Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173203 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dicky Pramudya Ahmady
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara need to belong (NTB) dan ekstremitas sikap ideologi, serta mengeksplorasi peran loneliness sebagai variabel moderator. Desain penelitian yang digunakan adalah kuantitatif korelasional dengan partisipan berjumlah 125 orang berusia 19–30 tahun. Alat ukur yang digunakan meliputi Need to Belong Scale, UCLA Loneliness Scale versi 3, dan skala ideologi politik. Analisis data dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan uji regresi moderasi menggunakan PROCESS Macro Model 1 dari Hayes (2022). Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara NTB dan loneliness. Namun, NTB tidak berhubungan secara signifikan dengan ekstremitas sikap ideologi. Loneliness juga tidak memoderasi hubungan antara NTB dan ekstremitas ideologi. Ditemukan bahwa loneliness berhubungan negatif dengan ekstremitas ideologi, menunjukkan bahwa individu yang merasa kesepian cenderung tidak ekstrem secara ideologis. Temuan ini memberikan kontribusi penting terhadap kajian psikologi sosial dalam menjelaskan peran faktor individual dalam pembentukan sikap ekstrem

This study aims to examine the relationship between the need to belong (NTB) and ideological extremity, as well as to explore the role of loneliness as a moderating variable. The research employed a quantitative correlational design with 125 participants aged 19–30 years. The measurement tools used included the Need to Belong Scale, the UCLA Loneliness Scale Version 3, and a political ideology scale. Data were analyzed using Pearson correlation and moderation regression analysis with PROCESS Macro Model 1 by Hayes (2022). The results showed a significant positive relationship between NTB and loneliness. However, NTB was not significantly related to ideological extremity. Loneliness also did not moderate the relationship between NTB and ideological extremity. Interestingly, loneliness was found to be negatively associated with ideological extremity, indicating that individuals who feel lonely tend to be less ideologically extreme. These findings contribute to the field of social psychology by highlighting the role of individual factors in the development of extreme attitudes."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Shiny Frederika
"Kesepian umum terjadi pada individu dewasa awal, usia yang penuh perubahan dan instabilitas. Meski umum, kesepian berdampak buruk bagi kehidupan individu sehingga perlu diatasi. Penerapan mindfulness, salah satunya yaitu, interpersonal mindfulness, diusulkan dapat mengatasi kesepian dalam konteks relasi sosial. Penelitian ini melihat hubungan antara interpersonal mindfulness dan kesepian pada 149 individu berusia 18-25 tahun. Kesepian diukur dengan UCLA Loneliness Scale Revised Version 3 dan interpersonal mindfulness dengan Interpersonal Mindfulness Scale. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara interpersonal mindfulness dan kesepian. Temuan ini menunjukkan bahwa interpersonal mindfulness tidak berkaitan langsung dengan tingkat kesepian pada individu dewasa awal.

Loneliness commonly occurs in young adults, a period marked by change and instability. Despite its prevalence, loneliness adversely impacts individuals' lives and requires intervention. Mindfulness practices, such as interpersonal mindfulness, are suggested to address loneliness within social relationships. This study examines the relationship between interpersonal mindfulness and loneliness in 149 individuals aged 18-25 years. Loneliness was assessed using the UCLA Loneliness Scale Revised Version 3, while interpersonal mindfulness was measured using the Interpersonal Mindfulness Scale. The research findings indicate no significant relationship between interpersonal mindfulness and loneliness. These findings suggest that interpersonal mindfulness does not directly correlate with loneliness levels in young adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhea Khairunnisa Saputri
"Hubungan antara kesepian dan adiksi smartphone tidak selalu ditemukan berkorelasi secara signifikan. Di sisi lain, Deficient Self-Regulation Model mengajukan disregulasi emosi sebagai mediator dalam hubungan antara adiksi smartphone dan kesepian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kembali hubungan positif antara kesepian dan adiksi smartphone, serta sejauh mana hubungan tersebut dapat dimediasi oleh disregulasi emosi. Sebanyak 158 dewasa muda (69% perempuan; Musia = 21,19, SD = 1,92) diukur menggunakan Smartphone Addiction Scale – Short Version, Revised UCLA Loneliness Scale, dan Brief Version of Difficulties in Emotion Regulation Scale. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kesepian berhubungan secara positif dan signifikan dengan adiksi smartphone. Hasil analisis PROCESS simple mediation (Model 4) menunjukkan bahwa hubungan kesepian dan adiksi smartphone dimediasi secara penuh oleh disregulasi emosi. Diskusi mengenai temuan-temuan dalam penelitian ini akan mengangkat peran penting dari disregulasi emosi dalam memahami bagaimana kesepian di kalangan dewasa muda dapat memicu perilaku adiksi smartphone dan berbagai dampak negatif yang mengikutinya.

