Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 597 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Farid
Abstrak :
ABSTRAK Penduduk Sumatera Barat yang mayoritas masyarakat Minangkabau dikenal kuat berpegang kepada adat, tetapi dapat menerima perobahan norma yang disebabkan oleh pergantian penguasa yang lebih luas (negara). Aturan hukum yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau ada dua bentuk; aturan yang datang dari Tuhan (Islam) berupa Al-Quran dan Hadits, dan aturan adat yang juga terdiri dari dua unsur. Pertama yang bersifat esensial dan tidak dapat berobah, kedua yang dapat berobah dalam bentuk hasil mufakat rapat nagari. Dengan demikian aturan adat Minangkabau terdiri dari bentuk adat, adat istiadat, adat yang diadatkan, adat yang teradat. Adat adalah bentuk asli yang tidak dapat berobah seperti sistem garis keturunan nasab ibu, peran penghulu dan mamak, pembagian nagari menjadi suku, dan hukum alam sebagai dasar falsafah adat Minangkabau. Adat istiadat, adalah kebiasaan masyarakat untuk wilayah tertentu dalam wilayah Minangkabau, seperti aturan-aturan yang bersifat seremonial. Adat yang diadatkan, adalah sesuatu yang datang dari pemerintah (negara) atau pemerintah daerah, seperti peraturan luhak dan rantau yang kemudian dirobah oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi peraturan kelarasan. Adat yang teradat, adalah aturan berupa hasil kesepakatan rapat nagari. Di sini jelas bahwa aturan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau cukup bervariasi; hukum Islam, Aturan adat dengan segala bentuknya, hukum negara yang bekerja secara bersamaan dalam mengatur hubungan antar individu dan antar kelompok masyarakat. Setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk mencapai keinginan mereka. Sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarkan kepentingan lembaga itu sendiri. Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Keebet V. Benda Beckmann tentang Forum Shopping dan Shopping Forum. Dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sistem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat. Inti kebudayaan atau model pengetahuan masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, yang antara lain adalah sistem kepercayaan dan organisasi sosial. Kedua unsur ini tidak hanya berhubungan dengan unsur-unsur ekonomi, bahasa dan komunikasi, kesenian, teknologi, ilmu pengetahuan masyarakat saja, tetapi juga menghubungkan pengaruh alam terhadap keteraturan, konflik, dan penyelesaian konflik, Hal ini disebabkan karena sistem kepercayaan dapat menjadi sumber norma (hukum agama), dan organisasi sosial dapat membentuk norma pula (hukum adat dan hukum negara), Keduanya dapat mengatur masalah yang sama dalam masyarakat yang sama pula. Karena itu hukum agama, hukum adat, dan hukum negara dapat menciptakan keteraturan. Tetapi juga dapat menimbulkan konflik, yang juga dapat memberikan penyelesaian. Pendekatan antropologi hukum yang digunakan dalam membuktikan kerangka teoritis di atas adalah metode kasus sengketa (Hoebel, 1983) untuk dapat memudahkan mencari hukum apa yang berlaku. Karena model ini membutuhkan waktu yang cukup lama, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan mentode kasus non-sengketa (Holleman, 1986) untuk menemukan ide atau prinsip normatif yang terkandung dibelakang prilaku hukum yang aktual. Untuk menghubungkan individu sebagai pusat analisis dengan lingkungannya digunakan metode kasus yang diperluas (Van Velaen, 1967) dan konsep semi-autonomous social fiel ( Moore, 1983). Wilayah Sumatera Barat sekarang hanya sebagian dari wilayah Minangkabau lama, tetapi daerah utamanya memang Sumatera Barat sekarang, sehingga sering dipahami bahwa Minangkabau itu adalah Sumatera Barat. Padahal wilayah Sumatera Barat ada yang bukan Minangkabau seperti Mentawai. Berdasarkan kondisi alamnya mata pencaharian dan perekonomian masyarakat mangandalkan pertanian yang bergerak menjadi semitradisional. Berdasarkan mata pencaharian dan perekonomian ini muncul kelas sosial petani pemilik tanah yang lebih tinggi derajatnya dan petani penggarap (orang manapek). Walaupun ada profesi lain yang dianggap terhormat oleh masyarakat seperti pedagang atau pengusaha, PNS dan ABRI (pejabat negara) tetapi jumlahnya sedikit, sehingga dalam ceremonial dan perlakuan adat tetap mengacu kepada dua kelas tersebut. Walaupun agama masyarakat keseluruhan Islam, tetapi kepercayaan mereka dapat dikategorikan menjadi; yang berpendidikan SLTP ke