Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190958 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Aliyah
"Masalah ketidakpatuhan dalam pengobatan sering dijumpai pada penyakit yang memerlukan penanganan jangka panjang, seperti hipertensi. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan hipertensi sering kali menjadi penyebab utama berbagai kecacatan. Alasan utama yang mendasari ketidakpatuhan minum obat pada pasien hipertensi tersebut ialah kurangnya pengetahuan pasien akan pentingnya minum obat hipertensi secara teratur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat antihipertensi penderita hipertensi di Puskesmas Boom baru Kota Palembang berdasarkan teori Lawrence Green. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 102 sampel. Jumlah sampel dihitung dengan rumus Lemeshow dan sampel diambil secara purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan 74 responden (72,5%) patuh dalam minum obat antihipertensi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat antihipertensi meliputi pengetahuan, sikap, motivasi diri, dukungan keluarga dan dukungan tenaga kesehatan. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan minum obat antihipertensi, adalah pengetahuan dengan nilai OR = 8,040 (95% CI: 2,151 - 30,050). Perlu dilakukan upaya peningkatan pengetahuan, sikap, motivasi dengan menyediakan media informasi melalui media sosial seperti membuat grup whatsapp sebagai media komunikasi secara daring antara penderita hipertensi dan tenaga kesehatan di Puskesmas Boom baru dan sebagai media penyebaran informasi sebagai upaya peningkatan pengetahuan. Edukasi diperlukan dengan menitikberatkan pada pengetahuan mengenai hipertensi dan tatalaksananya. Juga perlu dilakukan langkah pendekatan dengan keluarga sebagai upaya untuk menjalin kerjasama antara tenaga kesehatan dan keluarga dalam memberikan dukungan bagi penderita hipertensi.

The problem of non-adherence medication is often encountered in diseases that require long-term management, such as hypertension. Non-adherence among hypertension medication is often become as main cause of various disabilities. The main reason underlying of the non-adherence medication among hypertension patients are the lack of patients knowledges of the importance of taking hypertension medication regularly. This study aims to determine the factors associated with adherence to taking antihypertension medication among hypertension patients who regularly seek treatment at the Boom Baru Public Health Centre, Palembang City based on Lawrence Green's theory. This study used a cross sectional design with 102 samples. The number of samples was calculated using the Lemeshow and the samples were taken by purposive sampling according to the inclusion and exclusion criterias. Datas were collected by interview using a questionnaire which was analysed univariately, bivariately and multivariately. The results showed that 74 respondents (72.5%) were compliant in taking antihypertension medication. Factors associated with adherence on taking antihypertension medication includes knowledge, attitude, self-motivation, family support and health worker support. The most dominant factor associated with adherence to taking antihypertension drug is knowledge with OR = 8,040 (95% CI: 2,151 - 30,050). Efforts need to be made to improve knowledge, attitudes, motivation by providing information media through social media such as creating a WhatsApp group as an online communication medium between hypertension patients and health workers at Puskesmas Boom Baru and as a medium for disseminating information as an effort to increase knowledge. Education is needed with an emphasis on knowledge about hypertension and its management. It is also necessary to take steps to approach families as an effort to establish cooperation between health workers and families in providing support for people with hypertension"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qoriah Nur
"ABSTRAK
Anak dengan HIV mengonsumsi ARV seumur hidupnya dan beresiko mengalami
ketidakpatuhan minum ARV. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktorfaktor
yang berhubungan dengan kepatuhan anak minum ARV. Penelitian ini
menggunakan pendekatancross sectional dengan melibatkan 143 orangtua dan
anak penderita HIV usia 0-18 tahun. Sampel dipilih menggunakan teknik
consecutive sampling. Hasil analisis ditemukan adanya hubungan yang signifikan
antara variabelstatus pengasuh dengan anak, komunikasi layanan kesehatan,
dukungan keluarga dan bimbingan informasi. Hasil analisis regresi logistik bahwa
pendapatan (OR=2,9) dan dukungan keluarga (OR=3,9) sebagai faktor paling
dominan mempengaruhi kepatuhan minum ARV. Perawat dan tenaga kesehatan
bertanggung jawab mengidentifikasi serta mencegah terjadinya ketidakpatuhan
minum ARV pada anak HIV dengan memberikan edukasi secara teratur.

ABSTRACT
Children with HIV must take ARV for their entire life which may cause
disobidience in taking their medication. The objective of this research was to
identify factors that related with adherence in taking ARV medication. This
research used cross sectional approach with 143 respondents which where
choosen with consecutive sampling technique. The result showed that child
relationship with care giver, communication with health facilities, family support,
and information have significant relation with child adherence in taking ARV
medication. Parent?s salary (OR=2,9) and family support (OR=3,9) were the
dominant factor influencing child adherence in taking ARV medication. Nurses
and health workers are responsible to identify and prevent child?s disobidience in
ARV medication by giving education."
