Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1770 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kasmir
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004
332.1 KAS p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho
"Penelitian bertujuan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Peneiltian dlmulai dengan hipotesis-hipotesis yang dibangun berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, dan kemudian menguji hipotesishipotesis tersebut untuk menjawab permasalahan yang diangkat.
Ditinjau dari maksud studi, sifat hubungan antar variabel pada penelitian ini merupakan hubungan causal, oleh karena itu penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat explanatory.
Ditinjau dari cakupan topik, penelitian ini merupakan statistical study, dan berdasarkan dimensi waktu data yang akan dianalisis, peneitian ini menggabungkan analisis data cross sectional dan time series.
Populasi sampel adalah seluruh BPR di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Karawang, sedangkan sampel penelitian ditentukan dengan metode proportional stratified random sampling karena sifat populasi yang heterogen. Jumlah sampel adalah 30 BPR atau sebesar 11% dari jumlah populasi.
Hasil estimasi model memberikan informasi bahwa hasil Uji Serempak (Uji F) dan Uji Parsial (uji t) signifikan artinya semua variabel babas secara bersama-sama maupun secara individu mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Sedangkan dari hasil Uji Asumsi Klasik memberikan informasi bahwa pada model tidak terjadi multikolinearitas dan tidak terjadi heteroskedastisitas.
Dari hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dana pihak ketiga dan pemanfaatan teknologi informasi yang tercermin dari pemanfaatan komputer di BPR signifikan berpengaruh terhadap pengembangan kredit BPR, modal dan kredit signifikan berpengaruh terhadap kemampuan memperoleh laba dan bunga serta insentif deposito signifikan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah deposito."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Irwan
"Sektor perbankan memiliki peranan penting dalam perekonomian. Peranan perbankan ini terkait dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi. Dampak dari aktivitas intermediasi bank ini akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan sumber dana untuk pembiayaan investasi dan modal kerja kepada sektor swasta. Dengan kata lain, efek dari pembiayaan bank ini akan mendorong kegiatan sektor rill melalui interaksi berbagai pelaku ekonomi sehingga mengakibatkan peningkatan permintaan input produksi yang pada akhimya akan mendorong terjadinya peningkatan output produksi nasional.
Namun fungsi intermediasi perbankan terganggu sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Melemahnya nilai tukar rupiah yang berkepanjangan telah menimbulkan kesulitan likuiditas perbankan yang sangat besar. Depresiasi rupiah yang kemudian diikuti dengan kenaikan suku bunga sebagai konsekuensi upaya menstabilkan harga dan nilai tukar rupiah telah memperburuk kinerja debitur sehingga kredit bermasalah semakin menumpuk. Bank-bank mengaami negative spread sebagai akibat peningkatan suku bunga dana (borrowing rate) yang lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan suku bunga pinjaman (lending rate). Situasi tersebut telah menggerogoti permodalan bank sehingga banyak bank yang mengalami kekurangan modal (under capitalized).
Dalam upaya menyehatkan sistem perbankan dan meningkatkan peran intermediasi bank, salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah melakukan peningkatan permodalan bank atau yang dikenal dengan istilah "rekapitalisasi perbankan" yang dimulai pada tahun 1998 dan selesai tahun 2000 yang menelan biaya sebesar Rp431,1 triliun.
Berdasarkan kondisi diatas, menjadi menarik untuk mengkaji fungsi intermediasi perbankan setelah program rekapitalisasi. Kajian dibatasi pada enam bank besar di Indonesia yaitu Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, Bank BTN , Bank BCA dan Bank Danamon (BDI) yang menerima 89% dari total dana rekapitalisasi dan menguasai lebih kurang 65% dari total aset perbankan nasional. Kajian ini untuk mengetahui sejauh mana pengaruh rekapitalisasi terhadap intermediasi bank serta untuk melihat faktor-faktor internal dan eksternal perbankan yang mempengaruhi fungsi intermediasi perbankan.
Data yang digunakan adalah laporan neraca publikasi bank dan data sekunder dari Bank Indonesia secara series bulanan dari September 2000 (setelah program rekapitalisasi berakhir) sd September 2003 dengan sampel enam bank besar tersebut diatas. Selanjutnya dilakukan analisis data dengan Cara (1) menghitung rasio keuangan yang terkait dengan tujuan penulisan yaitu rasio CAR, LDR, BOPO, NPLs, pertumbuhan kredit, pertumbuhan dana, pertumbuhan aktiva produktif non kredit dan rasio kredit terhadap aktiva produktif, (2) melakukan estimasi fungsi kredit menggunakan model regresi linear berganda dengan dua persamaan tunggal (single equation) dan enam persamaan sistem (system equation) melalui metode pooled least square dan seemingly unrelated regression estimation dan (3) melakukan uji statistik Wald-test dan F-test untuk rnelihat pengaruh faktor internal dan eksternal secara bersama-sama terhadap kredit perbankan serta uji statistik T-test untuk melihat pengaruh parsial dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Variabel terikat adalah kredit, sedangkan variabel bebas, untuk faktor internal adalah modal, dana pihak ketiga (DPK), aktiva produktif non kredit (APNK) dan non performing loans (NPLs). Sedangkan variabel bebas faktor eksternal adalah pertumbuhan produk domestik bruto, suku bunga SBI dan perubahan wholesales price index.
