Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162771 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kerstan Ean Irawan
"Menjadi orangtua dan memiliki anak adalah salah satu kekhawatiran yang marak dipertanyakan pada rentang usia emerging adults. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara parental attachment dan perceptions of parenting emerging adults. Perceptions of parenting diukur dengan menggunakan perceptions of Parenting Inventory (PoPI). Sedangkan, parental attachment diukur menggunakan Experiences in Close Relationship-Relationship Structures (ECR- RS) Questionnaire. ECR-RS mengukur parental attachment dengan mengukur tingkat dimensi avoidant dan anxious attachment yang dimiliki emerging adults dengan orangtua mereka. Partisipan penelitian ini berjumlah 98 partisipan emerging adults dengan rentang usia 20-25 tahun (M= 21,96), memiliki orangtua yang lengkap, dan memiliki kewarganegaraan Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa avoidance parental attachment (r(-0,394)<0,001, p<0,01) memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perceptions of parenting emerging adults. Di sisi lain, anxious parental attachment tidak ditemukan memiliki korelasi yang signifikan dengan perceptions of parenting emerging adults. Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan antara parental attachment dan dimensi enrichment, commitment, continuity, dan perceived support dari perceptions of parenting emerging adults.

Becoming a parent and having children is one of the worries and frequently questioned during emerging adulthood. This research investigates the relationship between parental attachment and perceptions of parenting in emerging adults. Perceptions of parenting are measured using the Perceptions of Parenting Inventory (PoPI). Meanwhile, parental attachment is measured using the Experiences in Close Relationship-Relationship Structures (ECR-RS) Questionnaire. ECR-RS measures parental attachment by measuring the degree of avoidant and anxious attachment dimensions present in emerging adults with their parents. The participants of this research are 98 emerging adults aged 20-25 (M= 21.96), whose parents are still alive, and who have Indonesian citizenship. This research found a significant negative correlation between parental attachment (r(-0.394)<0.001, p<0.01) and perceptions of parenting in emerging adults. On the other hand, this research found no significant correlation between parental attachment and perceptions of parenting in emerging adults. This study also found correlations between parental attachment and enrichment, commitment, continuity, and perceived support dimensions of perceptions of parenting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Melani
"Keberagaman di Indonesia dapat menjadi potensi konflik atau kekerasan. Oleh sebab itu, sikap terhadap perdamaian dan keterbukaan terhadap keberagaman penting khususnya bagi emerging adults yang sering terpapar keberagaman namun juga berada dalam fase membagun hubungan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara keterbukaan terhadap keberagaman dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Sampel penelitian korelasional ini sejumlah 198 partisipan, dengan rata-rata usia 22 tahun. Kriteria partisipan penelitian adalah individu emerging adult (18-25 tahun), Warga Negara Indonesia (WNI), dan berdomisili di Indonesia. MGUDS-S (Miville-Guzman Universal-Diverse Scale-Short Form) merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur keterbukaan terhadap keberagaman, sedangkan untuk sikap perdamaian digunakan alat ukur Peace Attitude Scale (PAS). Berdasarkan analisis menggunakan Pearson Correlation, penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterbukaan terhadap keberagaman dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Hasil penelitian ini dapat berimplikasi sosial dimana pendidikan mengenai keberagaman itu penting untuk ada, dan individu harus terbiasa untuk terpapar keberagaman disekitarnya sejak dini.

