Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171820 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Balthazaar Ardell Ardhillah
"Kekayaan kebudayaan yang dimiliki Indonesia membentuk masyarakat yang cukup dekat dengan industri kreatif. Potensi yang sangat besar serta keseriusan pemerintah yang sudah cukup baik harus tertahan karena stigmatisasi terkait pekerja seni. Terutama perihal ketidakpastian akan kesejahteraan pekerja seni. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif secara deskriptif dan regresi serta pendekatan kualitatif melalui indepth interview untuk menemukan kondisi kesejahteraan pekerja seni. Penelitian mengukur kemiskinan dan ketimpangan supaya dapat tergambarkan dengan baik dan lebih spesifik, serta mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan seniman melalui analisis regresi Logit. Hasil penelitian membuktikan dan menemukan bagaimana kondisi kesejahteraan para pekerja kesenian. Tingkat kemiskinan yang cenderung lebih rendah, namun dengan ketimpangan yang cukup tinggi. Sedangkan faktor yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan, yakni tingkat pendidikan dan disparitas pembangunan daerah. Begitu juga penelitian ini menjelaskan variabel-variabel determinan kesejahteraan, dimana lebih ditentukan oleh variabel individu ketimbang makro-regional. Hasil wawancara juga mengonfirmasi temuan pada pengolahan data. Narasumber juga menekankan bahwa kesejahteraan seniman lebih banyak terepresentasikan oleh kebahagiaan dalam menghasilkan suatu karya seni. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pekerja seni memiliki kesejahteraan yang cukup baik. Stigma negatif akan kesejahteraan pekerja seni dengan ini cukup beralasan meskipun tidak sepenuhnya benar.

Indonesia's rich cultural heritage shapes a society that is closely connected to the creative industry.  Despite the enormous potential and the government's considerable efforts, this sector's progress is hindered by the stigma associated with artists. Especially regarding the uncertainty of the welfare of art workers. This study uses a quantitative approach through descriptive and regression analysis, also a qualitative approach through in-depth interviews to find the welfare conditions of art workers. The research measures poverty and inequality to provide a clear and specific picture and measures the factors that influence the welfare of artists through Logit regression analysis. The research results prove and find the welfare conditions of art workers. The poverty rate tends to be lower, but with a fairly high level of inequality. While the factors that contribute greatly to inequality are the level of education and regional development disparities. Likewise, this study explains the determinant variables of welfare, which are more determined by individual variables rather than macro-regional variables. The interview results also confirmed the findings of the data analysis findings. The artist also emphasized that the welfare of artists is more represented by happiness in producing a work of art. Thus, it can be said that art workers have a fairly good welfare. The negative stigma about the welfare of art workers is quite reasonable even though it is not entirely true."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Rahman Hakim
"Film Birdman: The Unexpected Virtue of Ignorance menceritakan tentang Riggan Thompson, seorang aktor tua, membuat pertunjukan teater di Broadway untuk menghidupkan kembali karirnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan pencarian cinta, rekognisi, dan kekuatan di industri hiburan yang terdapat di film ini. Film Birdman yang dibuat dengan latar belakang budaya industri hiburan, adalah contoh yang dapat digunakan untuk menganalisa orang orang yang berada dalam budaya tersebut.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa cinta yang ditunjukkan di film ini adalah cinta amour-propre. Rekognisi dapat berguna untuk mengkonfirmasi keberadaan seseorang, untuk kesehatan psikologis, dan untuk mendapatkan kekuatan. Aspek kekuatan dari rekognisi menyebabkan adanya kekurangan recognisi pada seseorang dan memotivasinya untuk mencari rekognisi. Budaya dalam industry hiburan lahir dari hubungan antara rekognisi dan amour-propre. Budaya ini mendorong pelakunya untuk terus mencari rekognisi.