Dari hasil pengujian statistik memperlihatkan rekapitalisasi perbankan berpengaruh dalam meningkatkan pemberian kredit. Hasil yang sama juga terIihat dari pengujian statistik secara individual (T-tets) dimana masing-masing variabel bebas juga berpengaruh terhadap pemberian kredit. Sementara dari hasil pengujian Wald-tets dan F-test, faktor internal dan faktor eksternal secara bersama-sama juga berpengaruh terhadap pemberian kredit.
Untuk mendorong intermediasi perbankan, kiranya perlu dilakukan kebijakan yang dapat menjadi stimulus bagi peningkatan pemberian kredit perbankan seperti aturan yang bersifat mandatori bagi bank untuk menyalurkan UKM, menerapkan good corporate governance pada usaha bank, relaksasi aturan kualitas kredit oleh Bank Indonesia, restrukturisasi kredit dan tidak melakukan reprofiling terhadap seluruh obligasi rekap yang jatuh tempo."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Perdi
"Sejak diberlakukannya UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, peranan Bank Indonesia semakin lebih fokus terhadap pelaksanaan tugas sebagai bank sentral/otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan operasi pengendalian moneter melalui piranti-piranti moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dalam rangka menjaga kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari laju inflasi (barang dan jasa) serta dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Pelaksanaan atas kebijakan moneter dan perekonomian telah menunjukkan perkembangan yang cukup kondusif dan terkendali. Diantaranya telah terjaga stabilitas moneter dari keuangan yang ditunjukkan oleh indikator-indikator makro perekonomian Indonesia diantaranya nilai tukar, inflasi dan ekspor telah menunjukkan perbaikan, sehingga dapat lebih selaras dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Walaupun kepercayaan terhadap perekonomian tersebut telah diraih, namun masih banyak permasalahan yang harus dihadapi diantaranya fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih terlihat dari penyaluran kredit perbankan dan penyerapan sektor riil belum sepenuhnya berlangsung. Oleh sebab itu dana lebih banyak berputar di sektor keuangan. Hal ini mengakibatkan adanya tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi sehingga fungsi Bank Indonesia menjaga kestabilan nilai tukar mengalami tekanan.
Sesuai dengan kondisi perekonomian tersebut diatas, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sejak tahun 1999 mengambil langkah kebijakan moneter kontraktif (penyerapan likuiditas), melalui piranti moneter yang dimilikinya melalui pengaturan jumlah uang beredar yang berdampak pada tingginya biaya pengendalian moneter.
Dalam tahun 2003 biaya perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter mencapai Rp. 14,4 triliun termasuk pengeluaran untuk diskonto SBI sebesar Rp. 13,9 triliun. Besarnya biaya pengendalian moneter tersebut menyebabkan penurunan kondisi keuangan Bank Indonesia sehingga dalam tahun-tahun mendatang diperkirakan akan mengalami defisit dan apabila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan dapat menggerogoti permodalan, sehingga dapat menurunkan kredibilitas dan indenpendensi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Untuk itu menjaga sustainable permodalan sangatlah penting agar peranan dan fungsi Bank Indonesia yang cukup stategis dalam perekonomian Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum berlakunya Undang Undang No. 23 tahun 1999 yakni periode 1996/97 s.d. 1998/99 permodalan Bank Indonesia dapat memenuhi ketentuan permodalan bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan keuntungan (surplus) yang diperolehnya. Namun setelah tahun 1999 permodalan Bank Indonesia mulai dipermasalahkan oleh para stakeholder sehubungan dengan peningkatan biaya pengendalian moneter, namun dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan ratio permodalan Bank Indonesia periode 1999 s.d. 2003 dapat terpenuhi bahkan selalu memoeroleh keuntungan (surplus), walaupun secara operasional pada tahun 1999 dan 2003, Bank Indonesia telah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp. 5,442 triliun dan Rp. 6,491 triliun, namun dengan dilakukannya revaluasi asset dan penilaian kembali aktiva valuta asing yang dimiliki oleh Bank Indonesia pada tahun 1999 mengakibatkan adanya tambahan pendapatan atas penilaian aktiva valuta asing sebesar Rp. 14,628 triliun sehingga Bank Indonesia dapat membukukan keuntungan sebesar Rp. 9,186 triliun tahun 1999. Sedangkan untuk tahun "2003, Bank Indonesia memperoleh tambahan pendapatan sehubungan dengan adanya penyelesaian BLBI (sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia ) sehingga Bank Indonesia memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp. 9,186 triliun, sehingga Bank Indonesia dapat tetap membukukan keuntungan sebesar 2,153 triliun.