Diversity in Indonesia could be a potential conflict or violence. Therefore, peace attitudes and openness to diversity were important, especially for emerging adults who are often exposed to diversity but are also in the phase of building relationships. This study aimed to determine the relationship between openness to diversity and peace attitudes among emerging adults. The sample of this correlational study consisted of 198 participants with an average age of 22 years old. Criteria of this study being emerging adult (18-25 years old), Indonesian citizens (WNI), and domiciled in Indonesia. MGUDS-S (Miville-Guzman Universal-Diverse Scale-Short Form) is an instrument used to measure openness to diversity, meanwhile Peace Attitude Scale (PAS) were used to measure peace attitudes. The results found that there is a significant positive relationship between openness to diversity and peace attitudes among emerging adults. The results of this study could have social implications that education about diversity is important to be conducted and individuals must be accustomed to being exposed to diversity around them from an early age."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulidia Annisa Hilmah
"ABSTRAK
Korban bullying usia sekolah umumnya masih merasakan berbagai dampak negatif bullying hingga dewasa. Penyayang diri dan optimisme dapat menjadi strategi koping yang tepat bagi korban untuk berkembang positif secara psikologis. Studi ini berusaha untuk melihat hubungan antara belas kasihan diri dan optimisme pada orang dewasa baru yang selamat dari perundungan sekolah (SMP dan SMA). Partisipan dalam penelitian ini adalah orang dewasa baru berusia 18-25 tahun yang lolos seleksi instrumen Multidimensional Online and Offline Peer Victimization Scale (MOOPVS) berdasarkan tingkat keparahan bullying yang dialaminya. Belas kasihan diukur menggunakan Bentuk Bentuk Pendek Skala Belas Diri Sendiri (SCS-SF) dan optimisme diukur dengan Tes Orientasi Kehidupan-Revisi (LOT-R). Melalui teknik korelasi Pearson, ditemukan bahwa di antara orang dewasa baru yang selamat dari perundungan di sekolah, belas kasihan diri secara signifikan berhubungan positif dengan optimisme (r = 0,264, p <0,01, satu sisi). Temuan ini dapat menjadi pertimbangan bagi para praktisi psikologi, khususnya yang bergerak di bidang rehabilitasi pasca bullying, untuk melakukan intervensi welas asih dan / atau berbasis optimisme.
ABSTRACT
Victims of school age bullying generally still feel the various negative effects of bullying until adulthood. Self-compassion and optimism can be the right coping strategies for victims to develop positively psychologically. This study attempted to look at the relationship between self-compassion and optimism in new adults who survived school bullying (junior high and high school). Participants in this study were adults aged 18-25 years who passed the Multidimensional Online and Offline Peer Victimization Scale (MOOPVS) instrument selection based on the severity of the bullying they experienced. Compassion was measured using the Short Form of Self-Defense Scale (SCS-SF) and optimism measured by the Revised Life-Orientation Test (LOT-R). Through the Pearson correlation technique, it was found that among new adults who survived school bullying, self-compassion was significantly positively associated with optimism (r = 0.264, p <0.01, one hand). These findings can be a consideration for psychology practitioners, especially those engaged in post-bullying rehabilitation, to carry out compassionate and / or optimism-based interventions."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hanifa
"Tahap perkembangan dewasa muda awal merupakan tahap kritis karena termasuk tahap peralihan dari masa remaja menuju dewasa. Pada tahap ini berbagai masalah kesehatan jiwa rawan terjadi, terutama pada masyarakat miskin yang merupakan kelompok rentan. Masyarakat miskin memiliki hasil kesehatan yang rendah karena akses yang terbatas ke layanan kesehatan. Terdapat pendekatan kesehatan yang dapat meningkatkan outcome kesehatan bagi masyarakat miskin yaitu perilaku peningkatan kesehatan (selanjutnya disebut perilaku peningkatan kesehatan) yaitu gaya hidup sehat yang komprehensif. Untuk meningkatkan perilaku untuk mempromosikan kesehatan secara efektif membutuhkan dukungan sosial yang dirasakan (selanjutnya disebut sebagai dukungan sosial yang dirasakan). Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara persepsi dukungan sosial dan dimensi pertumbuhan spiritual, hubungan interpersonal, dan manajemen stres dalam gaya hidup yang mempromosikan kesehatan. Partisipan dalam penelitian ini adalah 258 warga miskin yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda awal (18-29 tahun) yang mendapat bantuan dari pemerintah. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dukungan sosial dipersepsikan memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan spiritual, hubungan interpersonal, dan manajemen stres pada remaja miskin usia dini di DKI Jakarta.

