Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edi Hermansyah
"Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga hak-hak pasien telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang terdapat dalam Pasal 55, Salah satu hak tersebut adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atas tindakan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian itu dan adanya hubungan kausalitas.
Aspek hukum perlindungan konsumen (pasien) menjadi fokus penting karena perlakuan rumah sakit yang sering merugikan konsumen. sehubungan dengan perlindungan maka tidak akan terlepas dari tanggung jawab rumah sakit tersebut. Sistem tanggung jawab yang ada di rumah sakit berdasarkan bidang masing-masing, dalam hal rumah sakit sebagai lembaga yang bergerak di bidang sosial ekonomi maka berlaku tanggung jawab sebagai pelaku usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 UUPK. Rumah Sakit juga bertanggung jawab terhadap karyawan atau bawahan yang melakukan kesalahan sesuai dengan doktrin vicarious liability atau corporate liability. Pemberlakuan klausul-klausula yang bersifat baku sehingga konsumen (pasien) hanya bisa menerima dan tidak adanya kesempatan bernegosiasi dan terkadang klausula tersebut berisi pembebasan tanggung jawab dari pihak rumah sakit. Klausula tersebut sering terdapat dalam Informed consent. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa antara konsumen (pasien) dengan pihak rumah sakit adalah melalui jalan peradilan atau luar pengadilan yang menggunakan lembaga BPSK dan dapat juga menggunakan cara mediasi, pihak ketiga sebagai mediator, seperti YLKI atau YPKKI. Bagi dokter juga diselesaikan oleh MKEK IDI atau MDTK."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfan Tenri Abeng
"Keputusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya, dan sejak dinyatakan pailit pengurusan dan pemberesan harta pailit beralih kepada Kurator. Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan pahwa harta pailit harus dijual secara lelang. Pemberesan harta pailit dengan mekanisme lelang pada dasarnya merupakan alternatif yang tepat dan cepat dalam era globalisasi dan reformasi dewasa ini, karena penjualan secara lelang bersifat obyektif, kompetitif, transparan, built in control dan otentik. Dalam hal penjualan lelang tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan ijin Hakim Pengawas.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apabila tidak berhasil melakukan penjualan dengan cara lelang dapatkah Kurator langsung memilih cara penjualan di bawah tangan. Bagaimana dikatakan seorang Kurator tidak berhasil dalam melaksanakan lelang dan bagaimanakah peran Kurator agar lelang tersebut dapat berjalan dengan lancar, efektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penelitian untuk menyusun tesis ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang berbentuk yuridis normatif, penelitian yang bersifat eksplanatoris, dan penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah. Dalam pemberesan harta pailit apabila lelang yang dilaksanakan tidak berhasil, Kurator tidak dapat begitu saja melakukan penjualan di bawah tangan, melainkan Kurator terlebih dahulu harus melakukan lelang ulang. Apabila lelang ulang tidak berhasil dengan ijin Hakim Pengawas dapat dilakukan penjualan dibawah tangan dan Kurator harus dapat mempertanggungjawabkannya. Kurator harus menghindari adanya benturan kepentingan dan turut berperan aktif sejak tahap persiapan lelang sampai dengan pasca lelang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heryudana
"Perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa tidak terlepas dari peranan proses industrialisasi. Maju mundurnya suatu industri sangat ditunjang oleh tenaga kerja yang produktif, sehat, dan berkualitas dengan manajemen yang baik, khususnya yang berkait dengan masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
K3 dalam suatu perusahaan terkadang terlupakan oleh para pengusaha. Betapa tidak? Sebab, K3 mempunyai tujuan pokok dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses industrialisasi, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan para buruh.
K3 dikatakan merupakan modal utama kesejahteraan para buruh/tenaga kerja secara keseluruhan. Dengan penerapan K3 yang baik dan terarah akan memberikan dampak pads sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Di era pasar babas tentu daya saing dari suatu proses industrialisasi semakin ketat dan sangat menentukan maju tidaknya pembangunan suatu bangsa.