2016
T46326
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Nabilla
"Hipertensi adalah suatu keadaan pasien memiliki tekanan darah ≥140/90 mmHg ketika dilakukan pengukuran darah minimal dua kali dengan jarak satu minggu dan berdasarkan diagnosis dokter. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta adalah 34,1% dibandingkan 27,8% pada Riskesdas tahun 2013.5 Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Kecamatan Matraman Tahun 2021, Penyakit Tidak Menular (PTM) yang memiliki pasien terbanyak adalah hipertensi yaitu sejumlah 5.026 orang. Menurut laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara berkembang bahkan lebih rendah dari 50%. Kepatuhan minum obat merupakan faktor penentu yang penting dalam keberhasilan terapi terutama pada terapi penyakit tidak menular seperti hipertensi. Profil kepatuhan minum obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Matraman menunjukkan bahwa sampel dengan kepatuhan sedang memiliki jumlah terbanyak yaitu 24 orang, kemudian sampel dengan kepatuhan tinggi berjumlah 8 orang dan sampel kepatuhan rendah berjumlah 11 orang. Karakteristik sampel yang memiliki hubungan dengan kepatuhan minum obat berdasarkan hasil uji Chi-square adalah umur (nilai p = 0,040) dan pendidikan terakhir (nilai p = 0,004). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi umur maka kepatuhan semakin rendah dan semakin tinggi pendidikan terakhir maka tingkat kepatuhan semakin tinggi.

Hypertension is a condition in which a patient has blood pressure ≥140/90 mmHg when blood measurements are taken at least twice one week apart and based on a doctor's diagnosis. The 2018 Basic Health Research (Riskesdas) showed an increase in the prevalence of hypertension in Indonesia with a population of around 260 million, which was 34.1% compared to 27.8% in the 2013 Riskesdas. 5 Based on the health profile of the Matraman District Health Center in 2021, noncommunicable diseases The most patients with hypertension are 5,026 people. According to a WHO report in 2003, the average patient adherence to long-term therapy for chronic diseases in developing countries is even lower than 50%. Compliance with taking medication is an important determining factor in the success of therapy, especially in the treatment of non-communicable diseases such as hypertension. The profile of adherence to taking antihypertensive medication in hypertensive patients at the Matraman Health Center shows that the sample with moderate adherence has the highest number, namely 24 people, then the sample with high adherence is 8 people and the sample with low adherence is 11 people. Based on the results of the Chi-square test, the characteristics of the sample that had a relationship with medication adherence were age (p-value = 0.040) and recent education (p-value = 0.004). Observations showed that the higher the age, the lower the compliance, and the higher the last education, the higher the level of compliance. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
H. M. Hamdi
"Prevalensi penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka saat ini masih cukup tinggi, sehingga untuk menanggulangi penyakit tersebut mulai tahun 1997/1998 Kabupaten Majalengka telah melaksanakan intensifikasi program penanggulangan tuberkulosis paru menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang merupakan bagian dari proyek intensifikasi pemberantasan penyakit menular atau intensified communicable disease control (ICDC). Target yang diharapkan dari program tersebut adalah penemuan kasus baru sebesar 70 % secara bertahap, angka konversi 80 %, dan angka kesembuhan sebesar 85 %.
Dari hasil evaluasi program penangulangan tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka tahun 1997-2000, ternyata dari indikator keberhasilan program, yaitu angka konversi dan angka kesembuhan belum mencapai target, sehingga perlu dilakukan tindak lanjut. Belum tercapainya angka tersebut dapat disebabkan atau ada hubungannya dengan ketidakpatuhan berobat penderita seperti hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa kesembuhan ditentukan juga oleh keteraturan/kepatuhan berobat. Hal tersebut didukung oleh angka ketidakpatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka yang masih cukup tinggi, yaitu tahun 1997/1998 sebesar 19 %, tahun 1998/1999 sebesar 16 %, dan tahun 1999/2000 sebesar 14 %.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kepatuhan berobat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru pada fase intensif di Kabupaten Majalengka tahun 1997-2000. Disain penelitian yang digunakan adalah disain/rancangan cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 380 orang yang menggunakan tehnik pengambilan sampel stratified random sampling/ proportional stratified sampling.
