Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162511 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Levi Shevdita Amallya
"Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana laki-laki di salon kecantikan Jakarta Selatan sebagai ranah pink-collar, membangun ruang untuk melakukan gender performativity seperti yang diungkapkan Butler (1990) dalam konteks sosial dan professional. Penelitian sebelumnya menjelaskan bagaimana identitas sosial terbentuk pada pekerja laki-laki di salon, tetapi tidak memberikan pemahaman yang mendalam mengenai penyesuaian perilaku dan sikap mereka setelah identitas tersebut terbentuk. Pendekatan dalam penelitian ini yaitu kualitatif dengan metode wawancara mendalam pada enam pekerja laki-laki yang berprofesi sebagai bagian operasional pada salon kecantikan di Jakarta Selatan, serta mengobservasi lingkungan kerja informan di salon kecantikan. Temuan menunjukkan bahwa pekerja laki-laki tidak sepenuhnya tunduk pada norma femininitas yang tidak tertulis di salon kecantikan, tetapi melakukan negosiasi dan modifikasi identitas maskulin mereka melalui interaksi sosial, pengalaman kerja, serta strategi performatif yang mencakup gaya berpakaian, cara berkomunikasi, dan kedekatan emosional dengan klien. Faktor-faktor seperti riwayat pendidikan, status ekonomi, dan lama bekerja turut memengaruhi kestabilan ekspresi gender mereka. Di tengah tekanan norma hegemonic masculinity, para pekerja mengembangkan cara-cara untuk menjaga identitas maskulin di ruang publik maupun privat, sekaligus memenuhi tuntutan profesional di sektor pink-collar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa identitas gender bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan hasil konstruksi sosial yang terus dinegosiasikan dalam praktik keseharian.

This study explores how men working in beauty salons in South Jakarta, as part of the pink-collar sector, create gender performativity as conceptualized by Butler (1990) within both social and professional contexts. Previous research has explained how the social identity of male salon workers is formed, but has not provided an in-depth understanding of how their behaviors and attitudes are adjusted after that identity is established. This research adopts a qualitative approach, using in-depth interviews with six male workers who serve in operational roles in beauty salons in South Jakarta, and conducting observations of their work environments. The findings show that male workers do not fully conform to the unwritten norms of femininity that dominate beauty salons. Instead, they negotiate and modify their masculine identity through social interactions, work experience, and performative strategies, including their style of dress, communication patterns, and emotional closeness with clients. Factors such as educational background, economic status, and length of employment influence the stability of their gender expression. Amid the pressures of hegemonic masculinity, these workers develop ways to maintain their masculine identity in both public and private spaces, while still meeting the professional demands of the pink-collar sector. This study concludes that gender identity is not fixed, but is a social construction that is continually negotiated in daily practice."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Fadila Muhammad
"Pengembangan Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral pertama dan terbesar di Indonesia diproyeksikan akan menjadi episentrum baru dari
pergerakan masyarakat di kawasan Jabodetabek. Seiring berkembangnya kawasan Manggarai, kebutuhan masyarakatnya akan turut berkembang
termasuk kebutuhan tersier untuk hobi dan hiburan. Peningkatan minat ini mendorong industri kecantikan untuk terus berinovasi untuk menghadirkan
produk dan pelayanan yang baru. Maka dari itu didirikan Beauty Store & Salon untuk menyalurkan hobi dan kreativitas masyarakat sekitar serta
pengunjung daerah Manggarai.

