Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soewondo Djojosoebagio
Jakarta: UI-Press, 1996
612.4 SOE f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The latest edition is edited by Drs. Shlomo Melmed, Kenneth S. Polonsky, P. Reed Larsen, and Henry M. Kronenberg, helps you diagnose and treat your patients effectively with up-to-the minute, practical know-how on all endocrine system disorders. Comprehensive yet accessible, this extensively revised 12th Edition updates you on diabetes, metabolic syndrome, obesity, thyroid disease, testicular disorders, and much more so you can provide your patients with the most successful treatments. Find scientific insight and clinical data interwoven in every chapter, reflecting advances in both areas of this constantly changing discipline, and presented in a truly accessible format. You'll also access valuable contributions from a dynamic list of expert authors and nearly 2.000 full-color images to help you with every diagnosis. Overcome any clinical challenge with comprehensive and easy-to-use coverage of everything from hormone activity, diagnostic techniques, imaging modalities, and molecular genetics, to total care of the patient. Apply the latest practices with guidance from expert authors who contribute fresh perspectives on every topic."
Philadelphia: Elsevier/Saunders, 2011
616.4 WIL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Simon Sili Sabon
"Remaja adalah bunga bangsa. Mereka adalah aset yang sangat berharga bagi bangsa pada masa yang akan datang. Dan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 201.241.999 orang (SP tahun 2000), sebanyak 40.407.618 orang (20,1%) adalah penduduk remaja umur 15-24 tahun. Isu terkait penyakit HIV/AIDS yang beredar saat ini adalah bahwa jumlah penderita HIV/AIDS khususnya di Indonesia terbanyak berada pada kelompok umur 15-29 tahun. Untuk itu, perlu ada upaya untuk mencegah penyebaran penyakit HIV/AIDS ini. Hal ini perlu dilakukan demi kebaikan bangsa Indonesia sendiri, karena: (i) remaja merupakan penerus bangsa, dan (ii) sebagai anggota PBB, Indonesia harus melaksanakan program yang dicanangkan PBB terkait pencegahan HIVIAIDS yang ditetapkan dalam ICPD di Kairo tahun 1994 dan dipertegas dalam MDG, dalam sidang PBB di New York 8 September 2000.
Sumber data penelitian ini adalah data sekunder hasil SKRRI 200212003. Variabel terikat penelitian ini adalah Perilaku berisiko HIV/AIDS, sedangkan variabel bebasnya dibagi 2 yaitu (i) internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pemahaman tentang HIV/AIDS, dan aktivitas sehari-hari), dan (ii) eksternal (peran orangtua dan sekolah sebagai sumber informasi HIV/AIDS atau kesehatan reproduksi (kesrepro), perar, lingkungan jauh (media, petugas kesehatan, dan NGO) sebagai sumber informasi HIV/AIDS, kepemilikan teman sebaya berperilaku berisiko HIV/AIDS dan tempat tinggal. Metode analisis yang digunakan: (i) deskriptif yaitu disajikan perbedaan proporsi antara kelompok remaja yang berperilaku berisiko HIV/AIDS terhadap kelompok yang tidak berperilaku berisiko HIV/AIDS menurut masing-masing faktor internal dan eksternal, dan (ii) inferensial menggunakan model regresi logistik biner untuk mempelajari perbandingan perilaku berisiko HIV/AIDS herdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Hasil analisis deskriptif yang menarik adalah 93% remaja ternyata tidak paham HIV/AIDS. Selain itu ditemukan terkait variabel internal: (i) Semakin bertambah umur remaja semakin berperilaku berisiko HIV/AIDS, (ii) Perilaku remaja laki-laki lebih berisiko HIV/AIDS daripada remaja perempuan, (iii) Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi perilaku berisiko HIV/AIDS, ini diduga disebabakan karena semakin tinggi pendidikan semakin dewasa seseorang sehingga semakin tinggi dorongan untuk melakukan hubungan seksual, (iv) Perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang memahami HIV/AIDS lebih tinggi daripada roinaja yang tidak memahami HIV/AIDS, ini diduga karena remaja telah melakukan perbuatanltindakan yang berisiko HIV/AIDS setelah itu bare remaja mencari informasi lebih jauh tentang HIV/AIDS, dan (v) Perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang memiliki aktivitas rutin sehari-hari lebih rendah daripada remaja yang menganggur atau tidak sekolah. Kemudian terkait variabel eksternal ditemukan: (i) perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang mendapat informasi tentang HIV/AIDS dari orangtuanya lebih rendah daripada remaja yang tidak mendapat informasi HIV/AIDS dari orangtuanya, (ii) perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang mendapat informasi tentang HIV/AIDS Ban sekolahnya lebih tinggi daripada remaja yang tidak mendapat informasi HIV/AIDS dari sekolahnya, hal ini diduga disebabkan karena materi kesehatan reproduksi belum masuk dalam kurikulum, (iii) Perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang mendapat informasi tentang HIV/AIDS dari salah satu sumber informasi HIV/AIDS lingkungan jauh (media massa, petugas kesehatan dan NGD) lebih tinggi daripada remaja yang tidak mendapat informasi HIV/AIDS dari ketiga sumber informasi lingkungan jauh, ini diduga disebabkan karena remaja telah melakukan perbuatan atau tindakan yang berisiko HIV/AIDS, setelah itu Baru dia mencari informasi lebih jauh tentang HIV/AIDS, (iv) Perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang tidak memiliki teman sebaya berperilaku berisiko HIV/AIDS lebih rendah daripada remaja yang memiliki teman sebaya berperilaku berisiko HIV/AIDS, hal ini diduga disebabkan karena banyak remaja yang berani menolak tekanan kelompok sebaya karena tekanan berdampak negatif, dan (v) Perilaku berisiko HIV/AIDS remaja perkotaan lebih berisiko daripada remaja perdesaan.
