Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nany Leksokumoro
"Tujuan: Mengetahui status asam folat dan perilaku tentang asupan asam folat pada akseptor KB, sehingga dapat dipertimbangkan perlu tidaknya suplementasi asam folat pada akseptor KB, khususnya akseptor pil.
Tempat: RW 014 Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur.
Bahan dan Cara: Penelitian crows-sectional dan subjek penelilian adalah semua akseptor KB yang memenuhi kriteria penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi data sosio demografi, pola makan, asupan giri (makro matrial dan asam folat), status kadar asam folat serum dan sel darah merah (SDM).
Hasil: Tidak didapatkan kadar asam folat serum < 3 ag/ml. Status asam folat serum subjek tidak berhubungan dengan pemakaian pil, karakteristik demografi, asupan gizi dan status gizi. Persentase kadar asam folat SDM < 160 mg/ml. adalah 3,5%. Kadar asam folat SDM subjek pil tidak berbeda dengan subjek bukan pil, namun ada kecenderungan kadar asam folat SDM subjek pil lebih rendah dari subjek bukan pil. Secara bermakna kadar asam folat SDM subjck bcrhubungan dengan kebiasaan mengkonsumsi sayur hijau dan kelompok umur. Perbedaan dalam mengolah sayur menyebabkan perbedaan bermakna pada jumlah subjek yang mempunyai kadar asam folat SDM < 160 mg/ml. Rata-rata asupan zat-zat gizi subjck penelitian di bawah AKG yang dianjurkan. Subjek pil mempunyai rata-rasa asupan asam folat lebih rendah bermakna dari subjek bukan pil, namun tidak didapatkan korelasi antara asupan asam folat dengan kadar asam folat serum dan SDM subjek penelitian.
Kcsimpulan: Status asam folat serum dan SDM subjek penelitian tidak berhubungan dengan pemakaian pil dan bukan pil, sehingga belum diperlukan suplementasi pada subjek penelitian khususnya subjek pil.

Objective: To determine the folic acid slates and the behavior of folic acid intake in contraceptive users. This is in order to decide whether folic acid supplemeration is necessary, especially for pill users.
Location: RW 014 Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur.
Methods: cross-sectional study and subjects were all contraceptive users who fulfill study criteria. Data ' collected were socio-demographic, eating paucrn, nutritional intake (macro nutrient and folic acid), nutritional status, serum and RISC folic acid level.
Results: Serum folic acid level of < 3 mg/ml, was not found, Scrum folic acid level was not associated with using pill or non pill, socio-demographic, eating pattern, nutritional intake and nutritional status. The percentage of RISC folic acid level of N 160 mg/ml, was 3.5%. RISC folic acid level was not associated with using pill or non-pill, but there was a tendency Chef ItBC folic acid level in pill users was lower than non-pill users, There was a significant correlation between R13C folic acid level wish the frequency of green vegetables consumption and age group, 'Ihe difference in the manner of cooking significantly associated with the number of subject with RBC folic acid level of 160 mg/ml. Nutritional intake was under RDl level in almost subjects. Pill users had in average significant lower folic acid intake compare to non-pill users, but there was no correlation between folic acid intake with scrum and RBC folic acid level.
