Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Posma Leonardo
Abstrak :
Penelitian ini didasarkan terhadap masalah perkembangan transaksi e-commerce yang tidak serta merta mendongkrak penerimaan negara dari sektor perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan penegasan berkaitan e-commerce dengan mengeluarkan SE-62/PJ/2013 tanggal 27 Desember 2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce, di mana atas transaksi e-commerce dikenakan pajak yang sama dengan pelaku bisnis konvensional. Namun ketentuan tersebut belum cukup berhasil memaksimalkan pajak atas e-commerce. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penerapan SE-62/PJ/2013 tanggal 27 Desember 2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce di PT. Bukalapak.com dan memberikan rekomendasi kepada PT. Bukalapak.com berkaitan aspek perpajakan atas transaksi e-commerce. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dengan studi kasus. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method (metode campuran). Objek Penelitian adalah PT. Bukalapak.com dengan Divisi Perpajakan sebagai unit analisis. Instrumen penelitian menggunakan wawancara terhadap PT. Bukalapak.com dan kuesioner kepada para penjual yang bertransaksi menggunakan platform marketplace. Kesimpulan penelitian adalah PT Bukalapak.com tidak melakukan penerapan atau ketentuan khusus bagi pengguna aplikasi Bukalapak, hal tersebut mengacu pada sistem perpajakan yang dilakukan di Indonesia yaitu self assessment. Kurangnya pengetahuan perpajakan atas kewajiban perpajakannya menyebabkan kurang berhasil dalam memaksimalkan pembayaran pajak atas transaksi e-commerce. Terdapat sentimen negatif dengan menyatakan belum pernah melakukan, tidak paham ataupun tidak mengerti ketentuan perpajakan dari penjual yang melakukan transaksi e-commerce. PT. Bukalapak.com memiliki inisiatif untuk menjadi mitra otoritas perpajakan dengan mengajukan diri sebagai Application Service Provider, sehingga pelaporan pajak dan pembayaran pajak dapat dilakukan melalui aplikasi Bukalapak. ......This research is based on the problem of the development of transactions e-commerce that do not necessarily boost state revenues from the taxation sector. The Directorate General of Taxation has made an affirmation regarding e-commerce by issuing SE-62/PJ/2013 dated December 27, 2013 concerning Affirmation of Provisions on Taxation of Transactions E-commerce, where transactions e-commerce are subject to the same tax as conventional business actors. However, this provision has not been enough to successfully maximize tax on e-commerce. This study aims to analyze the application of SE-62/PJ/2013 dated 27 December 2013 concerning Affirmation of Taxation Terms on E-commerce Transactions at PT. Bukalapak.com and provide recommendations to PT. Bukalapak.com related to the taxation aspect of transactions e-commerce. This study uses a research approach with case studies. This study uses mixed-method approach. The object of the research is PT. Bukalapak.com with the Tax Division as a unit of analysis. The research instrument uses interviews with PT. Bukalapak.com and questionnaires to sellers who transact using the marketplace platform. The conclusion of the study is that PT Bukalapak.com does not implement or apply specific provisions for users of the Bukalapak application, this refers to the taxation system carried out in Indonesia, namely self assessment. Lack of tax knowledge on taxation obligations causes less success in maximizing tax payments on transactions e-commerce. There was a negative sentiment by stating that they had never done, did not understand or did not understand the tax provisions of the seller who made a transaction e-commerce. PT. Bukalapak.com has the initiative to become a partner of the taxation authority by submitting itself as an Application Service Provider, so that tax reporting and tax payments can be made through the Bukalapak application.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Justine Ceasarea Hasanudin
Abstrak :
