Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chryshnanda Dwi Laksana
Abstrak :
Tesis ini adalah tentang corak diskresi dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas di Polres blambangan. Perhatian utama dalam kajian ini adalah pada tindakan-tindakan penyidik dan penyidik pembantu dalam melakukan tindakan diskresi pada proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang cenderung menjadi korupsi. Tujuan dalam tesis ini adalah untuk menunjukan bentuk atau corak diskresi kepolisian yang merupakan diskresi birokrasi pada tingkat lokal, yaitu pada polres Blambangan yang cenderung menjadi korupsi corak diskresinya bisa bervariasi antar satu polres dengan polres lainnya dalam menyelesaikan penyidikan kecelakaan lalu lintas . Masalah penelitian dalam tesis ini adalah Diskresi birokrasi kepolisian dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas pada tingkat polres yang tercermin pada tingkat kebijaksanaan birokrasi serta pada tingkat individual petugas polisi yang cenderung menjadi korupsi. Dalam mengkaji tindakan diskresi yang cenderung menjadi korupsi digunakan pendekatan kualitatif dengan metodologi etnografi, yang dilakukan dengan cara pengamatan terlibat , pengamatan dan wawancara dengan pedoman. Hasil dari penelitian ini ditemukan adanya tindakan-tindakan diskresi yang menyimpang sebagai akibat lemahnya sistem kontrol dan kendali, yang ditunjukan adanya tindakan-tindakan kolusi antara Penyidik dan Penyidik Pembantu dengan pihak tersangka, pihak Kejaksaan atau pihak Pengadilan. Di samping itu juga adanya pemerasan yang dilakukan oleh Penyidik Pembantu terhadap pihak tersangka. Tindakan penyuapan yang dilakukan oleh pihak tersangka kepada Penyidik atau Penyidik Pembantu untuk menagguhkan atau menghentikan perkaranya. Pertimbangan dilakukannya tindakan diskresi oleh petugas dalam menyelesaikan atau menangani kasus kecelakaan lalu lintas, di samping kebijaksanaan Penyidik atau Penyidik Pembantu juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain karena tuntutan dari pihak korban pada umumnya adalah tuntutan ganti rugi atau santunan dari pihak tersangka dan adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau organisasi. Tindakan tersebut bukan semata-mata kesalahan oknum Penyidik atau Penyidik Pembantu tetapi juga dari faktor kebijaksanaan dalam organisasi yang menjadikan diskresi sebagai upaya untuk mencari keuntungan untuk pribadi atau organisasi. Tindakan diskresi yang menyimpang sebagai akibat lemahnya sistem kontrol dan kendali,kurangnya dukungan anggaran untuk operasional, adanya tuntutan atau kewajiban yang harus dipenuhi baik untuk pribadi atau dalam unit di samping itu juga kurangnya gaji petugas kepolisian.
2001
T1417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Setyawan
Abstrak :
ABSTRAK
Tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik sebagai tindak pidana yang white collar crime hal ini berhubungan dengan pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi ataupun kekuatan politik , subyek atau pelaku tindak pidana individu sebagai manusia dan juga dapat sebuah korporasi, berbentuk organitation crimes berkaitan dengan lintas batas wilayah negara atau transnational. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang diatur dalam KUHAP, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan surat-surat Keputusan Kapolri yang merupakan petunjuk lapangan dan petunjuk teknis, serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Selanjut memberikan aturan melakukan tindakan lain sesuai dengan penilaian kualitas individu dan untuk kepentingan umum yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dengan dibatasi persyaratan a).tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b).selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c). tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d). atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e).menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, mengatur juga kewenangan diskresi. Makna dikresi dikaitkan dengan penyidikan adalah kewenangan yang diberikan .berdasarkan asas kewajiban {plichmatigheids beginsel) sebagai tindakan individu dari penyidik dengan dibatasi dengan norma-norma professional, norma hukum, norma moral dan kemasyarakatan, karena tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua prilaku manusia, adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang undangan dengan perkembangan- perkembangan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan ketidakpastian, kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undangundang, adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus, atau memperluas atau mengisi kekosongan hukum, sehingga penerapan diskresi oleh penyidik akan lebih baik untuk mengurangi kekurangan dari peraturan-peraturan yang tertulis dalam pelaksanaan di masyarakat. Penerapan diskresi yang menyimpang dalam penyidikan tindak pidana pada umumnya dan khusus untuk tindak pidana pencucian uang di Bareskrim Mabes Polri dikaitkan dengan pelanggaran Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Kepala Polisi RI No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003) dan dibentuk Komisi Rode Etik Kepolisian RI berdasarkan Peraturan Kepolisian RI No. Pol. 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Rode Etik Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/321VII/2003),dengan "peraturan kepolisian" yang dapat juga merupakan kontrol dari masyarakatlmedia massa atau tidak mempengaruhi dalam hal-hal yang melanggar Mode Etik Profesi Kepolisian RI, sehingga penerapan diskresi dalam penyidikan tindak pidana terutama tindak pidana pencucian uang dapat dikontrol dan'pengawasan baik dari luar maupun dari dalam, misalnya kasus Brigjen Pol. Drs. Samuel Ismoko, yang telah melakukan penyimpangan penerapan diskresi dianggap melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian RI melalui proses Sidang Komisi, Komisi Kode Etik Kepolisian RI, dengan dinyatakan tidak layak menjalankan Profesi Kepolisian sebagai penyidik pada fungsi Reserse seiama 1 Tahun, selanjutnya terdapat dorongan dari masyarakat (melalui media massa) karena adanya tindak pidana maka diproses secara hukum pidana.