Perkembangan ekonomi dan perkembangan teknologi yang begitu cepat yang berdampak pada persaingan yang berlangsung sangat ketat menuntut perusahaan untuk mengutamakan tuntutan pasar yang menghendaki kecepatan dan respon yang fleksibel terhadap tuntutan pelanggan. Respon yang cepat terhadap tuntutan pasar dan pelanggan ini dapat menentukan kemenangan dan kekalahan dalam persaingan usaha. Oleh karena itu, belakangan ini perusahaan mementingkan hal-hal yang mempercepat proses ini demi efisiensi dan effektivitas perusahaan. Salah satu cara adalah dengan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak lain melalui jasa pemborongan atau penyediaan jasa pekerja buruh atau dikenal dengan istilah outsourcing.
Outsourcing kemudian menjadi trend dan merupakan tuntutan pasar yang tidak dapat dihindari. Karena dengan penggunaan outsourcing ini maka perusahaan dapat lebih memperhatikan kegiatan utama perusahaan sehingga perusahaan lebih kompetitif.
Namun, praktek outsourcing menimbulkan masalah, khususnya mengenai perlindungan pekerja/buruh. Umumnya, pekerja/ buruh outsourcing mendapatkan gaji yang lebih rendah, jaminan social yang diterima minimal, dan bahkan pekerja/ buruh outsourcing dianggap seperti factor produksi. Ada pekerjaan, dipekerjakan oleh perusahaan, tidak ada pekerjaan di PHK. Sehingga pekerja/ buruh outsourcing ini seperti "budak dalam zaman modern".
Tesis ini menganalis apakah benar bahwa pekerja/ buruh tersebut diperlakukan tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia dengan tidak adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pekerja/ buruh outsourcing yang ditinjau dari sudut hukum ketenagakerjaan Indonesia, yakni UU No.13 tahun 2003."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
SPA Ichatiyatun
"Tulisan dengan judul " Kajian Wasiat Wajibah Islam Sistem Tata Hukum Kewarisan Islam " ini membahas masalah wasiat wajibah untuk anak angkat atau orang tua angkat sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, dan juga hak waris bagi pewaris nom muslim, sebagai suatu pembaharuan hukum Islam (fikih) secara mendasar dan substansial. Rumusan mengenai masalah wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak terlepas dari pengaruh hukum adat, sebagai suatu realitas social yang nyata-nyata ada dan hidup di tengah masyarakat Indonesia.
Pada dasarnya wasiat itu merupakan tindakan hukum yang bersifat sukarela, yang didasarkan atas kehendak bebas dari pemberi wasiat selaku pemilik harta. Namun demkian, berpangkal pada firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 180, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum wasiat tersebut. Jumhur ulama berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu').
Berdasarkan pendapat kedua tersebut, beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.
Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka wasiat wajibah ini -pun dapat diperuntukan bagi pewasiat non muslim dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Kedua hal ini merupakan suatu terobosan yang inovatif dan cerdas dalam menciptakan harmoni antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia juga sebagai petunjuk ajaran Islam yang bernuansa rahmatan lil 'alamin sehingga dapat memotivisir kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, masalah wasiat wajibah menjadi objek yang menarik untuk dikaji.