Hasil yang diperoleh, yaitu dari 380 responden terdapat 57,4 % yang patuh berobat dan variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru pada fase intensif adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap penderita, biaya transportasi, efek samping, peran pengawas menelan obat (PMO), dan sikap petugas. Dari ketujuh variabel tersebut, ternyata variabel yang paling kuat/erat adalah peran pengawas menelan obat (PMO) dan variabel efek samping,
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka untuk mengoptimalkan peranannya, PMO perlu dibekali dengan buku saku yang berisi tentang penyakit tuberkulosis dan pengobatannya serta untuk mendeteksi gejala efek samping dan melakukan penanganan sedini mungkin, sebaiknya kader dan PMO diberikan prosedur tetap (protap) cara mendeteksi dan melakukan penanganan efek samping obat anti tuberkulosis. Selain itu perlu penelitian lebih jauh mengenai kualifikasi PMO yang lebih cocok/diterima oleh penderita tuberkulosis.

Factors Related to Treatment Compliance the Patient of the Lung Tuberculosis at the Intensive Phase in the Regency of Majalengka in 1997-2000Lung tuberculosis prevalence in the regency of Majalengka is high. For disease control, since 1997/1998 regency of Majalengka has done intensified lung tuberculosis program used DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy which part intensified communicable disease control (ICDC). The target of program is case finding rate 70 %, conversion rate 80 %, and cure rate 85 %.
From result of evaluation lung tuberculosis control program in the regency of Majalengka in 1997-2000, in fact from indicator success program, namely conversion rate and cure rate have not got the target yet. So that need follow up. They caused by treatment incompliance like the result of the research whish said that the cure defined by treatment compliance. That matter is supported by treatment incompliance rate the patient of the lung tuberculosis in Majalengka regency is still high, namely in 1997-1998 was 19 %, 1998/1999 was 16 %, and 1999/2000 14 %.
This research aims to know the proportion treatment compliance and factors related to treatment compliance the patient of the lung tuberculosis at the intensive phase in the regency of Majalengka in 1997-2000. Cross sectional design was used in this study with 380 patients as the sample which was taken through a stratified random sampling/proportional stratified sampling method.
The result of this research, is from 380 patients is 57,4 % who obey to have treatment and variable that related to treatment compliance of the patient the lung tuberculosis at the intensive phase is level of education, knowledge about tuberculosis, attitude of patient, transportation cost, side effect, role of drug digestion observer, and attitude of health service. From the seventh variables, the role of drug digestion observer variable is very strong and side effect variable.
Based on the result of the research above, so for the maximum it's the role, drug digestion observer (DDO) is needed by hand book about the disease of tuberculosis and the cure, and for the detection of side effect and doing at first, it had better cadre and drug digestion observer a given a good procedure how to detection and doing side effect of the drug anti tuberculosis. Beside that it's needed longer research about the qualification of drug digestion observer better or received by tuberculosis patients.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T2757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranum Wanudya Yunas
"Hipertensi memiliki berbagai pilihan pengobatan karena kompleksitas patofisiologinya, termasuk intervensi terhadap inflamasi, sehingga bahan alami yang menargetkan berbagai mekanisme dapat dipertimbangkan. Ekstrak rosella dapat menurunkan tekanan darah dengan menghambat ACE, sementara penambahan ekstrak jahe merah diharapkan dapat mendukung pengobatan hipertensi melalui intervensi inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas antihipertensi kombinasi ekstrak rosella dan jahe merah pada tikus model hipertensi yang diinduksi DOCA-salt. Studi dilakukan terhadap enam kelompok tikus (n=5) yang terdiri dari satu kelompok normal dan lima kelompok tikus model hipertensi. Tikus model hipertensi diinduksi dengan pemberian 30 mg/kgBB DOCA secara subkutan dan NaCl 2% sebagai pengganti air minum selama tiga minggu. Kelompok tikus model terdiri dari kontrol negatif (CMC 0,5%), kontrol positif (4,5 mg/200 g BB kaptopril), dan 3 kelompok dosis kombinasi ekstrak rosella-jahe merah (50:3,5 mg/300gBB; 100:7 mg/300gBB; dan 200:14 mg/300gBB). Pemberian sediaan uji dilakukan secara peroral selama dua minggu kemudian diukur tekanan darah, level biomarker RAAS dan mediator inflamasi. Hasil uji antihipertensi menunjukkan kombinasi ekstrak rosella-jahe merah yang mengandung sianidin-3-sambubiosida dan 6-gingerol memiliki aktivitas antihipertensi karena mempengaruhi tekanan darah sistolik-diastolik secara signifikan pada ketiga dosis uji; level renin secara signifikan pada dosis 50:3,5mg /300grBB dan 200:14mg/300grBB; aktivitas ACE secara signifikan pada ketiga dosis, dan level angiotensin II secara signifikan pada dosis 100:7mg/300grBB dan dosis 200:14mg/300grBB serta terhadap level IL-17A secara signifikan pada dosis 100:7mg/300grBB dan 200:14mg/300grBB. Dosis optimalnya adalah 100:7mg/300gBB, dengan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik tikus model hipertensi secara berturut-turut sebesar ± 45 mmHg (27,6%) sistolik dan ± 39 mmHg (33,2%).