The development of Manggarai Station to become the first and largest central station in Indonesia is projected to become the new epicenter of
community movement in the Jabodetabek area. As the Manggarai area develops, the needs of its people will also develop, including tertiary
needs for hobbies and entertainment. This increase in interest encourages the beauty industry to continue to innovate to present new products
and services. Therefore, the Beauty Store & Salon was established to channel the hobbies and creativity of the local community and visitors to
the Manggarai area.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Purnaditya Dibyawimala
"Studi ini ingin melihat konstruksi identitas gender pada laki-laki yang bekerja di salon. Studi ini diawali oleh rasa ingin tahu terhadap konstruksi gender pada laki-laki yang bekerja di salon, yang didasari atas pemahaman bahwa dunia salon merupakan bidang kerja yang erat dengan perempuan dan feminimitas. Bagaimana konstruksi identitas yang terjadi ketika seorang laki-laki yang diharapkan memiliki sifat maskulinitas bekerja di salon yang erat dengan feminimitas. Studi ini dilakukan dengan metode kualitatif dan jenis penelitian deskriptif, tekhnik pengumpulan data pada studi kasus ini meliputi wawancara mendalam dan observasi.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa konstruksi identitas gender yang terjadi pada laki-laki pekerja salon, tidak begitu saja dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya, melainkan akumulasi konstruksi identitas gender yang dimiliki oleh individu tersebut. Setiap individu dapat memaknai gender atau sifat maskulin dan feminine yang di dapatnya dari proses interaksi, baik didapatkan dari proses sosialisasi dari keluarga atau lingkungan sosial individu tersebut.
Studi ini juga menunjukan bahwa sifat maskulin dan feminine terdapat pada setiap diri individubaik laki-laki ataupun perempuan. Dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa identitas gender merupakan suatu hal yang cair, sifat maskulin dan feminine dalam diri individu dapat berubah kapan saja ketika individu tersebut memang ingin melakukanya.

This study is looking for the construction of gender identity of men who works inhair salon. it begins from the willingness to know about this construction of gender. Based on the connected with the feminity and females activities. How this constructionof identity happened when man with the masculinity quality works in the female’s place. The study works with the qualitative method and descriptive research, the technic of data collection on this study covers interview and observasion.
The result of this study found that this construction of gender identity, was not only influenced by the by the working place, but also by the accumulation of construction of gender identity that belong to each individual or personal. Each individual could find this gender or masculinity and feminity that they get from the interaction process, as well as the socialization process of their family or the social influence of this individual.
This study also shows that the masculinity and feminity could be found in every single male or female. On this research they found that this gender identity is liquid thing, those masculinity and feminity on each individual could be changed at anytime this person wanted to do it.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S61279
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsan Wardawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki terutama pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki, tersering terdapat diantara jari IV dan V. Penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Penyakit ini sering terjadi pada pekerja yang harus menggunakan sepatu tertutup yang mengakibatkan kondisi kaki menjadi lembab. Beberapa faktor risiko Tinea pedis adalah perilaku higiene pada kaki yang buruk, penggunaan sepatu tertutup yang lama setiap hari, lingkungan kerja panas, pemakaian kaos kaki ketika bekerja dan paparan jamur dermatofit.
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui gambaran model prediksi risiko kejadian tinea pedis pada pekerja laki-laki di lingkungan panas sehingga diharapkan dapat menurunkan angka tinea pedis di pabrik elektronik PT X Tangerang.
Metode penelitian : Penelitian ini memakai pendekatan desain kasus kontrol. Subyek penelitian adalah pekerja laki-laki di daerah produksi dengan lingkungan kerja panas dan menggunakan sepatu safety sebanyak 46 orang. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pemeriksaan fisik secara langsung. Subyek yang mengalami gejala klinis tinea pedis diambil sampel kerokan kulit. Hasil kerokan kulit dibawa ke laboratorium untuk diuji dengan menggunakan pemeriksaan KOH. Variabel terikat yaitu kejadian penyakit tinea pedis. Variabel bebas terdiri dari lingkungan panas, umur, pendidikan, status gizi, masa kerja pengetahuan higiene pada kaki, perilaku higiene pada kaki, kondisi kaos kaki, kaos kaki bau, kaos kaki lembab, kaos kaki kotor, kondisi safety shoes, sepatu safety bau, sepatu safety lembab dan sepatu safety kotor. Hasil penelitian dilakukan analisa univariat, bivariat dan multivariat untuk mengetahui faktor risiko kejadian tinea pedis pada pekerja laki-laki di lingkungan panas.