Ada dua permasalahan dalam kajian ini. Pertama, bagamaina kedudukan wasiat wajibah dalam sistem tata hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan kedua, bagaimana konsekuensi yuridis ketentuan wasiat wajibah baik yang diatur maupun yang tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, baik terhadap bagian anak angkat atau orang tua angkat dan ahli waris non muslim, bagian warisan para ahli waris, maupun bagian penerima wasiat yang lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harum Melati Suci
"ABSTRAK
Indonesia adalah negara agraris dan sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani maupun sebagai pengusaha agribisnis. Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani atau pengusaha agribisnis dalam mengembangkan usahanya adalah masalah permodalan. Disisi lain dari sektor perbankan masih mempunyai anggapan bahwa sektor pertanian atau agribisnis adalah sektor yang bersifat high risk. Hal ini dikarenakan berbagai alasan antara lain mengenai kelayakan usaha yang akan dibiayai, kemampuan pengembalian hutang dan juga masalah agunan atau jaminan. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI pada tanggal 14 Juli 2006 telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia No.9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang, yang bertujuan untuk membantu kesulitan pengusaha UKM dalam memenuhi kebutuhan modal kerja dan memberikan perlindungan hukum bagi lembaga keuangan perbankan dalam menyalurkan kredit modal kerja kepada pengusaha UKM, melalui Jaminan Resi Gudang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perkembangan Implementasi Sistem Resi Gudang terkait pemberian kredit dengan Jaminan Resi Gudang oleh Perbankan di Indonesia, perlindungan hukum bagi bank sebagai kreditur dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh bank sebagai kreditur pemegang Hak Jaminan Resi Gudang. Metode penelitian yang digunakan dalam rangka penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan analisis data kualitatif. Terbatasnya peranan Perbankan nasional dalam memberikan fasilitas kredit dengan jaminan Resi Gudang terkait erat dengan implementasi dan perkembangan Sistem Resi Gudang di Indonesia.
Pelaksanaan Sistem Resi Gudang saat ini di Indonesia masih dalam tahap penyempurnaan dan pembangunan infrastruktur serta kelembagaan yang menopang berjalannya Sistem Resi Gudang tersebut. Dalam Pelaksanaannya masih ada permasalahan yang dihadapi oleh bank sebagai pemegang hak jaminan, yaitu mengenai kebenaran dan keabsahan komoditi pertanian yang menjadi obyek jaminan dan pelaksanaan eksekusi barang jaminan melalui lembaga parate executie.
Sebagai saran dari hasil penelitian adalah perlunya peranan pemerintah dalam sosialisasi Sistem Resi Gudang dan manfaatnya bagi pembiayaan Modal Kerja, kepada masyarakat luas dan lembaga pembiayaan, melakukan pembangunan yang merata diberbagai wilayah Indonesia terhadap proyek-proyek Sistem Resi Gudang, sarana dan infrastrukturnya, meningkatkan kelembagaan yang menunjang berjalannya Sistem Resi gudang. Bank perlu melakukan mitigasi Resiko untuk mengatasi keraguan atas keabsahan perolehan barang, serta perlunya pemahaman yang komprehensif dari penegak hukum terhadap lembaga parate executie sebagai keistimewaan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hak jaminan kebendaan.

ABSTRACT
The Republic of Indonesian is an agrarian country and most of their residents undertake in agriculture sector as farmers or enterpreneurs in line with crops. The problem that they?re facing in enlarge their market is capital. One side, the banking sector still has the notion that agriculture or agribusiness sector is a high risk business. This is due to various reasons, such as, the feasibility of the business to be financed, the repayment capacity and collateral or security problems. Therefore, on July 14, 2006 the Government and the House of Representatives of Indonesia has passed Undang-Undang No.9 of 2006 About Warehouse Receipt System, that the objective is to assist UKM entrepreneurs difficulties in fulfill their working capital needs and provide legal protection for banking financial institutions in disbursing working capital loans to UKM entrepreneurs, through Warehouse Receipt Security.
This research objective is how to determine the development of Warehouse Receipt System Implementation in associated with the Warehouse Receipt Security financing by Banks in Indonesia, legal protection for banks as creditors and the problems faced by banks as a creditor with the Warehouse Receipt Security Rights. The Research methods used in the context of this research is normative legal research methods with qualitative data analysis. The national banks role in providing credit facilities to guarantee Warehouse Receipt is closely related to the implementation and development of Warehouse Receipt System in Indonesia.
The Implementation of Warehouse Receipt System in Indonesia recently is still in level of refinement and development of infrastructure and institutional support operation of the Warehouse Receipt. At the Implementation, theres problems faced by banks as collateral rights holders, and the object of security and guarantee execution of goods through parate executie institutions that still have potential problems in the implementation, especially about the validity of the goods and related procedures that guarantee the execution of the goods.