Conclusions: Serum and RHC folic acid stains is not associated with using pill or non-pill. From this study it is still not necessary for folic acid supplementation, especially for pill users.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T4024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ratna Mutu Manikam
"Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut dari diabetes melitus (DM) tak terkontrol, ditandai dengan hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik. Pemberian nutrisi sering menjadi masalah, namun menunda pemberian nutrisi dini menyebabkan peningkatan kadar keton darah dan morbiditas pasien. Tujuan penulisan serial kasus ini adalah memulihkan ketosidosis dan memenuhi kebutuhan makro- dan mikronutrien. Pasien berusia antara 18?65 tahun, mengalami KAD dengan DM, dirawat 5?12 hari di Rumah Sakit Umum Tangerang. Pencetus KAD adalah infeksi, ketidakpatuhan pengobatan, dan diet yang tidak tepat. Keempat orang pasien menderita DM dengan penyakit penyerta yang berbeda. Terapi nutrisi diberikan berdasarkan kondisi klinis pasien. Energi diberikan mulai dari kebutuhan basal yang dihitung dengan persamaan Harris-Benedict, atau dimulai dari 20?25 kkal/ kg BB pada kondisi sakit kritis. Makronutrien diberikan sesuai rekomendasi American Diabetes Association dan mikronutrien sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Pemantauan yang dilakukan meliputi toleransi asupan, imbang cairan, antropometri, dan laboratorium (kadar glukosa darah, keton darah, dan elektrolit). Edukasi dan konsultasi nutrisi diberikan setiap hari. Selama pemantauan semua pasien menunjukkan perbaikan klinis dan penurunan kadar keton darah. Semua pasien dapat mencapai kebutuhan energi total dan kadar glukosa darah mendekati normal. Sebelum pulang pasien diberikan edukasi tentang cara mengetahui faktor yang dapat mencetuskan KAD dan mengatasinya, serta edukasi nutrisi untuk mencapai kontrol glikemik optimal dan mencegah KAD.

Diabetic ketoacidosis (DKA) is an acute complication of uncontrolled diabetes, characterized by hyperglycemia, ketosis, and metabolic acidosis. Nutrition intervention may often cause some problems, unfortunately, withholding early nutrition may increase blood ketones concentration and patient morbidity. Aims of this case series are resolve ketoacidosis dan meet macro and micronutrient requirement. Patients aged between 18 to 65 years old, presented DKA with diabetes mellitus, and hospitalized from 5 to 12 days at Tangerang General Hospital. Precipitating factors of DKA include infection, noncompliance to medication, and inproper diet. All patients suffered from DM with different comorbidities. Nutritional therapy was given according to patients clinical condition. The energy was given begin with basal requirement, which calculated using Harris-Benedict equation, or begin with 20?25 kcal/kg body weight (BW) in critically ill condition. Macronutrients were given according to American Diabetes Association recommendation and micronutrients based on patients? condition and requirement. Monitoring includes food intake tolerance, fluid balance, anthropometric, and laboratory results (blood glucose levels, blood ketone, and electrolytes). Education and nutrition consultation were given everyday. During monitoring all patients showed clinical improvements in general condition and blood ketone concentration?s reduction. All patients can meet total energy requirement with blood glucose levels close to normal. Before discharge, patients received education to identify and manage risk factors that may precipitate DKA. Nutrition education was also given to achieve optimal glycemic control and prevent DKA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Paulina Toding
"Malnutrisi sering pada karsinoma hepatoselular (KHS), diakibatkan oleh anoreksia, penurunan asupan serta keadaan katabolik. Serial kasus bertujuan memberikan terapi gizi guna proses penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup. Empat orang pasien berusia 42–67 tahun, dengan KHS, penurunan berat badan 14,3–29,6% selama dua bulan hingga satu tahun. Tiga orang pro reseksi dan satu orang mendapat terapi paliatif dengan kanker kaheksia. Pemberian nutrisi disesuaikan keadaan klinis. Kebutuhan kalori berdasarkan Harris-Benedict. Sebelum pembedahan kebutuhan kalori total tercapai Setelah pembedahan, toleransi asupan baik, nutrisi ditingkatkan bertahap. Saat pulang keadaan umum stabil, kapasitas fungsional membaik, luka operasi baik.

Malnutrition is common in hepatocellular carcinoma (HCC), caused by anorexia, decreased intake and catabolic state. The aim of this case series provide nutrition therapy to support the healing process and to improve quality of life. Patients were four people, age between 42–67 years, with HCC, weight loss 14,3–29,6 % for two months to one year. Three people with pro resection and one person had palliative therapy and cachexia cancer. Nutrition was given according to clinical state. Calorie requirement was based on Harris-Benedict. Total calorie needs was achieved prior to surgery, and good tolerance intake after surgery, nutrition enhanced gradually. Patients discharge from hospital with stable general condition, improved functional capacity, and good surgical wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Evangeline Bela
"Pendahuluan: Acute Kidney Injury (AKI) pasca SC yang disebabkan preeklampsia berat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius.