Konsep nexus baru yang dicetuskan pada BEPS Action Plan 1 dikenal dengan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence) yang mengilhami adanya kebijakan baru yang bersifat unilateral demi menjawab tantangan ekonomi digital. India memperkenalkan equalization levy sebagai kebijakan unilateral untuk memajaki transaksi pada ekonomi digital atas jasa periklanan digital yang diberikan oleh non-residen India ke residen pajak India. Selain itu, Inggris juga menerapkan hal serupa dengan memperkenalkan Digital Service Tax untuk memajaki atas transaksi pada layanan dan pembelian produk oleh pelaku industri Digital. Dilanjutkan dengan dicetuskannya rancangan Solusi 2 Pilar (Two-Pillar Solutions) dalam hal ini Pilar 1 (satu) sebagai realisasi aksi 1 di tahun 2021 yang berasal dari kesepakatan negara-negara dalam konsensus global yang dilakukan oleh para negara OECD inclusive framework dan negara G20 sebagai kebijakan multilateral hingga saat ini masih tidak ada kepastian dalam penerapannya. Mengacu pada hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan skema perpajakan yang digunakan oleh India dan Inggris dan menganalisis peluang Indonesia dalam menerapkan kebijakan unilateral atas ekonomi digital. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta teknik analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil studi kepustakaan dan wawancara mendalam terhadap beberapa informan dijelaskan skema perpajakan atas ekonomi digital yang diterapkan di India dan Inggris. Indonesia juga berpeluang menerapkan kebijakan unilateral tersebut walaupun terdapat faktor penghambat yang berasal dari komitmen atas penerapan Pilar 1 yang tidak memiliki kepastian saat penerapannya, potensi ancaman perang dagang oleh Amerika Serikat dari penerapan kebijakan unilateral dan biaya kepatuhan pajak yang tinggi mempengaruhi ekonomi dari kenaikan harga atas barang dan/atau layanan pada ekonomi digital di negara sumber penghasilan serta tingginya biaya kepatuhan pajak dan pajak berganda yang muncul bagi para pelaku ekonomi digital asing yang berasal dari penerapan kebijakan unilateral yang dilakukan oleh India dan Inggris. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini adalah skema perpajakan unilateral India dan Inggris mengikuti konsep kehadiran ekonomi signifikan dan Indonesia memiliki peluang dalam menerapkan kebijakan unilateral walaupun terdapat beberapa faktor penghambat sebagaimana telah dijelaskan. Pada penelitian ini penulis menyarankan mempertimbangkan informasi dari skema perpajakan yang diterapkan oleh India dan Inggris serta mempertimbangkan pembentukan kebijakan unilateral atas ekonomi digital yang terstruktur dari perundangan-undangan dan peraturan teknisnya dengan jelas dan belajar dari permasalahan yang ditemukan di Inggris dan India. ......The new nexus concept introduced in BEPS Action Plan 1 is known as significant economic presence, which has inspired new unilateral policies to address the challenges of the digital economy. India introduced the equalization levy as a unilateral policy to tax transactions in the digital economy for digital advertising services provided by non-Indian residents to Indian tax residents. Similarly, the United Kingdom implemented a Digital Service Tax to tax transactions involving services and product purchases by digital industry players. This was followed by the introduction of the Two-Pillar Solutions draft, specifically Pillar 1, as the realization of Action 1 in 2021, based on agreements within the global consensus reached by OECD inclusive framework countries and G20 countries. However, there remains uncertainty in its implementation as a multilateral policy. Given this context, this study aims to describe the taxation schemes used by India and the United Kingdom and to analyze the potential for Indonesia to implement unilateral policies on the digital economy. This research employs a qualitative approach and qualitative data analysis techniques. Based on literature studies and in-depth interviews with several informants, the study explains the taxation schemes on the digital economy implemented in India and the United Kingdom. Indonesia also has the potential to implement such unilateral policies, although there are hindering factors stemming from the commitment to implementing Pillar 1, which lacks certainty in its