The movie Birdman The Unexpected Virtue of Ignorance shows how an old actor, Riggan Thompson, tried to revive his career by making a Broadway play. The purpose of my research was to discuss the search of love, recognition, and power in the entertainment industry that was shown in the movie.The movie Birdman that was made within the cultural setting of the entertainment industry provided a sample to be used to further analyzed the culture and the people that were involved in it.
The research indicated that the movie showed the self love of amour propre.Recognition was found to be beneficial to confirm one s existence, to one s psychological longevity, and to struggle for power in society. The aspect of power in recognition caused the lack of recognition in a person that motivated further search for recognition. Through the relation between recognition and amour propre a culture inside the entertainment industry was born. The culture promoted people in the industry to seek other people s recognition that driven people to constantly seek for recognition."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Abdau Siroj Amrulloh
"Penelitian ini membahas hubungan antara spiritualitas di tempat kerja dengan berbagai bentuk kesejahteraan karyawan dalam aspek kesehatan mental yaitu kesejahteraan emosional, sosial, psikologis, dan spiritual. Teknik pengumpulan datanya menggunakan desain survei, lalu dilakukan uji regresi menggunakan SPSS 20 untuk mengetahui hubungannya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 202 responden yang telah bekerja di Jakarta selama minimal 1 tahun dari berbagai latar belakang industri, instansi, jabatan, pengalaman kerja dan status kerja.
Temuan dalam penelitian ini adalah keempat bentuk kesejahteraan karyawan emosional, sosial, psikologis, dan spiritual memiliki hubungan yang positif terhadap spiritualitas di tempat kerja. Implikasi dari hasil penelitian ini dapat berguna bagi ilmu pengetahuan dalam hal sumber daya manusia, bahwa spiritualitas di tempat kerja dapat menjadi sebuah anteseden bagi kesejahteraan karyawan khususnya dalam aspek kesejahteraan emosional, sosial, psikologis, dan spiritual.

This undergraduate thesis discusses the relationship between workplace spirituality and various forms of employee well being in the mental health aspects of emotional, social, psychological, and spiritual. Data collection techniques is used survey design, then tested the relationship using SPSS 20. The sample used in this study amounted to 202 respondents who have worked in Jakarta for at least 1 year from various industry background, agency, position, work experience and work status.
The findings in this study are the four of employee well being namely, emotional, social, psychological, and spiritual has a positive relationship with workplace spirituality. The implications of the results of this study can be useful to the science that workplace spirituality can be an antecedent to the employee well being, especially in aspects of emotional, social, psychological, and spiritual well being.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
S67111
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini membahas Saudi Vision 2030 di Kerajaan Arab Saudi antara tahun 2016-2022. Visi 2030 dirancang untuk melepaskan ketergantungan minyak melalui diversifikasi dengan salah satunya membangun industri hiburan. Namun, pembangunan industri hiburan ditentang oleh beberapa ulama. Mereka menentang hiburan seperti konser musik, bioskop, dan olahraga karena mencampurkan gender dalam satu lokasi. Pemerintah menghadapi penolakan beberapa ulama ini dengan tegas dan terus membangun industri hiburannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami fenomena itu melalui teori kesepakatan elite antara beberapa ulama dan pemerintah yang mulai terurai sehingga mengakibatkan penolakan terhadap pembangunan industri hiburan di dalam program Saudi Vision 2030. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan melakukan tinjauan pustaka. Penelitian ini menemukan pertentangan beberapa ulama terhadap pembangunan industri hiburan Saudi Vision 2030 disebabkan oleh anggapan mengenai adanya beberapa aspek di dalamnya yang melanggar syariah Islam. Penelitian ini juga menemukan kalau pertentangan beberapa ulama itu berpotensi diatasi oleh suatu kompromi dari pemerintah dengan menyesuaikan aspek-aspek industri hiburan Saudi Vision 2030 yang bermasalah supaya tidak melanggar syariah Islam.

This research aims to discuss Saudi Vision 2030 in the Kingdom of Saudi Arabia between 2016-2022. Vision 2030 was designed to relinquish Saudi Arabia dependence on oil through diversification, one of which is building the entertainment industry. However, the development of the entertainment industry was opposed by some clerics. They opposed entertainments such as music concerts, cinema, and sports because it mixes gender in one location. The government sternly faced the refusal of some clergy and carry on the development of the entertainment industry. The purpose of this study is to understand that opposition toward the development of the entertainment industry through the theory of elite settlement between some clerics and the government which began to unravel resulting in rejection of the development of Saudi Vision 2030 entertainment industry. This research finds that violations of the Islamic Sharia by some elements of the entertainment industry which is being developed underpins the opposition to it by some clergy. This research also finds that the conflict between some clergy has the potential to be overcome by means of compromise from the government in the adjustment of the problematic aspects of the entertainment industry so that they do not violate the Islamic Sharia."
[Depok, Depok]: [, ], 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fariz Naufal Jatmiko
"[ABSTRAK
Hostess Club merupakan salah satu klab hiburan malam yang merupakan bagian dari Mizu Shobai (Water
Trade) yang sudah berkembang pada tahun 1960-an di Jepang. Hostess club menggunakan jasa wanita yang
mampu berperan sebagai media untuk para tamunya meringankan beban psikologis mereka di sela-sela penat
karena pekerjaan dan hal lainnya. Selama ini hostess club cenderung dipandang sebagai profesi yang
mengandung prostitusi, namun ternyata berbeda. Cara seorang hostess menghibur tamunya di hostess club yaitu
dengan melakukan kegiatan yang disebut sebagai Settai (接待) dan Tsukiai (付き合い) yang mulai populer
pada periode setelah Perang Dunia II. Tulisan ini bertujuan mengetahui lebih jauh lagi mengenai apa yang
dimaksud sebagai hostess club dan bagaimana profesi hiburan malam ini begitu diminati oleh para wanita
Jepang.