Hasil : Hasil uji kerokan kulit diperoleh sebanyak 23 orang mengalami tinea pedis. Hasil analisis bivariat dengan Chi square didapatkan 5 variabel yang bermakna yaitu Kondisi sepatu, sepatu bau, sepatu lembab, sepatu kotor dan kondisi kaos kaki dengan p< 0,05 dan satu variabel <0,25 yaitu masa kerja. Dari analisis multivariate uji regresi logistik didapatkan variabel yang nilai p nya < 0.05 adalah sepatu lembab dengan nilai p = 0.002. Dengan perhitungan maximum likelihood didapatkan nilai 0.743. Artinya probabilitas maksimal seorang pekerja dengan sepatu lembab sebesar 74.3% untuk terjadinya tinea pedis.
Kesimpulan: Model prediksi risiko kejadian tinea pedis pada pekerja laki-laki dilingkungan panas adalah sepatu lembab dengan probabilitas maksimal sebesar 74.3% untuk terjadinya tinea pedis

ABSTRACT
Background: Tinea pedis is dermatophytosis on the feet, especially on the between the toes and soles of feet, there are between the most frequent finger IV and V. Commonest cause is Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes and Epidermophyton floccosum.The disease is frequently happens in workers who have to using enclosed shoes which resulted in feet becomes humid conditions. Several risk factors Tinea pedis is the behavior of on the bad foot hygienic, the use of closed shoes which long time each day, the heat working environment, usage socks at work and exposures of dermatophyte fungi. The purpose of this research was to know the description occurrence risk prediction model of tinea pedis on the male employees at heat environments which we expect will reducing the number tinea pedis at electronics factory PT X Tangerang.
Methods: This research used case-control design approaches. Research subjects are male employees at the production area with the heat working environment and using of safety shoes as many as 46 persons. The data collected with interviews and directly of physical examination. Subjects were experiencing a clinical symptoms of tinea pedis be taken samples the skin scrape. The results of the skin scrape brought to the laboratory for been tested by using a KOH examination. Bound variable i.e. occurrence of disease tinea pedis. Independent variable consisted from the heat environmental, ages, educational, the nutritional status of, years of knowledge on the feet hygienic, hygienic behavior of on the feet, condition of socks, smelly socks, socks humid, dirty socks, condition of safety shoes, Safety footwear is stink, humid and is Safety footwear is dirty. The results of research carried unvaried analysis, bivariate and multivariate to determine the risk factors of tinea pedis on the male employees at heat environments.
Results: Result showed from tested skin scrapping is 23 people have tinea pedis . The results of bivariate analysis with Chi square found 5 significant variables, those are conditions of the shoes, stinky shoes, damp shoes, dirty shoes and conditions of socks with p <0.05 and one additional variable <0.25 is working period. The results of multivariate analysis with logistic regression test found p value <0.05 was damp shoes with p = 0.002. The results of calculations maximum likelihood obtained value is 0.743. It means the maximum probability of a worker with damp shoes at 74.3% to the occurrence of tinea pedis.
Conclusion: Risk prediction models of tinea pedis in the male workers at heat working environment is damp shoes with maximum probability of a worker at 74.3% to the occurrence of tinea pedis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlian Rista Aditya
"Prevalensi HIV pada LSL terus meningkat dari tahun ke tahun, 8% pada 2007 menjadi 17% pada 2011. Tingginya prevalensi HIV pada populasi ini disebabkan oleh pratek perilaku seks aman berupa penggunaan kondom secara konsisten yang masih rendah, 32% pada 2007 dan 24% pada 2011.
Tujuan penelitian: Diperolehnya informasi yang mendalam tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat perilaku penggunaan kondom secara konsisten pada pekerja seks laki-laki panti pijat serta situasi dan pola penggunaan kondomnya.
Desain penelitian: Kualitatif menggunakan rapid assessment procedures. Sebanyak 30 informan dipilih melalui "stratified" purposive sampling dari 15 panti pijat laki-laki, diwawancarai secara mendalam menggunakan structured open-ended question, ditranskrip dan matriks dibuat untuk memilah data sesuai tema-tema yang muncul. Observasi situasi di panti pijat dan analisis dokumen dilakukan untuk melengkapi wawancara mendalam. Analisis-interpretasi data dilakukan berdasarkan 5 level Socio Ecological Model.