Hypertension offers diverse treatment options due to its complex pathophysiology, including interventions targeting inflammation, thus natural substances that target multiple mechanisms worth considering. Roselle extract reduces blood pressure by inhibiting ACE, while the addition of red ginger extract is anticipated to support hypertension treatment through inflammation intervention. This research aims to evaluate the antihypertensive activity of combination extracts of rosella-red ginger in DOCA-salt-induced hypertension model rats. This study was conducted on six groups of rats (n=5), comprising one normal group and five groups of hypertension model rats. The hypertension was induced in rat models by subcutaneous administration of 30mg/kgBW of DOCA and 2% NaCl as substitute for drinking water for three weeks. The model rat groups were comprised of negative control (0.5%CMC), positive control (4.5mg/200gBW captopril), and three doses groups of roselle-red ginger extract (50:3.5mg/300gBW; 100:7mg/300gBW; and 200:14mg/300gBW). The test preparations were given by oral gavage over two weeks then blood pressure, RAAS biomarker levels, and inflammation mediator were measured. The anti-hypertensive test results indicated combination of roselle-red ginger extract containing cyanidin-3-sambubioside and 6-gingerol has antihypertensive activity as it affects systolic-diastolic blood pressure significantly at all test doses; renin level significantly at doses 50:3.5mg/300grBW and 200:14mg/300grBW; ACE activity significantly at all doses, and angiotensin II level significantly at doses 100:7mg/300grBW and 200:14mg/300grBW and IL-17A level significantly at doses 100:7mg/300grBW and 200:14mg/300grBW. The optimal dose was 100:7mg/300gBW, resulting in reductions of approximately ±45 mmHg (27.6%) in systolic and ±39 mmHg (33.2%) in diastolic blood pressure in the hypertensive rat model."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdani Oesman
"Program penanggulangan tuberkulosis paru dengan strategi Directly Obserbved Treatment Short course Chemotheraphy (DOTS) secara nasional telah memberikan hasil yang baik, dimana angka konversi pada fase awal sebesar 81,1%. Hal ini berarti lebih besar dari target nasional untuk angka konversi pada fase awal sebesar 80,0%. Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh angka konversi fase awal 59,6%, sedangkan di Kabupaten Aceh Utara angka konversi pada fase awal masih 53,0%. Ketidakteraturan berobat merupakan salah satu penyebab kegagalan program penanggulangan TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kepatuhan berobat penderita TB Paru dan faktor-faktor yang berhubungan. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Aceh Utara.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Sampel penelitian adalah seluruh penderita TB Paru (total populasi) yang berobat sejak 1 Januari 1999 sampai dengan 31 Mei 1999 sebanyak 96 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh penderita TB Paru di Kabupaten Aceh Utara yang patuh (57.3%) dan yang tidak patuh (42.7%).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor pengawas menelan obat, keterjangkauan jarak (jarak dari rumah ke Puskesmas) dan kejelasan isi penyuluhan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kepatuhan berobat.
Penelitian ini menyarankan untuk mengatasi masalah jarak, biaya dan transportasi maka perlu dilakukan pemberian obat TB Paru melalui bidan di desa setelah pemeriksaan pertama dilakukan di Puskesmas dan kepada bidan desa tersebut diberi pelatihan khusus mengenai program TB Paru demi kelangsungan dan keberhasilan pengobatan. Penelitian ini juga menyarankan dalam memberikan penyuluhan pada penderita perlu adanya kejelasan materi yang disampaikan dan memberi kesempatan pada penderita atau keluarganya yang ditunjuk sebagai pengawas menelan obat (PMO) untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas mengenai penyakit tersebut sehingga mereka mendapat informasi yang jelas.

Factors related to patient obedience of pulmonal tuberculosis treatment in North Aceh District, on 1999
The pulmonal tuberculosis treatments by DOTS strategy have made a good result with conversion at the first phase around 81.1%. The percentage of conversion in Aceh Province is only around 59.6%. Furthermore, in North Aceh district the conversion is only 53.0%. The unsuccessful result on the treatment of pulmonal tuberculosis disease can be caused by undisciplinary attitude of the patient in observing the treatment program.
The aim of this research was to describe the patient compliance in tuberculosis treatment program and related factors in North Aceh District.
The research design was a cross sectional study. Samples were all of TB patients in North Aceh District and sampling method was a total sampling with 96 patients as respondents.
Result of the research showed that there were 57.3% patient complied with the treatment and 42.78% did not.
This study also concluded that the treatment supervisor, distance from the patient house to Health Center, and clear information are significantly related to the compliance.