ABSTRAK
Criminal act of money laundering as had been provided with Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003 is that of having characteristics as white collar crimes, it is pertained to such criminal actor who has economic or political power, subject or individual actor as human or even corporation as national or international organized crimes. In doing investigation for criminal act of Money Laundering as had been provided with Criminal Code, Laws No.2 year 2002 on Police Republic Indonesia and which of decrees of Head of Police Department of Republic of Indonesia as instructional and technical guidance and Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003. Thereafter, it had set out other commitment in accordance with individual quality evaluation and for public interests had been regulated in Article 7 paragraph (1), letter j Criminal Code by limited requirements, i.e.,: a). it had not contradicted with legislation; b). in line with legal obligation which requires occupational acts; c). such acts should be proper and reasonable and included in occupational area; d). and by proper consideration based on forcing condition; e). respect to human rights. Subsequently, in article 18 paragraph (1) Laws No. 2 year 2002 regarding Police of Republic of Indonesia, also it set out discretional authority. The meaning of discretion being correlated with investigation is authority based on - obligation principles (plichmatigeheids beginsei) as individual act of investigator limited by professional, legal, moral and society norms, as result of no legislation being complete to regulate all human behavior, the delays to adjust legislation. with society changes that may result in uncertainty, lack of budget for applying -law wished by legislator (s), individual
2007
T19209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam negara hukum modern (negara kesejahteraan), diskresi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara merupakan hal yang tak terhindarkan. Dinamisnya tugas-tugas administrasi negara serta keterbatasan peraturan perundang-undangan dalam merespon kemajuan masyarakat menjadikan diskresi acapkali dilakukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Walaupun diskresi sering diartikan sebagai kewenang bebas atau kebebasan dalam bertindak, namun sejatinya penggunaan disresi dalam administrasi negara tidak benar-benar bebas, tetap harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kedua hal tersebut merupakan acuan ketika menggunakan wewenang diskresi agar tidak menjadi penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang yang justru malah merugikan masyarakat. Selain itu, pejabat administrasi negara pun harus dapat mempertanggungjawabkan diskresi yang telah dilakukan, tanggung jawab ini berupa tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum.
ABSTRACT
In modern state law( welfare state ), discretion by administrative officials is inevitable. Dynamic state administration tasks as well as the limitations of legislation in response to the progress of society often make discretionary done in solving the problems that arise. Although discretion is often interpreted as free authority or freedom to act, but actually the use of discretion in the administration officials is not really free, but still have to pay attention to the laws in force and the general principles of good governance. Both of these are a reference when using discretionary powers so as not to be an abuse of authority and arbitrary that it actually detrimental to society. In addition, administration officials must be accountable discretion that has been made, the liability is a moral liability and legal liability.
2014
T38720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Retno Heryanti
Abstrak :
Keberadaan suatu penyelenggara telekomunikasi di Indonesia diakui oleh pemerintah dengan suatu bentuk Izin Penyelenggaraan Telekomunikasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pada Izin Penyelenggaraan Telekomunikasi tersebut berisi mengenai kewajiban-kewajiban setiap tahun dan wajib dilaporkan kepada pemerintah. Setiap tahunnya kewajiban tersebut dievaluasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.Dalam hal tidak terpenuhinya kewajiban penyelenggara telekomunikasi yang tertuang dalam Izin Penyelenggaraan Telekomunikasi tersebut maka penyelenggara telekomunikasi akan dikenakan sanksi administratif berupa denda yang besaran nilai dendanya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan peraturan tersebut Pemerintah mengeluarkan tata cara pengenaan sanksi administrasi berupa denda dalam Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Denda Terhadap Penyelenggara Telekomunikasi. Namun dalam peraturan perundang-undangan telekomunikasi yaitu Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, sanksi administrasi yang diamanatkan adalah berupa pencabutan izin yang diberikan setelah adanya peringatan tertulis. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan, yakni Bagaimana pengaturan tentang sanksi administrasi berupa denda dalam penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya terkait kewajiban penyelenggara telekomunikasi yang tertuang dalam izin penyelenggaraan telekomunikasi dan bagaimana kesesuaian pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika setelah adanya Peraturan Menteri dimaksud. Berdasarkan kepada kajian, Menteri Komunikasi dan Informatika melakukan diskresi dengan menetapkan Peraturan Menteri dimaksud untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka pengaturan dan pengawasan di sektor telekomunikasi.