Hasil: Sebagian besar faktor-faktor pada level individual (pengetahuan, motivasi dan kesiapan menggunakan kondom, niat, keputusan menggunakan kondom, keterampilan, dan selfefficacy) dalam situasi yang memadai dan menjadi faktor pendukung penggunaan kondom secara konsisten. Namun pengaruh faktor-faktor ini tidak langsung dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor interpersonal terutama klien, atasan/manajer panti pijat, teman dan pasangan tetap serta oleh faktor-faktor situasi organisasi panti pijat seperti aturan organisasi, mekanisme rantai suplai distribusi dan promosi kondom, struktur dan budaya organisasi. Faktor-faktor pada level komunitas tidak mendukung tetapi juga tidak menghambat secara langsung karena jejaring, kapasitas, kepemimpinan, partisipasi dan sumber daya komunitas masih embrional dan belum kuat. Faktor-faktor pada level kebijakan publik mendukung perilaku penggunaan kondom informan karena memungkinkan ketersediaan dan distribusi kondom serta program HIV berjalan di panti pijat. Namun karena adanya kontradiksi antara beberapa kebijakan publik, pengaruhnya menjadi terbatas. Ditemukan juga ada 3 pola umum penggunaan kondom pada informan yang merupakan model sederhana dari stage of change model, health believe model, precaution adoption process model dan social cognitive theory.
Kesimpulan/rekomendasi: semua informan telah menggunakan kondom tetapi hanya sebagian kecil informan, sekitar 30%, yang penggunaan kondomnya konsisten. Faktor pada level interpersonal dan organisasional adalah faktor yang paling mempengaruhi penggunaan kondom informan dibandingkan faktor-faktor pada level individual, komunitas dan kebijakan publik. Disarankan agar intervensi pencegahan HIV menyasar lebih dalam faktor-faktor pada kedua level tersebut.

Background: HIV prevalence among MSM increase time to time, 8% in 2007 to 17% in 2011. High HIV prevalence among this population caused by low unsafe sex practices in form of consistent condom use, 32% in 2007 and 24% in 2011.
Study purpose: to acquired insight of consistent condom use suporting and inhibiting factors among massage parlor-based male sex workers as well as situation and patterns of condom use behavior.
Study design: qualitative approach using rapid assessment procedure method. Thirty informans were select through "stratified" purposive sampling from 15 massage parlors, interviewed using structured open-ended questions, trancripted and matrix developed for data sorting to captured any emerged themes. Documents and secondary data analysis and observation carried out to suplement indepth interview. Data analysis and interpretation done based on 5 levesl of Socio Ecological Model.
Results: Most of factors at individual level (knowledge, motivation and readiness to use condom, behavioral intention, deicion about acting, condom use skill, self-efficacy) were adequate and as supporting factors for consistent condom use practices. However influences of these factors was indirect and greathly influenced by interpersonal factors particularly by clients, massage parlor managers, peers and steady partners as well as by organizational factors such as massage parlor work regulation, condom supply chain management and promotion, organizational culture and structure. Factors at community level were neither support nor inhibit directly to consitent condom use practices. These are mainly caused by inadequate and embryonic stage of community networking, capacity, leadership, participation, and resources. Factors at public policy level support informant?s consistent condom use practices since these factors enabled condom availability and distribution and presence of HIV prevention program inside the massage parlors as well. However due to contradiction among those existing public policy, the influences were narrow. This study found 3 general patterns of informant?s condom use practices which are served as simple model of social cognitive theory, stages of change model, health believe model and precaution adoption process model.
Conslusion/recommendation: All informants had used condom but only few of them, about 30%, had used it consistently. Factors at interpersonal and organizational level were the most influencing factors for consistent condom use practices among informants compared to factors at individual, community and public policy level. It is recommended to have deeper and more intensive intervention at those two levels.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T32564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Berliani Adiningsih
"Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk melihat korelasi antara ideologi maskulin dan stres peran gender maskulin dengan kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa laki-laki. Pengukuran ideologi maskulin menggunakan alat ukur Masculine Role Norm Inventory-Short Form MRNI-SF , stres peran gender maskulin menggunakan alat ukur Masculine Gender Role Stress-Abbreviated MGRS-A , dan kekerasan dalam pacaran dengan alat ukur The Revised Conflict Tactics Scale CTS2 yang diadministrasikan melalui media daring. Partisipan berjumlah 370 mahasiswa laki-laki dalam rentang usia 18-25 tahun yang sedang mejalani hubungan pacaran selama minimal satu tahun. Teknik korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antarvariabel dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara ideologi maskulin dan stres peran gender maskulin dengan kekerasan dalam pacaran.