This study recommend (1) to train and utilize midwife in village as medical supervisor,; (2) provide clear information about the disease to the patients or their relatives as treatment supervisor and discuss everything until they understand about the disease."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T5319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Syafi'i
"Bawang dayak mengandung naphtoquinon sedangkan herba ceplukan mengandung quersetin dan physalin yang memiliki efek antihipertensi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas antihipertensi kombinasi ekstrak bawang dayak dan herba ceplukan. Deksametason 0,02mg dan larutan NaCl 2,5% digunakan sebagai penginduksi hipertensi. Kelompok normal: akuades, kontrol negatif: CMC-Na 1%, kontrol positif: kaptopril 0,45mg, ekstrak bawang dayak 121,5mg, ekstrak herba ceplukan 232,5mg, dosis kombinasi 1 (BD 40.5mg + HC 77,5mg), dosis kombinasi 2 (BD 81mg + HC 155mg), dan  dosis kombinasi 3 (BD 121,5 mg + HC 232,5mg). Tekanan darah dan berat badan diukur setiap minggu selama 49 hari. Hasil uji antihipertensi menunjukan bahwa, dosis kombinasi 1, 2, dan 3 efektif menurunkan hipertensi dengan p<0,05 dibandingkan dengan tekanan darah pada hari 28. Dosis kombinasi 1 menurunkan tekanan sistolik 32 mmHg (27%), diastolik 29 mmHg (37%), dan MAP 30 mmHg (33%). Dosis kombinasi 1 sudah  cukup untuk menurunkan tekanan darah, kadar angiotensin 2, malondialdehid, VEGF, dan kaveolin-1 dalam plasma serta mengurangi penebalan dinding aorta. 

Dayak onions contain naphtoquinone while herba ceplukan  contain quercetin and physalin which have antihypertensive effects. This study aimed to test the antihypertensive effectiveness of a combination of dayak onion extract and herba ceplukan. Dexamethasone 0.02mg and 2.5% NaCl solution are used as inducers of hypertension. Normal group: aquades, negative control: CMC-Na 1%, positive control: captopril 0.45mg, dayak onion extract 121.5 mg, herba ceplukan  extract 232.5 mg, combination dose 1 (BD 40.5mg + HC 77.5mg), combination dose 2 (BD 81 mg + HC 155 mg), and combination dose 3 (BD 121.5 mg + HC 232.5mg). Blood pressure and weight were measured weekly for 49 days. The results of the antihypertensive test showed that the combined dose of 1, 2, and 3 was effective in reducing hypertension by p<0.05 compared to blood pressure on day 28. The combination dose 1 lowered systolic pressure by 32 mmHg (27%), diastolic by 29 mmHg (37%), and MAP by 30 mmHg (33%). A combination dose of 1 is sufficient to lower blood pressure, levels of angiotensin 2, malondialdehyde, VEGF, and kaveolin-1 in plasma and reduce thickening of the aortic wall. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maily
"Latar Belakang: Prevalensi hipertensi yang terkait dengan kelainan metabolik semakin meningkat. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat keterkaitan antara inflamasi yang melibatkan TNF-α sebagai sitokin pro-inflamasi dengan hipertensi dan sindrom metabolik melalui stimulasi angiotensinogen. Penggunaan bahan yang berasal dari alam telah banyak diteliti sebagai alternatif obat hipertensi yang ada saat ini, Salah satunya adalah mangiferin (Mangifera indica Linn.) yang telah diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek mangiferin terhadap tekanan darah dan perubahan morfologi miokardium serta ekspresi mRNA dan kadar TNF-α di jantung, pada tikus yang diinduksi dengan diit tinggi fruktosa.
Metode: Tikus jantan galur Sprague-Dawley, dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok normal yang hanya diberi diit standar dan kelompok yang diberi diit standar disertai diit tinggi fruktosa. Induksi diit tinggi fruktosa dilakukan selama 6 minggu, dengan pemberian secara oral 60% fruktosa, dua kali sehari dengan dosis 1 mL per pemberian dan 10% fruktosa dalam air minum ad libitum. Kelompok diit tinggi fruktosa selanjutnya dibagi dalam 4 kelompok dengan pemberian terapi per oral selama 4 minggu sebagai berikut: kelompok pertama, sebagai kontrol negatif diberi carboxymethylcellulose 0,5% 1mL/hari; kelompok kedua diberi terapi mangiferin dosis 50 mg/kgBB/hari; kelompok ketiga diberi terapi mangiferin dosis 100 mg/kgBB/hari; dan kelompok keempat, sebagai kontrol positif diberi candersartan 10 mg/kg BB/hari. Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah 6 minggu masa induksi dan setelah 4 minggu masa terapi. Pengukuran kadar trigliserida darah dilakukan sebelum masa induksi, setelah 6 minggu masa induksi dan setelah 4 minggu masa terapi. Pada akhir masa studi, hewan didekapitasi dan organ jantung diambil sebagian untuk pemeriksaan histopatologi dan sebagian sisanya untuk pemeriksaan ekspresi mRNA dan kadar TNF-α. Analisis kadar trigliserida dilakukan pada sampel darah.