application, potential trade war threats from the United States due to the implementation of unilateral policies, and high tax compliance costs affecting the economy through increased prices of goods and/or services in the digital economy in the source country, as well as high tax compliance costs and double taxation issues for foreign digital economy players due to the unilateral policies applied by India and the United Kingdom. Therefore, the conclusion of this study is that the unilateral taxation schemes of India and the United Kingdom follow the concept of significant economic presence, and Indonesia has the potential to implement unilateral policies despite several hindering factors as previously mentioned. In this study, the author suggests considering the information from the taxation schemes implemented by India and the United Kingdom, and considering the formation of a structured unilateral policy on the digital economy through clear legislation and technical regulations, while learning from the issues found in the United Kingdom and India.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian Habieb Rifai
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas untuk menganalisis formulasi kebijakan perlakuan perpajakan pada transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) melalui evaluasi PMK 210 / PMK.010 / 2018 yang dicabut sebelum ketentuan tersebut diimplementasikan. Penelitian ini juga mendukung analisis desain kebijakan perlakuan perpajakan pada e-commerce yang dapat ditampung di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumusan PMK 210 / PMK.010 / 2018 telah melalui tahapan perumusan kebijakan, yaitu tahapan perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Namun, masih ada kekurangan dalam implementasinya. Aspek yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pada akhirnya tidak tepat dalam penyusunan peraturan ini yang dikeluarkan untuk protes dari pemangku kepentingan. Protes berlanjut hingga PMK 210 / PMK.010 / 2018 dicabut oleh Menteri Keuangan sebelum dapat diimplementasikan. Pemerintah perlu mengambil pelajaran dari ini dan ketentuan yang telah diterapkan di negara lain dalam merancang kebijakan yang dapat mengakomodasi persyaratan perpajakan e-commerce untuk diterapkan di masa depan. Pemerintah dapat memberikan kepastian dan keadilan untuk perlakuan pajak e-commerce dengan menerbitkan pedoman untuk menganalisis perlakuan perpajakan untuk e-commerce juga Singapura, dan mengeluarkan undang-undang baru seperti Cina sebagai dasar hukum yang jelas dalam upaya mengembangkan ketentuan perlakuan pajak untuk e-commerce salah satunya adalah upaya mengumpulkan data tentang e-commerce.
ABSTRACT
This study discusses to analyze the formulation of tax treatment policies on trade transactions through electronic systems (e-commerce) through the evaluation of PMK 210 / PMK.010 / 2018 which was revoked before the provisions were implemented. This study also supports the analysis of tax treatment policy design in e-commerce that can be accommodated in Indonesia. This research uses qualitative. The results showed that the formulation of PMK 210 / PMK.010 / 2018 had gone through the stages of policy formulation, namely the stages of problem formulation, policy agenda, selection of alternative policies, and policy determination. However, there are still shortcomings in its implementation. The aspects that form the basis of policy making are ultimately inappropriate in the formulation of this regulation issued for protest from stakeholders. The protest continued until PMK 210 / PMK.010 / 2018 was revoked by the Minister of Finance before it could be implemented. The government needs to learn from this and the provisions that have been applied in other countries in designing policies that can accommodate e-commerce taxation requirements to be applied in the future. The government can provide certainty and fairness for e-commerce tax treatment by issuing guidelines for analyzing tax treatment for e-commerce as well as Singapore, and issuing new laws such as China as a clear legal basis in efforts to develop tax treatment provisions for e-commerce wrong one of them is collecting data about e-commerce.