bawah mencampurkan Islam dengan Mitos, SLTP dan SLTA peralihan antara bentuk pertama dengan Islam rasional, SLTA ke atas mempraktekkan Islam secara moderat dan rasional. Dalam kasus-kasus perkawinan masyarakat Minangkabau memilih norma yang ada dengan mempertimbangkan status sosialnya dalam masyarakat, politik dan ekonomi, agama untuk dapat mencapai penyelesaian sesuai dengan yang diinginkan. Mereka tidak akan memilih lembaga adat kalau status sosial mereka secara adat lemah, seperti kelompok masyarakat manapek mereka lebih memilih hukum agama dan hukum negera. Atau bisa saja mereka menggabung ketiga sistem hukum tersebut, seperti dalam kasus perceraian. Untuk memutus perkara mereka pilih Pengadilan Agama dan hukum Islam, tetapi untuk pembagian harta bersama dan pengasuhan anak menggunakan aturan adat. Ketika terjadi pertentangan antara norma adat dengan lainnya, tetapi masyarakat nekad untuk melanggar norma adat dan memilih norma lain, maka mereka akan mendapat sangsi dari lembaga adat, Seperti melanggar aturan larangan menikah bagi orang satu suku. Semua ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang penulis ungkap dalam bab IV, Dalam kasus sengketa kewarisan masyarakat Minangkabau menggunakan lembaga adat untuk harta pusaka tinggi. Sementara untuk harta bersama mereka sering menyelesaikannya dengan pendekatan kekeluargaan melalui pesan mamak, sehingga akhirnya pengaruh norma adat lebih kental dari hukum Islam dan hukum negara. Inilah penyebabnya masyarakat Minangkabau tidak pernah membawa perkara kewarisan mereka ke pengadilan agama atau pengadilan negeri. Pola penyelesaian kasus sengketa waris masih sama seperti sebelum berlakunya undang-undang tentang Pengadilan Agama. Masalah perwakafan tidak dikenal dalam adat Minangkabau, sehingga mereka murni menggunakan aturan wakaf menurut agama Islam, Cuma saja mereka mensyaratkan kalau harta yang akan diwakafkan adalah harta pusaka tinggi harus melalui persetujuan anggota paruik yang berhak. Kalau itu harta pusaka rendah pemilik babas mewakafkannya sesuai hukum Islam. Cuma saja sering terjadi proses wakaf hanya dengan aturan hukum Islam saja, tanpa mematuhi hukum negara sehingga tanah wakaf sering tidak memiliki sertfikat. Dari beberapa kasus yang penulis ungkap dapat dibuktikan bahwa norma-norma yang berlaku di masyarakat Minangkabau bersumber dari sistem kepercayaan (Islam), dan organisasi sosial yang menimbulkan hukum adat dan hukum negara. Semua norma ini saling berinteraksi dan dapat menjadi sumber keteraturan, konflik, dan juga sebagai sumber penyelesaian konflik. Dengan demikian kewenangan peradilan agama tidak hanya diatur oleh hukum negara, tetapi juga oleh norma-norma lain. Untuk itu pengadilan agama harus memperhatikan norma-norma lain tersebut dalam memutus perkara, atau pendekatan pluralisme hukum adalah pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam kewenangan peradilan agama.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Din
Abstrak :
ABSTRAK
Sistem Peradilan Pidana terdiri dari sub sistem Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan. Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana ini harus terpadu dan saling mengisi antara sub sistem. Sub sistem Polisi sebagai sub sistem hulu atau sebagai gerbang berkenalannya seseorang dengan Sistem Peradilan Pidana sangat menentukan untuk proses selanjutnya, kernampuan teknik keresersean yang dimiliki oleh Polisi (penyidik) harus didukung dengan teknik yuridis dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga diperlukan koordinasi. KUHAP sebagai induk dasar berpijaknya Sistem Peradilan Pidana telah mengatur koordinasi tersebut berupa:

pemberitahuan dimulainya penyidikan, petunjuk penuntut umum dalam pemeriksaan tambahan (Prapenuntutan), perpanjangan penahanan, dan pemberitahuan penghentian penyidikan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, apa hambatan dalam melakukan koordinasi, kebijakan apa yang telah ditempuh dalam menanggulangi hambatan itu dan bagaimana pengawasan penuntut umum terhadap berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antara penyidik dan penuntut umum belum berjalan sebagaimana yang di.tentukan oleh KUHAP. Hambatan yang paling mendasar adalah menyangkut sarana telekomunikasi, karena jarak antara Polsek dengan kejaksaan Negeri relative Jauh. Sedangkan upaya yang dilakukan adalah dengan terus meningkatkan koordinasi dan mengadakan gelar perkara.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli Muhammad