Penurunan kondisi permodalan Bank Indonesia sejak tahun 1999 disebabkan oleh :
1. Berkurangnya sumber pendapatan Bank Indonesia diantaranya :
a. Dihapuskannya SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) dan pemberian Kredit Likuiditas,
b. Menurunnya pendapatan dari pengelolaan devisa yang disebabkan oleh penurunan tingkat sukubunga internasional.
c. Menurunnya kualitas aktiva yang diakibatkan oleh pengalihan tagihan pemerintah menjadi obligasi yang harus dimiliki sampai jatuh tempo dalam jumlah yang sangat significant (24,1 % dari total aktiva tahun 2003).
2. Meningkatnya biaya pengeluaran Bank Indonesia atas beban pengendalian moneter dan tambahan biaya untuk penyisihan aktiva produktif.
Mengingat terjadinya penurunan pendapatan dan peningkatan pengeluaran Bank Indonesia setelah diberlakukannya UU No. 23 tahun 1999 akan dapat meningkatkan defisit keuangan dan berdasarkan proyeksi keuangan yang disusun oleh Bank Indonesia pada tahun 2004 mengalami defisit anggaran sebesar Rp. 14,412 triliun akan dapat mengakibatkan penurunan kondisi permodalan Bank Indonesia, terlebih lagi bila kondisi defisit keuangan tersebut berlanjut pada tahun 2005 diproyeksikan bahwa permodalan Bank Indonesia akan lebih kecil dari 3% (3/100) sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku saat ini, pemerintah akan menyediakan anggaran untuk memenuhi ketentuan permodalan Bank Indonesia, hal ini akan membawa dampak yang kurang menggembirakan terhadap kredibilitas dan indenpendensi Bank Indonesia sebagai penyusun dan pelaksana pengendalian kebijakan moneter di Indonesia. Untuk menjaga sustainable permodalan Bank Indonesia diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Kebijakan Umum Bank Indonesia di bidang keuangan hendaknya memprioritaskan pada upaya meningkatkan surplus dengan jalan mengoptimalkan sumber penerimaan dan sebaliknya mengefisienkan setiap pengeluaran sehingga permodalan Bank Indonesia dapat ditingkatkan.
2. Kebijakan Optimalisasi Penerimaan
Dalam rangka optimalisasi dan upaya peningkatan penerimaan, maka langkah yang dapat ditempuh terutama dalam :
a. Pengelolaan devisa dengan menyempurnakan sistem yang berlaku melalui optimalisasi profit dengan tanpa mengorbankan likuiditas dan keamanan.
b. Pengkajian sumber penerimaan lain, berkenaan dengan pencetakan uang rupiah (seignorage).
c. Peningkatan kualitas aktiva yang dimiliki termasuk pencarian sumber-sumber penerimaan baru seperti pengenaan biaya transaksi warkat peserta kliring dan distribusi uang.
3. Kebijakan Pengendalian Beban
Dalam rangka peningkatan efisiensi dan menekan jumlah beban, maka langkah - langkah yang dapat ditempuh terutama meliputi:
a. Perubahan pengendalian moneter dari target base money menjadi pricing target.
b. Pengembangan piranti pengendalian moneter selain SBI, misalnya Treasury Bills (T-Bill), dan secara bertahap menggantikan SBI.
c. Mencari alternatif pencetakan dan distribusi uang yang lebih efisien dan efektif.
4. Kebijakan pengaturan perbankan
Membuat regulasi/ketentuan yang dapat mendukung peningkatan Loan to Deposit Ratio perbankan tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip kehatian-hatian dalam pemberian kredit sehingga dapat mengurangi over likuiditas perbankan yang dapat meningkatkan tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar.
