Ditemukan 194284 dokumen yang sesuai dengan query
Iyolla
"Penelitian ini mengeksplorasi hukum mengenai pembatasan dan pengesampingan hak cipta terkait soundtrack film yang diumumkan secara digital, dengan perbandingan antara hukum Indonesia dan Amerika Serikat. Setelah implementasi Perjanjian TRIPS yang menetapkan standar minimum untuk perlindungan kekayaan intelektual secara global, masing-masing negara memiliki fleksibilitas sehingga tingkat perlindungannya bervariasi. Di Indonesia, hukum hak cipta utamanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Penelitian ini mendalami hak ekonomi dan hak moral sebagaimana diatur dalam undang-undang Indonesia, dan membandingkannya dengan kerangka hukum Amerika. Studi ini meneliti bagaimana format digital mempengaruhi penegakan dan pembatasan hak-hak tersebut, dengan mempertimbangkan konvensi internasional seperti Konvensi Bern dan TRIPS. Melalui analisis data doktrinal dan non-doktrinal, termasuk ketentuan undang-undang, yurisprudensi, dan wawancara dengan pemangku kepentingan, penelitian ini mengidentifikasi perbedaan kunci dalam batasan perlindungan dan pengesampingan hak cipta terhadap
soundtrack film yang diumumkan secara digital. Temuan ini menyoroti tantangan dan potensi reformasi yang diperlukan untuk menyelaraskan undang-undang hak cipta, memastikan perlindungan yang lebih baik dan keseimbangan antara hak pencipta tanpa membatasi akses publik di era digital saat ini. Analisis perbandingan ini bertujuan untuk berkontribusi pada pemahaman teoritis dan penerapan praktis hukum hak cipta dalam sarana digital.
This study explores the legal nuances of copyright limitations and waivers concerning digitally announced film soundtracks, comparing Indonesian and United States laws. Following the implementation of the TRIPS Agreement, which set minimum standards for intellectual property protection globally, individual countries retain flexibility, leading to varying levels of protection. In Indonesia, copyright law is primarily governed by Law No. 28 of 2014 on Copyrights. This research delves into economic and moral rights as outlined in Indonesian legislation, contrasting these with the American framework. It examines how digital formats affect the enforcement and limitation of these rights, considering international conventions like the Berne Convention and TRIPS. By analyzing both doctrinal and empirical data, including statutory provisions, case law, and stakeholder interviews, the study identifies key differences in how copyright protection towards film sountracks that are digitally announced is limited and waived. The findings highlight the challenges and potential reforms needed to harmonize copyright laws, ensuring better protection and balance between creators' rights and public access in the digital era. This comparative analysis aims to contribute to the theoretical understanding and practical application of copyright law in digital media."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kelvin Adytia Pratama
"Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta mengatur bahwa Hak Cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia. Ketentuan mengenai Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi pada kenyataannya, hal tersebut masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan terkait, terutama mengenai mekanisme penilaian dan pengikatan jaminan, sehingga sampai saat ini belum ada pihak yang memberikan kredit dengan jaminan berupa Hak Cipta. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan bertujuan untuk mempelajari mekanisme penilaian dan pengikatan Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia di Indonesia, dengan membandingkan dengan metode yang dilakukan di negara Common Law yaitu Amerika Serikat. Dari hasil penelitian didapati bahwa meskipun sudah terdapat peraturan yang mengatur, namun belum adanya praktik konkrit dari lembaga keuangan bank dan/atau non-bank yang menjadikan hak cipta sebagai objek jaminan untuk mendapatkan kredit seperti di Amerika Serikat. Dari contoh di Amerika Serikat kita dapat melihat bahwa banyak pihak yang dilibatkan dalam sebuah perjanjian kredit dan adanya agunan tambahan sebagai bentuk proteksi terhadap pihak peminjam. Polemik ini haruslah dipecahkan lewat kolaborasi yang solutif antara Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pihak jasa penilai, dan juga pihak perbankan agar terbangun sebuah infrastruktur hukum sampai ke teknis pelaksanaannya.