2019
Spdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarto Sutanto
Abstrak :
Pesatnya perkembangan internet service provider (ISP) lokal akan menstimuli kemungkinan masuknya perusahaan asing di bisnis ini. Usaha ISP ini adalah usaha yang bergerak di bidang informasi teknologi. Sehingga sifat dan cara kerjanya mempunyai ciri dan tingkat kerumitan sendiri. Demikian juga produk turunannya yaitu pemakai akses internet dan menggunakannya sebagai sebuah jenis usaha lagi misalnya situs Yahoo, Google, Detik, Kompas Cyber Media, dan lain-lain. Dalam rangka ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai masalah sangat penting. Termasuk bidang usaha IT seperti tersebut di atas, terutama yang menyediakan jasa e-commerce. Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengenaan pajak atas usaha e-commerce di internet dan berapa besarnya pengaruh pengguna internet Indonesia terhadap nilai transaksi e-commerce global dan seberapa besar prediksi penerimaan pajak atas usaha e-commerce melalui internet.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radithia
Abstrak :
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah meningkatkan jumlah pengguna internet di berbagai dunia, sehingga smartphone dan layanan data internet menjadi sebuah kebutuhan di era modern ini. Perubahan perilaku masyarakat telah menciptakan fenomena berbelanja secara online dan berkembangnya industri ecommerce secara masif. Di Indonesia sendiri tercatat ada sekitar 4.5 juta penjual online yang aktif berdagang di tahun 2017 dengan proyeksi nilai penjualan barang kotor sebesar 55-65 milyar USD di tahun 2022. Potensi besar dari industri e-commerce ini dibersamai dengan tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan pemajakan terhadap para pelaku bisnis yang terlibat dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan analisa terkait kesiapan DJP dalam melakukan pemungutan pajak digital di Indonesia yang ditinjau dari dimensi Faktor Individual, Faktor Kolektif, dan Faktor Kontekstual. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivisme dengan memadukan metode kualitatif dan kuantitatif (mixed-method) dalam melakukan analisia penelitian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini menemukan bahwa aparatur pajak di kantor pusat DJP telah menyadari akan adanya perubahan lingkungan bisnis yang mengarah pada digitalisasi dan menilai perlu adanya perubahan dari sisi organisasi DJP. Kemudian aparatur pajak yang didominasi oleh generasi muda telah memiliki kapabilitas dalam menghadapi digitalisasi ekonomi, hanya saja dari sisi organisasi DJP saat ini baru dapat memfasilitasi pemungutan PPN atas transaksi PMSE yang dilakukan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri di dalam daerah pabean sebagaimana yang tersurat pada ketentuan PER-12/PJ/2020. Dan kesimpulan dari penelitian ini adalah DJP telah memiliki kesiapan dari Faktor Individual dan Faktor Kolektif dalam melakukan pemungutan pajak digital di Indonesia. Namun dari tinjauan Faktor Kontekstual, penelitian ini menyimpulkan bahwa DJP belum memiliki kesiapan dalam melakukan pemungutan pajak digital di Indonesia. ......The development of information and communications technology has increased the number of internet users in the world, so that smartphones and internet data services have become a necessity in this modern era. Changes in people's behavior have created the phenomenon of online shopping and the massive development of the e-commerce industry. In Indonesia, there are around 4.5 million online sellers who are actively trading in 2017 with a projected gross merchandise value of 55-65 billion USD in 2022. The huge potential of the e-commerce industry is in line with the challenges to collect the tax from the actors involved in trading through an electronic system (PMSE) by the Directorate General of Taxes (DGT). Based on this background, this research was conducted to analyze the DGT's readiness to collect digital tax in Indonesia in terms of the dimensions of Individual Factors, Collective Factors, and Contextual Factors. This study uses a post-positivism approach by combining qualitative and quantitative methods (mixed-method) in conducting research analysis. Based on the analysis that has been carried out, this study found that the tax officials at the DGT head office are aware of changes in the business environment that have led to the digitization and assess that there is a need for changes in the DGT organization. Then the tax officials which is dominated by the younger generation has the capability to face the digital economy, but from the organizational side, the DGT currently only can facilitate the collection of VAT on PMSE transactions carried out by overseas Trade Operators through Electronic Systems (PPMSE) within the customs area as which is expressed in the provisions of PER-12/PJ/2020. And this research concludes that DGT has readiness from Individual and Collective Factors in conducting digital tax collection in Indonesia. However, from a review of Contextual Factors, this study concludes that DGT is not ready to collect digital tax in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sayyidus Wisnu Widagdo
Abstrak :
