Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101610 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aulia Rahman AK
"Penegakan Hukum Pelanggaran HAM berat di Indonesia terdiri dari mekanisme yudisial dan non yudisial. Pelanggaran HAM berat di Paniai memberikan ancaman diskursus pengetahuan HAM dewasa ini. Terlebih implikasi Penegakan Hukum HAM terfokus pada para korban yang tidak terpenuhi haknya. Konsep keadilan reparasi merupakan rangkaian dari konsep keadilan transisi yang dirancang untuk menjawab pertanggungjawaban negara kepada korban Pelanggaran HAM berat yang tercantum dalam hukum nasional dan hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode hukum penelitian doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hak reparasi atas korban banyak mengalami dialektik transisi kebijakan di berbagai rezim, khususnya di rezim dewasa ini yang menekankan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial sehingga terdapat ketidaksesuaian antara konsep keadilan reparasi maupun keadilan transisional dalam penerapannya di Indonesia saat ini. Oleh karena demikian, perlu adanya rekonsiliasi dari negara sehingga pemenuhan hak reparasi bagi korban pelanggaran HAM di Paniai maupun masa lampau dapat terealisasikan secara maksimal sesuai dengan kajian komprehensif HAM.

The enforcement of gross human rights violations in Indonesia consists of judicial and non-judicial mechanisms. Gross human rights violations in Paniai pose a threat to the current human rights discourse. Moreover, the implications of human rights law enforcement are focused on victims whose rights are not fulfilled. The concept of reparative justice is part of the broader concept of transitional justice, designed to address state accountability to victims of gross human rights violations, as stipulated in national and international law. This research uses doctrinal legal research methods with legislative and conceptual approaches. The results of this study show that the reparation rights for victims has undergone a dialectic of policy transitions across various regimes, particularly in the current regime, which emphasizes the resolution of past gross human rights violations through non-judicial mechanisms. This results in discrepancies between the concepts of reparative justice and transitional justice in their implementation in Indonesia today. Therefore, reconciliation from the state is necessary so that the fulfillment of the right to reparations for victims of human rights violations in Paniai and the past can be maximized in accordance with a comprehensive human rights review."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Sari Amran
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemenuhan hak reparasi bagi korban Peristiwa Talangsari 1989 untuk memperkuat ketahanan sosial serta implementasi sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak reparasi bagi korban Peristiwa Talangsari 1989. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan metode wawancara dan studi pustaka. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pemenuhan hak reparasi yang dapat memperkuat ketahanan sosial diantaranya adalah reparasi materiil dan reparasi secara simbolik. Selain itu, pemenuhan hak atas kebenaran juga diperlukan untuk menciptakan kapasitas transformatif dalam ketahanan sosial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hingga saat ini, implementasi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah memberikan dampak positif bagi korban Peristiwa Talangsari 1989. Meskipun demikian, terdapat beberapa kelemahan dalam kebijakan yang telah diimplementasikan. Sehingga, diperlukan suatu alternatif kebijakan untuk mengoptimalkan pemenuhan hak reparasi bagi korban Peristiwa Talangsari 1989 dan korban dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia untuk memperkuat ketahanan sosial.

This research aims to analyze the fulfillment of the right to reparation for victims of the 1989 Talangsari Tragedy to strengthen social resilience and the implementation of synchronization of the policies taken by Central Government and the policies taken by Local Government in the fulfillment of the right to reparation for victims of the 1989 Talangsari Tragedy. The writer used qualitative methods such as interviews and literature review. This research shows that the fulfillment of the right to reparation that is able to strengthen social resilience is material reparations and symbolic reparations. Moreover, the fulfillment of the right to the truth is needed to create transformative capacities in social resilience. This research also shows that until now, some policies that are implemented by Central Government and Local Government have made positive impacts on the victims of the 1989 Talangsari Tragedy. Nevertheless, there are some flaws in the policies that have been conducted. Hence, an alternative policy is necessary to optimize the fulfillment of the right to reparation for not only victims of the 1989 Talangsari Tragedy, but also the victims of other alleged gross violations of human rights in Indonesia in order to strengthen social resilience."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik Dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Febrianto Kurniawan
"Pembahasan dalam tesis ini adalah bahwa putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan menciptakan peluang bagi penegak hukum melakukan pelanggaran HAM. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan terlibat, wawancara mendalam dan kajian dokumen.