Hasil dan pembahasan: Kebutuhan energi pasien AKI diberikan sesuai kebutuhan diawali kebutuhan energi basal dengan komposisi rendah protein 0,8 g/kgBB/hari. Kebutuhan protein ditingkatkan saat terapi hemodialisa 1,2 g/kgBB/hari dan 1,5 g/kg BB/hari setelah kadar ureum dan kreatinin serum normal. Pasien oligouria dan anuria disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin menjalani terapi hemodialisa sewaktu guna memperbaiki fungsi ginjal.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi adekuat dengan edukasi setiap hari. dapat mencegah pemakaian energi berlebihan dari protein yang memperburuk prognosis pasca perawatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Introduction: Acute Kidney Injury (AKI) post-SC caused severe preeclampsia is a rare but serious complication.
Results and discussion: Energy needs AKI patients are given accordingly begins with a composition of basal energy needs of low-protein 0.8 g/kg/day. Increased protein requirements when hemodialysis therapy of 1.2 g/kg/day and 1.5 g/kg/day after serum urea and creatinine levels normal. Patient with oliguria or anuria accompanied by increased levels of urea and creatinine during hemodialysis therapy to improve renal function.
Conclusion: Support adequate nutrition with education every day can prevent the excessive energy consumption of protein post-treatment worsens the prognosis and quality of life of patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Anastasia Kurniawan
"Pendahuluan: Disfagia salah satu gejala sisa stroke dapat memberikan komplikasi malnutrisi, dehidrasi dan pneumonia aspirasi. Oleh karena itu perlu dilakukan skrining disfagia untuk menentukan keamanan pemberian nutrisi secara per oral terutama saat weaning enteral nutrition (WEN). Dukungan nutrisi enteral diberikan sesuai kebutuhan nutrisi pasien dan mempertimbangkan beberapa hal seperti kesadaran, kemampuan menelan dan waktu akses enteral yang diperlukan pasien.
Presentasi kasus: Empat kasus stroke yang membutuhkan dukungan nutrisi enteral selama perawatan di RSUPNCM. Kasus pertama seorang wanita berusia 55 tahun, obesitas morbid, mengalami stroke hemoragik. Tiga kasus berikutnya dengan stroke iskemik dari dua orang wanita berusia 84 dan 65 tahun, serta seorang laki-laki berusia 57 tahun. Keempat kasus memiliki lesi stroke yang berbeda-beda. Skrining disfagia dilakukan sebelum WEN.
Kesimpulan: Efek disfagia tergantung lokasi lesi stroke, skrining disfagia diperlukan sebelum WEN, tidak semua kasus dapat dilakukan skrining disfagia. Dukungan nutrisi enteral diberikan sesuai kebutuhan individual pasien dan hanya 1 kasus yang dapat mencapai WEN memerlukan evaluasi asupan nutrisi per oral."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Dewi Nerfina
"Kanker serviks merupakan penyakit keganasan yang berhubungan dengan masalah nutrisi. Massa tumor dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolik dalam tubuh dan dapat mempengaruhi asupan sehingga pasien dapat jatuh dalam kondisi malnutrisi. Efek samping radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan efek mual, muntah dan diare yang dapat semakin memperburuk status gizi pasien. Tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi dan kemoterapi bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan status gizi, meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang harapan hidup pasien. Tatalaksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrient spesifik serta pemberian konseling dan edukasi.