The recommendation for this research is the need for government's role in the socialization of the Warehouse Receipt Security Rights to the public and financial institutions, make equitable development in various areas of Indonesia projects Warehouse Receipt System, facilities and infrastructure, enhance institutional support of the warehouse receipts system operation and Banks have to mitigate the risks to overcome doubts about the validity of the acquisition of goods, and the need for a comprehensive understanding of the law enforcement agencies as parate executie privilege granted by law to guarantee the rights holder material."
2009
T26626
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Wahyu Sinatria Pinandita
"ABSTRAK
Putusan BANI NO.283/VII/ARB-BANI/2008 mewajibkan pemerintah untuk membayar sejumlah uang kepada PT. Hutama Karya (Persero). Hal tersebut diakibatkan karena Pemerintah Republik Indonesia (Departemen Pekerjaan Umum cq Direktorat Jenderal Bina Marga cq Direktorat Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Kota cq Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Pembangunan Jalan dan Jembatan Metropolitan Jakarta cq Pelaksana Kegiatan Pembangunan Jalan dan Jembatan Metropolitan Jakarta Wilayah I Suprapto Flyover dan Pemuda Pramuka Flyover) dianggap telah melakukan wanprestasi atas kelambatan pembebasan lahan yang diperlukan dalam pekerjaan konstruksi pembangunan Suprapto Flyover dan Pemuda-Pramuka Flyover. Pekerjaan tersebut dilakukan berdasarkan kontrak konstruksi Nomor 01/PKK/BPPJJKMJ.WI-Km/2003 antara Pemerintah RI selaku Employer dan PT. Hutama Karya (Persero) selaku Contractor. Namun, dana yang dipergunakan dalam pekerjaan konstruksi tersebut berasala dari dana pinjaman luar negeri (Loan) dari Pemerintah Jepang yang disalurkan melalui Japan Bank for International Coperation (JBIC) selaku Funding Agency representasi pemerintah Jepang. Sengketa timbul akrena berbagai masalah yang timbul pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi berlangsung. Berbagai addendum dibuat untuk mengatasi berbagai permasalahan dan melanjutkan pekerjaan konstruksi yang telah berjalan. Dalam kontrak konstruksi tersebut pihak JBIC selaku funding agency ternyata memiliki peran yang strategis, meski tidak menjadi pihak dalam kontrak konstruksi dimaksud."
2009
T26728
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
F. Indra Santoso A.
"Tesis ini membahas mengenai tinjauan yuridis terhadap tanggung jawab pelaku usaha terhadap iklan-iklan yang menyesatkan konsumen. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang menggunakan deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini adalah diperlukannya pengaturan yang lebih baik dalam hal mengatur usaha periklanan di Indonesia, khususnya terhadap perlindungan konsumen. Karena pengaturan usaha periklanan di Indonesia, masih merujuk kepada beberapa undang-undang dan etika periklanan. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini menyarankan agar pemerintah dapat mengeluarkan hukum positif tentang periklanan, yang mengatur seluruh hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tangung jawab dari pelaku usaha, pelaku usaha eriklanan dan konsumen.

This thesis discusses about juridical review concerning the responsibility from entrepreneur to advertisement which mislead the consumer. This research is a normative juridical research and analytical descriptive. The result of research is needs the better regulated in order to arrange the commercial business in Indonesia, especially concerning the consumer protection, because the regulation of commercial business in Indonesia still refer to several regulations and commercial ethics. This research suggest that overnment may legislated a regulation about commercial which arrange all rights, obligations and responsibility from the entrepreneur, advertising and consumer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27447
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Cesilia Hapsari
"Perdagangan gula di dalam negeri merupakan salah satu komoditas penting, sehingga menjadi kegiatan yang perlu diawasi. Oleh karena itu Pemerintah melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 menunjuk PT Superintending Company of Indonesia dan PT Surveyor Indonesia untuk melaksanakan verifikasi impor gula. Berkaitan dengan hal timbul permasalahan dengan adanya Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 apakah telah sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999? Apakah tindakan kedua perusahaan tersebut termasuk dalam pengecualian UU Nomor 5 Tahun 1999. Dan bagaimanakah pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam memberikan putusannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan menggunakan jenis data sekunder. Berdasarkan analisis yang dilakukan, KPPU telah salah dalam penerapan Pasal 50 ayat a, bahwa praktik penyediaan jasa verifikasi impor gula bukan merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini dikuatkan pula oleh Keputusan Mahkamah Agung No. 03/K/KPPU/2006.