ABSTRACT
Hostess Club is one of the entertainment night club that is part of Mizu Shobai (Water Trade) that has developed in the 1960s in Japan. Hostess club use the services of a woman who is able to act as a medium for the guests relieve their psychological burden on the sidelines tired because of work and other things. During this hostess
club tends to be seen as a profession that contain prostitution, but it turned out differently. The way to entertain guests at hostess club, hostess performing the activities known as Settai (接待) and Tsukiai (付 き 合 い) which
became popular in the period after World War II. This journal aims to know more about what is the meaning of
hostess club and how this evening entertainment profession so attractive to Japanese women. , Hostess Club is one of the entertainment night club that is part of Mizu Shobai (Water Trade) that has developed in the 1960s in Japan. Hostess club use the services of a woman who is able to act as a medium for the guests relieve their psychological burden on the sidelines tired because of work and other things. During this hostess
club tends to be seen as a profession that contain prostitution, but it turned out differently. The way to entertain guests at hostess club, hostess performing the activities known as Settai (接待) and Tsukiai (付 き 合 い) which
became popular in the period after World War II. This journal aims to know more about what is the meaning of
hostess club and how this evening entertainment profession so attractive to Japanese women. ]"
2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu Hijrah Hati
"Materialisme sebagai salah satu sisi gelap dari perilaku konsumen (Hirschman, 1991 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2020) telah banyak diteliti oleh para ahli baik di negara-negara barat (misal Richins, 1994) maupun di negara-negara timur (misal Keng, Jung, Jiuan & Wirtz, 2002). Tingginya perhatian para ahli terhadap materialisme adalah karena materialisme dinilai telah banyak menimbulkan berbagai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan psikologis (well-being) individu seperti: menurunnya tingkat kepuasan hidup (Richins & Dawson, 1992 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), menurunnya tingkat kebahagiaan (Belk,1985 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), Berta meningkatnya tingkat depresi (Kasser & Ryan, 1993 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002). Berbagai konsekuensi negatif tersebut tentunya tidak berkesesuaian dengan tujuan awal dari individu dalam mengejar materi yakni sebagai cara untuk menunjukkan keberbasilan mereka dalam hidup, mencari kebahagiaan dan meraih apa yang disebut sebagai "good life".
Meskipun demikian, hubungan negatif antara materialisme dan kesejahteraan psikologis (well-being) ternyata harus kita cermati secara seksama. Hal ini disebabkan karena beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan bukti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut sangatlah kompleks dan bersifat misterius (enigmatic). Adapun beberapa variabel yang dianggap dapat mempengaruhi hubungan antar kedua variabel tersebut adalah: kualitas pendidikan (misal Campbell 1981; Diener, 1994; dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), orientasi keagamaan (LaBarbera & Gurhan, 1997 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), latar belakang keluarga (Burroughs & Rindfleisch,1997 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), sumber daya ekonomi (Cohen & Cohen,1996 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), dan kehadiran konflik nilai (Burroughs & Rindfleisch, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Christopher dan Schlenker (2004), menunjukkan bahwa ada salah satu variabel lain yang dapat mempengaruhi hubungan antara materialisme dan kesejahteraan psikologis (well-being), yakni seljpresentaironal concerns. Adapun self-presentational concerns mengacu pada rasa takut atas penilaian negatif dari pihak lain (fear of negatif evaluation) dan orientasi terhadap identitas sosial (social identity) yang tinggi. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh materialisme terhadap komponen afeksi dan kesejahteraan psikologis, yakni: afeksi positif dan afeksi negatif temyata akan menurun jika self-presentational concerns dikontrol secara statistik.
Berbagai hasil penelitian diatas pada akhirnya mendorong peneliti untuk melakukan studi mengenai pengaruh materialisme terhadap kesejahteraan psikologis (well-being) dengan memperhitungkan aspek self-presentational concerns di Indonesia. Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat hasil penelitian terbaru di Indonesia (Palupi, 2005) menunjukkan bahwa tingkat orientasi konsumen Indonesia tergolong cukup tinggi yakni sekitar 54,1 %.
PeneIitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan sampel sebanyak 400 responden berusia 17 hingga 72 tahun. Pengumpulan data dilakukan melalui dua metode yakni secara konvensional dan online.
Sebelum analisis terhadap tujuan utama penelitian dilakukan, peneliti melakukan kajian psikometrik terhadap alat ukur materialisme yang selama ini digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Hasil penelitian tersebut mendukung temuan Richins (2004) yang menyatakan bahwa short form Material Value Scale 9 item yang dikembangkan Richins memiliki kemampuan yang setara dengn long-form Material Value Scale yang terdiri 18 atau 15 item. Dengan menggunakan alat ukur tersebut dan beberapa alat ukur lainnya, diperoleh bukti bahwa self-presentational concerns merupakan variabel yang mempengaruhi hubungan antara materialisme dan kesejahteraan psikologis (well-being). Dengan kata lain, keinginan untuk memberikan impresi yang baik pada orang lain, mendorong banyak individu untuk mengejar materi yang dipandang sebagai lambang kesuksesan, inti kehidupan, dan sumber kebahagiaan mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haykal Rafif Wijaya
"Untuk meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana orang membuat keputusan keuangan, penting untuk menyelidiki karakteristik psikologis apa yang memengaruhi perilaku keuangan dan kesejahteraan finansial individu yang baik. Dalam penelitian ini, penulis mengeksplorasi pengaruh perbedaan individu dalam religiositas, pengendalian diri dan faktor non-kognitif lainnya pada perilaku keuangan dan kesejahteraan finansial. Sebuah survei yang berisi ukuran perilaku keuangan, kesejahteraan keuangan subjektif, religiusitas, pengendalian diri, optimisme, pemikiran deliberatif, dan variabel demografis diambil dari sampel yang representatif (n = 1141) pada populasi Muslim Indonesia. Temuan ini memperluas penerapan temuan dari hipotesis siklus hidup perilaku (Behavioral Life-Cycle Hyopthesis) pada aspek pengendalian diri, yaitu untuk mengeksplorasi efek religiositas dalam memprediksi perilaku keuangan secara umum dan kesejahteraan finansial. Orang-orang dengan tingkat religiositas yang tinggi cenderung merasa lebih aman dalam situasi keuangan mereka pada saat ini dan masa depan, tetapi itu tidak mempengaruhi kecenderungan mereka untuk memiliki perilaku keuangan secara umum yang lebih baik dan merasa kurang cemas tentang masalah keuangan.