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
347.01 RUS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Lintong Oloan
Jakarta: Ghalia Indonesia, [date of publication not identified]
347.01 SIA j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Tumbur
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan pajak di Direktorat Jenderal pajak. Dilatarbelakangi pemikiran bahwa rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak yang disebabkan oleh belum adanya deterent effect sebagai shock terapi dari pelaksanaan proses hukum atas pelaku penyelundupan pajak sebagai upaya penegakan hukum di bidang perpajakan. Penelitian dilakukan untuk mengkaji permasalahan yang ada di Direktorat Jenderal Pajak dan mencari solusi yang terbaik untuk menangani permasalahan tersebut. Dari hasil penelitian terungkap bahwa ternyata kinerja Direktorat Jenderal Pajak khususnya Sub Direktorat Penyidikan sangat rendah yang ditandai dengan tidak pernah dilakukannya penugasan penyidikan selama tahun 1999 dan 2000. Walau memiliki 349 orang tenaga Penyidik Pegawai Negeri Sipil, namun selama tahun 2000, rata-rata penugasan per penyidik hanya 1,3 penugasan, termasuk pemeriksaan khusus, pemeriksaan bukti permulaan dan pengamatan. Disamping itu, pengembangan temuan pemeriksaan belum mendapat perhatian sepenuhnya. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya antara lain, rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, keengganan petugas untuk melaksanakan tugas penyidikan, sistem dan prosedur yang ada sangat rumit dan berbelit-belit dalam melakukan penyidikan, serta peraturan perundang-undangan yang belum mendukung terhadap pelaksanaan penugasan. Sehubungan dengan hal tersebut disarankan untuk memperbaiki kinerja Direktorat Jenderal Pajak dengan cara memberikan pelatihan profesional berkelanjutan, memberikan pendidikan berjenjang, memberikan kesempatan untuk langsung menyerahkan hasil penyidikan kepada Kejaksaan tanpa melalui kepolisian, menyusun ulang Juklak dan Juknis penyidikan agar lebih sederhana, menyusun standarisasi klasifikasi temuan pemeriksaan serta memberikan perhatian lebih besar terhadap pengembangan temuan pemeriksaan yang berindikasi tindak pidana perpajakan.
2001
T9206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
Abstrak :
Thesis ini mempelajari reformasi internal TNI AD setelah kejatuhan rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, khususnya pembentukan kembali Kodam Pattimura di Maluku dan Kodam Iskandar Muda di Nanggroe Aceh Darussalam pasca Gerakan Mei 1998. Bagi pihak TNI (TNI AD) program tersebut merupakan jawaban atas tekanan publik politik yang menghendaki TNI kembali ke barak. Namun pokok masalahnya adalah program tersebut tetap tidak memuaskan publik politik (kubu reformasi), karena disamping program ini lahir dari inisiatif TNI sendiri juga dinilai belum mampu menghapus keseluruhan praktek `dwifungsi ABRI' termasuk melikuidasi/merestrukturisasi Koternya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa TNI AD justru menambah jumlah Kodamnya di tengah derasnya arus tuntutan likuidasi/restrukturisasi Koter TNI AD ? Bagaimana pelaksanaan fungsi sospol TNI AD dalam Koternya pasca Gerakan Mei 1998 ? Teori yang diunakan dalam penelitian ini adalah teori konflik sipil-militer, `tentara pretorian', `tentara profesional', tentara revolusioner profesional, dan perang semesta (total war). Sementara metodologi penelitian meliputi empat aspek. Pertama, strategi penelitian `metode kasus komparatif. Kedua, pendekatan penelitian dan teknis analisis kualitatif. Ketiga, tipe penelitian deskriptif-eksplanatoris. Keempat, teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam yang dilengkapi dengan observasi terbatas terhadap fenomena sejenis di Kodam Jaya DKI Jakarta, serta studi dokumentasi dan kepustakaan. Secara garis besar penelitian ini memiliki dua keterbatasan. Pertama, keterbatasan dalam menjangkau pro-kontra di internal TNI (TNI AL dan TNI AU). Kedua, keterbatasan dalam komparasi praktek fungsi sospol di seluruh angkatan di TNI. Temuan-temuan penelitian ini adalah pembentukan kembali Kodam Pattimura di Maluku dan Kodam Iskandar Muda di Aceh dilakukan atas pertimbangan khusus konflik aktual (Maluku; SARA dan Aceh; GAM) yang melanda kedua wilayah tersebut. Bagi TNI AD Kodam Bukit Barisan; meliputi Aceh dan Kodam Trikora; meliputi Maluku keduanya dinilai sudah tidak efektif dan efesien lagi dalam menangani konflik tersebut. Selain pertimbangan konflik