Hasil penelitian menunjukan:
1) Salah satu pertimbangan MK mengeluarkan putusan No. 21/PUU-XII/2014 adalah penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap HAM, maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan;
2) Keluarnya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 berdampak pada penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena institusi Kepolisian, kejaksaan dan kehakiman merupakan institusi yang paling sibuk menerima aneka gugatan praperadilan dengan berpedoman pada perluasan enam objek praperadilan berdasarkan putusan MK tersebut;
3) Dampak putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terhadap kompetensi penyidik Polri adalah dalam memutuskan penetapan status tersangka, penyidik dituntut lebih profesional dan lebih mampu menjalankan ketentuan dalam KUHAP dengan baik dan benar;
4) Dampak putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 terhadap Penegakan HAM di Indonesia adalah, dalam menetapkan status tersangka, penyidik harus melakukannya secara hati-hati, karena penetapan status tersangka tanpa dua alat bukti, tanpa ada konfrontasi dengan calon tersangka, dan kesahihan cara memperolah alat bukti, merupakan tindakan sewenang-wenang yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Implikasi dari kajian tesis ini adalah: (a) MA perlu mengeluarkan PERMA tentang batasan ruang lingkup Praperadilan; (b) DPR dan Pemerintah perlu segera merevisi KUHAP sehingga sesuai dengan tuntutan persoalan penegakan hukum pidana yang semakin kompleks dan multidimensi; (c) Perlunya melakukan peningkatan kompetensi para penyidik Polri dengan cara pelaksanaan sertifikasi penyidik tipikor berdasarkan kemampuan pengetahuan dan teknis penyidikan yang harus dimiliki; (d) Perlunya penyusunan SOP oleh Dit Tipikor Bareskrim Polri yang mengatur teknis dan administrasi penetapan tersangka setelah terdapat perluasan objek peradilan sebagaimana dalam putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tentang Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan.

This thesis discussed about the decision MK No. 21/PUU-XII/2014 on the provision of suspects as an object pretrial create an opportunity for law enforcement do violations of human rights. Research used is qualitative research. Data collection is conducted through the observation involved, in-depth interviews and study of documents.
The research shows:
1) One of the consideration MK issued the ruling No. 21/PUU-XII/2014 is determination the suspect is part process investigation that is constitute deprivation of human rights, then it should the determination of the suspect by investigator is object which may be requested for protection through ikhtiar law pranata pretrial;
2) The emergence of the decision of the MK No. 21/PUU-XII/2014 impact on law enforcement in criminal justice systems in indonesia, because police institutions, attorney and judiciary is the institutions that the most busy received various a lawsuit pretrial with reference at expanding six object pretrial based on the judgment the constitutional court mentioned above;
3) The impact of the decision MK No. 21/PUU-XII/2014 to competence Polri investigators is in deciding the determination of status suspects, investigators are required more professional and more are able to run the provisions of kuhap well and correctly;
4) The impact of the decision the MK Nomor 21/PUU-XII/2014 towards enforcement of human rights in indonesia is , in setting status suspects , investigators have to do it carefully , because the determination of status suspects without two tools evidence , without any confrontation with the suspects , and kesahihan way to get instrument evidence , is a arbitrary who can be described as a form of violations of human rights.