Law number 28 of 2014 concerning Copyright stipulates that Copyright as an intangible movable object can be used as an object of fiduciary guarantees. Provisions regarding Copyright as an object of fiduciary security will be implemented in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations. However, in reality, this is still being debated by various related parties, especially regarding the mechanism for assessing and binding guarantees, so that until now there has been no party that has provided credit with collateral in the form of a Copyright. This study uses a normative juridical method and aims to study the mechanisms for assessing and binding Copyright as an object of fiduciary guarantees in Indonesia, by comparing it to the method used in Common Law countries namely United States of America. From the results of the study it was found that although there are already regulations governing, there is no concrete practice by bank and/or non-bank financial institutions that make copyright an object of collateral to obtain credit like in the United States. From the example in the United States of America we can see that many parties are involved in a credit agreement and there is additional collateral as a form of protection for the borrower. This polemic must be resolved through a solutive collaboration between the Financial Services Authority, the Ministry of Law and Human Rights, the appraisal service, and also the banking sector in order to develop a legal infrastructure down to the technical implementation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Aritonang, Rayyan Gustio Kevin
"Modifikasi video game atau modding adalah suatu tindakan mengubah video game melalui program komputer dengan perangkat lunak atau software yang ada diluar video game itu sendiri. Dalam konstruksi hukum hak cipta, modifikasi video game kemudian merupakan perbuatan penggandaan, pengubahan, transformasi, adaptasi, dan penciptaan karya derivatif dari sebuah ciptaan, yaitu video game orisinilnya itu sendiri. Oleh karena itu, Kegiatan modding dapat terindikasi sebagai pelanggaran hak cipta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana perlindungan dari video game dan modifikasi video game dalam hukum hak cipta di Indonesia dan Amerika Serikat. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian dilakukan secara yuridis normatif menggunakan data sekunder dan studi pustaka sebagai bahan utama ketika melakukan penelitian. Penelitin akan berfokus dengan kasus yang sudah ada sebelumnya di Amerika Serikat yaitu Micro Star v. Formgen Inc. Dalam kasus ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa modifikasi video game dapat terindikasi sebagai sebuah pelanggaran hak Cipta tetapi dapat dilakukan apabila memenuhi kriteria yang terdapat dalam fair use dan norma pembatasan pasal 43 Undang-undang Hak Cipta Indonesia.
Video game modification or modding is an act of modifying video games through computer programs with software that exists outside the video game itself. In the construction of copyright law, video game modification is then an act of duplication, alteration, transformation, adaptation, and creation of derivative works from a work already made before, namely the original video game itself. Therefore, modding activities can be indicated as an infringement of copyright. The purpose of this study is to analyze how the protection of video games and video game modifications in copyright law in Indonesia and the United States. The research method is normative juridical form of research using secondary data and literature study as the main material when conducting research. The research will focus on a pre-existing case in the United States, namely Micro Star v. Formgen Inc. In this case, it can then be concluded that the modification of video games can be indicated as an infringement of copyright but it is permissible if it meets the criteria contained in the fair use and limitation norms of article 43 of the Indonesian Copyright Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jeremy Sebastian Abimanyu
"Skripsi ini membahas tentang karya seni tato dan kedudukannya dalam hukum hak cipta dengan membandingkan pengaturan dan penegakan hukum hak cipta di Amerika Serikat dan Indonesia. Tato telah menjadi bentuk seni yang semakin populer dan diakui secara luas di berbagai budaya bermasyarakat di seluruh dunia. Tato merupakan sebuah karya seni, sebuah karya seni sudah sepatutnya dilindungi oleh hak cipta. Namun yang menjadi permasalahan, dalam menentukan kedudukan hak ciptanya, tidak semudah dalam halnya karya seni lainnya. Karya seni tato merupakan karya seni yang dalam perwujudannya terfiksasi dalam tubuh individu orang lain. Dengan demikian, tentunya hal ini dapat berpotensi melanggar hak-hak yang dimiliki oleh individu yang ditato. Meskipun di Indonesia belum ditemukan kasus hak cipta pada karya seni tato, di Amerika Serikat sendiri telah muncul banyak kasus hak cipta yang berkaitan dengan karya seni tato.Penelitian ini dilakukan untuk menelaah dan memahami bagaimana kedudukan hukum hak cipta pada karya seni tato dengan turut membandingkan pengaturan dan penegakan hukum yang dipraktikkan di Amerika Serikat dengan turut mengkaji potensi yang dapat muncul dari penegakan hak cipta atas karya seni tato dan memecahkannya dengan solusi yang relevan. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan, yang mengkaji berbagai aspek hukum dari sumber kepustakaan. Amerika Serikat dipilih sebagai negara pembanding untuk menganalisis masalah yang dianggap penting. Metode kualitatif digunakan untuk mengumpulkan dan mengolah data secara alamiah, dengan analisis yuridis menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan terkait penciptaan oleh lebih dari satu orang berbeda antara Indonesia dan Amerika Serikat. Pengecualian terjadi pada karya seni tato yang desainnya telah sepenuhnya dibuat oleh seniman tato dari awal atau pada flash tattoo. Dalam kasus ini, seniman tato menjadi satu-satunya pencipta karya tersebut. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan membuat perjanjian tertulis yang memungkinkan beberapa pelaksanaan hak moral, seperti penghapusan, modifikasi, distorsi, dan sebagainya.