This quantitative research focuses on identifying the correlation between masculine ideology and masculine gender role stress to dating violence in male college students. Masculine ideology is measured by using Masculine Role Norm Inventory Short Form MRNI SF , masculine gender role stress by using Masculine Gender Role Stress Abbreviated MGRS A , and dating violence is assessed by using The Revised Conflict Tactics Scale CTS2 administered online. 370 male college students aged 18 25 who have been involved in romantic relationship for at least a year were assessed. Pearson correlation is used to define relationship between each variables. The result suggests positive correlation between masculine ideology and masculine gender role stress to dating violence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasty Larasati
"Artikel ini bertujuan untuk melihat bagaimana orang menilai kulitnya, apakah dinilai cantik atau jelek. Hingga saat ini, cantik masih diasosiasikan dengan kulit putih, salah satunya menurut orang-orang Indonesia. Hal ini menjadi penting karena bagaimana kita merepresentasikan diri sendiri berkaitan dengan identitas kita− siapa kita dan bagaimana kita ingin dilihat. Perilaku orang kulit hitam entah percaya diri dengan kulitnya ataupun tidak, adalah cara mereka untuk merepresentasikan dirinya yang didapatkan dari negosiasi identitas. Tetapi diantara orang kulit hitam, ada yang secara percaya diri merepresentasikan dirinya melawan diskursus tentang kecantikan atau counter-discourse.
Literatur terdahulu menjelaskan ada dua alasan terjadinya hal tersebut, yaitu: rekognisi dan negosiasi. Rekognisi adalah saat aktor berjuang melawan diskursus, sementara negosiasi adalah saat aktor menegosiasikan apa yang ia miliki. Argumen dalam penelitian ini adalah perempuan bisa menolak diskursus karena negosiasi, mereka memiliki pilihan dan otonomi atas tubuhnya. Mereka juga bisa menolak diskursus karena memiliki kekuatan, yaitu melalui kekuatan tawar menawar.
Artikel ini menggunakan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap sembilan informan. Informan yang masuk dalam kriteria adalah perempuan dengan usia 16 - 24 tahun karena rentang usia tersebut adalah rentang usia dengan penggunaan internet yang besar. Klasifikasi warna kulit untuk pemilihan informan didasarkan dengan skala warna kulit Fitzpatrick.
Hasil penelitian menemukan tujuh dari sembilan informan telah menolak diskursus kecantikan. Informan juga menjelaskan bagaimana kepribadian atau kemampuan mereka bisa menjadi kekuatan tukar menukar mereka yang mempermudah untuk menolak diskursus kecantikan. Selain itu, informan telah melakukan negosiasi identitas dari menerima diskursus tentang warna kulit yang diinginkan hingga menolaknya. Hal ini bukanlah proses secara tiba-tiba, tetapi dibutuhkan peran dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kesadaran diri sendiri tentang cantik, sementara faktor eksternal berasal dari sosialisasi keluarga, teman atau media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tanalin Norfirdausi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gender role conflict dan psychological well-being pada laki-laki gay dewasa muda. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah Gender Role Conflict Scale Short Form (GRCS-SF) dan Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (RPWB). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 99 orang laki-laki berusia 20-40 tahun yang memiliki orientasi seksual homoseksual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gender role conflict dan psychological well-being (R=-0,023; p>0,05). Meskipun demikian, salah satu dimensi gender role conflict yaitu keterbatasan afeksi antar laki-laki menunjukkan korelasi negatif yang siginifikan dengan psychological well-being (R=-0,261; p<0,01.

This research is conducted to find the correlation between gender role conflict and psychological well-being among young adult gay men. This research used the Gender Role Conflict Scale Short Form (GRCS-SF) and Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (RPWB). The participants of this research are 99 homosexual self-identified men aged between 20-40 years old.