According to previous findings, the relationship between loneliness and smartphone addiction did not always show significant correlation. On the other hand, the Deficient Self-Regulation Model proposes emotional dysregulation as a mediator between loneliness and smartphone addiction. This study aimed to re-examine the positive relationship between loneliness and smartphone addiction and explore the extent to which emotional dysregulation mediates this relationship. A total of 158 Indonesian young adults (69% female; Musia=21,19, SD=1,92) were measured using the Smartphone Addiction Scale – Short Version, the Revised UCLA Loneliness Scale to assess loneliness, and the Brief Version of Difficulties in Emotion Regulation Scale. Results of the correlation analysis indicated a positive and significant relationship between loneliness and smartphone addiction. Notably, the findings of the PROCESS simple mediation analysis (Model 4) revealed that the relationship between loneliness and PSU is fully mediated by emotional dysregulation. The discussion of the current study's findings will emphasize the vital role ofemotional dysregulation in understanding how loneliness among young adults can trigger smartphone addiction and subsequent negative consequences."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Duma
"Isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya yang mengakibatkan individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir adalah memberikan gambaran pemberian asuhan keperawatan pada isolasi sosial melalui pendekatan model interpersonal Peplau dan modeling and role modeling model Erikson, Tomlin dan Swain di Ruang Bratasena Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa ini dilakukan pada 15 klien isolasi sosial dengan pemberian terapi social skills training dan psikoedukasi keluarga. Hasil pemberian terapi menunjukan adanya peningkatan kemampuan klien dalam bersosialisasi, penurunan tanda dan gejala isolasi sosial dan peningkatan kemampuan keluarga merawat klien dengan isolasi sosial. Efektifitas terapi menunjukan bahwa terapi social skills training efektif menurunkan gejala isolasi sosial khususnya pada gejala kognitif, sosial dan perilaku. Terapi social skills training dapat direkomendasikan sebagai standar terapi spesialis keperawatan pada klien isolasi sosial

Social isolation is a state of loneliness experienced by a person because of other people's negative attitudes and states considered threatening to the individual which resulted in decreased or even not at all able to interact with others around them. The purpose of the study was described an overview nursing management to the patients with social isolation using Peplau interpersonal model and modeling and role modeling Erikson,Tomlin & Swain approach at Bratasena Room Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor. Social social skills training and family psychoeducation were recognize as a nursing specialists intervention provided 15 clients. Results of therapy shown that increased client's ability to socialize, reduction of signs and symptoms of social isolation and increased the ability of families caring for clients with social isolation. Effectiveness of therapy showed that social skills training therapy was effective in reducing symptoms of social isolation particulary cognitive, social and behavioural. Social skills training therapy can be recommended as standard therapy nursing specialists on client social isolation"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Raniaputri Hendraswara
"Hubungan sosial di tempat kerja adalah hal yang vital untuk kesejahteraan karyawan. Pengaturan kerja pada karyawan memiliki potensi untuk memengaruhi dinamika hubungan sosial karyawan. Hubungan sosial karyawan di berhubungan dengan kesejahteraan karyawan. Penelitian ini mengeksplorasi peran moderasi dari variabel persepsi dukungan sosial pada hubungan kesepian di tempat kerja dengan kelalahan emosional pada karyawan di Indonesia yang mempunyai pengaturan kerja yang beragam akibat dari adanya pandemi Covid-19. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan metode survei menggunakan alat ukur adaptasi dari MBI-GS oleh Schaufeli, Maslach, Leiter, & Jackson (1981) untuk mengukur kelelahan emosional, alat ukur adaptasi WDQ oleh Morgenson & Humprey (2006) untuk mengukur persepsi dukungan sosial, dan alat ukur adaptasi LAWS oleh Wright, Burt, & Strongman (2006) untuk mengukur kesepian di tempat kerja. Hasil uji hipotesis melalui analisis regresi menggunakan PROCESS Model by Hayes di software SPSS pada 201 karyawan dari berbagai organisasi di Indonesia yang menjadi partisipan, menghasilkan temuan utama penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi dukungan sosial memainkan peran moderasi yang signifikan dalam hubungan antara kesepian di tempat kerja dan kelelahan emosional. Implikasinya menekankan perlunya perhatian terhadap aspek dukungan sosial dalam lingkungan kerja untuk mengurangi kesepian untuk bisa melindungi karyawan dari kelelahan emosional terutama dalam era kerja yang terus berubah dan bervariasi.