penambahan Kodam juga didasarkan atas berbagai sebab-sebab internal dan ekternal TNI AD. Sebab-sebab internal TNI AD diidentifikasi ke dalam faktor profesionalisme, orientasi politik dan orientasi ekonomi. Sedang sebab-sebab eksternal TNI AD meliputi faktor rekomendasi kebijakan (formulasi politik dan format kebijakan) pemerintahan sipil dan faktor stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Pasca Gerakan Mei 1998 tugas dan fungsi -Kodam-- Koter TNI AD masih menyentuh pelaksanaan fungsi sospol. Penyebab utamanya adalah karena dalam struktur Koter TNT AD masih terdapat fungsi non-militer; fungsi pembinaan teritorial (binter) yang dalam prakteknya dapat bermakna luas. Kebijakan TNI AD menambah Kodamnya menunjukkan kecenderungannya ke arah `pretorian populis' (mass pretorian) dan `moderator pretorian' untuk beradaptasi dengan pemerintahan sipil `model liberal' tuntutan reformasi, setelah terlebih dahulu beralih ke tipologi 'arbitrator army' untuk tetap sebagai `pasukan bedah besi' dengan sedikit berpartisipasi di pemerintahan (co-ruler). Koter TNI AD pasca Gerakan Mei 1998 yang masih terbukti memiliki fungsi sospol menunjukkan bahwa konteslasi hubungan sipil-militer masih berlangsung. Hal ini tentu akan mempengaruhi proses pembangunan pemerintahan demokratis karena menghambat pembentukan institusi militer profesional sebagai syarat utamanya. Kepustakaan : 74 buku, 11 dokumen, 2 makalah, 3 peraturan hukum, 35 surat kabar/majalah, dan 6 internet.
Territorial Command of Indonesian Army Post May Movement 1998: Case Studi the Reestablishment of Kodam Pattimura (Maluku) and Kodam lskandar Muda (Nanggroe Aceh Darussalam)This thesis examines the reformation of internal Indonesian Army (TNT AD) post Soeharto Rezime May 1998, especially the reestablishment of Kodam Pattimura and Kodam Iskandar Muda in post May 1998. There is public pressure for reforming the dual functions of Indonesian Military (Dwifungsi ABRI). In one hand, internal reformation is for restructuring Territorial Command of Indonesian Army. However, the qustion arises why the demand for restructuring of army brough more reestablishment of Kodam. Furthermore, then how the implementation of social and political functions of Indonesian army under the Territorial Command of Indonesian Army post May 1998. This study use some theories on civil-military conflicts, pretorian military, professional military, professional revolutionary military and total war. The methodology of this study included 4 aspects: comparative studies, qualitative, descriptive-explanatory, using in depth interview and limited observation toward similar phenomenon in Kodam Jaya DKI Jakarta. Furthermore, this study has two fold, the limitation to achieve data on pro-contra in internal Indonesian Military (Navy and Air Forces), second, the limitation of comparative study in between Military Forces. The result of research shows that the reason of reestablishment of Kodam Pattimura in Maluku and Kodam Iskandar Muda in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) is because of the unresolved conflict in both areas. Thas is conflicts on religius bases in Maluku and independent movement (Gerakan Aceh Merdeka) in NAD. Kodam Bukit Barisan which has responsibility including NAD and Kodam Trikora for Maluku are not effective and efficient to solve conflicts problems in both areas. Other reason are the interest of TNI on professionalism, political and economic interest which is categorized as internal reason. Moreover, external included policy recommendations of the civilian government (as civilian supremacy in democratic state), political and security stabilities. Post May 1998, one indicator of dual functions of Indonesian Military is the involvement of the Territorial Command of Indonesian Army (Kole. 7N/Al3) in social and political functions. The reasons are that the army still has a function in non military, such as territorial development. So, thus the reestablishment of the two Kodam shows that the military in Indonesia could be called `mass pretorian and `moderator pretorian to adapt with the civilian government which tends to used liberal model (the demand of reformation). So, there is the changing of typology of `arbitrator army' as `destroyer army' limited participations in government as coruler towards liberal model. in conclusion, this thesis on reestablishment of the Kodam shows that civil-military relation is still contested. It will influence of the development of democracy and become the obstacle of establish of professional army in Indonesia. Refrences : 74 books, 11 documents, 2 articles, 3 legislations and 35 Newspapers/Magazines and 6 from internet