Pasien pada serial kasus ini berusia antara 42 hingga 52 tahun dengan stadium yang berbeda. Seluruh pasien menjalani radioterapi, sedangkan satu pasien menjalani radioterapi dan kemoterapi. Semua pasien memiliki skrining dengan nilai ≥2 menggunakan malnutrition screening tool (MST). Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subyektif, kondisi klinis, tanda vital, antropometri, kapasitas fungsional dan analisis asupan.
Hasil pemantauan keempat pasien ternyata dukungan nutrisi yang diberikan dapat meningkatkan asupan dan menaikkan berat badan pada pasien pertama sedangkan pada pasien kedua, ketiga dan keempat terjadi penurunan berat badan yang minimal. Kapasitas fungsional pasien tidak mengalami penurunan dan kualitas hidup keempat pasien membaik.

Cervical cancer is malignant disease associated with nutrition problem. Tumor mass can lead to metabolic changes in the body and affect nutritional intake, so that patients can fall in malnutrition. Side effects of radiotherapy and chemotherapy are nausea, vomiting and diarrhea which can further worsen the nutritional status of patients. Nutrition management for cervical cancer patients in radiotherapy and chemotherapy are to maintain or increase nutritional status, improve quality of life and prolong survival of patients. Management of nutrients provision include to provide macronutrients, micronutrients, specific nutrients, counseling and education.
Patients age in this case series were between 42 to 52 years with a different stage of cervical cancer. All patient underwent radiotherapy, in which one patient underwent radiotherapy and chemotherapy. All patients had a screening score ≥2 using a malnutrition screening tool (MST). Monitoring included subjective complaints, clinical condition, vital signs, anthropometric, functional capacity and intake analysis.
The results of monitoring for all patients were nutritional support could increase intake and weight gain in the first patients, for second, third and fourth patients minimize weight loss. Functional capacity of all patients did not decline and quality of life all patients are increasing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syahda Suwita
"Pendahuluan: Hipertensi, hiperurisemia, DM tipe 2, obesitas dan dislipidemia merupakan faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi. Selain disfagia yang dialami pasien, faktor risiko stroke perlu dipertimbangkan juga dalam memberikan nutrisi untuk mencegah serangan ulang stroke.
Presentasi kasus: Empat kasus stroke hemoragik dengan hipertensi yang membutuhkan tatalaksana nutrisi selama perawatan di RSUT. Kasus pertama seorang laki-laki berusia 60 tahun, dengan hiperurisemia. Kasus kedua seorang perempuan berusia 56 tahun, dengan DM tipe 2 dan dislipidemia. Kasus ketiga seorang perempuan berusia 49 tahun, dengan obes II dan kasus keempat seorang laki-laki berusia 65 tahun, dengan dislipidemia dan stroke berulang.
Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang diberikan dapat membantu pengobatan pasien dan meningkatkan kapasitas fungsional pasien.

Background: Hypertension, hyperuricemia, type 2 diabetes, obesity and dyslipidemia are risk factors for stroke that can be modified. Besides dysphagia, experienced by patient, other stroke risk factors need to be considered in providing nutrition to prevent repeated strokes attacks.
Case presentation: Four patients of hemorrhagic stroke with hypertension required nutritional support during treatment in RSUT. The first patient was male, aged 60 years, with hyperuricemia. The second patient was female, aged 56 years, with type 2 diabetes and dyslipidemia. The third patient was female, aged 49 years, with obesity grade II and fourth patient was male, aged 65 years, with dyslipidemia and recurrent strokes.
Conclusion: Given nutritional support could help the patient treatment process and improve the patient's functional capacity."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Fitriyani
"ABSTRAK
Pendahuluan:
Stroke iskemia menyebabkan cedera pada otak yang dapat menyebabkan malnutrisi dan disfagia. Risiko stroke meningkat jika ditemukan hipertensi dan dislipidemia. Tujuan tata laksana nutrisi adalah mencegah malnutrisi, menurunkan faktor risiko, dan mencegah risiko stroke berulang dan komplikasi pada pasien dengan faktor risiko.