Social relationships in the workplace are vital to employee well-being. Employees' work arrangements have the potential to influence the dynamics of employees' social relationships. Employee social relations are related to employee welfare. This research explores the moderating role of the variable perceived social support on the relationship between loneliness at work and emotional exhaustion in employees in Indonesia who have diverse work arrangements as a result of the Covid-19 pandemic. This research is a non-experimental study with a survey method using the MBI-GS adaptation measuring instrument by Schaufeli, Maslach, Leiter, & Jackson (1981) to measure emotional exhaustion, the WDQ adaptation measuring instrument by Morgenson & Humphrey (2006) to measure perceptions of support social, and the LAWS adaptation measuring tool by Wright, Burt, & Strongman (2006) to measure loneliness in the workplace. The results of hypothesis testing through regression analysis using the PROCESS Model by Hayes in SPSS software on 201 employees from various organizations in Indonesia who were participants, produced the main research findings showing that perceived social support plays a significant moderating role in the relationship between loneliness at work and emotional exhaustion. The implications emphasize the need to pay attention to aspects of social support in the work environment to reduce loneliness in order to protect employees from emotional exhaustion, especially in an era of work that continues to change and vary."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafei Adnan
"Merantau merupakan salah satu cara bagi mahasiswa yang berasal dari daerah tertentu untuk pindah ke daerah lain untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dan pengalaman baru. Akibat jauh dari keluarga dan kampung halaman, mahasiswa rantau rentan untuk mengalami kesepian saat menempuh pendidikan tinggi di daerah rantau. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman mahasiswa rantau terkait kesepian dan kebutuhan psikologis dasar sekaligus bagaimana mahasiswa rantau mengatasi rasa kesepian dan memenuhi kebutuhan psikologis dasarnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif agar dapat memahami secara lebih mendalam mengenai kesepian dan kebutuhan psikologis dasar yang dimiliki oleh mahasiswa rantau. Partisipan terdiri dari enam mahasiswa rantau dari latar belakang yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua partisipan mengalami pengalaman yang berbeda terkait dengan kesepian dan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar mereka. Beberapa partisipan merasa kesepian akibat kurangnya dukungan sosial dan jarak fisik dari keluarga, sementara yang lain merasa ia kurang melakukan aktivitas bersama teman sebaya. Adaptasi budaya yang kurang baik menjadi penyebab khas mahasiswa rantau mengalami kesepian sehingga disarankan agar mahasiswa rantau mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan belajar budaya dan gaya hidup rantau sebelum merantau. Kebutuhan akan kompetensi merupakan kebutuhan psikologis dasar yang terganggu selama mengalami kesepian dibandingkan kebutuhan psikologis dasar yang lain. Partisipan mengatasi kesepian melalui kegiatan sosial dan dukungan dari orang tua, teman, dan pacarnya serta mengakses sosial media. Selain itu, kebutuhan psikologis dasar seperti kebutuhan akan hubungan relasi, autonomi, dan kompetensi juga dipenuhi dengan cara yang bervariasi di antara partisipan.