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fully Handayani Ridwan
Abstrak :
Istilah kepailitan di Indonesia bukanlah suatu hal yang benar-benar baru untuk dikenal. Sejak Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 perekonomian nasional semakin tidak menguntungkan dan membawa banyak kesulitan bagi kegiatan usaha. Atas desakan International Monetary Fund (IMF) diberikan kemudahan penyelesaian melalui proses kepailitan. Atas dasar latar belakang krisis ekonomi dan atas desakan dunia internasional terutama dari IMF, maka Indonesia melahirkan suat3 peraturan kepailitan yang baru. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah pengganti Undang-undang atau PERPU No.1 Tahun 1998. Dalam perkembangannya, melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Perpu Kepailitan No.1 Tahun 1998, telah diterima menjadi Undang-undang No.4 Tahun 1998. Pada pertengahan tahun 2002 perusahaan asuransi PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) dimohonkan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh kurator PT. Dharmala Sakti Sejahtera (DSS) karena PT. AJMI tidak membayar dividen tahun 1999 sebesar Rp. 32,7 milyar kepada PT. DSS selaku pemegang 40% saham PT. AJMI yang tercatat untuk tahun buku 1999. DSS pada pertengahan Juni 2000 telah dipailitkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Padahal kepntusan nntuk tidak membagikan dividen tersebut merupakan keputusan dari Rapat Umum Pemegang Sahara (RUPS) dengan alasan untuk memenuhi Risk Based Capital (RBC) 120% seperti yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai ukuran kesehatan perusahaan asuransi. Setelah kasus PT. AJMI ternyata terdapat kasus kepailitan asuransi kembali pada pertengahan tahun 2004, PT. Prudential Life Assurance sebuah perusahaan asuransi "sehat" dengan solvabilitas atau kemampuan perusahaan untuk, memenuhi kewajiban perusahaan mencapai 225% pada pertengahan tahun 2004. PT. Prudential ini dipalitkan berkaitan dengan gugatan yang diajukan oleh Lee Boon Siang, yang merupakan mantan agen asuransinya karena dianggap tidak memenuhi kewajiban mernbayar bonus dan biaya perjalanan sekitar Rp. 6 Milyar. Pengadilan Niaga Jakarta mengabulkan tuntutan dari Lee dan terhadap kenyataan ini Prudential menyatakan kasasi pada Mahkamah Agung.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juriyah
Abstrak :
Cara-cara yang baik daiam penegakan hukum adalah bagian dari pemahaman yang benar mengenai due process of law yang salah satu unsurnya adalah setiap tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya dalam rangka menegakan asas praduga tidak bersalah. Dalam KUHAP memang diatur mengenai sistern control yang diiakukan terhadap proses penyidikan ini yang kita kenal dengan istilah Praperadilan. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut adalah masalah tidak memuaskan atau bahkan bisa dikatakan buruknya kinerja sistem dan pelayanan peradilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, atau bahkan kurangnya katulusan dari mereka yang terlibat daiam sistem peradilan, baik hakim, pengacara maupuan masyarakat pencari keadilan, selain tentunya disebabkan karena korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses beracara di lembaga peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme masyarakat untuk tetap menyelesaikan sengketa rnelalui lembaga peradilan. Menghadapi hal tersebut di atas instrumen hukum tidak memberikan jalan keluarnya. Masyarakat sebagai pihak yang dirugikan oleh perbuatan korupsi tersebut tidak memberikan hak secara tegas dan jelas oleh undang-undang mengenai langkah hukum yang dapat diiakukan bila perasaan keadilannya dilukai oleh karena dihentikannya penyidikan kasus korupsi yang jelas jelas sangat merugikannya. Selain itu juga sering terjadi ketidak pastian (hukum) dalam kaitan dengan upaya hukum terhadap putusan praperadilan. Mengapa demikian? Apakah karena penetapan atau putusan yang dijatuhkan praperadilan bersifat final sebagai putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir atau karena undang-undang sudah mengaturnya untuk tidak mernperbolehkan permintaan pemeriksaan banding atau kasasi terhadap putusan praperadilan? Karena bentuk putusan praperadilan tidak dinyatakan secara tegas dalam KUHAP kecuali mengenai putusan ganti