This thesis examines the art of tattoo and its position within copyright law by comparing the regulation and enforcement of copyright law in the United States of America and Indonesia. Tattoos have become an increasingly popular and widely recognized art form in various societal cultures around the world. A tattoo is considered a work of art, and as such, should be protected by copyright. However, determining the position of copyright for tattoos is not as simple as in the case of other art forms. Tattoos are works of art that are fixed on the bodies of individuals, which can potentially infringe upon the rights of the individuals who are tattooed. This research aims to examine and understand the legal status of copyright for tattoos by comparing the regulation and enforcement practices in the United States of America, while also exploring potential issues that may arise from the enforcement of copyright on tattoo artworks and proposing relevant solutions. This thesis utilizes a normative juridical research method with a comparative approach, analyzing various aspects of the law through literature sources. The United States of America was selected as a comparative country to analyze important issues. Qualitative methods are employed to collect and process data naturally, along with juridical analysis using primary and secondary legal materials. Based on the research conducted, it can be concluded that there are differences in the regulations concerning the creation of tattoos by more than one person between Indonesia and the United States. The position of copyright, as established by the U.S. Copyright Act, provides rights to individuals who are tattooed, thus creating fair legal certainty by considering the interests of both tattoo artists and the individuals being tattooed. However, there is one exception, namely in the case of tattoo art where the design has been entirely created by the tattoo artist from the beginning or with flash tattoos. In this scenario, the tattoo artist is the sole creator. However, a possible solution is to establish a written agreement that allows for some moral rights implementation, such as removal, modification, distortion, etc."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gilderoy Lihardo Immanuel
"Perkembangan teknologi yang pesat menghasilkan pertukaran informasi yang semakin mudah tiap hari nya, hal ini tidak terlepas dengan kemudahan untuk mengakses karya cipta melalui akses internet. Kemudahan ini tidak membatasi terjadi nya pelanggaran terhadap karya cipta orang lain, dimana salah satu nya merupakan Tindakan pelanggaran terhadap font dan typeface yang kerap terjadi. Pengaturan terhadap font dan typeface merupakan hal yang penting dikarenakan pengaturan merupakan satu-satu nya metode perlindungan karena belum ada nya sistem perlindungan yang dapat melindungi font dan typeface dari tindakan pelanggaran. Untuk itu, penelitian ini akan menjelaskan terkait font dan typeface beserta pelanggaran yang dapat terjadi kepada font dan typeface. Selain itu penelitian ini juga akan menganalisis terkait pengaturan terhadap font dan typeface di Indonesia dan akan dilakukan perbandingan dengan peraturan di Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber penelitian dan data yang didapatkan melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pengaturan terkait font dan typeface belum diatur secara eksplisit pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (“UUHC”) dan dirasa perlu nya pengaturan lebih lanjut terkait aspek-aspek pada font dan typeface yang lebih medetail agar tercipta nya kepastian hukum. Sehingga, Indonesia dapat membuat pengaturan yang sesuai dengan kondisi di Indonesia dengan mengadopsi pengaturan yang telah berlaku di Amerika Serikat dan Inggris.