Early young adult development stage is a critical stage because it includes a transitional stage from adolescence to adulthood. At this stage, various mental health problems are prone to occur, especially among the poor who are a vulnerable group. The poor have low health outcomes due to limited access to health services. There is a health approach that can improve health outcomes for the poor, namely health improvement behavior (hereinafter referred to as health improvement behavior), namely a comprehensive healthy lifestyle. To improve behavior to promote health effectively requires perceived social support (hereinafter referred to as perceived social support). This study aims to investigate the relationship between perceptions of social support and the dimensions of spiritual growth, interpersonal relationships, and stress management in health-promoting lifestyles. Participants in this study were 258 poor people who were in the early development stage of young adults (18-29 years) who received assistance from the government. The design used in this research is correlational research. The results of this study are that social support is perceived to have a significant relationship with spiritual growth, interpersonal relationships, and stress management in early childhood poor adolescents in DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranda Septarina
"Salah satu ciri utama dari periode emerging adulthood adalah memasuki eksplorasi cinta yang mendorong untuk membangun hubungan berpacaran. Akan tetapi, dalam menjalani hubungan berpacaran pasti akan terdapat perbedaan didalamnya yang berujung konflik dan dapat berkahir pada kekerasan. Sementara itu, pola kelekatan dengan pasangan (adult attachment) yang merupakan refleksi kelekatan individu dengan orangtuanya di masa kecil adalah faktor risiko yang memberikan kontribusi terbanyak untuk individu yang terlibat kekerasan, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tipe adult attachment dengan tingkat kekerasan dalam berpacaran pada emerging adult.
The Experiences in Close Relationship-Revised (ECR-R) dan kekerasan dalam berpacaran diukur menggunakan The Revised Conflict Tactics Scales. Penelitian pada 293 partisipan dengan usia 18-25 tahun yang sedang menjalin hubungan berpacaran selama minimal enam bulan menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara secure attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r(N=293) = -0,071, p > 0.05). Namun demikian, terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara dismissing attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r (N=293) = - 0,209, p 0,05), lalu terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara preoccupied attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r(N=293) = 0,142, p < 0,05), serta terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara fearful attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r(N=293) = 0,122, p 0,05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debrina Annisa Putri
"Emerging adults berada pada masa eksplorasi diri mengenai karir, pasangan, dan pandangan hidup. Eksplorasi diri membawa kepada tantangan bagi emerging adults yang mengarah pada ketidakpastian. Oleh karena itu, mereka membutuhkan religiusitas untuk dapat melaluinya dengan baik. Religiusitas dapat ditinjau melalui motivasi yang mendasarinya, yakni orientasi religiusitas intrinsik dan ekstrinsik. Diketahui bahwa orientasi religiusitas intrinsik dan ekstrinsik berkaitan dengan bagaimana fungsi dalam keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dan orientasi religiusitas pada emerging adults. Sebanyak 309 individu, laki-laki (N = 129) dan perempuan (N = 180), berusia 18-25 tahun, berpartisipasi dalam pengisian kuesioner penelitian mengenai keberfungsian keluarga (Family Assessment Device) dan orientasi religiusitas (Religious Orientation Scale-Revised). Uji korelasi dilakukan melalui teknik Spearman Rank Correlation, serta menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keberfungsian keluarga dengan orientasi religius intrinsik (rs (307) = 0.185, p <0.05, two-tailed) dan orientasi religius ekstrinsik (rs (307) = 0.259, p <0.05, two-tailed). Dengan kata lain, peningkatan fungsi dalam keluarga disertai dengan peningkatan baik orientasi religiusitas intrinsik maupun ekstrinsik pada individu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa untuk dapat meningkatkan orientasi religiusitas, individu perlu meningkatkan keberfungsian dalam keluarga.

Emerging adults are in a period of self-exploration about careers, partners, and perspective on life. Self-exploration brings challenges to emerging adults that lead to uncertainty. Therefore, they need religiosity to get through it well. Religiosity can be seen through the underlying motivation, which are intrinsic and extrinsic religious orientation. It is known that both religiosity orientation, intrinsic and extrinsic, are related to how their family functions. This study aims to determine the relationship between family functioning and religiosity orientations in emerging adults. A total of 309 men (N = 129) and women (N = 180), between the age of 18 and 25 years old, engaged in the research by completing questionnaires on family functioning (Family Assessment Device) and religiosity orientation (Religiosity Orientation Scale-Revised). Using Spearman’s rank correlation, the results showed a positive and significant correlation between family functioning and intrinsic religiosity orientation (rs (307) = 0.185, p <0.05, two-tailed) and extrinsic religiosity orientation (rs (307) = 0.259, p <0.05, two-tailed). In other words, improved family functioning is accompanied by improved intrinsic and extrinsic religious orientation. Therefore, it may be claimed that people need to enhance family functioning in order to improve their religious orientation."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Rania Wiraatmadja
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kecemburuan dan harga diri pada emerging adults usia 18 hingga 25 tahun. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif kepada 1451 emerging adults. Instrumen yang digunakan adalah Multidimensional Jealousy Scale dan Rosenberg Self-Esteem Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dimensi kognitif kecemburuan dan harga diri r=-.161; p