Implication this thesis discussion contains: (a) MA need to spend PERMA about the limitations of the scope of Pretrial; (b) Parliament and the government needs to revise the KUHAP so that it meets the demands of criminal law enforcement problems are increasingly complex and multidimensional; (c) The need to increase the competence of the Polri investigator in a way the implementation of the certification investigator Tipikor is based on knowledge and technical capabilities investigations that should be owned; (d) The need for the preparation of SOP by direktorat tipikor bareskrim Polri which govern about technical and administrative of determination of the suspect once there is expansion the object of pretrial as in the ruling of MK No. 21/PUU-XII/2014 concerning Suspect As Object Pretrial Stipulation.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Marina Mary
"Aceh, yang terletak di ujung utara Sumatera, dulunya dikenal sebagai Serambi Mekkah dan merupakan provinsi yang sangat unik dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Saat ini, Aceh masih merupakan salah satu provinsi yang paling konservatif dan religius di Indonesia. Peraturan perundang-undangan nasional, melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, memungkinkan Aceh, sebagai daerah otonom khusus, untuk menegakkan hukum syariah, yang berasal dari ajaran agama Islam, khususnya Al-Quran dan Hadis. Pasal 125 Undang-Undang Pemerintahan Aceh menetapkan bahwa  pelaksanaan hukum syariah di Aceh harus dilakukan melalui pemberlakuan Qanun. Qanun adalah peraturan Islam, setara dengan Peraturan Daerah (Perda) namun isi Qanun harus didasarkan pada Islam dan tidak bertentangan dengan hukum syariah. Qanun terakhir, yang merupakan konsolidasi dari Qanun-qanun sebelumnya adalah Hukum Pidana Islam, yang diperkenalkan melalui Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Peraturan tersebut secara resmi disahkan pada bulan Oktober dan mulai berlaku pada 23 Oktober 2015 dan sejak diperkenalkan di Aceh, implementasinya telah melahirkan kontroversi di masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, terutama karena adanya legitimasi hukuman badan yaitu hukuman cambuk. Di sisi lain, sebagai anggota PBB, Indonesia  telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, serta Konvensi Hak-hak Anak. Lebih lanjut lagi, dalam sistem hukum positif di Indonesia, KUHP tidak mengenal jenis hukuman cambuk.

Aceh distincts itself as a very unique province compared to other provinces in Indonesia. Today, Aceh is still among Indonesia’s most religiously conservative and observant provinces.  The national legislation, through Law Number 11 of 2006 concerning The Government of Aceh, allows Aceh, as a special autonomous region to enforce the syariah (Islamic) law, which derives from the religious precept of Islam, particularly the Quran and the Hadith.  Article 125 of the Law of the Government of Aceh stipulates that the implementation of the syariah law in Aceh must be done through the enactment of a Qanun. Qanun is an Islamic bylaw, equivalent to the  Regional Regulation (Perda) however the content of the Qanun must be based on Islam and shall not contradict with the syariah law. The latest Qanun, which is the consolidation of the three previous Qanun was the Islamic Criminal Law, introduced through Qanun Number 6 of 2014 concerning The Jinayat Law (Qanun Jinayat). The bylaw was formally enacted in October and entered into effect in 23 October 2015 and since its introduction in Aceh, its implementation has spawned controversy in the community, both at the local (Aceh) and national level including capturing global attention, particularly due to the legitimation of corporal punishment in Indonesia, namely caning. In addition to such, as a UN Member, Indonesia has ratified the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment, the Covenant on Civil and Political Rights, the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women and the Convention on the Rights of the Child. On the other hand, Indonesia's criminal system (KUHP) does not recognize corporal punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rifka Kholilah
"Kudeta Militer yang terjadi di Myanmar yang dimulai sejak bulan Februari 2021, menjadi perhatian berbagai negara internasional termasuk organisasi regional Asia tenggara yaitu ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). Kudeta militer ini terjadi karena tidak terimanya pihak militer atas kemenangan NLD (National League for Democracy) pada pemilu yang diadakan pada bulan November 2020. Adanya kudeta militer membuat masyarakat Myanmar tidak terima dan menginginkan kembalinya demokrasi. Masyarakat Myanmar melakukan aksi protes yang mana pihak militer melawannya dengan tindakan koersif hingga terjadi berbagai pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) seperti penculikan, penembakan dan sebagainya. Pelanggaran HAM yang terjadi ini menimmbulkan banyak korban jiwa dan keadaan Myanmar yang semakin tidak kondusif sehingga menjadi sebuah krisis kemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional merasa prihatin dan mengambil peran untuk membantu Myanmar mencari solusi untuk mengatasi kudeta militer dan mengembalikan Myanmar ke arah demokrasi. Dalam menganalisis peran ASEAN, penulis menggunakan konsep flexible engangement atau constructive intervention dan responsibility to protect. Penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data yang diperoleh dari buku, jurnal, skripsi, artikel, berita, perjanjian atau piagam internasional dan situs – situs online. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelembagaan untuk melihat peran lembaga regional yaitu ASEAN dalam membantu Myanmar mengatasi konflik HAM pasca kudeta militer. ASEAN menjalankan perannya dengan mengutamakan keharmonisan melalui cara damai untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Hal tersebut diimplementasikan dengan melakukan berbagai pertemuan formal dan informal hingga menghasilkan lima poin konsensus sebagai rekomendasi kepada Myanmar.