The rapid development of technology has resulted in an easier exchange of information every day, this is inseparable from the ease of accessing copyrighted works through internet access. This convenience does not limit the occurrence of violations of other people's copyrighted works, where one of them is a violation of fonts and typefaces that often occur. Regulations on font and typeface is important because those regulations is the only protection method available, because there is no protection system that can protect fonts and typefaces from violations. For this reason, this study will explain fonts and typefaces along with violations that can occur to fonts and typefaces. In addition, this study will also analyze the regulations related to fonts and typefaces in Indonesia and will be compared with regulations in the United States and United Kingdom. The research will be carried out using research sources and data obtained through literature studies. The conclusion that can be drawn is that the regulations related to fonts and typefaces have not been explicitly regulated in Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ("UUHC") and it is felt that further arrangements are needed regarding aspects of fonts and typefaces that are more detailed in order to create legal certainty. Thus, Indonesia can make arrangements that are in accordance with the conditions in Indonesia by adopting the arrangements that have been in force in the United States and the United Kingdom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jasmina Salma Dwita Andjani
"Perkembangan teknologi yang semakin pesat melahirkan suatu fenomena yang memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan industri mode. Kemunculan fast-fashion yang kini telah mendominasi industri mode di Amerika, bahkan di seluruh dunia memungkinkan perusahaan untuk memproduksi pakaian kekinian dengan harga terjangkau, serta siklus produksi yang cepat sehingga model bisnis tersebut sangatlah menguntungkan dan diminati. Namun, di sisi lain popularitas model bisnis fast-fashion ini juga menyebabkan peningkatan kasus pelanggaran hak cipta karena dalam praktiknya, perusahan fast-fashion menggunakan tren yang diobservasi melalui peragaan busana desainer terkenal untuk mendesain produknya. Hal tersebut tentunya dapat merugikan para perancang busana tersebut sebagai pemilik asli dari karya ciptanya, maupun perusahaan-perusahaan yang terdapat dalam industri mode lainnya, seperti perusahaan desain tekstil karena biasanya desain yang ditiru, dilakukan tanpa izin sehingga para desainer ternama dan label independen seringkali menghadapi isu hukum hak cipta. Oleh karena itu, untuk menjaga integritas hak kekayaan intelektual dan mendorong perkembangan yang berkelanjutan dalam industri mode, penting untuk mengetahui penerapan dan perlindungan hak cipta motif kain terhadap fast-fashion di Amerika Serikat dan Indonesia dengan harapan upaya kreatif dan inovasi para kreator dapat terlindungi dan dihargai, sementara konsumen tetap dapat menikmati pilihan produk fashion yang inovatif dan berkualitas.
The rapid development of technology has given rise to a phenomenon with significant impacts on the fashion industry. The emergence of fast-fashion, which now dominates the fashion industry in America and worldwide, enables companies to produce trendy and affordable clothing with a fast production cycle, making this business model highly profitable and popular. However, on the other hand, the popularity of fast-fashion has also led to an increase in copyright infringement cases. In practice, fast-fashion companies often use trends observed in famous designer fashion shows to design their products. This practice can be detrimental to both the original fashion designers, who are the rightful owners of their creative works, and other companies in the fashion industry, such as textile design companies, as the imitation of designs is often done without permission, leading to legal copyright issues for renowned designers and independent labels. Therefore, to safeguard the integrity of intellectual property rights and promote sustainable development in the fashion industry, it is essential to understand the application and protection of copyright for fabric designs in the context of fast-fashion in the United States and Indonesia. This is done in the hope that the creative efforts and innovations of designers can be protected and valued, while consumers can continue to enjoy innovative and high-quality fashion choices."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhamad Adriel Devanza