To improve our understanding of how people make financial decisions, it is important to investigate what psychological characteristics that influence individuals’ positive financial behavior and financial well-being. In this study, writer explores the effect of individual differences in religiosity, self-control and other non-cognitive factors on financial behavior and financial well-being. A survey containing measures of financial behavior, subjective financial well-being, religiosity, self-control, optimism, deliberative thinking, and demographic variables was sent to a representative sample (n = 1141) of Indonesian Muslim population. These findings extend the application of findings from behavioral life-cycle hypothesis beyond self-control, to explore the effect of religiosity on predicting general financial behavior and financial well-being. People with high level of religiosity are more likely to feel more secure in their current and future financial situation, but it does not affect their tendencies to have better general financial behavior and feel less anxious about financial matters. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indinesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhani Alchemy Hakim
"Penelitian ini ingin melihat hubungan antara keterlibatan pengasuhan anak oleh ayah yang tinggal bersama istri sekaligus anaknya dengan kesejahteraan mereka. Secara spesifik, penelitian ini ingin melihat adakah hubungan antara pengasuhan anak oleh ayah dengan kondisi self-esteem dan tekanan psikologis mereka. Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti melalui kuesioner daring (N = 246). Penemuan paling konsisten yang ditemukan dari penelitian ini adalah, bahwa kontribusi finansial ayah meningkatkan kesejahteraan ayah. Sedangkan, variabel interes pengasuhan anak tidak berhubungan signifikan dengan kesejahteraan ayah di Indonesia.