Migrating is one way for students from certain areas to move to other areas to pursue better education and new experiences. As a result of being far from their families and hometowns, out of town students are vulnerable to experiencing loneliness when pursuing higher education in out of town areas. This research aims to explore the experiences of out of town students regarding loneliness and basic psychological needs as well as how out of town students overcome feelings of loneliness and fulfill their basic psychological needs. This research uses qualitative methods in order to understand more deeply about loneliness and the basic psychological needs of out of town students. Participants consisted of six out of town students from different backgrounds. The results showed that all participants experienced different experiences related to loneliness and fulfilling their basic psychological needs. Some participants felt lonely due to lack of social support and physical distance from family, while others felt they did not do enough activities with peers. Poor cultural adaptation is a typical cause of out of town students experiencing loneliness, therefore it is recommended that regional students prepare themselves first by learning the culture and lifestyle of the region before migrating. The need for competence is a basic psychological need that is disturbed when experiencing loneliness compared to other basic psychological needs. Participants overcome loneliness through social activities and support from parents, friends and romantic partner as well as accessing social media. In addition, basic psychological needs such as the need for relationships, autonomy, and competence were also met in varying ways among participants."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sania Fitria
"Gangguan mental emosional merupakan peristiwa yang terus meningkat di Indonesia, utamanya  pada usia 15-24 tahun yang merupakan usia remaja akhir hingga dewasa awal. Kejadian kesepian diyakini sebagai salah satu faktor potensial yang menyebabkan gangguan kesehatan mental dari waktu ke waktu di masa remaja. Utamanya di masa pandemi COVID-19, yang dapat memicu maupun memperburuk situasi dalam penanganan kesehatan mental akibat dari pemberlakukan kebijakan untuk 'meratakan kurva', atau mencegah penularan virus COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesepian dengan gangguan mental emosional pada mahasiswa domisili kota Depok di masa pandemi COVID-19. Desain studi dari penelitian ini adalah cross-sectional dengan analisis univariat, bivariat dan stratifikasi. Penelitian ini menggunakan data primer dalam bentuk google form yang disebar secara daring kepada mahasiswa. Hasil penelitian ini menunjukkan  bahwa terdapat sebanyak 234 (78,8%) mahasiswa domisili kota Depok yang mengalami gangguan mental emosional di masa pandemi COVID-19. Hasil penelitian berhasil membuktikan hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian kesepian berat (PR= 4,42; 95% CI: 2,30-8,49; p: 0,006), kesepian sedang (PR=4,20; 95% CI : 2,18-8,07; p: 0,0001) dan kesepian ringan (PR=3,51; 95% CI : 1,81-6,76; p: 0,000) dengan gangguan mental emosional pada mahasiswa domisili Kota Depok di masa pandemi COVID-19. Pembentukan program atau layanan terkait konseling dan promosi pencegahan kesehatan mental melalui platform yang mudah digunakan oleh mahasiswa oleh pemerintah dan memperbanyak kegiatan positif serta interaksi dengan orang terdekat dapat membantu mencegah dan mengurangi resiko terjadinya gangguan mental emosional dan kejadian kesepian.

Emotional mental disorders are the issue that continue to increase in Indonesia, especially among aged 15-24 which is the period of late adolescent and early adulthood. Loneliness believed to be one of the potential factor that causes emotional mental disorder from time to time in adolescent period. Especially, during COVID-19 pandemic, that trigerred and worsen mental health situation as the consequences of implementing public policy for ‘flatten the curve’ or prevent the transmission of COVID-19 virus. This study aims to determine the association between loneliness with Emotional Mental Disorders on College Students in Depok during the COVID-19 Pandemic. The study design of this study was cross-sectional with univariate, bivariate and stratified analysis. This study uses primary data that taken from google forms which are distributed online to college student. The results of this study showed that there are 234 (78.8%) students in Depok who experienced emotional mental disorders during the COVID-19 pandemic. The results of this study have been able to prove a statistically significant relationship between the incidence of severe loneliness (PR = 4.42; 95% CI: 2.30-8.49; p: 0.006), moderate loneliness (PR = 4.20; 95% CI: 2.18-8.07; p: 0.0001) and mild loneliness (PR=3.51; 95% CI: 1.81-6.76; p: 0.000) with emotional mental disorders among college students in Depok during COVID-19 pandemic. The establishment of programs or services related to counseling and promotion of mental health prevention through the platforms that are easy to use for college student by the government and increasing positive activities and interactions with those closest to them can help to prevent and reduce the risk of emotional mental disorder and loneliness.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maritzka Tedja
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara need to belong dan materialisme pada mahasiswa konsumen luxury fashion brand atau produk fesyen mewah bermerek. Need to belong merupakan sebuah kebutuhan untuk membentuk dan mempertahankan sebuah hubungan interpersonal yang mendasar dan dimiliki oleh semua manusia (Baumeister & Leary, 1995). Materialisme merupakan sebuah keyakinan yang dianut seseorang tentang seberapa pentingnya kepemilikan di dalam kehidupan mereka (Richins & Dawson, 1992). Responden penelitian ini adalah mahasiswa konsumen luxury fashion brand di wilayah Jabodetabek yang berjumlah 207 orang. Need to belong diukur menggunakan alat ukur Need to belong Scale (Leary, Kelly, Cottrell, & Schreindorfer, 2007). Materialisme diukur dengan alat ukur MVS short form (Richins, 2004) yang merupakan versi modifikasi singkat dari alat ukur MVS (Material Value Scale) yang disusun oleh Richins dan Dawson (1992). Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara need to belong dan materialisme ( r(205) = .255, p < .01. ) Selain itu ditemukan pula bahwa need to belong memiliki korelasi positif yang signifikan dengan seluruh dimensi materialisme, yaitu pursuit of happiness, acquisition centrality, dan possession define success yang memiliki korelasi tertinggi. Hasil penelitian ini menunjukan pentingnya peranan orangtua terhadap pengeluaran anak, adanya intervensi kepada mereka yang membutuhkan dari kalangan psikolog dan pendidik, serta strategi marketing LFB yang tidak terfokus pada mahasiswa.