5. Ketentuan Permodalan
Mengingat perubahan ketentuan permodalan Bank Indonesia dari jumlah nominal menjadi prosentase tertentu dari kewajiban moneter telah mengakibatkan para stakeholder mempermasalahkan permodalan Bank Indonesia. Untuk itu perlu ditinjau kembali ketentuan permodalan Bank Indonesia agar jumlah modal minimum Bank Indonesia dapat disesuaikan dengan kondisi keuangan Bank Indonesia tanpa mengabaikan pada prinsip-prinsip permodalan minimum bank sentral."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Fallah Rosyadi
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kinerja Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan 7 (tujuh) bank umum konvensional pada periode 1994-2003. Ukuran kinerja ditentukan berdasarkan rasio keuangan yang terdiri dari CAR, NPL, ROA, ROE, LDR dan BOPO. Untuk membuktikan hipotesis awal (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kinerja BMI dengan bank umum konvensional, penulis menggunakan Independent samples t-test. Selanjutnya t-test jenis comparing means digunakan untuk mengetahui perbedaan antarkelompok bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwaberdasarkan rata-rata (mean) rasio keuangan, BMI relatif lebih baik pada tiga rasio, yaitu NPL, ROE dan LDR, sementara itu rasio lainnya BMI relatif lebih rendah kualitasnya.

This study was aimed to compare banking performance between Bank Muamalat Indonesia with 7 conventional banks for 1994-2003 period. Banking performance analysis based on financial ratio which depends on CAR, NPL, ROA, ROE, LDR and BOPO. Independent samples Hest was used to prove null hypothesis (Ho) that states there is no significant difference between conventional banking performance and that of Islamic bank. Then. comparing means was used lo find difference in inter banks performance. This study shows that BMI is relafively superior in NPL. LDR ratios significant value."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T 13580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sediyono
"ABSTRAK
Adanya persaingan yang tajam dibidang industri jasa keuangan/perbankan pada dewasa ini ditengah arus globalisasi, arus deregulasi, dan perubahan lingkungan yang cepat menyebabkan tingkat persaingan menjadi semakin tajam. Kondisi ini menyebabkan kesulitan bank Pemerintah dalam penghimpunan dana dan pemasaran kredit. Sedikit detail sedikit porsinya diambil oleh bank swasta. Demikian juga yang terlihat pada Bank BNI, sehingga menurunkan perolehan pangsa pasar yang hal ini dipandang sebagai permasalahan utama. Target yang ingin dicapai dalam corporate plan-nyapun tidak dapat terpenuhi.
Bank BNI dalam hal ini telah membuat perencanaan jangka panjang dengan corporate plan (untuk jangka waktu 5 tahunan) dan dipandu dengan kebijaksanaan umum Direksi (KUD) selanjutnya disusunlah business plan untuk masing-masing unit. Business plan tersebut kemudian dipecah-pecah menjadi goal setting pegawai dari unit yang bersangkutan. Perencanaan jangka pendek (business plan) tahunan adalah rencana yang akan dikerjakan pada tahun yang bersangkutan, dan merupakan pentahapan dari corporate plan. Perencanaan tersebut sebelumnya telah dimintakan masukan dari unit-unit secara bottom up, dan setelah masukan tersebut dipadukan dengan keinginan Direksi dan pemegang saham (dalam hal ini Departemen Keuangan), maka diputuskanlah keinginan jangka panjang tersebut melalui corporate plan perusahaan secara top down yang harus dilaksanakan oleh segenap unit.
Berkenaan dengan hal tersebut penulisan ini dimaksudkan untuk memetakan permasalahan strategi penghimpunan dana dan pemasaran kredit dan dicoba mengajukan alternatif strategi penghimpunan dana dan pemasaran kredit dengan pendekatan dual strategy.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufikurrahman
"Memasuki era pemerintahan baru pasca pemilu 2004 yang dianggap cukup demokratis, indikator-indikator kinerja perbankan Indonesia relatif membaik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Membaiknya profitabilitas bank-bank di Indonesia terlihat pada Net Interest Income (NII), Net Interest Margin (NIM) dan Return on Assets (ROA) yang cenderung meningkat sebagai akibat dari meningkatnya spread antara suku bunga kredit dan dana. Disamping itu, Capital Adequacy Ratio (CAR) juga terus membaik, mencapai di atas 20%, jauh di atas persyaratan minimum yang ditetapkan Bank Indonesia (Sarjito, 2004). Perkembangan perbankan yang membaik tersebut mencakup pula sub-sektor perbankan syariah. Dengan menerapkan sistem bagi hasil yang relatif baru di Indonesia dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional, perbankan syariah di Indonesia berhasil meraih perkembangan aktiva yang pesat. Pasar bank syariah di Indonesia diperkirakan masih terbuka luas dan belum jenuh. Pada tahun 2005 diperkirakan masih 20 bank (empat bank swasta nasional dan 16 bank pembangunan daerah) akan membuka divisi syariah. Saat ini sudah 19 bank yang diberi izin beroperasi secara lslami. Tahun 2006 diperkirakan bahwa hampir semua bank sudah punya divisi syariah.
