (CI 95% 1,04 sampai 5,78; OR 1,56), stres terhadap peran (CI 95% 1,23 sampai 4,76; OR 1,52) dan dukungan sosial dari keluarga (CI 95% 1,27 sampai 5,43; OR 2,51) terhadap stres serta faktor organisasi pekerjaan terdiri dari jenis pekerjaan (CI 95% 0,05 sampai 0,55; OR 0,16), sistem shift (CI 95% 0,06 sampai 0,54; OR 0,18) dan status pekerja memiliki hubungan terhadap stres yang dialami oleh petugas pemadam kebakaran.

The object of this study is firefighters in fire and rescue department who are at risk having work related stress and fatigue due to their task. The purpose of this study is to identify the physical and psychosocial factors of work related stress and fatigue on firefighters. The design used in this study is cross-sectional design by conducting the observation, sharing questionnaires and do the test of Salivary Amylase Activation (SAA) with Cocorometer (Nipro Cocoro), test of time reaction with Sleep 2 Peak application on mobile phone and test of vital sign such temperature, heart rate and blood pressure to 80 workers at Fire and Rescue Department. The tools used in this study are Quick Exposure Checklist to assess physical factors, the combination of psychosocial questionnaire are Effort Reward Imbalance, COPSOQ, NIOSH Generic Job Stress dan NIOSH Quality of Work Life (QWL) to assess psychosocial factors and Salivary Amylase Activation testing to assess work uhrelated stress and fatigue among fire fighters. Fatigue subjective measurement use tools form Sweedish Occupational Fatigue Inventory (SOFI) and Fatigue Assessment Scale (FAS). Physic factors (force, awkward posture and manual handling), psychosocial factors (effort, reward, overcommittment, rolestress, emotional demand, social support and non work related factors) and organisational factors are the independent variables of work related stress and fatigue which are the dependent variable in this study. The result of this study shows that risk factor (neck) has correlation with fatigue (CI 95% 1,75-16,16; OR 5,32), psychosocial factors such emotional demand (CI 95% 1,04-5,78; OR 1,56), rolestress (CI 95% 1,23-4,76; OR 1,52) and family social support (CI 95% 1,27-5,43; OR 2,51) influence stress, organisational factors such type of work (CI 95% 0,05-0,55; OR 0,16), shift work (CI 95% 0,06-0,54; OR 0,18) and status of workers have correlations with stress."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita
"Penelitian ini adalah penelitian studi komparatif dengan pendekatan cross sectional. Bertujuan untuk mengetahui perbedaan kejadian stres pasca traumatik pada ibu post partum dengan seksio scsaria emergensi, vakum, dan partus spontan. Populasi penelitian ini adalah ibu post partum dengan Seksio sesaria emergensi dengan indikasi partus macet, dan ibu primipara bersalin dengan vakum dan spontan yang dirawat di Rumah Sakit Abdoel Moeloek & Rumah Sakit Urip Surnoharjo Bandar Lampung. Jumlah sampel 81 responden yang terdiri dari 3 kelompok responden dengan seksio sesaria emergensi, vakum dan partus spontan masing-masing responden berjumlah 27 orang. Kejadian stres pasca traumatik pada ibu post partum dengan seksio sesaria berdasarkan hasil observasi dan Kuesioner menunjukkan hasil yang sama yaitu kejadian stres berat 11.1% dan stres ringan 88.9% Kejadian stres pasca traumatik pada ibu post partum dengan vakum berdasarkan hasil observasi dengan stres berat 40.7% dan dengan kuesioner kejadian stres berat 37%. Kejadian stres pasca traumatik pada ibu post partum dengan partus spontan menunjukkan angka kejadian yang sama yaitu stres berat 3.7 % dan stres ringan 96.3%.