Sugar is a strategic for food security and increase economic growth in Indonesia, therefore the sugar trade in the country into the activities that need to be monitored. Therefore the Government through the Minister of Industry and Trade Decree No. 594/MPP/Kep/9/2004 dated September 23, 2004 appointed PT Superintending Company of Indonesia dan PT Surveyor Indonesia to implement verification on sugar import. On the matter of issue that arises from KPPU Decision No. 08/KPPU-I/2005, does it go accordingly with UU Nomor 5 Tahun 1999? And how the Supreme Court processes the law consideration in order to decide a verdict? This research use literature research method of juridical-normative using secondary data. According to the analysis, KPPU had taken an incorrect direction implementing the Article 50 letter a, that the providing service of verification on import sugar is not against the UU Nomor 5 Tahun 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. A Supreme Court Decision No. 03/K/KPPU/2006 adds affirmation on this matter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27491
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imaduddin Luqman
"ABSTRAK
Pengadaan Alutsista merupakan strategi transisi yang harus dijalankan pemerintah
terutama karena industri strategis domestik belum dapat diandalkan untuk dijadikan industri
substitusi bagi sumber alutsista Indonesia. Pembangunan industri strategis merupakan salah satu
sasaran jangka panjang pemerintah yang ditujukan untuk membangun kemandirian nasional
dibidang teknologi pertahanan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pertahanan nasional.
Sumber pendanaan utama bagi Indonesia untuk melakukan proses pengadaan Alutsista
pertahanan yang bersumber dari pasar senjata Internasional adalah Fasilitas Kredit Ekspor.
Dengan pertimbangan besarnya belanja yang dilaksanaan melalui proses pengadaan barang/jasa
dengan fasilitas kredit ekspor dan potensi proses pengadaan barang/jasa yang dapat
mempengaruhi perilaku birokrasi dan masyarakat, serta harapan untuk memecahkan
permasalahan umum dalam lingkungan strategis yang ada, maka tesis ini ingin melihat lebih
mendalam pelaksanaan penggunaan fasilitas kredit ekspor untuk pengadaan alutsista di
lingkungan Kementerian Pertahanan."
2010
T27489
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asrori S. Karni
"Pilihan otoritas regulasi untuk mempercayakan otoritas kepatuhan syariah (syariah compliance) perbankan syariah kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga non-negara berbadan hukum privat, secara teoritik menyimpan problem. Malaysia, Pakistan, dan Sudan membangun otoritas syariah compliance dengan memperkuat lembaga independen berbadan hukum publik, berupa organ dalam bank sentral atau komisi mandiri yang diangkat kepala negara. Dua model otoritas kepatuhan usulan DPR saat pembahasan RUU Perbankan Syariah juga memilih format dewan atau komisi yang menjadi organ bank sentral atau otoritas jasa keuangan. Pilihan demikian karena keputusan otoritas ini akan mengikat publik, maka sewajarnya dipegang badan hukum publik. Dinamika pembahasan RUU akhirnya memilih model MUI. Pertimbangannya, independensinya dipercaya lebih terjaga. Selain itu, selama ini secara de facto MUI sudah menjalankan peran itu. Model otoritas kepatuhan demikian membuat fatwa MUI yang secara konseptual tidak mengikat menjadi semi-mengikat publik Kedudukan MUI sebagai badan hukum privat menjadi mirip badan hukum publik yang berwenang membuat ketetapan mengikat publik. Sisi lain, kelayakan fatwa ormas non-MUI sebagai rujukan regulasi, terkesan diabaikan, karena sudah ada fatwa rujukan resmi. Kajian bercorak penelitian hukum normatif ini bertujuan menguji ketepatan secara teoritik penunjukan MUI itu. Bagaimana jadinya konsepsi fatwa yang makna generiknya dalam literature hukum Islam tidak mengikat publik. Bagaimana pula kedudukan fatwa ormas Islam di luar MUI yang kredibilitasnya juga tidak bisa disepelekan. Penelitian dilakukan dengan tiga pendekatan. Pendekatan peraturan untuk menggali formula regulasi. Pendekatan konsep untuk analisis konseptual. Pendekatan perbandingan untuk komparasi praktek regulasi beberapa negara. Diperoleh konklusi, model otoritas berbasis MUI ini masih relevan dilanjutkan, sejauh sebagai model transisi. Model otoritas ini masih menempatkan fatwa dalam