The military coup that took place in Myanmar, which began in February 2021, has attracted the attention of various international countries, including the Southeast Asian regional organization, namely ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). This military coup occurred because the military did not accept the victory of the NLD (National League for Democracy) in the elections held in November 2020. The military coup made the people of Myanmar not accept and want the return of democracy. The people of Myanmar staged a protest which the military fought with coercive measures that resulted in various human rights violations such as kidnappings, shootings and so on. The human rights violations that have occurred have caused many casualties and Myanmar's increasingly unfavorable situation has become an increasingly worrying humanitarian crisis. Therefore, ASEAN as a regional organization is concerned and takes a role to help Myanmar find a solution to overcome the military coup and return Myanmar to democracy. In analyzing the role of ASEAN, the author uses the concept of flexible engagement or constructive intervention and responsibility to protect. In this study, the authors used qualitative methods using data obtained from books, journals, theses, articles, news, international treaties or charters and online sites. The approach used in this research is institutional to see the role of regional institutions, namely ASEAN in helping Myanmar overcome human rights conflicts after the military coup. ASEAN carries out its role by prioritizing harmony through peaceful means to resolve humanitarian problems that occur in Myanmar. This was implemented by holding various formal and informal meetings to produce five consensus points as recommendations to Myanmar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Melani
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Meskipun para pelaku atau terdakwa dapat diadili dan dijatuhi hukuman, namun tidak ada satu pun putusan pengadilan HAM yang memberikan hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban.
Penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat cenderung berpijak pada model pendakwaan (judisial), padahal dimungkinkan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme lainnya. Beberapa negara bahkan sudah menerapkan mekanisme yang disebut sebagai keadilan transisional untuk menghadapi pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya Pelanggaran HAM Berat. Salah satunya melalui mekanisme kebenaran dan rekonsiliasi.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Untuk itu, seiring dengan rencana pemerintah dan DPR RI untuk mengajukan kembali rancangan undang-undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Keadilan (KKR), diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara 2 (dua) orang narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis isi.

Gross violation of human rights could be categorized as extraordinary crime which cause physical and material loss to the victims. Often, the victim is not well protected and fulfilled on their rights which have been assured in rule of law. The issue to be raised in this thesis is How the protection of gross human rights violation victims is in order to fulfill victim rights especially in Timor Timur human rights violation case. Although, the perpretators and the defendant could be trialed and accused, but none of the human rights judgment giving the victims and their families? rights on reparation are including compensation, restitution or rehabilitation.
The settlement of gross violation of human rights cases tends to be following the judicial model where there are other possible mechanisms in handling gross human rights violation. Even, several countries have implemented mechanism which called as transitional justice in handling past human rights violation especially the gross one. One of which is the truth and reconciliation mechanism.
In relation with that, the expected results from this research is suggestion that government could review the current mechanisms used in handling gross human rights violation because our experiences showed that the resolution through trial in handling them always ignoring the victim in fulfilling their right to justice. Therefore, in line with the government and legislative plan to resubmit the Bill on Truth and Justice Commission (TRC), it is expected that government to be more serious and to be more have intention to settle their debts in resolving gross human rights violation cases.