Hasil penelitian dengan uji chi square menyimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara kejadian sires pasca traumatik pada ibu Seksio sesaria emergensi, vakum, dan partus spontan. Mengingat tingginya kejadian stres pasca traumatik pada pertolongan persalinan dengan alat vakum ataupun operasi rnaka penelitian ini merekomendasikan pentingnya ante natal care (param education agar ibu dapat bersalin secara normal dan mendapatkan ibu yang sehat, bayi sehat dan keluarga sehat.

This study was a comparative study design with cross sectional approach. The aim of the study is to iind the difference between post traumatic stress disorder in post partum mother with emergency section caesarcan, vacuum, and spontaneous delivery. Population of this research is post partum mother with emergency section caesarean with indication of snick delivery indication, and primipara mother give birth by vacuum and spontaneous that hospitalised at Abdoel Moeloek hospital and Urip Sumoharjo hospital, Bandar Lampung. There were Sl sample of respondent that consist of 3 groups of respondents with emergency section caesarean, vacuum and spontaneous delivery, with 27 respondent In each group post traumatic stress disorder in post partum mother with section caesarcan based on observation and questioner result shows same result as severe stress 11,1% and light stress S8,9%. Post traumatic stress in post partum mother with vacuum based on observation result with severe stress is 4O,7% and by questioner severe stress is 37%. Post traumatic stress case in post pamlm mother with spontaneous delivery shows the same rate, which is severe stress 3,7% and light stress 96,3%.
Research study analized by chi square test, it shows a significant difference between post traumatic stress disorder in post partum mother with emergency section caesarean, vacuum and spontaneous delivery. Evidence that there is increasing incident rate of pasca traumatic stress disorder at delivery service with vacuum or section caesarean, this research recommend to all health that ante natal care / parent education are important to make woman delivery safety or normal and to support the women, baby and familly health.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
T17763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Dian Citra Ramadhanty
"ABSTRACT
Parental stress yang ada pada orang tua di keluarga miskin terbukti menjadi faktor risiko kekerasan pada anak. Penelitian ini ingin melihat peran moderasi dari dukungan sosial yang dipercaya dapat menurunkan parental stress dan potensi kekerasan anak pada orang tua. Partisipan pada penelitian merupakan 100 ibu dari keluarga yang masuk dalam kategori miskin menurut Badan Pusat Statistika dan juga memiliki anak berusia 3-6 tahun, Hasil pengujian moderasi menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak memiliki peran moderasi dalam hubungan potensi kekerasan (t = 3,72, p = 0,0003, LLCI = -0,0105 ULCI = 0,019; R2 = 0,23) dan parental stress di ibu pada keluarga miskin. Hasil penelitian ini memberikan penemuan baru mengenai konsekuensi negatif dari dukungan sosial pada keluarga miskin.Parental stress in poor families has been proved to be one of the risk factors to child abuse. This research aims to see the moderation role of social support that is believed to be able to lower parental stress and potential of child abuse in parents. One hundred mothers from households that were below the poverty line with kids from the age of 3 - 6 years old were the participants of this study. Results show that social support does not have a moderation role in the relationship between child abuse and parental stress in mothers from poor families (= 3.72, = .0003, LLCI = -.0105 ULCI = .019; R> = .23). This research gives a new founding about the negative consequences of social support in poor families. "
[, ]: 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
""Rosen and Frueh's important book takes a huge leap toward clarity. The chapters are authored by leading experts in the field, and each addresses one of the pressing issues of the day. The tone is sensible and authoritative throughout, but always with a thoughtful ear toward clinical concerns and implications."---George A. Bonanno, PhD Professor of Clinical Psychology Teachers College, Columbia University --
"All clinicians and researchers dealing with anxiety disorders should have a copy of Rosen and Frueh's Clinician's Guide to Posttraumatic Stress Disorder on their shelves. Moreover, they should read it from cover to cover. This compilation...is authoritative, very readable, and extremely well crafted. The issues are looked at from many vantage points, including assessment and treatment, cross-cultural, cognitive, and categorical/​political."--- Michel Hersen, PhD, ABPP Editor, Journal of Anxiety Disorders Dean, School of Professional Psychology, Pacific University --Book Jacket."