kerugian. Kedudukan hakim praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya harus tunduk dan menerapkan ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan memutus perkara di dalam sidang praperadilan, karena hakim praperadilan adalah hakim dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah barang tentu berlaku juga baginya tentang Undang-undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman atau UU. No. 14 Tahun 1970 yang sekarang sudah diadakan perubahan melalui Undang-undang No. 4 Tahun 2004. Untuk itu, tesis ini meneliti dan menganalisis tentang Bagaimana penerapan lembaga praperadilan yang menjadi tujuan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya mengenai 1) Siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan, 2) apakah upaya hukum dapat dilakukan dalam praperadilan, 3) sejauhmana peran hakim yang memeriksa gugatan praperadilan. Di akhir pembahasan tesis ini, dianalisa mengenai lembaga yang mengatur tentang upaya paksa dalam pemeriksaan pendahuluan yaitu konsep apa yang dapat dan hendak digunakan dalam pembaharauan hukum acara pidana ke depan. Hal ini disebabkan, adanya keinginan untuk perlindungan hak asasi manusia yang tercermin dalam KUHAP maka peranan hakim terutama dalam pemeriksaan pendahuluan, hakim mempunyai kewenangan tidak saja sebagai examinating judge, tetapi mencakup kewenangan investigating judge. (Juriyah, Penerapan Lembaga Pra Peradilan dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharauan hukum Acara Pidana).
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subekhan
Abstrak :
Anak sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, dengan semua kekhususan sifatnya ialah generasi harapan yang kepadanya dibebankan rnasa depan bangsa dan negara. Oleh karenanya jaminan tumbuh kembangnya menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa termasuk masyarakat dan pemerintah. Jaminan itu harus nampak dalam peraturan-peraturan hukum yang memperhatikan sifat khusus dari anak-anak sehingga dapat memberi jaminan bagi kesejahteraan anak. Memberikan jaminan tumbuh kembangnya secara wajar melalui peraturan hukum yang mengacu pada kesejahteraan anak termasuk anak yang berkonflik dengan hukum. Tulisan dengan judul penyelesaian perkara anak secara restorasi dalam penerapan sistem peradilan anak adalah suatu hasil analisa tentang praktek SPP anak dan penerapan konsep restorative justice sebagai konsep baru dalam menyelesaikan perkara anak. Dengan metode penelitian normatif empiris yang bersifat kualitatif penelitian ini memperoleh hasil diantaranya; jaminan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. belum memberikan perlindungan anak secara memadahi. Hal ini dikarenakan UU No. 3 tahun 1997 belum. rnengatur keragaman sanksi untuk dapat diterapkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum sebagai suatu kebutuhan pembinaan anak yang sangat beragam. Ketiadaan aturan pelaksana dari sanksi hukum dalam UU No. 3 tahun 1997 adalah salah satu kekurangan dalam segi pengaturan secara normatif untuk melindungi anak berkonflik dengan hukum. Minimnya sarana dan prasarana dan budaya hukum (profesionalisme) aparat penegak hukum menjadikan penerapan SPP untuk anak, tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sedangkan munculnya konsep penyelesaian secara restorative Justice yang diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak dengan menghindarkan anak bersentuhan SPP anak, ternyata tidak dapat diterapkan secara efektif. Hal itu dikarenakan belum adanya aturan hukum sebagai landasan penyelesaian model ini dan perubahan masyarakat dari gemeinschaft ke arah gesselschaft berdampak pada sulitnya rnengharapkan partisipasi masyarakat dalam penyelesaian yang bersifat restorasi tersebut. Selain dari itu, konsep restorative justice yang tidak melembagakan proses penyelesaianya berdampak pada hasil yang dicapai dalam penyelesaian restorasi tidak memberikan kepastian hukum. Beranjak dari kelemahan penerapan SPP anak dan penerapan konsep restorative justice, penulis menawarkan konsep restorative justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Konsep tersebut dihardpkari dapat rnenginrplemenLaslkan nilai-nilai yang terdapat dalam restorative justice dalam praktek SPP anak. Tawaran konsep ini mensyaratkan ketentuan dalam UU No. 3 tahun 1997 dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang profesional, dengan memberikan keluasan kewenangan kepada Bapas sebagai inisiator penyelesaian secara restorative justice.
