Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purnama Sidih
Abstrak :
Latar belakang. Kognitif merupakan proses berpikir akibat aktivitas sejumlah fungsi kompleks dari berbagai sirkuit di otak. Adanya gangguan kognitif menunjukkan terjadinya gangguan fungsi otak. MCI ( Mild Cognitive Impairment ) merupakan gangguan kognitif ringan yang sudah terjadi pada kelompok lanjut usia nondemensia. Berbagai studi menunjukkan gambaran dan prevalensi MCI pada lanjut usia nondemensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran fungsi kognitif dan prevalensi MCI pada kelompok lanjut usia nondemensia . Metode. Penelitian ini menggunakan cara potong lintang dengan populasi semua lanjut usia nondemensia di Puskesmas Tebet dan Pasar Minggu yang memenuhi kriteria inklusi. Semua subyek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis , Dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan CERAD dan Trail Making Test - B. Diagnosis MCI menggunakan kriteria dari Petersen RC. Data diolah dengan menggunakan tes chi-square, Fisher's Exact dan memakai program SPSS versi 12 Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 300 lanjut usia (> 60 tahun) nondemensia, rentang usia antara 60-76 tahun (rerata 63,5 ± 4,1 tahun) dengan kelompok usia terbesar 60 - 65 tahun (75,0%) , terdiri dari 177 (59%) wanita dan 123 (41%) pria. Sebanyak 269 subyek (89,6%) memenuhi kriteria MCI. Subkelas MCIa 22 kasus (7,3%), MClsdnm 81 kasus (27%) dan MCImd 166 kasus (55,3%). Gangguan kognitif terbanyak pada MCIa adalah Memori Rekognisi (81,8%) , pada MClsdnm adalah Fungsi Eksekutif (100%) dan pada MCImd adalah Fungsi Eksekutif (89,1%) beserta Memori Rekognisi (64,5%). Didapatkan hubungan bermakna antara MCIa dengan DM ( p = 0,038 ; OR 0,10 ; IK 95% 0,01;0,88 ) dan MCImd dengan pendidikan rendah ( SD dan SLP) (p = 0,000 ; OR 5,32 ; IK95% 2,12;13,31 ) dan DM (p = 0,008 ; OR 0,26 ; IK95% 0,10;0,70 ). Kesimpulan. Prevalensi MCI pada lanjut usia nondemensia ( > 60 tahun ) ditemukan sebesar 89,6% .Rana kognitif yang paling banyak terganggu adalah Memori Rekognisi dan Fungsi Eksekutif . Faktor risiko terbanyak adalah pendidikan rendah dan DM
Background. Cognitive function is the process of several complex functions of various circuits in the brain. Mild Cognitive Impairment (MCI) is a transition state between normal and probable dementia. The aim of this study was to describe the cognitive impairment profile and the prevalence of MCI in non demented elder Methods. This was an analytical cross sectional study which included all non demented elder patients who fulfilled the inclusion criteria. Medical history, physical and neurology examination were performed.. The patient's cognitive function was examined using neurophsycology test of CERAD and Trail Making Test-B. Diagnostic criteria of mild cognitive impairment were confirmed by using criteria from Petersen RC (< 1.5 SD below normative value ). The data were analyzed using chi-square, Fisher' exact and using SPSS for Windows ver. 12. Result. There were found 300 non demented elder ( age > 60 years old ), 177 (59%) subjects were female and 123 (41%) were male , range of age was 60-76 years old (mean 63,5 ± 4,1 years old ) with largest age group were 60-65 years old ( 75,0%). There were 269 (89,6%) subjects fulfilled the MCI criteria with MCIa 22 (7,3%) , MClsdnm 81 (27%) and MCImd 166 (55,3%) . The most affected cognitive domain in MCIa was Recognition Memory ( 81,8%) in MClsdnm was Executive Function (100%) and in MCImd were Recognition Memory (64,5%) together with Executive Function (89,1%) . In addition, a significant correlation was found between the MCIa and DM ( p=0.038;OR 0,10; CI95% 0,01;0,88) and between MCImd with poor education (p=0.000;OR 5,32; C195% 2,12;13,31) and DM (p=0.008;OR 0,26; CI95% 0,10;0,70. Conclusion. Prevalence of MCI in non demented elder (> 60 years old ) 89,6% . The most affective cognitive domains were Recognition and Executive Function . The most risk factors were poor education and DM
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Memori merupaKan salah satu fungsi penting bagi individu, baik di dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya maupun menjalankan aktivitasnya sehari- hari seperti bekerja ataupun menyelesaikan tanggung jawabnya. Menurut Santrock (2002) memori adalah kemampuan individu untuk menahan atau menyimpan sejumlah informasi di dalam pikirannya seiring dengan berjalannya walciu. Dampak dari terganggunya fungsi memori, diungkapkan oleh Lezak (1995) membuat individu menjadi tergantung pada orang lain, kemampuan untulc belajar terganggmg serta menurunkan kinexjanya. Selain itu juga akan membuatnya sulit menjalin hubungan ataupun membuat kontak sosial yang bermakna dengan lingkungannya. Gangguan memori dapat terjadi pada kasus-kasus lansia, stroke, cedera