Presentasi Kasus:
Pasien dalam serial kasus terdiri dari tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan berusia antara 39-54 tahun yang didiagnosis stroke iskemia. Kasus pertama dan kedua memiliki faktor risiko hipertensi, sedangkan kasus kedua dan keempat memiliki faktor risiko dislipidemia. Hasil skrining gizi dengan MST pada pasien pertama adalah skor 2 dan diagnosis khusus, sedangkan tiga kasus lain termasuk dalam diagnosis khusus. Kebutuhan nutrisi dihitung dengan persamaan Harris-Benedict dengan faktor stres 1,5 pada kasus pertama karena terdapat ulkus dekubitus, sedangkan faktor stres tiga kasus lain adalah 1,3. Target pemberian protein adalah 1,3-1,5 g/kg BB/hari. Selama pemantauan, pemberian protein mencapai 1,3-1,4 g/kg BB/hari. Kasus kedua dan keempat mengalami disfagia, tetapi terdapat perbaikan disfagia pada pasien keempat sehingga jalur nutrisi diubah melalui oral, sedangkan pada kasus kedua tidak terdapat perbaikan disfagia sehingga pasien pulang dengan NGT. Terdapat riwayat hiponatremia berulang pada kasus pertama, sehingga dilakukan koreksi natrium dan restriksi cairan.
Hasil:
Terdapat perbaikan klinis pada keempat kasus dan perbaikan kapasitas fungsional, kecuali kapasitas fungsional kasus pertama.
Kesimpulan:
Tata laksana nutrisi adekuat pada pasien stroke iskemia dengan mempertimbangkan komorbiditas dapat menunjang perbaikan klinis dan kapasitas fungsional pasien.

ABSTRACT
Background:
Ischemic stroke cause cerebral insult results in malnutrition and dysphagia. Risk factors of stroke are hypertension and dyslipidemia. The aim of nutrition management is malnutrition prevention, lowering the risk factors, and preventing of recurrent stroke and complication.
Case Presentation:
The four patients included in this serial case were three males and one female, 39-54 years old, diagnosed with ischemic stroke. The first and second case had history of hypertension and the third and fourth case had dyslipidemia. The result of MST score of first case was 2 and special diagnosed, whereas the other three cases were special diagnosed. Energy needs was based on Harris-Benedict equation with 1,5 of factor stress for first case (with pressure ulcers) and 1,3 for the other three cases. The target of protein needs is 1,3-1,5 g/kg. The protein intake during monitoring were 1,3-1,4 g/kg. Dysphagia were found at second and fourth case, but then the fourth case had recovery of dysphagia and nutrition route was transitioned to oral, while the second case did not had recovery of dysphagia during monitoring and discharged with NGT. Natrium correction and fluid restriction were done at first case due to history of repeated hyponatremia.
Result:
There were improvement of clinical outcome and functional capacity, except functional capacity of first case.
Conclusion:
Adequate nutritional management for ischemic stroke patients could support the recovery of clinical outcome and functional capacity and should consider patients? comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Feni Nugraha
"ABSTRAK
Obesitas merupakan masalah global dengan prevalensi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin D. Hal ini disebabkan karena meningkatnya simpanan vitamin D di jaringan adiposa, yang dapat diperburuk dengan kurangnya pajanan sinar matahari dan asupan vitamin D inadekuat. Defisiensi vitamin D berhubungan dengan resistensi insulin dan dapat meningkatkan risiko terjadinya sindrom metabolik. Peningkatan lingkar pinggang LP dan peningkatan kadar trigliserida TG serum atau hypertriglyceridemic waist dapat digunakan sebagai kriteria sederhana untuk skrining awal identifikasi sindrom metabolik. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di klinik diabetes Rumah Sakit MRCCC Siloam Semanggi, Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D serum dengan LP dan kadar TG serum pada penyandang obesitas berusia >18-

ABSTRACT
Obesity has reached epidemic proportions globally, with increasing prevalence in recent years. Obesity is one of the risk factors in vitamin D deficiency. The low levels of serum vitamin D in obesity has been attributed to multiple factors like excessive storage of vitamin D in the adipose tissue, decreased exposure to sunlight and an inadequate vitamin D intake. Vitamin D deficiency is associated with insulin resistance and increases the risk of developing metabolic syndrome. Increased waist circumference WC and elevated serum triglyceride TG levels or hypertriglyceridemic waist can be used as a simple clinical phenotype for early screening to identify patients with metabolic syndrome. This cross sectional study was conducted at the Diabetes Clinic of MRCCC Siloam Semanggi Hospital, Jakarta, which aims to determine correlation between serum vitamin D levels with WC and serum TG levels in obese individuals aged 18 years to "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra
"Latar Belakang: Katabolisme pascalaparotomi menyebabkan imbang nitrogen negatif dan diduga tidak dapat dicegah dengan pemberian nutrisi. Nutrisi parenteral dapat meningkatkan faktor anabolisme. Belum diketahui apakah proporsi asupan energi dan protein dari jalur parenteral terhadap asupan total berkorelasi dengan imbang nitrogen pasien pascalaparotomi elektif.
