Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199088 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elnia Sevinawati
"Non suicidal self-injury (NSSI) memiliki prevalensi tertinggi pada usia dewasa muda (45%). Pada dewasa muda, NSSI banyak digunakan untuk mengatasi tekanan emosional dan sebagai upaya beralih dari situasi yang sulit. Model teori yang menjelaskan hubungan antara experiential avoidance dengan NSSI adalah Experiential Avoidance Model (EA-Model) dan salah satu variabel yang diduga dapat menjembatani kedua variabel, yaitu harapan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah tingkat harapan memediasi hubungan antara experiential avoidance dan keparahan NSSI. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif non-eksperimental dengan partisipan penelitian berjumlah 122 orang yang pernah/masih melakukan NSSI (84,4% perempuan), dan memiliki rentang usia 18-29 tahun (M =22,28, SD=2,67). Keparahan NSSI diukur menggunakan NSSI-FS, experiential avoidance diukur menggunakan AAQ-II, dan harapan diukur menggunakan AHS. Melalui analisis mediasi, ditemukan tingkat harapan memediasi secara penuh hubungan antara experiential avoidance dan keparahan NSSI. Hal ini menunjukkan bahwa harapan berperan menjelaskan hubungan antara experiential avoidance dan perilaku NSSI. Ketika individu cenderung kaku dan terus-menerus enggan untuk mengalami pikiran, perasaan, dan sensasi internal yang tidak nyaman (experiential avoidance), hal tersebut akan memprediksi tingkat harapan pada individu, yang mana tingkat harapan lebih lanjut akan memprediksi tingkat keparahan perilaku NSSI pada individu dewasa muda.

Non suicidal self-injury (NSSI) has the highest prevalent among emerging adults (45%). In emerging adults, NSSI is often used to cope with emotional distress and to escape from difficult situations. Experiential Avoidance Model (EA-Model) explain the relationship between experiential avoidance and NSSI, with hope being a potential mediator between these variables. This study aimed to see whether the levels of hope mediate the relationship between experiential avoidance and the severity of NSSI. The study used a non-experimental quantitative method and was conducted on 122 participants who have engaged in NSSI (84,4% female), aged 18-29 years (M = 22,28, SD = 2,67). NSSI severity was measured using NSSI-FS, experiential avoidance was measured using AAQ-II, and hope was measured using AHS. Mediation analysis revealed that hope fully mediated the relationship between experiential avoidance and NSSI severity. This shows that hope plays a role in explaining the mechanism between experiential avoidance and the severity of NSSI. When individuals unwilling to engage with certain personal experiences, including uncomfortable thoughts, emotions, and internal sensations (experiential avoidance), it predicts their level of hope, which subsequently predicts the severity of NSSI behavior among emerging adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Elvina
"Non-suicidal self-injury (NSSI) merupakan isu kesehatan global dengan prevalensi yang tinggi dan meningkat di kalangan dewasa awal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kecenderungan perilaku NSSI pada dewasa awal di Indonesia serta menemukan hubungan antara stres, koping religius positif dan negatif, dan keparahan perilaku NSSI. Data dikumpulkan dari 311 partisipan berusia 18–29 tahun (M = 23.37, SD = 2.38) menggunakan kuesioner daring, yang mencakup alat ukur stres (Perceived Stress Scale-10), koping religius positif dan negatif (Brief RCOPE), serta karakteristik perilaku NSSI (Non-Suicidal Self-Injury Function Scale). Dalam penelitian ini, 40.2% partisipan pernah atau masih melakukan NSSI. Hasil menunjukkan bahwa kenaikan pada stres secara statistik signifikan memprediksi peningkatan pada keparahan perilaku NSSI. Koping religius negatif memiliki efek moderasi yang signifikan secara statistik pada hubungan antara stres dan keparahan NSSI, namun koping religius positif tidak memiliki efek moderasi yang signifikan secara statistik. Penelitian ini mendemonstrasikan bahwa stres dan koping religius negatif memainkan peran penting dalam memperparah perilaku NSSI. Penelitian ini mengilustrasikan pentingnya program prevensi dan intervensi untuk NSSI yang menargetkan stres dan koping religius negatif.