This study examines relationship between the involvement of childcare by residential fathers and their well-being. Specifically, this study explores whether there is a relationship between parenting done by fathers with their self-esteem and psychological distress. We used primary data collected through an online questionnaire with 246 fathers in the sample. Consistent with previous studies, our research finds that time allocated by father for childrearing does not have a significant effect to their wellbeing. Instead, father's financial shows a consistent significant association to the wellbeing indicator."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Arindya Laksmidewi Marghaputra
"Pandemi Covid-19 yang memaksa kita untuk menjaga jarak menjadi tantangan bagi industri hiburan musik. Konser tur antar negara, temu penggemar dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh brand industri musik untuk membentuk pengalaman audiens terpaksa harus ditiadakan. Dalam menghadapi kondisi ini, para pemasar industri hiburan musik memanfaatkan teknologi dan membuat konser virtual sebagai bentuk strategi experiential marketing. Tulisan ini akan menganalisis apakah konser virtual telah memenuhi pilar keberhasilan strategi experiential marketing dibandingkan dengan konser offline. Terdapat sebelas pilar keberhasilan experiential marketing yakni remarkable, shareable, memorable, measurable, relatable, personal, targetable, connectable, flexible, engageable dan believable. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus komparatif dengan membandingkan satu variabel pada dua sampel yang berbeda atau waktu yang berbeda. Dalam pengaplikasiannya, konser virtual maupun konser offline memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Teknologi augmented reality dan grafis 3D dalam konser virtual menciptakan pengalaman unik melalui efek panggung seolah-olah visual tersebut nyata, sehingga tercipta pengalaman mendalam yang dimana secara psikologis audiens merasa menjadi bagian dari lingkungan virtual tersebut sehingga timbul perasaan nyata ‘berada disana’. Namun, teknologi tidak dapat menggantikan pengalaman yang didapat melalui interaksi tatap muka. Teknologi justru menciptakan cara interaksi baru dan pengalaman unik yang berbeda dari interaksi langsung.

Covid-19 pandemic forces us to practice physical distancing. This condition leads to a new challenge, especially for the music entertainment industry. Many activities that build the audience's experience such as world tour concerts and fan meetings had to be eliminated. In facing this challenge, music industry marketers take advantage of technology and create virtual concerts as a form of experiential marketing strategy. This study aims to analyze whether virtual concerts have met the pillars of successful experiential marketing strategy compared to offline concerts. There are eleven pillars of experiential marketing such as remarkable, shareable, memorable, measurable, relatable, personal, targetable, connectable, flexible, engageable, and believable. The research method used is a comparative case study, comparing one variable in two different samples or at different times. Study results revealed that both virtual concerts and offline concerts have their respective advantages and disadvantages. Augmented reality technology and 3D graphics used in virtual concerts create a unique experience through stage effects as if the visuals are real, this visualization creating an immersive experience where the audience psychologically become one with the virtual environment and a sense of "being there" arises. However, technology cannot replace the experiences gained through face-to-face interactions. Instead, technology creates a new way of interacting and a unique audience experience. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Ikhsan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat dukungan sosial terhadap tingkat well-being pekerja di bidang industri kreatif digital. Penelitian sebelumnya cenderung melihat faktor individual dan organisasional sebagai faktor yang berkontribusi terhadap tingkat well-being pekerja. Dalam rangka memperkaya studi-studi sebelumnya, penelitian ini berusaha menjelaskan well-being pekerja melalui dukungan sosial yang dimiliki pekerja, khususnya keluarga, atasan dan rekan kerja. Dukungan sosial diyakini dapat memberikan sumberdaya yang dapat membentuk dan meningkatkan fungsi dalam bekerja, sehingga semakin tinggi dukungan sosial yang diterima maka semakin tinggi well-being yang dirasakan oleh pekerja dan sebaliknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data diperoleh melalui survei kepada 130 pekerja kreatif digital di Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja kreatif digital memiliki tingkat well-being dan dukungan sosial yang cenderung rendah. Dukungan sosial yang bersumber dari keluarga, atasan dan rekan kerja terbukti berhubungan dengan tingkat well-being pekerja. Selain itu, didapatkan hasil dukungan sosial yang bersumber dari atasan dengan bentuk dukungan appraisal sebagai variabel yang paling berhubungan dengan well-being pekerja di bidang industri kreatif digital.

ABSTRACT
This study explains the effect of social support level to creative digital worker well-being. Previous studies found that individual internal and organizational as factors that contribute to level of worker well-being. To enrich previous studies, This study seeks to explain worker well-being through social supports, especially from family, supervisor and co-workers. Social support is believed to provide resources that can form and improve functionality in work, so the higher the social support is received then the higher the well-being perceived by workers and vice versa. This study uses quantitative approaches with data collection techniques obtained through surveys to 130 creative digital worker in Jakarta. The results show that creative digital worker have a low level of well-being and social support. Social support from family, supervisor and co-workers is positively correlated with workers well-being. This research also found that social support from supervisor and appraisal support as the most associated variabel with worker well-being."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>