kepala., Serta yang mengalami kerusal-can fungsi pada bagian otak tertentu. Memori dapat dibagi berdasarkan beberapa kriteria penggolongan. Diantaranya ada yang disebut dengan, short term memory (STM) dan long term memory (L'I'M`), penggolongan ini berdasarkan durasi atau wakm. Selain itu berdasarkan proses terbentuknya, terbagi menjadi declarative dan procedural memory. Lalu berdasarkan isi (sifat) informasi atau peristiwa yang harus diingat. Misalnya memori yang berhubungan dengan pengalaman yang texjadi pada diri individu itu sendiri atau bersifat pribadi (episodic memory) dan semantic memory berhubungan dengan memoxi mengenai pengetahuan umum individu, misalnya abjad dan peristiwa sejarah (Lezak, 1995). Fungsi memori, walaupun tidak seluruhnya, mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan bertambahnya usia. Assessment terhadap fungsi memori merupakan bagian yang penting di dalam evaluasi klinis dan neutopsikologis, terutama pada orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh banyak gangguan neuropsikiatri pada orang dewasa yang melibatkan gangguan iimgsi kognitii; antara lain fungsi memori (Poon, dalam Kaufman 1990). Terkadang keluhan pasien rnengenai kesulitan mengingat bersifat tidak reliabel atau berubah- ubah, maka diperlukan tes untuk membantu mengulcur iimgsi memori inclividu secara objektif(Gregory, 1987). WMS merupakan salah satu tes memori yang paling banyak digunakan pada pemeriksaau fungsi memori individu, tes ini terdiri dari 7 subtes.Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, tes ini terus dipertahankan karena sifatnya praktis dan sederhana_ Fungsi memori yang diukur ialah declorarive memory, working memory, recoil, serta peran dari aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi memori individu yaitu atensi dan learning. Di Indonesia telah dilakukan penelitian tentang WMS, namun jumlah sampelnya masih sangat terbatas dan tes ini belum pemah dibuat gambaran skomya pada populasi dewasa muda dan menengah dengan latar belakang pendidikan SMU sederajat. Untuk menjawab permasalahan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitalif dengan metode analisa statistik deskriptif; yaitu membandingkan skor rata-rata setiap subtes pada dua kelompok usia. Kemudian dilihat apakah ada perbedaan yang signiiikan. Metode pengambilan sampel yang digunakan pulposive sampling, dengan jumlah total sampel sebanyak 60 orang. Berdasarkan hasil analisa data, maka skor rata-rata populasi dewasa muda secara umum lebih tinggi dibandingkan populasi dewasa menengah. Pada kedua kelompok usia subtes yang mendapat nilai tertinggi ialah subtes orientasi, keterangan pribadi dan kini, serta belajar asosiasi-pasangan kata mudah. Sedangkan skor terendah adalah pada subtes memori logis. Ditemukan ada perbedaan yang signifxkan antara kedua kelompok usia pada subtes : orientasi, memori logis, deret angka mundur, reproduksi visual, belajar asosiasi (skor total dan pasangan kata sulit). Pada penelitian ini masih perlu adanya rentang usia yang lebih sempit lagi karena batasan dewasa muda dan menengah adalah rentang yang cukup luas Pengambilan sampel juga sebaiknya tidak hanya difokuskan pada suatu institusi sehingga dapat dipefoleh keterwakilan sampel.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Armalia
Abstrak :
Afasia motorik merupakan salah satu gangguan komunikasi yang terjadi akibat stroke dan dapat menyebabkan gangguan terhadap kepercayaan diri seseorang yaitu harga diri dan efikasi diri yang mana kedua hal ini merupakan bagian terpenting dari masing-masing individu dalam mencapai status sosialnya dalam berkomunikasi. Teknik restrukturisasi kognitif digunakan untuk efikasi diri dan harga diri dengan memiliki asumsi bahwa dasar restrukturisasi kognitif yaitu respon-respon perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh terapi restrukturisasi kognitif terhadap harga diri dan efikasi diri pasien stroke dengan afasia motorik. Metode penelitian ini menggunakan quasi experimental design dengan pendekatan desain pretest posttest nonequivalent control grup, dimana desain ini melibatkan dua kelompok yang akan diobservasi sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pada harga diri setelah diberikan intervensi restrukturisasi kognitif dengan (pvalue= 0,001; α<0,05), dan pengaruh yang signifikan pada tingkat efikasi diri setelah diberikan intervensi dengan (pvalue= 0,001; α<0,05). Hasil penelitian ini merekomendasikan restruktuisasi kognitif menjadi salah satu intervensi dalam pemberian asuha keperawatan secara holistik mencakup biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual kepada pasien pasca stroke dengan afasia motorik unutk dapat menaikkan harga diri dan efikasi pada pasien untuk membantu mengolah perasaan dan keyakinan psikologis pasien pasca stroke dalam menjalani proses rehabilitasinya ......Motor aphasia is one of the communication disorders that occurs due to stroke and can cause interference with one's self-confidence, namely self-esteem and self-efficacy, both of which are the most important parts of each individual in achieving their social status in communicating. Cognitive restructuring technique is used for self-efficacy and self-esteem with the assumption that the basis of cognitive restructuring is behavioral responses. This study aims to examine the effect of cognitive restructuring therapy on self-esteem and self-efficacy of stroke patients with motor aphasia. This research method uses a quasi-experimental design with a non-equivalent control group pretest posttest design approach, where this design involves two groups to be observed before and after the intervention. The results showed that there was a significant effect on self-esteem after being given a cognitive restructuring intervention with (p-value = 0.001; <0.05), and a significant effect on the level of self-efficacy after being given an intervention with (p-value = 0.001; <0.05). ). The results of this study recommend cognitive restructuring to be one of the interventions in providing holistic nursing care including biological, psychological, sociological and spiritual to post-stroke patients with motor aphasia to increase self-esteem and efficacy in patients to help process the psychological feelings and beliefs of post-stroke patients. in the process of rehabilitation
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Wulandari
Abstrak :
Kognitif merupakan kemampuan dalam proses berpikir dan mendapatkan informasi. Pada saat memasuki usia lanjut tingkat kognitif akan mengalami penurunan. Lansia yang bekerja menggunakan kemampuannya seperti pikiran dan kemapuan fisik untuk terus produktif. Kemampuan lansia yang terus digunakan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana hubungan status pekerjaan dan tingkat kognitif lansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan dengan tingkat kognitif lansia. Metode penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan pengambilan data menggunakan random sampling. Penelitian ini dilakukan pada 83 lansia yang berusia 60-64 tahun di Kecamatan Beji, Depok menggunakan instrumen MoCA-Ina. Hasil Penelitian menggunakan Uji Man whitney nilai p adalah 0,201 p>0,05 . Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara status pekerjaan dan tingkat kognitif lansia di Kecamatan Beji. Nilai tengah penelitian menggunakan instrumen MOCA-Ina yaitu 23 yang menunjukkan bahwa lansia produktif memiliki gangguan kognitif ringan. Perawat diharapkan dapat menyesuaikan intervensi kepada lansia dengan memperhatikan tingkat kognitifnya. ...... Cognitive is the ability to think and gain information. At the time of entering old age, cognitive level will decrease. Older people who work using their abilities such as mind and physical ability to continue to be productive. The ability of the older people that continues to be used raises questions about how the relationship of working status and cognitive level of older people. This study aims to determine the relationship of working status with cognitive level of older people. This research method used cross sectional design and data collection used random sampling. This study was conducted on 83 older people people aged 60 64 years in Beji Sub district, Depok using MoCA Ina instrument. The result of the research using Man Whitney test p value is 0,201 p 0,05. This shows that there is no relationship between job status and cognitive level of older people in Beji Sub district. The median value of the study using the MOCA Ina instrument was 23 indicate that the older people productive had mild cognitive impairment. Nurses are expected to adjust interventions to the older people by taking into account their cognitive level.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69170
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Nulhakim
Abstrak :
Penurunan fungsi kognitif merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hal tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, riwayat merokok, dan riwayat penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan desain cross sectional dengan jumlah sampel 87 responden. Instrumen yang digunakan adalah Mini Mental State Examination (MMSE). Hasil penelitian menunjukkan 19,5% mengalami gangguan kognitif, dan 29,9% mengalami probable gangguan kognitif. Lansia yang mengalami penurunan kognitif sebagian besar didominasi oleh usia > 75 tahun, perempuan, berpendidikan rendah, dan berstatus tidak kawin. Berdasarkan hal tersebut pentingnya pengoptimalan peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dan adanya kebijakan panti yang dapat mendukung program dalam mengoptimalkan fungsi kognitif lansia.