Non-suicidal self-injury is a global health issue with a high and increasing prevalence among emerging adults. This study is aimed to examine the tendency of NSSI among emerging adults in Indonesia while also investigating the relationship between stress, positive and negative religious coping, and NSSI severity. Data was gathered from 311 participants aged 18–29 years old (M = 23.37, SD = 2.38) using online questionnaire, which included measures of stress (Perceived Stress Scale-10), positive and negative religious coping (Brief RCOPE), and NSSI severity (Non-Suicidal Self-Injury Function Scale). This study revealed that 40.2% of participants had or were still engaging in NSSI. Results indicated that an increase in stress predicted with statistical significance an increase in NSSI severity. Negative religious coping had a statistically significant moderation effect on the relationship between stress and NSSI severity, while positive religious coping did not. Thus, this study demonstrated that stress and negative religious coping play important roles in exacerbating NSSI. This study illustrated the importance of prevention and intervention programmes for NSSI that target stress and negative religious coping. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Kurniawan
"Latar Belakang: Perilaku non-suicidal self injury NSSI adalah tindakan menyakiti diri yang tidak bertujuan untuk mengakhiri hidup. Beberapa studi menemukan bahwa angka NSSI cukup tinggi pada remaja SMA, dilakukan oleh 1 dari 4 remaja usia 16-17 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mencari angka perilaku menyakiti diri pada siswa SMA di Jakarta, mencari motivasi dan faktor risiko perilaku tersebut. Metode: Peneliti menghubungi tiga sekolah yang bersedia menjadi lokasi penelitian. Dilakukan pengacakan untuk menentukan masing-masing satu kelas IPA dan IPS dari tiap sekolah yang akan menjadi subyek penelitian. Peneliti menggunakan Self Harm Behavior Questionnaire versi bahasa Indonesia untuk menilai perilaku menyakiti diri, SCL-90 versi bahasa Indonesia untuk menilai psikopatologi, dan mengadaptasi Child and Adolescent Self-Harm in Europe untuk menilai motivasi dan stresor sosial. Uji ?2 dan Pearson dilakukan untuk menilai hubungan faktor risiko dan perilaku menyakiti diri. Hasil: Sebanyak 34,3 subyek penelitian pernah melakukan tindakan menyakiti diri dalam masa remaja mereka dan tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Laki-laki lebih banyak melakukan perilaku menyakiti diri dengan memukul tembok atau lemari 44,4 sedangkan perempuan lebih banyak melakukan cutting 41,5 . Motivasi terbanyak dalam melakukan tindakan menyakiti diri adalah keinginan untuk melegakan pikiran yang tidak menyenangkan. Terdapat beberapa faktor risiko sosial yang berhubungan dengan perilaku menyakiti diri yaitu kesulitan berteman RR 1,985 , riwayat teman dengan perilaku menyakiti diri RR 1,648 , dan mengalami perundungan RR 1,593 . Psikopatologi yang memerlukan perhatian khusus adalah depresi RR 1,618 , ansietas RR 1,673 , somatisasi RR 1,816 , dan psikositisme RR 1,703 . Simpulan: Angka perilaku menyakiti diri pada remaja SMA cukup tinggi. Hal ini berhubungan dengan faktor risiko stresor sosial yang berhubungan dengan relasi remaja dengan sebayanya. Pada setiap perilaku menyakiti diri, perlu dicari kemungkinan adanya gangguan mental emosional yang mendasarinya.