Children as a gift from god, with all their characteristics is a generation of our hope and to them the future of our country and nation is been given. So that, the guarantee of their growth and development is responsible of all national elements including society and government. Seemingly, it should be realized by regulations observing their special character, then, it will ensure their prosperity. Properly, giving growth and development guarantee by regulations referring to children prosperity including for them in conflict with law. This thesis with in title of Settlement of children cases in the form of restorative justice process through the application of the juvenile justice system is result of analysis on criminal justice system (SPP} practice and application of restorative justice concept as new one for settling children case. By method of empirical normative research in qualitative nature, it obtains results among them: legal protection for children in conflict with law as provided with law No.3/1997 on juvenile juctice, it had not given children protection adequately, yet. It caused by such laws had not set forth varied sanction to be applied for children in conflict with law as any most varied building requirement for children. Normatively, the absence of operational regulations for law sanction in such laws is any lack for protecting children in conflict with law. The minim of structure and infra structure as well as legal culture (professionalism} of law enforcer had not made application juvenile justice system reflecting the children in conflict with law. Whereas, the appearance of concept of restorative justice settlement being wished to give children protection while avoiding children touch juvenile justice system, really it may not be applied effectively. It stems from regulations to base this model settlement and society changing from gemeinschaft to gesselschaft having impact the difficulty to wish society participation for such restorative justice settlement. Additionally, restorative justice concept having not institutionalized its settlement process had brought about the proceeds achieved in restoration settlement had not given legal certainty. Based on weaknesses of applying juvenile justice system and restorative justice concept, the author offer restorative justice concept in juvenile justice system. It is wished may implement the values expressed in restorative justice in juvenile justice system. This concept requires in the regulation in law No.3/1997 should be realized by professional law enforcer while giving authority to socialization association (Bapas) as initiator of restorative justice settlement.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risna Ismail Suny
Abstrak :
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dengan posisi yang sejajar dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berfungsi melakukan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Secara teoritis Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawdl konstitusi, sebagai penafsir konstitusi, pelindung hak konstitusional warga negara, sebagai pelindung hak asasi manusia dan sebagai pengimbang demokrasi. Fungsi-fungsi tersebut diterapkan dalam melaksanakan empat wewenangnya dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD RI 1945; memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilu; dan memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana beret lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi berusaha untuk menjadi penyeimbang dalam hubungan antar lembaga negara, sehingga Mahkamah Konstitusi berada di tengah-tengah mekanisme hubungan antar lembaga negara. Posisi tersebut terkait dengan bertambahnya lembaga-lembaga baru pasca reformasi dan juga peran Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang wewenang menyangkut sengketa kewenangan lembaga negara.
The Constitutional Court is one of Indonesia independent judicial power with the same level position as the Supreme Court. The Constitutional Court is an independent authority in enforcing justice in order to uphold the law. Theoretically, the Constitutional Court functions as the guardian of the constitution, as the sole interpreter of the constitution, as the protector of human rights, as the protector of the citizens' constitutional rights, and as The Agent of Control of Democracy. These functions are applied in implementing its four authorities and one obligation of the Constitutional Court, namely to verify the legislation against the 1945 Constitution of Republic of Indonesia; to settle the disperse of political parties; to settle the dispute on the outcome of general election; and to provide a decision on the judgment of House of Representatives that the President and/or Vice President is allegedly committed a breach of law in the form of betrayal against the nation, corruption, bribery, other extreme criminal acts, or unlawful acts, and/or does not any longer meet the requirement as the President and/or Vice President. Constitutional Court seeks to serve as a balancer of inter-institutions relationship. The position is related to the existence of new post-reform national institutions and also to the role of Constitutional Court as the authority in matter relating to the authority related dispute between the national institutions.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>