Decline in cognitive function is a common health problem that may affect quality of life of elderly. It may be resulted from various factors, such as age, sex, education level, marital status, smoking history, and history of disease. This study aimed to identify description of factors affecting cognitive function in elderly in Institutional Care of Elderly Budi Mulia 01 of Eastern Jakarta. The study design was descriptive with cross sectional approach and total sample of 87 respondents. Mini Mental State Examination MMSE was employed as instrument of the study. The result showed that 19.5 of elderly were affected by cognitive impairment and 29.9 was probably affected by cognitive impairment. Majority of elderly with cognitive impairment was aged 75 years old, female, with lower educational level, and single. The study suggested that nurses should optimize their roles in providing nursing care and the need for policy development concerning optimization of cognitive function of elderly in institutional care of elderly.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S67076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradini Ajeng Gemellia
Abstrak :
Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi pada periode 2020-2035 dimana kualitas sumber daya manusia dapat menentukan kesejahteraan penduduk Indonesia di masa tersebut. Kognitif anak digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia yang dapat memprediksi pendapatan di saat dewasa. Salah satu faktor yang paling besar memengaruhi kognitif anak adalah investasi orangtua yaitu waktu, energi dan sumber daya yang diberikan kepada anak. Penelitian ini menggunakan jam kerja orangtua sebagai variabel utama karena mayoritas pekerja Indonesia saat ini bekerja di atas jam kerja normal serta jam kerja orangtua berkaitan dengan investasi orangtua. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jam kerja orangtua terhadap kognitif  anak di Indonesia. Unit analisis penelitian ini adalah anak berusia 7-14 tahun yang masih memiliki dan tinggal bersama orang tua. Penelitian ini menggunakan data IFLS tahun 2007 dan 2014. Dengan menggunakan metode estimasi OLS, hasil penelitian ini menunjukan bahwa baik jam kerja ayah maupun jam kerja ibu pada saat anak usia dini ataupun saat anak usia sekolah berpengaruh signifikan terhadap kognitif anak usia sekolah. Jam kerja ayah maupun ibu pada saat anak usia dini memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kognitif anak di usia sekolah.
Indonesia will experience a demographic bonus peak in 2020-2035 where the quality of human resources can determine the welfare of the Indonesian population at that time. The cognitive of children is used to measure the quality of human resources that can predict earnings in adulthood. One of the factors that most influences a child's cognitive is parental investment, such as the time, energy and resources that provided to the child. This study uses parental working hours as the main variable because the majority of Indonesian workers currently work above the normal working hours as well as parental work hours related to parental investment. This study aims to study the effect of parental working hours on the cognitive of children in Indonesia. The unit of analysis of this study is children aged 7-14 years who still have and live with their parents. This study uses IFLS 2007 and 2014. Using the OLS estimation method, the results of this study indicate that both father's working hours and mother`s working hours during early childhood or when children in school-age have a significant effect on the cognitive of children in school-age. Father and mother's working hours during early childhood have the greatest influence in reducing the cognitive abilities of children in school-age.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T54819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwit Ida Chahyani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) adalah komplikasi neurologis dalam perjalanan penyakit HIV. Karena prevalensi HAND masih tinggi dan dampak negatif yang disebabkannya seperti gangguan fungsional, kehilangan pekerjaan, membutuhkan caregiver, maka sangat diperlukan sekali perangkat alat penapisan gangguan kognitif yang praktis, mudah, tidak membutuhkan waktu yang lama serta tersedia disemua fasilitas untuk penapisan HAND. Ini merupakan penelitian pertama di Indonesia untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas International HIV Dementia Scale (IHDS) dan Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (MOCA-INA) sebagai alat penapisan HAND dan untuk mengetahui pola ranah kognitif yan paling sering terganggu. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan uji diagnostik pada pasien HIV yang berobat di poliklinik pelayanan terpadu HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta September-Desember 2015. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pemeriksaan penapisan dengan IHDS dan MOCA-INA dilanjutkan pemeriksaan kognitif lengkap. Hasil: Didapatkan 120 subjek dengan nilai median usia 33 (21-40) tahun, sebagian besar telah mendapatkan ARV 117 orang (97,5%). Proporsi gangguan kognitif berdasarkan IHDS 54 orang (45%), berdasarkan MOCA- INA 69 orang (57,5%). Proporsi HAND berdasarkan pemeriksaan kognitif lengkap 72 orang (60%). Nilai sensitivitas IHDS 45,8% (95% CI 0,348-0,573) dan spesifisitas IHDS 56,3% (95% CI 0,423-0,693). Nilai sensitivitas MOCA-INA 70,8% (95% CI 0,595-0,801) dan spesifisitas MOCA-INA 62,5% (95% CI 0,484 to 0,748). Pola gangguan kognitif yang tersering adalah gangguan memori 71 subjek (98,6%), diikuti fungsi eksekutif 56 subjek (77,8%) dan kelancaran bahasa 31 subjek (43,1%). Kesimpulan: MOCA-INA adalah alat penapisan HAND yang memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan IHDS. Gangguan ranah kognitif yang tersering adalah memori, fungsi eksekutif dan kelancaran bahasa
ABSTRACT
Background: HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) is a disabling complication in HIV disease progression. Due to high prevalence and negative impacts of HAND such as functional disorders, loss of employment, and dependence to caregivers, it is necessary to have some practical tools to screen HAND to prevent disabilities. This was the first study in Indonesia to look into the sensitivity and specificity of IHDS and MOCA-INA as a screening tool for HAND and to determine which cognitive domains are mostly affected. Materials and Method: This was a diagnostic study in integrated HIV outpatient clinics in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in September to December 2015. Patients were screened for cognitive disorders using IHDS and MOCA-INA as well as complete cognitive assessment. Results: There were 120 subjects with median (range) age of 33 (21-40) years. Most subjects (97.5%) received Antiretroviral Treatment (ART). Prevalence of cognitive disorder based on IHDS and MOCA-INA were 45% and 57.5%, respectively. Prevalence of HAND based on complete cognitive assessment were 60%. The sensitivity and specificity of IHDS were 45.8% (95% CI 0.348-0.573) and 56.3% (95% CI 0.423-0.693). The sensitivity and specificity of MOCA-INA were 70.8% (95% CI 0.595-0.801) and 62.5% (95% CI 0.484 to 0.748). Memory (98.6%) was the most affected domain, followed by executive function (77.8%), and verbal fluency (43.1%). Conclusions: These data suggest that MOCA-INA is a validated screening tool for HAND with higher sensitivity and specificity. The most frequent disorders were memory, executive function, and disturbance in verbal fluency.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Diah Hendrawati
Abstrak :
Latar belakang. Pada anak Palsi Serebral terdapat hubungan antara motorik kasar (berdasarkan GMFCS) dan kemampuan manual (berdasarkan MACS) dengan kemampuan kognitif (berdasarkan tes IQ).Tujuan. Mengetahui hubungan antara skala GMFCS dan skala MACS dengan fungsi kognitif pada pasien Palsi Serebral (PS). Metode penelitian. Penelitian dilakukan tanggal 17 Februari sampai 17 Mei 2018 pada pasien Palsi Serebral usai 5-18 tahun yang berobat di Poliklinik Neurologi Anak / Poliklinik Rehabilitasi Medik RSCM / YPAC Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Hasil penelitian. Pasien PS yang ikut serta dalam penelitian ini sejumlah 69 subyek, dengan karakteristik usia 4-6 tahun (26%), 6-12 tahun (57%), 12-18 tahun (17%) ; anak laki-laki (56,6%), perempuan (43.4%). Didapatkan tipe PS diplegi (68,1%), PS hemiplegi (2,9%), PS kuadriplegi (29%), dengan sebaran skala GMFCS I (14,5%), II (13%), III (27,5%), IV (17%), V (20,4%). Sebaran skala MACS: I (42%), II (13%), III (5,8%), IV (13%), V (26,2%). Sementara sebaran hasil tes IQ dengan skala WISC: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20-35 (25%), <19 (25%). Simpulan. Pada pasien PS, makin buruk kemampuan motorik kasar (GMFCS) maka makin buruk pula kemampuan manual (MACS) dan makin rendah pula IQ nya. Makin buruk kemampuan manual (MACS) makin rendah pula IQ nya. Tipe PS kuadriplegi memiliki nilai IQ yang paling rendah dibandingkan tipe PS diplegi/hemiplegi.