Namun perbankan syariah di Indonesia diperkirakan tidak dapat terus menikmati perkembangan pesat tersebut, jika hanya mengandalkan pasar loyalis, yaitu golongan umat Islam yang mengharamkan riba. Telah tiba waktunya bank-bank syariah mulai menggarap pasar rasional, yang umumnya mempunyai kemampuan financial menengah ke atas dan dapat diharapkan untuk senantiasa aktif dalam kegiatan penyimpanan dana dan pembiayaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasionalitas dan kepercayaan pasar akan kinerja bank merupakan kunci sukses pengembangan perbankan syariah di masa yang akan datang. Terlebih lagi jika bank-bank syariah hendak berekspansi, sudah tentu kepercayaan investor sangat diperlukan untuk memperoleh tambahan modal. Untuk dapat mempertahankan investor yang telah ada dan menarik investor baru, bank syariah harus menunjukkan kinerja yang meyakinkan, profitabilitas, dan nilai tambah ekonomis (economic value added) terhadap investasi mereka. Untuk mencapai tujuan strategis tersebut, sebagaimana pada perusahaan-perusahaan di sektor lainnya, pada bank syariah diperlukan antara lain adanya piranti ukur kinerja yang dapat secara cukup akurat menunjukkan seberapa tinggi profitabilitas dan nilai tambah bagi pemodal yang diciptakan dari kegiatan bisnis perbankan yang dilakukan bank tersebut. Salah satu konsep yang dapat diajukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut analisis profitabilitas produk perbankan dengan menggunakan gabungan konsep ABC (Activity-Based Costing) dan EVA (Economic Value Added).
Secara umum, dapat dikatakan bahwa kinerja suatu perusahaan dapat dipengaruhi oleh kualitas sistem informasi biayanya. Semakin andal informasi biaya yang tersedia, makin andal pula pijakan untuk pengambilan keputusan, dan pada akhirnya berimbas pada makin tepatnya pengambilan keputusan bisnis serta makin baik pula kinerja perusahaan secara keseluruhan (Roztocki, 2001). ABC adalah sistem pengukuran biaya produk (costing system) yang dianggap lebih andal dari sistem biaya tradisional, yang telah banyak diterapkan pada perusahaan-perusahaan manufaktur selama lebih dari satu dekade yang lalu (Cooper, 1988). Dalam banyak kasus, implementasi ABC telah banyak menunjukkan kontribusi yang positif terhadap efisiensi penggunaan biaya overhead perusahaan (Cooper & Kaplan, 1991). Di samping sektor manufaktur, ABC juga telah banyak diterapkan di perusahaan jasa, termasuk perbankan (Mays & Sweeney, 1994; Lambert & Whithworth, 1994; Krupnicki & Tyson, 1997; Garrison & Noreen, 1997).
ABC dapat dikatakan andal dalam menelusuri biaya overhead untuk mengukur profitabilitas produk secara lebih akurat, namun sayangnya tidak mempertimbangkan biaya modal (capital cost). ABC hanya berfokus pada data laporan biaya perusahaan, dan tidak memperhatikan informasi pada neraca (Roztocki & Needy, 1999). Guna menghasilkan analisis biaya yang lebih lengkap dan lebih andal lagi, beberapa ahli menganjurkan untuk menggabungkan sistem ABC dan EVA (Hubbell, 1996; Roztocki & Needy, 1998; Cooper & Slagmulder, 1999). EVA (Economic Value Added) merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Stern Stewart & Co., yang mengklaimnya sebagai ukuran kinerja.yang paling dapat mencerminkan profit ekonomis perusahaan yang sebenarnya, dan dapat mengkaitkannya dengan penciptaan nilai tambah terhadap kekayaan pemilik modal (Stewart, 2005). Dalam gabungan konsep ABC dan EVA, komponen ABC sebagai sistem biaya digunakan untuk menelusuri biaya overhead secara akurat dan lebih banyak menggunakan informasi dari laporan laba rugi, sedangkan komponen EVA digunakan untuk menghitung estimasi biaya modal.
Dengan demikian, analisis profitabilitas produk yang dibuat dengan gabungan konsep ABC dan EVA akan menghasilkan angka profit yang dihasilkan setiap produk, yang telah memperhitungkan pembebanan biaya overhead atau biaya umum yang lebih akurat ke setiap produk, sekaligus mencerminkan berapa nilai tambah (added-value) yang dihasilkan setiap produk terhadap modal yang ditanam oleh investor. Integrasi ABC dan EVA telah berhasil diterapkan dibeberapa perusahaan manufaktur (Roztocki, 200O), namun sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah diimplementasikan untuk perbankan, apalagi syariah yang memiliki karakteristik operasional yang cukup unik. Oleh karena itulah dalam karya akhir ini penulis hendak mencoba menyajikan model analisis profitabilitas untuk produk-produk perbankan syariah dengan menggunakan integrasi konsep ABC dan EVA. Untuk mempermudah penyajian model analisis, dalam karya akhir ini penulis menggunakan alat bantu kalkulasi kuantitatif dan analisis kualitatif dengan dasar informasi biaya dan keuangan Bank Syariah ?X? untuk periode akuntansi yang telah berlalu (data historis). Bank Syariah ?X? adalah sebuah Bank Syariah yang berkantor pusat di Jakarta, Indonesia.