The existence of telecommunications provider in Indonesia is recognised by the government in a telecommunication operating license issued by the Ministry of Communication and Information Technology. The content is related to the yearly obligations and shall be reported to the government. Every year, these obligations are evaluated by the Ministry of Communication and Information Technology. In regards to the unfulfilled obligation by telecommunications provider as written in the regulation, telecommunications provider will be imposed by fines of administrative penalty which value was defined in Government Regulation Number 7 Year 2009 regarding Type And Tariff Of Non-Tax Revenue in Ministry of Communication and Information Technology. Based on the regulation, government decreed the procedure of fines of administrative penalty which defined in Decree of The Minister of Communication and Information Technology Number 11 Year 2014 regarding Procedure Of Fines Of Administrative Penalty To The telecommunications Provider. However, in the telecommunications legislation which is Law Of The Republic Of Indonesia Number 36 Year 1999 about telecommunication and Government Regulation Number 52 Year 2000 about telecommunication provider, administrative penalty is addressed in a form of permit revocation after written warning is granted. By using normative juridical research method, the goal of this research is to address solution of the regulation about administrative penalty in telecommunication provider, specifically related to the obligation of telecommunication provider which is written in Government Regulation Number 7 Year 2009 regarding Type And Tariff Of Non-Tax Revenue in Ministry of Communication and Information Technology. According to the research, Minister of Communication and Information Technology did discretion by setting a regulation intended to solve concrete problems encountered in the operation of telecommunication in the framework of regulation and supervision in the telecommunication sector.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audaraziq Ismail
Abstrak :
Diskresi menjadi isu krusial karena memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang atau perbuatan sewenang-wenang yang dapat menimbulkan kerugian negara yang berakibat pada tindak pidana korupsi. Secara sempit, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan kehendak pejabat administrasi negara yang berwenang sebagai pelengkap dari asas legalitas yang tidak mungkin diakomodir oleh undang-undang. Secara luas, diskresi dapat diartikan menjadi 3 hal yakni Pertama, sebagai kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN atau APBD. Kedua, diskresi diartikan sebagai pengelolaan kekayaan negara, Ketiga, sebagai bentuk pelaksanaan Inovasi Daerah oleh Pejabat Pemerintah Daerah. Berkenaan dengan pelaksanaan Inovasi Daerah, dalam rangka pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, seorang pejabat administrasi daerah dapat melakukan inovasi dimana bila tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan tidak dapat dipidana. Oleh karenanya diskresi yang dilaksanakan oleh Pejabat Pemerintah Daerah seharusnya dipertimbangkan sebagai bentuk dari Inovasi Daerah. Metode penelitian tesis ini bersifat normatif yuridis dengan tipe penelitian hukum deskriptif sehingga permasalahan hukum dalam penelitian ini dapat dipaparkan berdasarkan pada hasil studi kasus. Secara singkat, hasil penelitian tesis ini, masih dipertimbangkannya prinsip dan etika sebagai bahan pertimbangan lain dalam menuntut, mendakwa, maupun memutus oleh Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim sehingga perlu untuk dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan Tata Usaha Negara. ......Discretion is a crucial issue because it provides an opportunity for abuse of authority or arbitrary actions that can cause state losses resulting in criminal acts of corruption. Narrowly, discretion is defined as the freedom of the will of the authorized state administration official as a complement to the legality principle which cannot be accommodated by law. Broadly speaking, discretion can be interpreted into 3 things: First, as the authority of Regional Government Administration Officials to manage state finances in the context of implementing the APBN or APBD. Second, discretion is defined as the management of state assets. Third, as a form of implementation of Regional Innovation by Regional Government Officials. With regard to the implementation of Regional Innovation, in the context of reforming the implementation of Regional Government, a regional administration official can make an innovation where if it does not achieve the predetermined target, it cannot be convicted. Therefore the discretion exercised by Regional Government Officials should be considered as a form of Regional Innovation. This thesis research method is normative juridical with descriptive legal research type so that the legal problems in this research can be described based on the results of the case study. In short, the results of this thesis research, principles and ethics are still being considered as other considerations in prosecuting, accusing, or making decisions by the Public Prosecutor and the Panel of Judges so that it needs to be proven first in the State Administrative Court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogie Rahardjo