Objective.To determine the relationship between GMFCS and MACS with cognitive function in children with Cerebral Palsy. The study was conducted from February 17 to May 17, 2018. Children with Cerebral Palsy,  5-18 years old, were treated  at Pediatric Neurology Cipto Mangunkusumo Hospital/Medical Rehabilitation Cipto Mangunkusumo Hospital / YPAC Jakarta as outpatient, who met the research criteria. Results. Children with Cerebral Palsy who participated in this study were 69 subjects, with characteristics of 4-6 years (26%), 6-12 years (57%), 12-18 years (17%); boys (56.6%), girls (43.4%). Cerebral Palsy type was obtained: diplegia (68.1%), hemiplegia (2.9%), quadriplegia (29%). Distribution scale of GMFCS: I  (14.5%), II (13%), III (27.5 %), IV (17%), V (20.4%). Distribution scale of MACS: I (42%), II (13%), III (5.8%), IV (13%), V (26.2%), while the distribution scale of IQ test with the WISC method: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20 -35 (25%), <19 (25%). Conclusions. Children with Cerebral Palsy, the worse gross motor function (GMFCS) then the worse manual ability (MACS) and the worse cognitive function (IQ). The worse manual ability (MACS) the lower the IQ. Quadriplegia type of Cerebral Palsy has the lowest IQ score compared to diplegia/ hemiplegia type of Cerebral Palsy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isti Istianah
Abstrak :
Anak usia 6-23 bulan sedang dalam masa emas atau golden age, pada masa tersebut anak mengalami perkembangan kognitif, yang muncul dan berkembang pesat. Sekitar 50% potensi kognitif terbentuk pada 4 tahun pertama kehidupan. Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui karakteristik individu dan faktor gizi dengan perkembangan kognitif anak usia 6-23 bulan. Penelitian ini merupakan penelitian analisis lanjut dengan menggunakan data sekunder yang telah dilakukan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Binawan tahun 2016. Jumlah sampel diambil semua anak usia 6-23 bulan yang tersedia di data sekunder sebanyak 83 anak. Perkembangan kognitif diukur menggunakan instrument Battelle Developmental Inventory (BDI). Hasil penelitian menunjukan anak usia 6-23 bulan dengan kognitif meragukan 47%. Uji korelasi spearman menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan perkembangan kognitif adalah umur (p=0,027) dan jenis kelamin (p=0,014). Berdasarkan hasil analisis regresi logistik linier, menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan faktor dominan dalam perkembangan kognitif dan dapat disimpulkan pengaruh jenis kelamin dengan perkembangan kognitif sebesar 4,7% dengan probabilitas 0,018 < 0,05. Untuk itu, orang tua harus senantiasa memperhatikan perkembangan anak dimulai dari masa kehamilan sampai 2 tahun pertama kehidupan dan mengikuti kegiatan yang diadakan di Posyandu dan Puskesmas terutama dalam hal memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. ......Children aged 6 to 23 months were on their golden age, during this time children undergoned cognitive development, which emerged and thrived rapidly. About 50% of cognitive potential was formed in the first 4 years of life. The purpose of this study was to determine individual characteristics and nutritional factors with cognitive development of children aged 6-23 months. This research was a further analysis study using secondary data that has been carried out by the Binawan Health Sciences College in 2016. The total sample was taken by all children aged 6-23 months available in secondary data as many as 83 children. Cognitive development was measured using the Battelle Developmental Inventory (BDI) instrument. The results showed that children aged 6-23 months with cognitive doubts were 47%. The Spearman correlation test suggested that the factors associated with cognitive development were age (p = 0.027) and gender (p = 0.014). Based on linear logistic regression analysis, suggested that gender was the dominant factor of cognitive development and it could be concluded that the influence of sex on cognitive development was 4.7% with a probability of 0.018 (p<0.05). For this reason, parents must always pay attention to children's development starting from pregnancy until the first 2 years of life and participating in activities held at Posyandu and Puskesmas, especially in terms of monitoring the growth and development of children.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malau, Bintang Leonard P.