Tujuan penelitian dan penulisan karya akhir ini adalah untuk mengajukan model alternatif untuk melakukan analisis profitabilitas produk pembiayaan untuk suatu bank syariah, mengingat masih sangat jarang praktisi manajemen yang menaruh perhatian besar pada pengembangan konsep-konsep pengendalian dan manajemen biaya untuk sub-sektor perbankan syariah. Diharapkan bahwa meskipun masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan, model analisis yang disajikan dalam karya akhir ini dapat menjadi referensi bagi pengembangan model analisis sejenis yang lebih baik lagi dan menggunakan variabel serta data yang lebih lengkap, khususnya untuk bank-bank syariah.
Penelitian ini merupakan analisis deskriptif, dan berusaha mengaitkan analisis dan perhitungan kuantitatif serta informasi kualitatif dengan gagasan model analisis alternatif yang relatif baru dalam artian ketiadaan contoh aplikasi nyata, namun sebenarnya didasarkan pada model-model yang telah dibuat oleh para ahli sebelumnya, terutama penelitian dan tulisan tentang ABC, EVA, dan model integrasi ABC dan EVA. Modifikasi atas beberapa bagian data dilakukan untuk mempermudah, memperjelas, dan mencapai tujuan analisis. Penggunaan data kuantitatif tersebut tidak dimaksudkan untuk mempublikasikan detail kinerja bank syariah yang menjadi sumber data, oleh karena itu penulis tidak menyebutkan nama bank tersebut secara eksplisit. Tiadanya penyebutan nama bank juga dimaksudkan agar model analisis dalam karya akhir ini jauh dari kesan asosiatif terhadap satu bank syariah tertentu saja, namun dapat menjadi gambaran yang seoptimal mungkin dapat merepresentasikan sistem operasional bank syariah secara umum.
Dari hasil analisis dalam karya akhir ini diketahui bahwa produk pembiayaan Bank Syariah "X" yang paling profitable dan memberikan nilai tambah (EVA) yang terbesar bagi pemodal adalah produk BBA (Bai Bithaman Ajil). Produk tersebut memberikan keuntungan (bagi hasil) yang sangat besar, sementara biaya operasinya (hasil kalkulasi ABC) relatif sangat kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Setelah dibebankan biaya modal yang sebanding dengan proporsi dana yang diserap, produk pembiayaan ini masih memberikan nilai EVA yang terbesar. Hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen dan pemilik modal perusahaan bahwa produk pembiayaan BBA sangat menguntungkan untuk terus dipertahankan karena memberikan profit bagi perusahaan sekaligus potensi nilai tambah yang sangat besar bagi penanam modal.
Dengan melihat volume dana yang diserap oleh produk ini (58,66% dari total dana pembiayaan), dapat disimpulkan bahwa keuntungan yang besar juga diperoleh berkat tingginya minat para nasabah pembiayaan (peminjam) dalam mempergunakan fasilitas pembiayaan BBA. Tingginya minat nasabah akan produk ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya menariknya paket pembiayaan (nisbah bagi hasil, periode pinjaman, dan sebagainya), konsep dan strategi pemasaran yang tepat, ataupun kemungkinan tingkat kompetisi yang belum terlalu tinggi untuk produk sejenis dalam industri perbankan syariah. Sedangkan tingkat biaya operasi (hasil kalkulasi ABC) yang relatif sangat rendah dibandingkan dengan tingkat penjualan dan keuntungan produk menunjukkan bahwa secara umum biaya aktivitas yang dilakukan untuk mengelola produk ini sangat efisien.
Penelitian lebih lanjut tentang akar penyebab (root causes} fenomena ini akan sangat membantu manajemen, terutama untuk mengetahui mengapa produk-produk lain mengkonsumsi biaya aktivitas yang sangat besar jika dibandingkan dengan volume produk dan tingkat keuntungannya. Misalnya, untuk produk pembiayaan mudharabah, keuntungannya sangat tipis dibandingkan dengan biaya operasi (hasil kalkulasi ABC), sehingga ketika dibebani biaya modal, nilai EVA-nya menjadi negatif. Keuntungan yang kecil mungkin terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat penjualan produk pembiayaan ini, yang bisa berarti sangat kurangnya minat masyarakat terhadap produk tersebut. Alokasi dana yang dikeluarkan untuk produk pembiayaan ini hanyalah 6,13% dari total dana pembiayaan, sehingga keuntungan bagi hasil yang diperolehpun sangat kecil.