Abstrak :
Diskresi polisi merupakan suatu kewenangan untuk bertindak atas penilaian sendiri yang berdasarkan kepentingan umum. Diskresi polisi diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu fenomena dilaksanakannya diskresi polisi yaitu dalam penerapan Pasal 291 Ayat (1) UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap abdi dalem di Yogyakarta. Meskipun telah lama dilaksanakan, namun perlu dianalisa apakah tindakan polisi di Yogyakarta tersebut benar-benar termasuk diskresi polisi. Jika termasuk diskresi polisi, maka apa syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya diskresi polisi tersebut dan apakah diperlukan suatu dasar hukum yang khusu untuk emngaturnya. Analisa ini diperlukan mengingat bahwa adanya perbedaan pemahaman mengenai diskresi polisi antara masing-masing anggota kepolisian dan kurang jelasnya definisi mengenai diskresi polisi yang diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Abstract
Police discretion is an authority to act upon own judgeent based on the common interest. Police discretion arranged in Article 18 Subsection (1) The Act of Republic of Indonesia No. 2 Year 2002 about Republic of Indonesia State Police. One of the phenomena of police discretion is in the application of Article 291 Subsection (1) The Act of Republic of Indonesia No. 22 Year 2009 about Traffic and Public Transportation against ?abdi dalem? in Yogyakarta. Even though it has long been implemented, but it needs to be analysed whwter the police action in Yogyakarta is really including police discretion. If it is including police discretion then wahat the conditions for such applicated police discretion and wheter it needs a special legal basis that arranged it. The analysis is necessary considering that there is difference in understanding the definition of police discretion and there is an obscurity of police discretion definition that araanged in The Act of Republic of Indonesia No. 22 Year 2002 about Republic of Indonesia State Police.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31037
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meisi Subandi
Abstrak :
ABSTRACT
Skripsi ini membahas dampak kebijakan ekspor timah di Kabupaten Bangka Barat, dengan melakukan studi terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013. Permasalahannya, setelah kebijakan diimplementasikan, masyarakat penambang tidak dapat menjual bijih timahnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini kebijakan ekspor timah di Kabupaten Bangka Barat berdampak pada tiga komponen, yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat. Bagi pemerintah daerah, kebijakan ini berdampak pada penurunan pendapatan. Bagi pihak swasta, yakni smelter timah dampaknya adalah tak dapat mengekspor timah secara langsung, karena harus melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI). Bagi masyarakat penambang, berdampak pada tidak dibelinya bijih timah oleh smelter.
ABSTRACT
This thesis discusses the impact of policy of tin export West Bangka Regency, through Regulation of Ministry of Trade No. 32 Year 2013. Its problem is after the policy is implemented, miners cannot sell their tin ore. This research used a qualitative approach. The results of this research has impact on three components, namely the government, private, and community. For local government, this policy resulted the decreasing of income. For private, namely the tin smelter, they can not export tin directly, because it must pass through Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX). For the miners, the impact is the tin ore cannot bought by smelter.
2014
S54955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
M. Faal
Jakarta: Pradnya Paramita, 1991
345 FAA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yasa Tohjiwa
Abstrak :
ABSTRAK
Diskresi adalah kewenangan berdasar hukum untuk tidak menindak atau menindak pelanggaran atas suatu ketentuan hukum pidana positip, yang harus dilakukan dengan syarat, batas dan cara tertentu sesuai penilaian sendiri, demi kepentingan umum dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal itu berkaitan dengan profesionalisme yang intinya pelayanan, standar tehnis dan moral. Tetapi kemaxnpaun tim-tim Sat Gasus yang menjaga, mengatur dan men indak pelanggaran lalu lintas di perempatan Halim Baru Cawang tidak seimbang dengan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, dimana dukungan, imbalan, pengawasn dan koordinasinya sangat lemah, sehingga peran yang sudah dapat difahaminya tidak dapat dilaksanakan seperti demikian, dikalahkan situasi rutinitas, akal sehat dan kepraktisan yang berkembang, sehingga menutupi kemampuannya, menyesuaikan din dengan keadaan yang dihadapi dan memuaskan ketaatannya pada tugas, maka diambil taktik yang bernuansa diskresi, yang karena kurang dimengerti, terikat tradisi dan desakan kepentingan tertentu, maka pelaksanaannya cenderung menimbulkan ekses yang bersifat legal, professional and etical misconducts.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>