The method used in this research is normative legal-research equipped with material collection technique on law literature study related to gross human rights violation in Indonesia strengthen with the interview on 2 (two) sources. The data collected is based on literature research which will be analyzed based on content analysis.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T 28682
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sigiro, Atnike Nova
"Dua puluh tahun sejak transisi politik Indonesia pada tahun 1998, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru belum dapat diselesaikan. Indonesia menghadapi situasi impunitas, sementara agenda keadilan transisi semakin hilang dari diskursus publik. Disertasi ini meneliti dan menganalisa bagaimana pendekatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial BMP Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK , tidak hanya memperbaiki prosedur dan pelaksanaan kebijakan BMP tetapi juga dapat mendorong kelanjutan agenda keadilan transisi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kualitas pemulihan dari kebijakan BMP ditentukan oleh koherensi internal dan eksternal dari kebijakan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LSM dan Komnas HAM terhadap kebijakan BMP telah menyentuh hal-hal yang menjadi masalah di dalam koherensi kebijakan BMP. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan ilmu kesejahteraan sosial tidak hanya bersifat komplementer terhadap pendekatan hukum dalam memandang korban dan hak-hak korban, melainkan justru memberikan perspektif baru dalam memandang fungsi kelembagaan LPSK dan Komnas HAM sebagai Lembaga Pelayanan Manusia.

Twenty year after Indonesia rsquo;s political transition in 1998, gross human rights violations that occurred during the New Order have not yet being settled. Indonesia is facing impunity, meanwhile the transitional justice agendas are disappearing from public discourse. This dissertation studies and analyses how the advocacy approach, which have been used by Non Governmental Organizations NGOs and the National Human Rights Commission of Indonesia Komnas HAM towards the Medical and Psychosocial Assistance rsquo;s policy BMP of the Victims and Witness Protection Agency LPSK , could not only improve the procedures and the implementation of BMP policy, but could also further drive the transitional justice agendas in Indonesia. This research found that the quality of reparation provided by BMP policy was determined by the internal and external coherence of the policy. Advocacy that were conducted by NGOs and Komnas HAM towards BMP policy have addressed the coherences of BMP policy. This research concludes that social welfare approach is not just a complementary to the legal approach in looking at the victims and the rights they are entitled. Instead, it gives new perspective in looking at the institutional role of LPSK and Komnas HAM as Human Service Organizations HSO ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Evrin Halomoan
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. Meskipun para pelaku telah diadili, namun hasil akhirnya adalah tidak ada kepastian pemberian hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban. Penyelesaian kasuskasus Pelanggaran HAM Berat khususnya dalam peristiwa tanjung priok 1984 cenderung berpijak pada model hukum positif yang kaku dan kurang memperhatikan kepentingan korban, padahal aparatur hukum sejatinya dapat menggunakan kacamata hukum lain demi terwujudnya keadilan substansif.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara terhadap narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis ini.

Gross violation of human rights is an extraordinary crime resulting in both physical and material losses of victims. It is often that the victim doesn't get protection and fulfillment of the rights guaranteed in the legislation. The problems raised in this thesis is How the protection for the victims of gross human rights violations, particularly in the case of human rights violations of Tanjung Priok 1984. Although the perpetrators were sentenced, but the there is no certainty of grant of rights regarding the reparations, such as compensation, restitution or rehabilitation to victims or families of the victims. The adjudication of human rights violations cases, especially on Tanjung Priok 1984 likely rests on the rigid positive law model and put less attention to the interests of victims, where legal apparatus can actually use the other 'legal spectacles' for the realization of substantive justice.
The expected outcome of this study is that the government can review the existing implementation mechanisms associated with the solution of gross human rights violations cases because experience shows the adjudication of gross human rights violations through court will often ignore the victim's rights in obtaining justice. Thus, it is expected that the Government will be more serious and intended to solves all the past gross human rights violations with more emphasis on the importance of the interests of victims.The method used in this study is a normative juridical with collection techniques of legal studies literature related to the victim's right of gross human rights violations in Indonesia, and reinforced by conducting interviews with sources. The data were based on literature review will be analyzed using this analysis.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>