Biaya aktivitas (hasil kalkulasi ABC) yang sangat besar dibandingkan dengan rendahnya volume pembiayaan menjadi pertanyaan yang harus diselidiki lebih lanjut oleh manajemen, apakah terdapat banyak aktivitas yang tidak bernilai tambah dalam pengelolaan operasional produk tersebut. Misalnya terlalu banyaknya waktu menganggur para staf marketing yang ditugaskan untuk memasarkan produk tersebut. Karena ternyata biaya operasi produk mudharabah hampir sama dengan biaya produk BBA yang volume pembiayaan dan keuntungannya jauh lebih besar. Rendahnya minat masyarakat terhadap pembiayaan mudharabah dapat pula disebabkan oleh kurang menariknya paket pembiayaan tersebut. Hal yang hampir sama juga berlaku untuk produk musyarakah. Keuntungan produk ini sangat kecil sehingga hanya dapat menutupi biaya operasi (hasil kalkulasi ABC) namun tidak dapat menutupi biaya modal, sehingga nilai EVA-nya negatif.
Model analisis dalam karya akhir ini belumlah sempurna karena berbagai keterbatasan, namun kiranya dapat dimanfaatkan oleh manajemen bank-bank syariah sebagai bekal konseptual guna merancang model yang lebih definitif dan menggunakan variabel yang lebih aktual. Analisis demikian akan sangat bermanfaat sebagai piranti pengendalian manajemen dan pengelolaan kinerja produk. Tindakan manajemen dalam merespon hasil analisis profitabilitas tersebut akan sangat menentukan respons dan minat penanaman dana (pemodal) untuk menginvestasikan dananya ke bank syariah, baik berupa tabungan, deposito, maupun dalam bentuk pemilikan surat berharga perusahaan (saham, obligasi, dan sebagainya). Semakin banyak produk-produk yang dilaporkan memiliki EVA negatif, akan memberikan warning kepada investor bahwa manajemen bank tersebut kurang baik dalam mengelola dan memasarkan produk-produknya.
Bagi pemilik dana tabungan atau deposito, informasi tersebut berguna untuk mempertimbangkan keputusan berikutnya untuk mempertahankan atau menambah penanaman dana di bank bersangkutan terkait dengan kemungkinan nisbah bagi hasil yang dapat diperoleh, karena bagi hasil untuk penabung akan sangat bergantung pada kinerja produk pembiayaan. Sebaliknya bagi manajemen, nilai EVA per produk dapat dijadikan landasan keputusan untuk menerapkan strategi produk selanjutnya, apakah harus mempertahankan produk tertentu, memompa pemasaran produk tertentu, atau mengeliminasi produk tertentu, sehingga kinerja perusahaan secara keseluruhan menjadi lebih baik. Analisis profitabilitas yang menghasilkan nilai EVA per produk seperti di atas dapat menyelaraskan tindakan dan upaya manajemen dalam mengelola usaha bank dengan keputusan dan harapan pemilik dana (pemegang saham, penabung, dan kreditor). Jika tercapai keselarasan tersebut, bank-bank syariah akan dapat lebih besar lagi memperoleh kepercayaan dari para pemodal dan pemilik dana, dan meraih pasar yang lebih luas lagi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eugenia Mardanugraha
"Dalam disertasi ini, akan ditemukan berbagai ukuran yang menjelaskan efisiensi perbankan yang diperoleh dengan mengestimasi fungsi biaya perbankan. Secara teoritis, fungsi biaya mengukur biaya minimum yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu tingkat output tertentu dengan menggunakan tingkat harga input tertentu. Sedangkan fungsi biaya yang diestimasi secara ekonometris digunakan sebagai frontier, untuk mengetahui efisiensi suatu bank, melalui ukuran-ukuran tertentu yang diturunkan dari fungsi biaya tersebut.
Skor efisiensi suatu bank pada suatu waktu tertentu diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu Distribution Free Approach dan Stochastic Frontier Approach. Kedua metode ini membandingkan error term dari bank yang paling efisien dalam sampel dengan error term dari suatu bank. Perbedaan asumsi distribusi error term menyebabkan perbedaan metode perhitungan keduanya. Dari hasil pengukuran efisiensi perbankan diperoleh kesimpulan bahwa kelompok Bank Campuran merupakan kelompok bank yang paling efisien dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu Bank Persero, Bank Swasta Nasional Devisa, Bank Swasta Nasional Non Devisa, Bank Asing, Bank Pembangunan Daerah, Bank Tutup dan Bank Merger. Paling efisiennya Bank Campuran disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan oleh bank campuran dan alokasi input nya lebih optimal dibandingkan dengan kelompok bank lainnya.