watak privatnya, karena masih diperlukan tahap transformasi fatwa menjadi regulasi mengikat. Banyaknya pihak berkompetensi fatwa di luar MUI dicoba diakomodasi lewat mekanisme internal MUI. Bila saat ini MUI dinilai paling siap memegang otoritas kepatuhan syariah, perlu dilengkapi perangkat regulasi yang menjadi standar legal dan ilmiah untuk menjamin bahwa fatwa MUI, baik proses maupun hasilnya, paling memenuhi kualifikasi diserap dalam regulasi. Namun, problem legal-konseptual yang diidap model ini harus terus diselesaikan secara gradual. Ke depan, perlu dijajaki peluang pembentukan otoritas kepatuhan syariah independen, sesuai argumen pokok dipilihnya MUI, namun berbadan hukum publik, seperti di Malaysia, Pakistan, dan Sudan, karena otoritasnya akan mengikat publik.

Choice of the regulatory authorities to entrust the authority of sharia compliance of Islamic banking to the Indonesian Ulama Council (MUI), a non-state entitiy, a private law entity, has the problems theoretically. Malaysia, Pakistan, and Sudan built the authority of shariah compliance by strengthening independent institution incorporated under public law entity, such as organs in the central bank or an independent commission that was appointed by head of the state. Two models of sharia compliance authority which were proposed by House of Representative, when discussing the draft of Shariah Banking Act, also chose the format of public legal entity, such like an organ of central bank or a part of the financial services authority. These options base on reason that the decisions of sharia compliance authority will be binding on public, then it was appropriate held by a public legal entity. But the dynamics of the parliamentary debate on the bill ultimately chose the type of e private legal entity, namely MUI. The main consideration is its independence more credible. In addition, empirically MUI has been engaged in that role. The passed model of sharia compliance authority make MUI's fatwa that is conceptually not public binding to be the semi-public binding. The position of MUI as a private legal entity transform to be a pseudo-public legal entity that was authorized to make rulings which was binding on the public. Other hand, the feasibility of non-MUI's fatwa (edicts) as a referral of regulations, was look ignored, because there has been an official fatwa as regulation's reference. The normative legal research was aimed to test theoretically the accuracy of MUI's appointment as a shariah compliance authority holder. How is then the application of the concept of fatwa that its generic meaning in Islamic law literature was not binding on the public? How is the position of fatwa of Islamic organizations outside MUI that their credibility also can not be underestimated? Research was carried out by three approaches. Regulatory approach was used to explore the regulatory formula. Conceptual approach was used to make conceptual analysis. Comparative approach wa used to compare the regulation of some countries. Retrieved conclusion that the model of MUI based authority is still relevant to be continued, as far as the transition model. The model of authority is still placing fatwa in it's generic concept as a non-binding ruling, because it still need stage to transform fatwa to be regulation. The large number of competent mufti outside MUI try to be accommodated through MUI internal mechanisms. If currently MUI is still considered as the most ready entity to hold the authority of sharia compliance, It is need to be equipped by the regulations that will be a legal and scientific standard to ensure that MUI's fatwa, both process and outcome, were the most qualified one to be absorbed to the regulation. However, the legal-conceptual problems within this model should continue to be solved gradually. For the next time, it is necessary to explore the feasibility of the establishment of an independent sharia compliance authority. Independence is the principal arguments of MUI appointment as sharia compliance authority holder. Beside independent, the next compliance authority should be a public legal entity, such as in Malaysia, Pakistan, and Sudan, because it's authority will be binding on the public."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27497
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>