This study was conducted to determine the relationship between jealousy and self esteem among emerging adults ages 18 to 25 years. This research uses quantitative method to 1451 emerging adults. The instrument used are Multidimensional Jealousy Scale and Rosenberg Self Esteem Scale. The results showed that there was a significant negative relationship between the cognitive dimension of jealousy and self esteem r .161 p
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67017
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Yunita Andriana
"Konflik adalah hal yang pasti terjadi dalam hubungan interpersonal, termasuk dalam pernikahan. Anak kemungkinan besar menjadi saksi konflik antara kedua orangtuanya. Beberapa studi menemukan bahwa konflik antara ayah dan ibu yang dilihat oleh anak dapat memengaruhi hubungan anak itu sendiri, termasuk hubungan romantisnya. Pengaruh tersebut dapat berakibat pada kesejahteraan individu di usia emerging adult.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara persepsi anak terhadap konflik antara ayah dan ibunya dengan kualitas hubungan romantis yang dijalaninya. Persepsi terhadap konflik antara ayah dan ibu diukur dengan Children rsquo;s Perception of Interparental Conflict Scale CPIC Scale, ? = 0.94, sedangkan kualitas hubungan romantis diukur dengan Partner Behavior in Social Context PBSC, ? = 0.92. 316 emerging adult yang sedang menjalin hubungan romantis mengikuti penelitian ini. Analisis Spearman rsquo;s rho menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara persepsi terhadap konflik antara ayah dan ibu dengan kualitas hubungan romantis ? = -0,19, p < 0,01

Conflict is an inevitable event that would happen in any interpersonal relationship, including marriage. If the spouse had a child, there's high chance that the child will see their conflict. Numerous studies have found that child's observation of the conflict between his her parents could influence the child's own personal relationship, including his her romantic relationship. It could also influence the child's well being as an emerging adult.
The purpose of this study is to find correlation between the child's perception of interparental conflict and the quality of his her romantic relationship. Perception of interparental conflict is measured with Children's Perception of Interparental Conflict Scale CPIC Scale, 0.94 and romantic relationship quality is measured with Partner Behavior in Social Context PBSC, 0.92. 316 emerging adults who commit in romantic relationship participated in this study. Spearman's rho analysis showed that there is a negative significant correlation between perception of interparental conflict and romantic relationship quality 0.19, p 0.01 .
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S69782
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Azzahra Assyahida
"Adult attachment merupakan kelekatan emosional yang dibentuk individu dengan orang lain dan berpengaruh dalam menjalin hubungan romantis. Menjalin hubungan romantis melalui kencan online banyak dipilih karena komunikasi self-disclosure lebih mudah terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara adult attachment dan self-disclosure. Terdapat 117 partisipan yang terdiri dari perempuan (65%), laki-laki (29%), dan non-biner (6%) berusia 20-39 tahun. Adult attachment diukur dengan Experience in Close Relationship Revised, sedangkan self-disclosure diukur dengan Self-disclosure Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara adult attachment dan self-disclosure (r = -0,409, p<0,01) dalam kencan online.

Adult attachment is an emotional closeness formed by individuals with others and influential in establishing romantic relationships. Seeking romantic relationships through online dating is popular because self-disclosure is easier to occur. This study aims to determine the relationship between adult attachment and self-disclosure. There were 117 participants consisting of women (65%), men (29%), and non-binary (6%) aged 20-39 years. Adult attachment is measured by Experience in Close Relationship Revised, while self-disclosure is measured by Self-disclosure Scale. The results showed a significant negative relationship between adult attachment and self-disclosure (r = -0.409, p<0.01) in online dating."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Minhalina Afiyah
"Tumbuh di lingkungan keluarga disfungsional tidaklah mudah, namun tidak semua individu yang berasal dari keluarga disfungsional akan terus mengalami kesulitan tersebut. Self-compassion, yaitu sikap pengertian terhadap diri sendiri, membantu individu mengelola emosi negatif dan melihat kesulitan yang dialami itu sebagai bagian dari kehidupan manusia. Sikap ini berkaitan erat dengan resiliensi, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-compassion dan resiliensi pada dewasa awal yang berasal dari keluarga disfungsional yang melibatkan 141 partisipan berusia 18-25 tahun. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self-compassion dan resiliensi. Temuan ini menyatakan bahwa individu dengan tingkat self-compassion yang tinggi cenderung memiliki tingkat resiliensi yang tinggi juga.

Growing up in a dysfunctional family is not easy, but not all individuals who come from dysfunctional families will continue to experience these difficulties. Self-compassion, which involves understanding and kindness towards oneself, helps individuals manage negative emotions and view challenges as part of human life. This attitude is closely related to resilience, the ability to bounce back from such difficulties. This study aims to explore the relationship between self-compassion and resilience in young adults from dysfunctional families, involving 141 participants aged 18-25. The analysis results show a significant relationship between self-compassion and resilience. This finding suggests that individuals with high levels of self-compassion tend to also have high levels of resilience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>