Hoboken, N.J.: John Wiley &​ Sons, 2010
616.852 1 CLI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yovie Syafitri
"Saat ini fenomena HIV positif meningkat di kalangan ibu rumah tangga. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pada ibu rumah tangga terinfeksi HIV, mereka mengalami shock, depresi, cemas dan stress akibat dari kondisi fisik mereka serta stigma dari kondisi HIV positif. Dampak psikologis lain yang juga dialami oleh para pengidap HIV adalah trauma. Trauma yang disebabkan oleh diagnosis HIV positif, bersamaan dengan dampak psikologis lainnya, menyebabkan ibu rumah tangga yang mengidap HIV positif tidak dapat menjalani perannya dalam keluarga dengan maksimal. Sebagai hasil dari usaha mengatasi pengalaman traumatis, dalam diri individu dapat mucul perubahan yang bersifat positif yang dikenal dengan istilah posttraumatic growth. Meningkatnya posttraumatic growth pada para pengidap HIV positif dapat membantu mereka beradaptasi dengan kondisinya lebih cepat dan meningkatkan kemungkinan membaiknya kondisi kesehatan mereka.
Saat ini belum ditemukan penangangan psikologis yang menangani dampak traumatis dari diagnosis HIV positif serta dapat meningkatkan posttraumatic growth pada ibu rumah tangga. Salah satu intervensi penanganan trauma yang berfokus pada peningkatan posttraumatic growth adalah posttraumatic growth path. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas posttraumatic growth path dalam meningkatkan posttraumatic growth pada ibu rumah tangga yang mengidap HIV positif.
Metode Penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif dan kualitatif yang menggunakan metode one group before-and-after study design dengan pemberian intervensi posttraumatic growth path sebanyak 4 sesi. Hasil Pada kedua partisipan dalam penelitian ini terlihat adanya peningkatan posttraumatic growth berdasarkan meningkatnya skor Posttraumatic Growth Inventory (PTGI), meskipun pada salah satu partisipan ditemukan penurunan pada salah satu dimensi skor. Secara kualitatif, kedua partisipan merasa diri mereka lebih dapat memaknai secara positif diagnosis HIV positif yang dialami, dapat mengatasi masalah-masalah yang dikeluhkan sebelumnya, dan dapat menerapkan peningkatan posttraumatic growth yang dialami ke dalam kehidupan sehari-hari.

These days the phenomenon of HIV positive in housewives population has been raised. Previous studies showed that shock, depression, anxiety, and stress occur in housewives living with HIV positive caused by their physical condition and stigma among societies as well. Another psychological impact of HIV positive is trauma. The trauma of HIV positive diagnoses joint other psychological impacts of this diagnoses has caused the housewives living with HIV positive unable to perform their roles in the family at their maximum capacity. In other hands, as a result of attempts to struggle with the aftermath of traumatic event, there could be a positive changes occur within individuals which termed posttraumatic growth. Increased posttraumatic growth within individuals living with HIV positive could help them adapt with their condition faster and the possibility of improve physic health becomes higher.
These days, in Indonesia, psychological intervention to handle trauma and to increase posttraumatic growth for housewives living with HIV positive has not been found yet. One of many interventions used to handling trauma that focused on increasing posttraumatic growth is posttraumatic growth path. Therefore, the purpose of this research is to examine the effectiveness of posttraumatic growth path in increasing posttraumatic growth within housewives living with HIV positive.
Method This is a quantitative and qualitative research using one group before-and-after study design. The intervention was conducted in 4 sessions. Results In participants, posttraumatic growth were reported increased indicated by improved score in Posttraumatic Growth Inventory (PTGI), important to note that in one participant one of dimension score is decreased. Both participants also reported that they could value the diagnoses in a positive way, coped with their previous problems, and applied their increased posttraumatic growth in daily life.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T35156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>