Metode: Studi potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada pasien pascalaparotomi elektif yang memperoleh supplemental parenteral nutrition (SPN) antara 3 hari pertama pascalaparotomi. Pemeriksaan nitrogen urea urin (NUU) dilakukan terhadap pasien dengan asupan ≥ 12 kkal/kg BB pada hari ketiga pascalaparotomi. Pasien dengan gangguan ginjal dan hati tidak disertakan dalam penelitian.
Hasil: Rerata imbang nitrogen hari ketiga pascalaparotomi sebesar -2,8 ± 3,8 g/hari, dengan median asupan energi 19 (12–34) g/kg BB dan protein 0,9 (0,4–1,9) g/kg BB. Proporsi asupan energi dari jalur parenteral sebesar 0,51 ± 0,26 dan protein 0,59 ± 0,28. Tidak ditemukan korelasi signifikan pada proporsi asupan energi dan protein dari jalur parenteral terhadap asupan total dengan imbang nitrogen. Korelasi signifikan ditemukan pada variabel total asupan energi (r = 0,697, p <0,001) dan protein (r = 0,808, p <0,001) dengan imbang nitrogen.
Kesimpulan: Pemberian SPN dini penting dalam mencapai total asupan energi dan protein untuk mengimbangi kehilangan nitrogen hari ketiga pascalaparotomi elektif di RSCM meskipun korelasi proporsi asupan nutrisi dengan imbang nitrogen belum tampak pada penelitian ini.

Background: Post-laparotomy catabolism causes a negative nitrogen balance and is unlikely prevented by nutritional intervention. Parenteral nutrition can increase anabolic factor. It is not known whether the proportion of energy and protein intake from parenteral nutrition to total intake correlates with nitrogen balance in elective post-laparotomy patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital in elective post-laparotomy patients who received supplemental parenteral nutrition (SPN) within first 3 days after laparotomy. Urine urea nitrogen (UUN) examination was performed on patients with intake ≥ 12 kcal/kg BW on the third day after laparotomy. Patients with renal and hepatic impairment were excluded. Results: The mean nitrogen balance on the third day post-laparotomy was -2.8 ± 3.8 g/day, with median energy intake of 19 (12–34) g/kg BW and protein 0.9 (0.4– 1.9) g/kg BW. The proportion of energy intake from the parenteral route was 0.51 ± 0.26 and protein was 0.59 ± 0.28. No significant correlation was found in the proportion of energy and protein intake from the parenteral nutrition to total intake with nitrogen balance. Significant correlations were found for total energy intake (r= 0.697, p <0.001) and protein (r= 0.808, p <0.001) with nitrogen balance. Conclusion: Early administration of SPN is important in achieving total energy and protein intake to compensate nitrogen loss on the third day after elective laparotomy although the association between the proportion of nutrition intake and nitrogen balance has not been observed in this study.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>