Proses merger menurunkan efisiensi tetapi meningkatkan stabilitas dari keefisienan bank merger. Kestabilan ini menunjukkan terbentuknya manajemen yang lebih kokoh dari bank basil merger. Adanya resiko yang harus ditanggung oleh bank hasil merger dan proses konsolidasi yang membutuhkan biaya tinggi, antara lain merupakan penyebab dari menurunnya tingkat efisiensi bank basil merger. Skala ekonomi bank setelah merger mengalami peningkatan.
Secara rata-rata, perbankan di Indonesia sudah mencapai economies of scale dan economies of scope. Namun, perbankan di Indonesia belum menunjukkan kemajuan teknis. Economies of scale, economies of scope dan kemajuan teknis baru dapat dirasakan oleh perbankan apabila bank sudah cult-up efisien. Dalam disertasi ini ditunjukkan bahwa apabila skor efisiensi DFA nya sudah mencapai 0,7, maka bank baru merasakan manfaat dari economies of scale, economies of scope dan kemajuan teknis untuk meningkatkan efisiensinya. Sementara rata-rata skor efisiensi DFA untuk periode 1994 - 2003 adalah 0,152. Hal ini berarti bahwa bank secara internal harus melakukan efisiensi terlebih dahulu, seperti meningkatkan produktivitas dan karyawan dan penggunakan teknologi, sebelum melakukan upaya-upaya external, seperti merger dan meluncurkan produk-produk baru, agar efisiensinya lebih meningkat lagi.
Efisiensi perbankan juga akan meningkatkan kinerja makroekonomi Indonesia, terutama ditunjukkan oleh meningkatnya pertumbuhan dari total investasi dan total kredit pada bank komersial apabila terjadi perbaikan efisiensi dalam industri perbankan.
Penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi: pertama, Bank Indonesia harus mengupayakan agar manajemen dari bank tetap baik, sehingga bank dapat menggunakan dan mengalokasikan biaya-biaya operasionalnya secara optimal. Kedua, harus adanya upaya untuk mempercepat pulihnya efisiensi bank setelah merger, sehingga tingkat efisiensinya kembali ke level semula. Ketiga, Bank Indonesia harus mendorong perbankan untuk dapat memanfaatkan teknologi dengan sebaik mungkin.
Permasalahan-permasalahan yang sudah mengemuka namun belum sempat diuji dalam penelitian ini, antara lain resiko perbankan, akses informasi bank terhadap nasabah dan pemanfaatan teknologi dalam perbankan dapat menjadi topik-topik yang bermanfaat bagi penelitian yang akan datang."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
D533
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Senayan Abadi Publishing , 2003
297.273 PER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ririh Krishnani
"Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini menunjukkan peningkatan yang sangat pesat hal mana ditandai dengan tumbuhnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dan berkembangnya Bank-Bank Umum Syariah baik yang berasal dari Bank Perkreditan Rakyat Syariah maupun yang pada awalnya merupakan Unit Usaha Syariah Bank konvensional, paradigma ini menimbulkan beberapa hal yang perlu dibahas kembali secara mendalam yakni 1) Apakah yang dimaksud dengan Konsep Syariah dan Kontrak Wadi'ah dalam Perbankan Syariah? 2) Bagaimanakah mekanisme peningkatan status Bank Perkredican Rakyat Syariah (BPRS) menjadi Bank Umum Syariah (BUS)? dan 3) Apakah bentuk hubungan kontrak yang digunakan dalam peningkatan status Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) menjadi Bank Umum Syariah (BUS) yang sejalan dengan konsep syariah? Dengan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan.yaitu: 1) Pemberian izin usaha Bank Umum Syariah dan BPR Syariah dilakukan dalam dua tahap: a) persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank: dan b) izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan pendirian selesai dilakukan, 2) Modal disetor untuk mendirikan Bank Umum Syariah ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Sedangkan modal disetor untuk BPR Syariah berkisar antara Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan Rp. 2.000.0D0.000,00 (dua miliar rupiah) tergantung lokasi atau wilayah tempat pendiriannya, 3) Prosedur untuk meningkatkan status BPR Syariah menjadi Bank Umum Syariah dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan izin kepada Bank Indonesia dan menyesuaikan dengan persyaratan-persyaratan tertentu berlaku bagi Bank Umum Syariah, termasuk ketentuan tentang jumlah persyaratan modal disetor yang mengatur tentang kewajiban menyetor 30% dari jumlah modal minimum tersebut dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik, 4) Mekanisme peningkatan status BPR Syariah menjadi Bank Umum Syariah dengan menggunakan Kontrak Wadiah dengan Bank Indonesia sudah sesuai denqan konsep perbankan syariah karena merupakan hubungan hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>