"Dengan berkembangnya penerapan Hukum Kekayaan Intelektual dalam pasar, serta meningkatnya perdagangan internasional, muncul dua konsep hukum dalam rezim HKI, yaitu Exhaustion yang merupakan hilangnya hak distribusi barang terkait HKI, serta Impor Paralel, yang merupakan tindakan mengimpor barang terkait HKI masuk ke dalam sebuah negara yang mana HKI barang tersebut telah terdaftar. Terdapat dua bentuk prinsip Exhaustion; National Exhaustion dimana hak distribusi barang hanya hilang di dalam negeri, yang mana jika dilakukan penjualan dari luar negeri maka hak distribusi masih ada dan impor paralel dapat dilarang, dan International Exhaustion dimana hak distribusi barang dimanapun barang dijual dan Impor Paralel diperbolehkan. Dalam Penelitian ini Penulis akan mengkaji prinsip Exhaustion dan Impor Paralel yang dianut oleh rezim Hak Cipta, Hak Merek, dan Hak Paten di Indonesia, hasil penelitian yang ditemukan adalah terdapat kekosongan hukum prinsip Exhaustion serta pengaturan Impor Paralel dalam rezim Hak Cipta melalui UU 28/2014 dan Hak Merek melalui UU 20 2016. Dalam konteks UU Hak Paten secara eksplisit melarang Impor Paralel melalui ketentuan Pasal 160 ayat (1) dengan pengecualian obat-obatan, tetapi masih terdapat ambiguitas prinsip Exhaustion yang dianut apa dalam rezim Paten. Atas berbagai kekosongan hukum tersebut Penulis membandingkan ketentuan Hukum Indonesia dengan Hukum Amerika Serikat dalam ranah Intellectual Property bagi Hak Merek, Hak Paten, dan Hak Cipta untuk menemukan metode terbaik untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Hasil perbandingan dan analisa penulis adalah diperlukanya ketentuan Exhaustion dan Impor Paralel yang tegas dalam Hak Cipta Serta Hak Merek melalui penjelasan yang spesifik kapan terpicunya Exhaustion, dalam konteks Hak Merek juga dapat dicontoh ketentuan Lever Rule AS, bagi UU Hak Paten perlu kejelasan mengenai doktrin Exhaustion untuk memberi kejelasan mengenai kebolehan Post-sale Restriction atau perjanjian pengendalian distribusi setelah penjualan.
With the development of the application of Intellectual Property Law in the global market, as well as the increase in international trade, two legal concepts have emerged in the IPR regime, namely Exhaustion, which is the loss of distribution rights of IPR-related goods, and Parallel Importation, which is the act of importing IPR-related goods into a country where the IPR of the goods has been registered. There are two forms of the Exhaustion principle; National Exhaustion where the right to distribution of goods is only lost in the country of origin, which if sales are made from abroad then the distribution rights still exist and parallel imports can be prohibited, and International Exhaustion where the right to distribution of goods wherever the goods are sold and Parallel Imports are allowed. In this study, the author will examine how the principle of Exhaustion and Parallel Imports adopted by the Copyright, Trademark Rights, and Patent Rights regimes in Indonesia, the results of the research found are that there is a legal vacuum of the Exhaustion principle and Parallel Import arrangements in the Copyright regime through Law No. 28 of 2014 and Trademark Rights through Law No. 20 of 2016. In the context of the Patent Law, it explicitly prohibits Parallel Imports through the provisions of Article 160 paragraph (1) with the exception of medicines, but there is still ambiguity as to what Exhaustion principle is adopted in the Patent regime. For the various legal lacunae, the author compares the provisions of Indonesian Law with United States Law in the realm of Intellectual Property for Trademark Rights, Patent Rights, and Copyright to find the best method to fill the legal lacunae. The results of the comparison and the author's analysis are the need for strict Exhaustion and Parallel Import provisions in Copyright and Trademark Rights through a specific explanation of when Exhaustion is triggered, in the context of Trademark Rights can also be emulated by the provisions of the US Lever Rule, for the Patent Rights Act it is necessary to clarify the doctrine of Exhaustion to provide clarity on the permissibility of Post-sale Restriction or distribution control agreements after sales. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alvin Prima Ramadani
"Bootlegging, fenomena dalam industri musik yang merupakan pelanggaran Hak Cipta, adalah aktivitas produksi dan distribusi rekaman musik tidak resmi. Rekaman ini biasanya mengandung materi atau karya yang belum pernah dirilis resmi oleh pencipta, menjadikannya sulit untuk dideteksi dan diidentifikasi sebagai pelanggaran. Transformasi ini menjadi semakin rumit dalam era digital, dimana Bootlegging menjadi dominan dalam format digital dan distribusinya merajalela melalui platform digital seperti YouTube dan Soundcloud. Kompleksitas ini diperparah oleh tantangan dalam identifikasi pelanggaran, yang timbul karena materi dalam produk bootleg seringkali belum resmi dirilis dan tidak terdaftar dalam database manapun. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder sebagai metode, berfokus pada analisis regulasi dan penerapan perlindungan hukum terhadap Bootlegging di bawah hukum hak cipta di Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian ini mencoba memahami dan mendalami perbedaan serta kesamaan antara kedua sistem hukum dalam mengatur dan menangani isu Bootlegging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah melangkah jauh dalam mengatasi isu ini dengan mengadopsi Anti-Bootlegging Act dan Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Sementara itu, Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai Bootlegging, meskipun telah ada beberapa peraturan yang mencakup pelanggaran Hak Cipta secara umum. Walaupun kedua negara ini memiliki kerangka hukum yang berlaku untuk masalah ini, penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur penanganan Bootlegging di Indonesia masih memerlukan peningkatan, terutama di era digital. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pandangan baru tentang pengaturan dan penanganan Bootlegging di era digital, serta memberikan rekomendasi untuk peningkatan kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia. Menyoroti signifikansi dan implikasi dari fenomena Bootlegging dalam konteks hukum hak cipta Indonesia dan Amerika Serikat, penelitian ini memfokuskan pada perlunya peningkatan dalam kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia.
Bootlegging, an event in the musical realm signifying a breach of Copyright Law, involves the creation and distribution of unofficial music recordings. Frequently, these recordings encapsulate materials or compositions not formally released by their creators, making them elusive for infringement detection and identification. This challenge escalates in the digital era, where Bootlegging predominantly occurs in digital form, and its widespread dissemination transpires via digital platforms such as YouTube and Soundcloud. The intricacy is intensified by hurdles in infringement identification, mainly because the content within bootleg products often remains unreleased officially and unregistered in any database. This research, conducted via a normative juridical approach and leveraging secondary data, underscores the investigation of regulations and the implementation of legal protection against Bootlegging within the ambit of copyright legislation in Indonesia and the United States. The research endeavors to understand and examine the disparities and similarities between the two legal structures concerning the management and resolution of the Bootlegging issue. The research outcome suggests that the United States has made significant strides in addressing this issue by enacting the Anti-Bootlegging Act and the Digital Millennium Copyright Act (DMCA), which facilitate an efficacious takedown procedure. Conversely, Indonesia is yet to formulate specific regulations regarding Bootlegging, despite the presence of several regulations encapsulating general Copyright infringements. Despite both nations having relevant legal frameworks for this issue, the study highlights that the procedural handling of Bootlegging in Indonesia demands enhancement, predominantly in the digital era. This study seeks to proffer a novel viewpoint on the regulation and management of Bootlegging in the digital era, in addition to suggesting recommendations for enhancing policies and legal enforcement in Indonesia. By emphasizing the significance and implications of the Bootlegging phenomenon in relation to the copyright law context of Indonesia and the United States, the research underscores the need for advancement in policy and legal enforcement, particularly in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ayu Rahmatini Lukitosari
"Hak Kekayaan Intelektual HKI dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan kebendaan atas suatu pembiayaan. Di Indonesia, ketentuan hukum yang mengatur hal tersebut, khususnya yang terkait dengan penjaminan hak cipta, telah diatur dalam pasal 16 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Oleh karena penjaminan atas hak cipta ini merupakan suatu pengaturan yang baru di Indonesia, penerapannya akan menimbulkan beberapa kendala, baik dari segi normatif maupun segi praktis. Sebagai perbandingan, HKI yang dijadikan objek jaminan telah berkembang dengan pesat di Amerika Serikat, sejalan dengan perkembangan industri kreatif negara tersebut. Amerika Serikat telah membuat suatu peraturan hukum yang cukup baik dalam rangka mendukung diterimanya hak cipta sebagai salah satu agunan, yang diwujudkan dalam aturan Copyright Act dan Article Number 9 Universal Commercial Code Article 9 UCC . Oleh sebab itu, tesis ini akan membahas tentang bagaimana cara menjadikan hak cipta sebagai jaminan utang serta bagaimana cara mengatasi kendala-kendala terkait hal tersebut dengan mengacu pada ketentuan hukum dan praktik penjaminan hak cipta yang telah berlangsung di Amerika Serikat. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian komparatif serta deskriptif. Selain itu dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian ini membahas mengenai hal-hal yang perlu diatur dalam rangka menjadikan hak cipta sebagai jaminan utang di Indonesia, yakni menunjuk secara tegas dalam undang-undang lembaga jaminan yang dapat menerima penjaminan hak cipta, pengaturan dari sektor perbankan, menentukan dokumen-dokumen yang dijadikan alas hukum atas terjadinya pembiayaan dengan agunan hak cipta, membuat pedoman penilaian bagi lembaga penilai appraisal atas hak cipta yang dijaminkan, mengatur lebih lanjut tentang perlunya pendaftaran hak cipta apabila ingin dijadikan agunan, dan membuat Peraturan Pelaksana atas Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 serta peraturan-peraturan terkait lainnya.