Hasil: Pemberian mangiferin dosis 50 dan 100 mg/kgBB/hari secara bermakna dapat menurunkan kadar trigliserida, tekanan darah, ekspresi mRNA TNF-α dan cenderung menurunkan kadar TNF-α pada jantung tikus, dibandingkan kelompok kontrol. Pemberian kedua dosis mangiferin secara bermakna juga dapat memperbaiki morfologi miokardium dengan menurunkan respon hipertrofi, dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan: Mangiferin mempunyai potensi untuk mengatasi hipertensi terkait kelainan metabolik melalui hambatannya terhadap TNF-α yang teraktivasi akibat diit tinggi fruktosa.

Background: Prevalence of hypertension in metabolic disorder increased. Previous study showed that there were a significant correlation between inflammation that involved TNF-α as pro-inflammation cytokine with hypertension and metabolic syndrome through stimulating angiotensinogen production. Many researches have been conducted on plant-based ingredients as alternative to the current hypertension medicines, such as mangiferin (Mangifera indica Linn.) which is well-known to have antiinflammation property. The aims of the present study is to evaluate the effect of mangiferin on blood pressure, the changes in morphology of myocardium, mRNA expression and level of TNF-α in heart tissue of rat with high fructose diet.
Methods: Male Sprague-Dawley rats, divided in 2 groups, i.e., normal group fed with standard diet only and fructose group fed both standard and high-fructose diet. In the duration of 6 weeks, 60% fructose were given by direct oral ingestion, 1 mL twice a day and 10% fructose in drinking water ad libitum. The fructose group then divided further into 4 groups with different 4-week orally treatment. They were given: carboxymethylcellulose 0,5% 1mL/day, mangiferin at the dose of 50 mg/kgBW/day, mangiferin at the dose of 100 mg/kgBW/day, and candersartan at the dose of 10 mg/kg BW/day as positive control, respectively. The blood pressure was measured at the end of 6-week fructoce-induced and at the end of 4-week treatment. At the end of the study, all animals were decapitated. Half of the heart were taken for the histopathological assessment, and the remaining was for mRNA expression and level of TNF-α. The analysis of trigliseride level was conducted on blood samples.
Result: The administration of mangiferin decreased the trigliseride level, the blood pressure, the expression of mRNA TNF-α and tends to decrease the level of TNF-α. It also improved the histology changes caused by high fructose diet.
Conclusion: Mangiferin has a potency as antihypertension in high fructose rats at least in part related to its antiinflammation effect."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter Andreas
"Penyakit gigi dan mulut termasuk dalam 10 peringkat penyakit terbanyak yang diderita masyarakat. Karies gigi merupakan penyakit gigi yang banyak dijumpai pada masyarakat di Indonesia dengan prevalensi dan derajat keparahan yang cukup tinggi.
Penyakit karies gigi, kelainan periodontal, dan gangguan traumatik yang kronis dapat menyebabkan kelainan pada pulpa gigi yang akhirnya memerlukan perawatan endodontik. Salah satu jenis perawatan endodontik adalah perawatan saluran akar yaitu perawatan gigi dengan cara pengangkatan seluruh jaringan pulpa gigi. Di dalam perawatan saluran akar terutama pada perawatan endodontik konvensional diperlukan waktu kunjungan yang berulangkali yaitu antara 3 - 4 kali. Ketidakpatuhan dalam menjalani perawatan saluran akar dapat menyebabkan kegagalan perawatan yang berakibat perawatan harus diulang kembali. Hal ini berarti menambah biaya dan waktu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku kepatuhan pasien dalam perawatan saluran akar yang datang ke Poliklinik Konservasi Gigi FKGUI Jakarta dari bulan September 1997 sampai dengan bulan Agustus 1998. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 1999. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan mengambil seluruh pasien yang datang yaitu sebanyak 131 orang. Dari seluruh populasi hanya 117 orang saja yang dapat diteliti. Perilaku kepatuhan dibagi dalam dua kategori yaitu patuh dan tidak patuh dilihat dari penyelesaian perawatan dan jadwal serta jumlah kunjungan yang telah dianjurkan oleh dokter giginya.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa hanya 54 orang (46,2%) yang patuh menjalani perawatan dan yang tidak patuh sebanyak 63 orang (53,8%). Hasil analisis bivariat antara 8 variabel bebas dengan variabel terikat, menghasilkan 6 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p<0,05), yaitu variabel pengetahuan tentang perawatan saluran akar, persepsi tentang perawatan saluran akar, sikap terhadap perawatan saluran akar, waktu tunggu selama menjalani perawatan saluran akar, pelayanan petugas, dan dukungan keluarga/teman. Sedangkan 2 variabel lainnya yaitu aksesibilitas dan biaya, ternyata tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku kepatuhan (p>0,05).