Background Non suicidal self injury NSSI is an act with non fatal intention. Several studies discovered high number of NSSI in adolescents, which is found in 1 every 4 adolescent aged 16 17 years old. This research aims to find the number of NSSI in high school student in Jakarta, finding the overlying motivation, and the risk factor of such acts. Methods Three schools are willing to participate in the study. A randomization is performed to determine one of the social science class and one fo the math and physics science class from each school to be the research subject. The questionnaires used are Self Harm Behavior Questionnaire to evaluate self harm act, SCL 90 to evaluate psychopathology, and Child and Adolescent Self Harm in Europe to evaluate motivation and social stressor. Pearson and 2 test is performed to find the relationship between risk factors and self harm acts. Result Among the respondents, 34.3 has performed self harm behavior during their adolescent period. There is no significant difference between the number of male and female subjects. Male subjects report high number of aggressive acts such as hitting wall or cupboard 44.4 while female subjects report high number of self cutting 41.5 . The main motive for self harm was to lsquo get relief from a terrible state of mind rdquo . Several risk factors are associated with self harm acts, such as difficulties with peer relationships RR 1,985 , self harm behaviour in close friend RR 1.618 , and bullying RR 1.593 . Notable psychopathologies are depression RR 1.618 , anxiety RR 1.673 , somatization RR 1.816 , and psychoticism RR 1.703 . Conclusion The number of self harm acts in high school student is quite high. This condition is related to social stressor risk factor, which is related to adolescent relationship with peer group. In every self harm act, it is important to find the possibility of underlying mental emotional disorder. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frederica Rea Diucandra Ajibaskoro
"Alexithymia adalah sebuah trait kepribadian yang ditandai dengan kesulitan mengidentifikasikan dan mengekspresikan emosi, serta orientasi berpikir terhadap hal-hal eksternal. Alexithymia dapat muncul akibat paparan terhadap pengalaman trauma dan telah ditemukan berhubungan dengan pengalaman childhood maltreatment. Meskipun begitu, mekanisme hubungan antara keduanya belum banyak diketahui. Penelitian ini menguji peran experiential avoidance sebagai mediator. Experiential avoidance diduga dilakukan oleh individu dengan pengalaman childhood maltreatment dan dapat mempersulit individu untuk memaknai emosinya sehingga mendukung perkembangan alexithymia. Sejumlah 558 individu emerging adults (18–29 tahun) di Indonesia telah berpartisipasi dalam kuesioner self-report dan mengisi alat ukur TAS-20, AAQ-II, dan CTQ-SF. Analisis mediasi sederhana dilakukan menggunakan PROCESS dengan mengontrol jenis kelamin dan tingkat pendidikan partisipan. Hasil analisis mediasi menemukan bahwa experiential avoidance secara signifikan memediasi hubungan antara childhood maltreatment dan alexithymia. Hubungan langsung antara childhood maltreatment dan alexithymia tetap signifikan, sehingga peran mediasi experiential avoidance hanya bersifat parsial. Penelitian ini mengimplikasikan bahwa individu dengan pengalaman childhood maltreatment dan memiliki trait alexithymia dapat mendapatkan manfaat dari mereduksi experiential avoidance dengan meningkatkan psychological flexibility.

Alexithymia is a personality trait characterized by difficulty in identifying and expressing emotions, as well as externally-oriented thinking. Alexithymia can arise as a result of exposure to traumatic experiences and has been found to be associated with experiences of childhood maltreatment. However, the mechanism of the relationship between the two is not well understood. This study examines the role of experiential avoidance as a mediator. Experiential avoidance is hypothesized to be practiced by individuals with experiences of childhood maltreatment and can make it difficult for individuals to understand their emotions, thereby supporting the development of alexithymia. A total of 558 emerging adults (18–29 years) in Indonesia participated in a self-report questionnaire and completed the TAS-20, AAQ-II, and CTQ-SF. Simple mediation analysis was conducted using PROCESS while controlling for participants' gender and education level. The mediation analysis results found that experiential avoidance significantly mediated the relationship between childhood maltreatment and alexithymia. The direct relationship between childhood maltreatment and alexithymia remained significant, indicating that the mediation role of experiential avoidance was only partial. This study implies that individuals with experiences of childhood maltreatment and who possess the trait of alexithymia could benefit from reducing experiential avoidance by increasing psychological flexibility."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Ibadi
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan terapi Resource Development and Installation (RDI) pada remaja usia 16 tahun 5 bulan yang melakukan Non Suicidal Self Injury (NSSI). RDI dilakukan sebanyak 7 sesi dengan tiga teknik, yaitu Point of Powerdan Absorption. Tujuan dari penerapan teknik RDI adalah untuk mengurangi perilaku NSSI dengan meningkatkan resource positif dan menurunkan perasaan-perasaan negatif, terutama kecemasan. Hasil intervensi menunjukkan adanya penurunan perilaku NSSI serta peningkatan resource positif dan penurunan perasaan negatif yang terlihat dari penurunan skor Harvard Trauma Questionnaire (HTQ), Hopkin Symptom Checklist(HSCL) dan Child Behavior Checklist for Age 4-18 (CBCL/4-18). Selain itu, terjadi perubahan perilaku anak ke arah yang lebih positif. Anak merasa mampu meregulasi perasaan negatifnya dengan mengalihkan pikiran ke hal-hal yang positif dan mempersepsi dirinya secara lebih positif.