Intellectual Property IP assets can be used for collateral or transformed into securities for loans. In Indonesia, the legal principles governing those matter, especially in accordance with copyright, is regulated by article 16 paragraph 3 and 4 Law Number 28 of 2014 on Copyright. Since copyright securitization is a new legal institution in Indonesia, its application may spark problems at the normative and practical levels. In contrast, IP securitization has been growing rapidly as much as the creative industry in the United States. United States had regulated a well developed legal framework to support the acceptance of copyright as a collateral by creating the Copyright Act in accordance with Article Number 9 Universal Commercial Code Article 9 UCC . In order to overcome those problems, therefore this research aims to determine how copyright can be made as the object of security interest and how to overcome the difficulties that may arise while accepting the copyright as a collateral in Indonesia by looking up into the regulation frameworks and its practice that has been developed in the United States. This research is using a juridical normative method as the research method with comparative and also descriptive research typology. The method of data analysis in this research is using qualitative approach. As a result, there are several things Indonesia need to improve in order to accept copyright as collateral, which can be concluded as follows pointing out the institution which is explicitly designated by law to accept copyright as part of security interest, creating a regulation in banking sector, determining the documents used as the legal basis for the occurrence of secured transaction with copyright as a collateral, creating a standardization of assessment for Appraisal to value the copyright, requiring the registration of works, and creating an implemented regulation on Law Number 28 of 2014 and any others related regulations that may occur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49343
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Radifan Daffa Raharjo
"Perkembangan internet mendorong perubahan penggunaan teknologi, seperti teknologi untuk memutar musik yang sekarang tidak memerlukan alat khusus dengan menggunakan internet, seperti melalui Youtube. Pemutaran musik melalui internet menimbulkan cara pembajakan baru dengan memanfaatkan internet, tepatnya menggunakan illegal online music converter yang dapat mengancam hak cipta suatu karya musik. Tulisan ini berupaya untuk menelusuri lebih lanjut bagaimana peraturan perundang-undangan dan peran pemerintah di Indonesia dalam melindungi hak cipta atas suatu karya musik yang berada di Youtube dari ancaman pembajakan melalui website illegal online music converter dengan membandingkan peraturan perundang-undangan serta peran pemerintah milik Amerika Serikat. Selain itu, tulisan ini akan menganalisa peran dan tanggung jawab Penyelenggara Sistem Elektronik. Hasil analisa dalam penelitian ini menunjukkan adanya beban tanggung jawab yang dimiliki Youtube dalam mencegah dan menanggulangi pembajakan.
The development of the internet has encouraged changes in the use of technology, such as technology for playing music which now does not require special equipment using the internet, such as via YouTube. Playing music via the internet creates a new method of piracy by utilizing the internet, specifically using illegal online music converters which can threaten the copyright of a musical work. This article attempts to explore further how the laws and regulations and the role of the government in Indonesia protect copyright for musical works on YouTube from the threat of piracy through illegal online music converter websites by measuring the laws and regulations and the role of the United States government. In addition, this article will analyze the roles and responsibilities of Electronic System Operators. The results of the analysis in this research show that there is a burden of responsibility that YouTube has in preventing and overcoming piracy. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library