Hasil analisis multivariat dengan metoda regresi logistik dari delapan variabel bebas, ternyata hanya tiga variabel yang mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05), yaitu variabel waktu tunggu, sikap, dan persepsi. Hal ini menunjukkan bahwa hanya variabel waktu tunggu, sikap, dan persepsi saja yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku kepatuhan dalam perawatan saluran akar gigi, dengan tetap melihat faktor-faktor lainnya.
Intervensi perilaku berupa pendidikan kesehatan gigi bagi pasien dan masyarakat pada umumnya dapat menjadi alternatif yang terbaik untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani perawatan gigi, terutama perawatan saluran akar yang memerlukan kunjungan yang berulangkali. Intervensi perilaku tidak hanya ditujukan pada pasien dan masyarakat saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan gigi di masyarakat. Disamping itu perlu juga peningkatan sumberdaya dan fasilitas kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan gigi masyarakat.

Factors associated with compliance behaviors of patients for root canal treatment at the Faculty of Dentistry, University of Indonesia in 1998.Oral disease is the tenth prevalent disease in the community. Dental caries has high prevalence and severity level in Indonesia.
Dental caries, periodontal disease and chronic traumatic disorder can be the causes of dental pulpal disorder that may lead to endodontic treatment. Root canal treatment as an endodontic treatment is excavation the entire pulpal tissues. A conventional root canal treatment needs 3 to 4 visits. Incompliance to this treatment causes failure of the treatment, and needs to be repeated, which will require more time and cost to the treatment.
This study is to acknowledge the factors that are associated with patients' incompliance behavior to the root canal treatment. The study design is cross sectional study. The population study is all patients who came to the Operative Dentistry Department, Faculty of Dentistry, University of Indonesia during September 1997 until August 1998. 117 samples out of 131 were included in the study. Incompliance behavior was divided into two categories that are "comply" and "not comply", based on completion of the treatment, treatment schedule and number of visits instructed by the dentists.
Univariate analysis showed that only 54 samples (46,2%) complied to the treatment and 63 samples (53,8%) did not comply. In the bivariate analysis, 6 of 8 independent variables, which are knowledge, perception, attitude, waiting time, service of dental provider and family/friend support, showed significant relationship with the dependent variable (p<0,05). Whilst the other two variables, access ability and cost, did not show significant relationship with compliance behavior (p>0, 05).
The study concluded the variables of waiting time, attitude and perception are main factors that influence the compliance behavior of root canal treatment. Dental health education as an intervention for patients and community may be a worthy alternative effort in increase the patient?s compliance toward dental treatment, especially root canal treatment that needs repetitive visits. This alternative intervention may also be worthy for dental manpower in order to increase dental health service in the community that lead to increasing dental health level in the community.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anis Abdul Muis
"Penyakit tuberkulosis sampai dengan saat ini masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di banyak negara lain di dunia. Salah satu upaya untuk menanggulangi penyakit ini ialah dengan menerapkan program DOTS (Directly Observed Treatment Shoricourse) di seluruh dunia, yaitu suatu strategi penanggulangan tuberkulosis yang memberikan harapan kesembuhan yang tinggi. Hasil uji coba strategi ini di Sulawesi memberikan angka kesembuhan yang terus meningkat dari 78% sampai 90%, di Jambi dan Jawa Timur menghasilkan angka konversi dan angka kesembuhan di atas 90% melampaui target global yang hanya 80% dan 85%. Untuk itu Indonesia pada tahun 1995 mulai mengadopsi program DOTS. Keberhasilan pengobatan dan penyembuhan tersebut di atas berhubungan dengan kepatuhan penderita menelan obat selama 2 bulan fase awal (intensif} dan 4 bulan fase lanjutan (intermitten).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat dengan kepatuhan penderita tuberkulosis untuk berobat teratur di dua Kabupaten Propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah tahun 1999.
Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil assessment pelaksanaan DOTS di propinsi ADB yaitu Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah yang telah dilakukan oleh Depkes RI bekerjasama dengan FKM UI pada bulan April sampai dengan Oktober 1999, dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah penderita yang berobat di 3 puskesmas yang jauh, sedang dan dekat dari ibu kota kabupaten, yaitu kabupaten Banjarnegara dan Kebumen (Jawa Tengah), kabupaten Donggala dan Banggai (Sulawesi Tengah).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya adalah responden yang tidak patuh berobat (51,3%), sedangkan penderita yang patuh untuk berobat teratur sebesar 48,7%. Hasil analisis bivariat ternyata umur (p= 0,0059), jumlah keluarga (p=0,0329), pengetahuan (p=0,4119), ketersedian obat (p=0,0395) dan penyuluhan (p=0,0151) berhubungan dengan kepatuhan penderita Tb untuk berobat teratur di dua kabupaten propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Dari hasil analisis multivariat, variabel umur (p=0,0095), jumlah keluarga (p=0,0431), pengetahuan (p=0,0371), ketersediaan obat (pl,0771), dan efek samping obat (p=0,0848) masuk dalam kriteria kemaknaan p<0,25, sehingga tetap dipertahankan dalam model persamaan regresi. Dan model persamaan regresi tersebut, jika variabel lainnya dikontrol maka risiko responden yang berpengetahuan kurang adalah 2,42 kali lebih besar untuk tidak patuh untuk berobat teratur dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan baik. Variabel umur, jumlah keluarga dan pengetahuan merupakan variabel prediktor yang baik diantara variabel lainnya pada model, karena mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan kepatuhan berobat (p<0,05).
Dengan diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat, maka penelitian ini juga memberikan saran sebagai berikut : untuk pengelola program, dalam mengatasi pemahaman penderita tentang Tb yang masih kurang, perlu dilakukan pemberian informasi yang intensif dengan melibatkan pengawas menelan obat (PMO) dan metoda yang digunakan tidak hanya penyuluhan langsung, tetapi melalui berbagai metoda seperti penyuluhan kelompok, penyuluhan massa serta tiap penderita dan PMO diberikan leaflet atau booklet tentang penyakit Tb. Untuk petugas pelayanan, dalam hal meningkatkan pengobatan, penderita dan pendampingnya (PMO) perlu diberikan pemahaman mengenai aturan minum obat, mulai dan pentingnya minum obat, kepatuhan untuk berobat teratur dan apa yang harus dilakukan apabila merasakan efek samping obat, sehingga tingkat kesembuhan penderita Tb lebih tinggi.

Factors Related to Compliance of Tuberculosis Patients to Have General Checkups in Two District of Central Java and Central Sulawesi in 1999The occurrence of tuberculosis (Tb) had been a serious health problem, either in Indonesia or in some other countries. One of the way to overcome this disease is through implementing the program of DOTS (Directly Observed Treatment Short course) worldwide, which was a well-done strategy to overcome Tb in a highly effective way. The result of this strategy in Sulawesi showed an increasing rate of recovery, from 78% - 90%, in Jambi and East Java could improve conversion rate and cure rate up to 90% exceeding the global target which was only 80% and 85%. Therefore, Indonesia in 1995 started to also use the DOTS program. This success had really something to do with the compliance of the patient itself, consuming the medical regimen within the first 2-month phase (intensive) and the following 4-month phase (intermittent).
The main purpose of this study is to find out whether or not the factors' predisposition, enabling and reinforcing had something to do with compliance of the patient in having a general checkup in two districts, Central Java and Central Sulawesi in 1999.
This study used secondary data, gained from the assessment result of DOTS implementation in the province donated by ADB, i.e. Central Java and Central Sulawesi and held by the Department of Health of the Republic of Indonesia in cooperation with School of Public Health, University of Indonesia form April to October 1999, through a cross-sectional research plan. The sample used in this research are the patients who generally check up in the long-distanced, middle-distanced and by near a Public Health Centers in the capital of the district, i.e. Banjarnegara and Kebumen (Central Java), Donggala and Banggai (Central Sulawesi).
The result showed that more than a half of the respondents were the negligent (51.3%). In the contrary, the complaints were only 48.7%. The result of bivariate analysis showed that age (p=0.0059), family size (p=0,x329), knowledge (0.0119), availability of medicine (p=0.0395) and health promotion (p=0.0151) had to same extent relationship with their compliance with generally check up in these two locations. The multivariate analysis showed that age (p=0.0095), family size (p=0.0431), knowledge (p=0.0371), availability of medicine (p=0.0771) and the side effect of medical regimen (p=0.0848) were included into substantial criteria p<0.25, so that it's been still up to a binary logistics model. From that model, if the other variables are under control, the risk of the less-knowledge respondents might be 2.42 times as not having compliance in medical regimen compared to the more-knowledge ones. The age, family size and knowledge variables were the best predictor variables in the model, that were significantly shown correlated to compliance with medical regimen (p<0.05).
Finally This research suggests the followings, a) for program the organizers, the patients understanding of Tb still needed to be improved, b) further health promotion involving the Drug Consumption Observer (PMO), c) also improve methods used, not to be only in the direct way, but also through group and mass communication, and d) every patient and PMO must be given leaflet or booklet about Tb. Regarding to the service officer-in charge of medical treatment improvement-the patient and the PMO also need to comprehend the medical regimen rules; from the importance in regularly taking the medicine to what to do if the side effects were come up. By doing these the cure rate of Tb patients will possibly be increased."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T4632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>