ABSTRACT
This study was conducted to determine the therapeutic application of Resource Development and Installation (RDI) in adolescents aged 16 years and 5 months doing Non-Suicidal Self Injury (NSSI). RDI performed a total of seven sessions with the three techniques, namely Point of Power and Absorption. The purpose of the application of RDI technique is to reduce the NSSI behavior by increasing positive resource and decrease the negative feelings, especially anxiety. The results showed an increase of resource of positive and negative feelings decrease seen from the decline in scores of Harvard Trauma Questionnaire (HTQ), Hopkin Symptom Checklist(HSCL) and Child Behavior Checklist for Age 4-18 (CBCL/4-18). In addition, a change in the child's behavior to a more positive direction. Children feel able to regulate negative feelings by diverting the mind to positive things and perceive themselves more positively."
2016
T46546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alyaa Nabiilah Zuhroh
"Perempuan dalam hubungan heteroseksual lebih sering menjadi pihak yang melakukan aktivitas seksual yang tidak diinginkan secara sukarela atau kepatuhan seksual sebagai upaya untuk mempertahankan hubungannya. Mereka yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap hubungannya memiliki keinginan untuk berkorban dengan tujuan ingin menghindari hal negatif terjadi pada hubungan atau dengan motif berkorban menjauh sehingga dapat mempertahankan hubungan mereka. Mengetahui bahwa banyaknya perilaku seks pra nikah dan kehamilan di luar nikah yang terjadi di Indonesia serta dampak yang dimunculkan oleh perilaku kepatuhan seksual dan motif berkorban menjauh terhadap individu, pasangan, dan hubungan, pada penelitian ini dilihat apakah motif berkorban menjauh memediasi hubungan antara komitmen dan perilaku kepatuhan seksual pada perempuan dewasa muda yang sedang dalam hubungan pacaran.
Dalam proses mendapatkan data peneliti menggunakan alat ukur The Investment Model Scale untuk mengukur tingkat komitmen Rusbult dkk., 1998 , Motive for Sacrifice Scale untuk mengetahui motivasi perilaku berkorban Impett dkk., 2005 , dan Sexual Compliance Scale untuk mengukur kepatuhan seksual individu Impett Peplau, 2002 . Penelitian ini terdiri dari 235 partisipan perempuan berusia dewasa muda dengan rentang usia 20-38 tahun M = 22.22 ; SD = 2.434 yang sedang berada dalam hubungan romantis pacaran selama 1 hingga 104 bulan M = 23.13, SD = 20.53.
Hasil analisis mediasi yang dilakukan oleh peneliti menggunakan PROCESS SPSS versi 3.0 karya Hayes 2013 menunjukkan bahwa motif berkorban menjauh memediasi hubungan antara komitmen dan kepatuhan seksual, di mana komitmen memengaruhi seseorang untuk berkorban dengan motif menjauh, dan motif menjauh membuat individu melakukan kepatuhan seksual.

Women in heterosexual relationships are more often the ones who engage in an unwanted sexual activities or known as sexual compliance as an attempt to maintain their relationship. Those with high commitment with their relationship willing to sacrifice in order to avoid conflict maintain their relationship. Knowing that pre marital sex in Indonesia is getting more common as well as the negative impact of sexual compliance and avoidance motives of sacrifice on not only the ones who did it but also their partners and relationships, this study aim to see the role of avoidance motives of sacrifice as mediator in the relationship between commitment and sexual compliance of young adult women.
In the process of obtaining the data researcher using The Investment Model Scale to measure level of commitment Rusbult et al., 1998, Motive of Sacrifice Scale to measure avoidance motives for sacrifice Impett et al., 2005, and Sexual Compliance Scale to measure sexual compliance behavior Impett Peplau, 2002. Participants in this study included 235 young adult women in romantic relationship, age range of 20 40 years old M 22.22 SD 2.434. The avarage length of their relationship was 23.13 months SD 20.53.
Analysis mediation conducted by researcher using PROCESS SPSS by Hayes version 3.0 revealed that avoidance motive of sacrifice mediated the relationship between commitment and sexual compliance, in which commitment increases the tendency of using avoidance motive of sacrifice, which in turn increases individu perform sexual compliance.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Tania Amarilis Amry
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah motif berkorban mendekat memediasi hubungan komitmen dan kepatuhan seksual pada perempuan dewasa muda yang sedang dalam hubungan romantis dengan lawan jenis. Penelitian ini menggunakan alat ukur The Investment Model Scale untuk mengukur tingkat komitmen yang dikembangkan oleh Rusbult, Martz, dan Agnew, 1998. Motives of Sacrifice oleh Impett, Gable, dan Peplau 2005 digunakan untuk mengukur motif berkorban mendekat. Pengukuran kepatuhan seksual diukur menggunakan alat ukur Sexual Compliance Scale yang dikembangkan oleh Impett dan Peplau 2002.
Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 235 perempuan berusia 20-40 tahun M= 22,22; SD= 2,434 yang sedang berada dalam hubungan romantis heteroseksual. Hasil analisis mediasi yang dilakukan menggunakan PROCESS HAYES versi 21 menunjukkan bahwa motif berkorban mendekat memediasi hubungan antara komitmen dan kepatuhan seksual, di mana komitmen memengaruhi seseorang untuk berkorban dengan motif menjauh, dan motif mendekat membuat individu melakukan kepatuhan seksual.

The purpose of this study is to examine the role of approach motives of sacrifice as mediator in the relationship between commitment and sexual compliance on young adult women in a heterosexual relationship. The Investment Model Scale is used to measure the level of commitment Rusbult, Martz, Agnew, 1998. Approach motives of sacrifice was measured by Motives of Sacrifice Impett, Gable, Peplau, 2005 and for sexual compliance were measured using Sexual Compliance Scale developed by Impett and Peplau 2002.
The partisipant of this study were 235 women in a romantic relationship heterosexual , with a mean age M 22,22 SD 2,434. Analysis mediation conducted using PROCESS HAYES version 21 revealed that approach motive of sacrifice mediated the relationship between commitment and sexual compliance, in which commitment increases the tendency of using approach motive of sacrifice, which in turn increases sexual compliance.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindi Nabilla Maharani
"Remaja merupakan kelompok usia yang paling banyak ditemukan terlibat dalam perilaku melukai diri. Pola asuh adalah faktor yang sering ditemukan berhubungan dengan perilaku melukai diri remaja, dan resiliensi dinilai berpotensi untuk memediasi hubungan di antara keduanya. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengeksplor peran resiliensi sebagai mediator antara pola asuh dengan perilaku melukai diri remaja. Sebanyak 478 remaja berusia 12-18 tahun telah mengisi tiga alat ukur yang digunakan dalam penelitian yaitu Deliberate Self-Harm Inventory 9r, Parent as Social Context Questionnaire, dan 14 - Item Resilience Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi memediasi sebagian hubungan pola asuh positif dan negatif dengan perilaku melukai diri (β=-0.041; β=0.021, p < 0.05). Secara spesifik, seluruh dimensi pola asuh positif (kehangatan, struktur dan parental autonomy) ditemukan dimediasi sebagian oleh resiliensi dalam hubungannya dengan perilaku melukai diri remaja (β=-0.113; β=-0.129; β=-0.111, p<0.05). Sementara itu hanya dua dimensi dari pola asuh negatif (penolakan dan chaos) yang ditemukan signifikan dimediasi sebagian oleh resiliensi (β= 0.068; β=0.050, p<0.05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pola asuh positif dan negatif, serta mayoritas dimensi di dalamnya berhubungan dengan resiliensi, dan resiliensi berhubungan dengan perilaku melukai diri remaja

Adolescent are the groups found to be most involved in self-injurious behavior. Parenting is the factor that is often found related to self-injury behavior in adolescents. Resilience has potential to mediate the relationship between the two. The aim of the current study is to explore the role of resilience as a mediator between parenting and adolescent self-injury behavior. A total of 478 adolescents aged 12-18 years have filled out three measuring instruments used in the study, including Deliberate Self-Harm Inventory 9r, Parent as Social Context Questionnaire, and 14 - Item Resilience Scale. The results showed that resilience partially mediated the relationship between positive and negative parenting with adolescent self-injury behavior (β=-0.041; β=0.021, p<0.05). Specifically, all dimensions of positive parenting (warmth, structure and parental autonomy) were also found to be partially mediated by resilience in relation to adolescent self-injury behavior (β=-0.113; β=-0.129; β=-0.111, p<0.05). Meanwhile, only two dimensions of negative parenting (rejection and chaos) were found to be partially mediated by resilience (β= 0.068; β= 0.050, p<0.05). In conclusion, positive and negative parenting, and most of the dimensions in it were correlated with resilience, and resilience was also correlated with self-injury behavior in adolescents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamelia Ramandha
"Dewasa muda menggunakan teknologi komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk menjalin hubungan romantisnya. Namun, teknologi digital kemudian berpotensi menjadi sebuah wadah untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan, dikenal sebagai cyber intimate partner aggression (CIPA). Berdasarkan penelitian sebelumnya, CIPA dapat diprediksi oleh adverse childhood experience (ACE). ACE dipercaya berpotensi memunculkan early maladaptive schema (EMS) pada individu yang kemudian meningkatkan kemungkinan melakukan CIPA. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa skema domain yang paling berpengaruh antara hubungan ACE dan CIPA adalah disconnection & rejection. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat peran mediasi domain disconnection & rejection, secara keseluruhan dan masing-masing skema di dalamnya, dalam hubungan antara cyber intimate partner aggression dengan adverse childhood experience. Partisipan pada penelitian ini adalah 941 dewasa muda yang pernah atau sedang menjalani hubungan romantis dan berdomisili di Indonesia. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perilaku cyber intimate partner aggression dapat diprediksi secara signifikan dan positif oleh adverse childhood experience (β=.084, SE=.016 p <.001). Selanjutnya, skema domain disconnection & rejection secara keseluruhan dapat memediasi hubungan tersebut secara signifikan. Dari lima skema yang ada, skema abandonment dan skema mistrust/abuse yang dapat secara signifikan memediasi hubungan yang ada. Implikasi hasil penelitian dibahas lebih lanjut.