Abstrak :
Latar belakang: Pekerjaan dengan pola kerja gilir, khususnya yang irregular, dapat mengganggu irama sirkadian dan kualitas tidur yang kemudian berdampak pada fungsi kognitif. Meskipun penting, penelitian tentang kerentanan domain kognitif terkait pola kerja gilir masih terbatas. Kualitas tidur dan fungsi kognitif menjadi kritis dalam konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit, di mana keputusan dan tindakan harus dilakukan dengan cepat dan tepat dalam menunjang keselamatan pasien. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan potong lintang untuk mengetahui hubungan pola kerja gilir dengan gangguan fungsi kognitif. Untuk mengukur kualitas tidur, digunakan Pittsburgh Sleep Quality Index bahasa Indonesia (PSQI-Ina), sementara fungsi kognitif dan domain kognitif diukur menggunakan Oxford Cognitive Screen (OCS) bahasa Indonesia (OCS-Ina), sebuah instrument kognitif untuk pasien stroke, yang sudah tervalidasi. Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung dengan rumus Slovin berjumlah 72 sampel. Korelasi, analisis komponen utama,analisis demografi dan regresi digunakan untuk mengkarakterisasi hubungan antara PSQI-Ina,OCS-Ina dan variabel penelitian lainnya. Hasil: Sebanyak 83 tenaga kesehatan masuk ke dalam kriteria inklusi dan diikutsertakan dalam penelitian. Hasil memperlihatkan sebanyak 16 responden (19,3%) mengalami gangguan fungsi kognitif pada domain Atensi serta 2 responden (2,4%) mengalami gangguan di 2 domain kognitif (Atensi dan Pengelolaan Angka). kesejahteraan. ......Background: Irregularities in shift work, especially those marked by unpredictability, can disrupt circadian rhythms and compromise sleep quality, consequently adversely affecting cognitive function. Despite its pivotal significance, there is a shortage of research on the susceptibility of cognitive domains associated with irregular shift work. The connection between sleep quality and cognitive function becomes especially crucial in the healthcare service domain, particularly within the confines of hospitals. In such environments, where decisions and actions require swift and accurate execution, the interplay between sleep quality and cognitive function is critical to ensuring the safety and well-being of patients. Methods: The objective of this research is to conduct an analytical observational study with a cross-sectional design, aiming to examine the correlation between shift work patterns and cognitive function impairment. The study utilizes the Pittsburgh Sleep Quality Index in Bahasa Indonesia (PSQI-Ina) to measure sleep quality. Cognitive function and cognitive domains are assessed using the Indonesian Oxford Cognitive Screen (OCS-Ina), a validated cognitive instrument for stroke patients. The minimum sample size for the research was determined, resulting in a calculated sample size of 72 participants. Correlation analysis, principal component analysis, demographic analysis, and regression analysis are employed to characterize the relationships between PSQI-Ina, OCS-Ina, and other relevant research variables. Results: A total of 83 healthcare workers meeting the inclusion criteria were included in the study. Results indicated that 16 respondents (19.3%) experienced cognitive function impairment in the Attention domain, and 2 respondents (2.4%) experienced impairment in two cognitive domains (Attention and Number). Healthcare workers engaged in secondary employment were found to have a 12.8 times higher risk of experiencing cognitive impairment (OR 12.8; CI 95% 1.7-91; p = 0.011). Similarly, healthcare workers with poor sleep quality (PSQI score >5) faced a 40.3 times higher risk of cognitive impairment (OR 40.3; CI 95% 2.2-708.1; p = 0.011). Likewise, healthcare workers working in irregular shift patterns had a 5.4 times higher risk of experiencing cognitive impairment (OR 5.4; CI 95% 0.1-26.6; p = 0.036). Conclusions: There is a correlation between shift work patterns and cognitive function impairment in the workplace. Hospitals should prioritize ergonomic shift work schedules, emphasizing speed and clockwise rotations, to support the well-being of their healthcare workers.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>