This research aims to find relationship between need to belong and materialism in college student luxury fashion brand consumer. Need to belong can be defined as a need to form and maintain at least a minimum quantity of interpersonal relationships, is innately prepared and hence nearly universal among human beings (Baumeister & Leary, 1995). Materialism is a value about the importance of possessions in one's life (Richins & Dawson, 1992). Participants of this research were undergraduate college students in Jabodetabek area, with amounts 207 people. Need to belong was measured by Need to Belong Scale (Leary, Kelly, Cottrell, & Schreindorfer, 2007). MVS Short Form made by Richins (2004) was used to measure materialism, as a short modified version of Material Value Scale (Richins & Dawson, 1992). The result indicates there are positive and significant correlation between need to belong and materialism ( r(205) = .255, p < .01. ) Beside that, the result of the research also found that need to belong have positive and significant relation with all of materialism dimensions, which are acquisition centrality, pursuit of happiness, and possession define success as the strongest correlation. The results shown that the importance of parents guidance of their chindren expenses, intervention for whom needed the most by psychologist or educators, and marketing strategy that doesn’t focused on college students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S47477
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis Rizka Prasanti
"

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan collective narcissism sebagai moderator dalam hubungan antara ideologi politik dan intoleransi politik. Ideologi politik diduga dapat memprediksi intoleransi politik terhadap kelompok yang berbeda nilai, baik pada kelompok ideologi nasionalis sekuler maupun religius. Selain itu, diduga bahwa collective narcissism secara individual dapat menjelaskan intoleransi politik dan juga dapat memoderasi hubungan ideologi politik dan intoleransi politik. Partisipan sejumlah 256 orang WNI yang telah berusia di atas 18 tahun (Musia = 29,81, rentang pendidikan SMP - S3) mengisi kuesioner secara online melalui Survey UI. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa ideologi politik dapat menjelaskan intoleransi pada kelompok partisipan berideologi nasionalis sekuler tapi tidak pada kelompok partisipan berideologi religius. Collective narcissism ditemukan dapat memprediksi intoleransi politik pada kedua kelompok, dan hubungan ideologi politik dengan intoleransi politik. Pada kedua kelompok tidak ditemukan peran moderasi dari collective narcissism terhadap hubungan ideologi politik dengan intoleransi politik.


The objective of this study is to see the role of collective narcissism as moderator in the correlation between political ideologi and political intolerance. Political ideology was assumed to predict political intolerance towards social groups with different political views, in both secular nationalist and religious ideological groups. It was also assumed that collective narcissism can individually predict political intolerance, while also moderating the correlation between political ideology and political intolerance. The participants, 256 Indonesian citizens who are at least 18 years old, with education backgrounds ranging from junior high school to doctoral degree (Mage = 29,81), filled in questionnaires online in Survey UI. Results reveal that political ideology only explains political intolerance in the secular nationalist group of participants, but not in the religious group. Collective narcissism is found to predict political intolerance in both ideological groups, along with the correlation between political ideology and political intolerance. In both ideological groups, no moderating effect is found from collective narcissism in the correlation between political ideology and political intolerance.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Ginanjar
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara paparan pornografi dan penerimaan mitos perkosaan, serta untuk mengetahui efek moderasi ideologi peran gender pada hubungan tersebut. Responden penelitian ini berjumlah 522 orang, dengan karakteristik laki-laki berusia 18-30 tahun dan berorientasi heteroseksual. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara paparan pornografi dan penerimaan mitos perkosaan. Selain itu ditemukan bahwa ideologi peran gender memoderatori hubungan antara paparan pornografi dan penerimaan mitos perkosaan, dengan individu yang memiliki ideologi peran gender tradisional lebih rentan terkena efek paparan pornografi terhadap penerimaan mitos perkosaan dibandingkan dengan individu dengan ideologi peran gender egaliter. Hasil penelitian ini juga menunjukkan pentingnya peran perbedaan individu dalam dalam penelitian pengaruh media.

ABSTRACT
The purpose of this study was to find the relationship between exposure to pornography and rape myths acceptance, also to find the moderation effect of gender role ideology on that relationship. Participants of this study were 522 heterosexual men aged 18 30 years old. Result showed that there is no relationship between exposure to pornography and rape myths acceptance. Moreover gender role ideology moderated the relationship between exposure to pornography and rape myths acceptance, with individual who endorse traditional gender role is more susceptible to the effect of exposure to pornography on rape myths acceptance. Result of this study indicated the importance of individual difference in media effect research. Exposure to pornography, gender role ideology, rape myths acceptance"
[;, ]: 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>