Young adults use communication technology in their daily lives, including to establish romantic relationships. However, communication technology potentially creates a new platform for violence against partner, known as cyber intimate partner aggression (CIPA). Based on previous research, CIPA can be predicted by adverse childhood experience (ACE). ACE is believed to have the potential to cause early maladaptive schema (EMS) in individuals which then increases the likelihood of performing CIPA. Previous research found that the most influential domain scheme in the relationship between ACE and CIPA was disconnection & rejection. Therefore, this study was conducted to examine the mediation role of the disconnection & rejection domain, as a whole and separately for each schema in the domain, in the relationship between cyber intimate partner aggression and adverse childhood experience. Participants in this study were 941 young adults who had or are currently in a romantic relationship and domiciled in Indonesia. The results indicate that the behavior of cyber intimate partner aggression can be significantly and positively predicted by adverse childhood experience (β=.084, SE=.016 p <.001). Furthermore, the overall disconnection & rejection domain schema can significantly mediate the relationship. Out of the five existing schemas, the abandonment schema and the mistrust/abuse schema could significantly mediate the existing relationship. Research implications discussed further."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthianissa Amanda
"Pembentukan hubungan romantis pada usia dewasa muda sangat penting karena pada usia ini individu cenderung mencari pasangan untuk seumur hidup. Keberfungsian keluarga asal individu merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi kepuasan hubungan berpacaran dengan melalui faktor individual, seperti tipe attachment yang dimiliki individu dengan pasangannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran tipe attachment dalam memediasi hubungan antara keberfungsian keluarga dan kepuasan hubungan pada dewasa muda yang berpacaran. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Data diperoleh dari kuesioner yang disebarkan secara daring. Pengukuran variabel pada penelitian ini menggunakan alat ukur Family Assessment Device (FAD) untuk mengukur keberfungsian keluarga, Relationship Assessment Scale (RAS) untuk mengukur kepuasan hubungan dan Experiences in Close Relationships Scale-Revised (ECR-R) untuk mengukur attachment. Responden pada penelitian ini berjumlah 824 responden berusia 18-36 tahun dan sedang berpacaran minimal selama 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga dapat memprediksi kepuasan hubungan pada dewasa muda yang berpacaran. Selain itu, tipe attachment, baik anxious attachment maupun avoidant attachment dapat memediasi hubungan antara keberfungsian keluarga dan kepuasan hubungan pada dewasa muda yang berpacaran.

The formation of romantic relationships in young adulthood is very important because they tend to find a partner to live with. The functioning of the individual's family of origin is an important factor in influencing the relationship satisfaction, which through individual factors, such as the attachment that individual has with their partner. This study aims to look at the role of attachment in mediating the relationship between family functioning and relationship satisfaction in young adults. This study is a correlational study. Data were obtained from online questionnaires. This study used three measurement tools, Family Assessment Device (FAD) to measure family functioning, Relationship Assessment Scale (RAS) to measure relationship satisfaction and Experiences in Close Relationships Scale-Revised (ECR-R) to measure attachment. There were 824 respondents aged 18-36 years and have been in a romantic relationship for at least 6 months. The results showed that family functioning can predict relationship satisfaction in young adults. Moreover, attachment types, both anxious attachment and avoidant attachment, can mediate the relationship between family functioning and relationship satisfaction in young adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>