The result of this research showed that there is no significant correlation between gender role conflict and psychological well-being (R=-0,023; p>0,05). However, one of the gender role’s dimensions, restrictive affectionate behavior between men, showed that there is a significant negative correlation with psychological well-being (R=-0,261; p<0,01).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S57731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anindya
"Penelitian ini berawal dari keresahan peneliti atas pembagian gender maskulin dan feminin yang membuat laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal menjadi pihak yang harus tunduk dengan tatanan sosial dan budaya masyarakat. Laki-laki, mengalami krisis identitas terkait posisinya secara personal dan komunal di dalam masyarakat dan karakter androgini menjadi pilihan dalam menunjukkan identitasnya. Identitas gender androgini dapat dilihat melalui gender performativity dan fashion. Untuk itu, penelitian ini menggunakan fenomenologi dalam melihat pengalaman laki-laki androgini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, androgini merupakan identitas gender dan juga androgini secara psikologis merupakan bentuk kecerdasan emosi; kedua, keluarga yang konvensional dan lingkungan yang sex-type memunculkan identitas gender androgini; ketiga, media cenderung mengkomodifikasi androgini salah satunya melalui fashion; dan keempat, setiap individu memiliki keunikan dalam mengekspresikan fashion dan gender performativity.

This research come from researcher restless thought about masculine and feminine binary. This gender binary somehow makes men and women as part of the society have to adjust themselves to social and cultural norms. Men gets identity crisis on their personal and communal life, therefore they create androgini identity gender. Androgini identity gender can be seen on gender performativity and fashion. This research use phenomenology to observe androgyny men life experience.
The result shows, first, androgyny is emotional intellectual that is related to psychological character development; second, conventional family and sex-type environment create androgynous person; third, media shows androgyny on fashion as commodity; and fourth, every human being has her/his own uniqueness on fashion and gender pervormativity; one of their appearance shows androgynous characteristics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanti Kanya Niramaya
"Laki-laki herbivora atau dikenal dengan istilah bahasa Jepangnya, yaitu sōshokukei-danshi adalah sebuah analogi yang digunakan untuk mendeskripsikan laki-laki muda Jepang yang tidak aktif dalam menjalin hubungan asmara. Laki-laki herbivora merupakan topik yang muncul pada perbincangan sehari-hari, kerap dibahas oleh berbagai media massa dan media sosial. Fenomena ini juga dikaji dalam ranah akademik, seperti penelitian Deacon (2013) dan Kotani (2013) yang membahas laki-laki herbivora di daerah urban Jepang. Berdasarkan teori ekosistem, perbedaan lingkungan antara daerah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan) dapat mempengaruhi karakteristik individu. Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran mengenai representasi karakteristik laki-laki herbivora di Jepang secara utuh, perlu dilakukan penelitian laki-laki herbivora di daerah rural. Berdasarkan hasil analisis atas kajian pustaka dan wawancara, ditemukan bahwa laki-laki herbivora di daerah rural memiliki karakteristik personalitas, perilaku, dan tampilan fisik yang berbeda dari laki-laki herbivora di daerah urban. Karakteristik tersebut adalah (i) bersifat terbuka, (ii) bersifat apa adanya, (iii) tidak sengaja berpenampilan feminin agar disukai perempuan, dan (iv) memiliki keinginan untuk menikah.

Herbivore men or known as sōshokukei-danshi in the Japanese language, is an analogy to describe young Japanese men who are not active in pursuing romance. Herbivore men is a topic that appears in daily conversations, often discussed by various mass media and social media. This phenomenon is also studied in the academic realm, such as research by Deacon (2013) and Kotani (2013), which discuss herbivore men in urban areas of Japan. Based on ecosystem theory, environmental differences between rural and urban areas can affect individual characteristics. Therefore, to obtain a complete picture of Japanese herbivore men's characteristics, it is necessary to conduct research on herbivore men in rural areas. Analysis of literature review and interviews shows that herbivore men in rural areas have different personality, behavior, and physical appearance characteristics from herbivore men in urban areas. These characteristics are (i) open-minded, (ii) honest and sincere, (iii) not intentionally looking feminine to be liked by women, and (iv) having the desire to get married.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>