Perkembangan perdagangan secara elektronik (e-commerce) telah menyebabkan berkembangnya jenis barang dan jasa yang dijual di media tersebut. Dengan tingginya pengguna internet di Indonesia maka hal ini menjadikan adanya urgensi bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perhatiannya atas pengenaan pajak pertambahan nilai terhadap barang dan jasa digital. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang didukung dari data-data yang diperoleh selama penelitian, buku-buku, literatur dan sumber lain yang relevan. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap transaksi produk digital diatur dalam Pasal 3A ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009 dan juga Permenkeu Nomor 40/PMK.03/2010 yang mengatur mekanisme reverse charge di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, pengaturan tersebut belum dapat berjalan efektif, hal tersebut karena beban pemungutan, pelaporan dan penyetoran pajak terutang dibebankan kepada si pembeli atau konsumen. Selain itu adanya pelaku usaha yang tidak berkedudukan di Indonesia juga menambah rumitnya permasalahan ini. Sedangkan ruang lingkup Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara lain masih terbatas pada lingkup Pajak Penghasilan. Maka dari itu pemerintah perlu untuk segera memperbarui pengaturan mekanisme pengenaan pajak pertambahan Nilai atas barang dan jasa digital dan juga memperluas lingkup yang ada di Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
The development of electronic trading (e-commerce) has led to the growth of goods and services sold in the digital platform/marketplace. With the high Internet users in Indonesia, this makes the urgency for the Indonesian Government to increase its attention to the imposition of value added tax on digital goods and services. The research methods in this study are supported literature research from data obtained during research, books, literature and other relevant sources. The imposition of value added tax (VAT) on the transaction of digital products is regulated in article 3A paragraph (3) UU No. 42 year 2009 and also Permenkeu number 40/PMK. 03/2010 which regulates reverse charge mechanism in Indonesia. However, in its execution, such arrangements have not been able to run effectively, it is due to the burden of voting, reporting and withholding tax payable to the buyer or the consumer. In addition, there are business actors who are not domiciled in Indonesia also increase the complexity of this problem. Therefore, the Government needs to promptly update the setting of the imposition of value added tax on digital goods and services and also expand the scope of the agreement in the avoidance of double taxation.
Depok: Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Westberg, Bjorn
Netherlands: IBFD, 2002
343.04 WES c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Jhon Ferry
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang kesesuaian konsep BUT dalam dunia ekonomi digital. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui i apakah penerapan konsep BUT tersebut berkontribusi bagi tergerusnya basis pendapatan pajak, ii apakah konsep BUT yang berlaku di Indonesia sudah mampu menjawab tantangan perpajakan ekonomi digital, dan iii apakah konsep BUT saat ini masih sesuai untuk menentukan hak pemajakan atas aktivitas-aktivitas ekonomi digital atau membutuhkan modifikasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan kepustakaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsep BUT saat ini tidak sesuai lagi untuk digunakan dalam menentukan hak pemajakan negara sumber dalam dunia ekonomi digital, bahkan berkontribusi dalam mengikis basis pajak di negara tersebut. Konsep BUT di Indonesia juga belum mampu menjawab tantangan ekonomi digital. Dengan demikian penelitian ini menyarankan agar konsep BUT dimodifikasi atau menerapkan mekanisme pemajakan yang lain khusus atas ekonomi digital.
ABSTRACT
This research discusses the relevance of permanent establishment concepts in digital economy to identify if i the application of permanent establishment concepts contribute to the loss of the basic income from tax ii the permanent establishment concepts currently applied in Indonesia are effective to deal with the challenges encountered in digital economy taxation iii the currently applicable permanent establishment concepts are still relevant to define the right to tax digital economy activities or require ammendment. This research is a qualitative research based on literary analysis on secondary data. The output of this research suggests that the currently applied permanent establishment concepts is no longer relevant to determine the source country 39 s right to tax the digital economy activities and, therefore, contributes to the loss of bases tax in the country. The permanent establishment concepts is also not effective to deal with the challenges encountered in digital economy. Hence, this research recommends that the government ammends the permanent establishment concepts or apply alternative tax mechanism, specifically for digital economy.
2017
S65991
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinto, Dale
Amsterdam: IBFD, 2002
336.2 PIN e (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>