Hasil analisis inferensial variabel internal: (i) Semakin bertambah umur semakin remaja berperilaku berisiko HIV/AIDS, (ii) remaja laki-laki lebih berisiko HIV/AIDS daripada remaja perempuan, (iii) pengaruh pendidikan tidak signifikan, dan ditengarai disebabkan karena kesehatan reproduksi belum dimasukkan dalam kurikulum, (iv) Pemahaman HIV/AIDS tidak signifikan. diduga karena mereka yang paham HIV/AIDS telah melakukan tindakan/perbuatan berisiko HIV/AIDS sebelum dia mencari tahu lebih jauh tentang HIV/AIDS, dan (v) Perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang memiliki aktivitas sehari-hari lebih rendah daripada remaja yang tidak memiliki aktivitas sehari-hari. Kemudian terkait variabel eksternal ditemukan: (i) pengaruh variabel orangtua sebagai sumber informasi HIV/AIDS tidak signifikan, ini diduga karena banyak orangtua yang masih belum berani menceritakan secara gamblang tentang kesehatan reproduksi kepada anaknya, (ii) pengaruh variabel sekolah sebagai sumber informasi HIV/AIDS tidak signifikan, ini diduga karena kesehatan reproduksi belum dimasukkan dalam kurikulum; (iii) Perilaku remaja yang mendapat informasi HIV/AIDS dari salah satu sumber informasi lingkungan jauh lebih rendah daripada remaja yang tidak mendapat informasi HIVIAIDS dari ketiga sumber lingkungan jauh, hal ini ditengarai disebabkan karena remaja telah melakukan tindakan atau perbuatan yang berisiko HIV/AIDS terlebih dahulu, setelah itu barn dia mencali informasi lebih jauh tentang HIV/AIDS, (iv) Pengaruh teman sebaya sangat kuat karena perilaku berisiko HIV/AIDS remaja yang memiliki teman sebaya berperilaku berisiko HIV/AIDS lebih tinggi daripada remaja yang tidak memiliki teman sebaya berperilaku berisiko HIV/AIDS, dan (v) Perilaku berisiko HIV/AIDS remaja perkotaan lebih tinggi daripada remaja pedesaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20761
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrian Rayasari
"Gangguan sistem endokrin yang terbanyak dipelayanan kesehatan adalah pada kasus Diabetes Mellitus (DM) dan DM tipe 2 presentasenya mencapai 95%. Pada perkembangnnya gula darah yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik pada mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Pencegahan dan penanganan komplikasi DM, dilakukan oleh multidisiplin keilmuan yang dilakukan secara terpadu. Peran perawat spesialis medikal bedah pada kekhususan endokrin diharapkan mampu melakukan asuhan keperawatan secara holistik hingga pasien DM mampu beradaptasi dengan penyakitnya dan mampu mengontrol gula darahnya. Model Adaptasi Roy,dapat digunakan sebagai landasan perawat melakukan asuhan yang komprehensif dengan mengurangi stimulus yang ada dan meningkatkan koping individu sehingga tercapai perilaku yang adaptif. Melalui penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian (evidence based practice), pengkajian kaki diabetik dilakukan untuk pencegahan terjadinya komplikasi ulkus kaki diabetik. Pada peran perawat sebagai innovator pengkajian kaki dapat digunakan sebagai salah satu standar pengkajian keperawatan pada pasien DM, sehingga tercapai peningkatan asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan DM.

Endocrine System Disorder mostly occurs in health service on Diabetes Mellitus, especially the DM Type-2, in which the percentage reach 95%. Furthermore, uncontrolled blood sugar causes several micro vascular or macro vascular complications. The DM prevention and treatment should be done by means of integrated multi-discipline efforts. It is expected that medical surgical nurses who are majoring in endocrine will be able to conduct a holistic nursing so that the DM patients are able to adapt to his illness and control his blood sugar. Roy Adaptation Model is applied as the basis for the nurses to conduct comprehensive care by reducing existing stimulus and increasing individual coping in order to generate adaptive behaviors. Through the application of evidence-based practice, diabetic foot research is conducted to prevent diabetic foot ulcers complication. In the nurse's role as an innovator, foot assessment can be utilized as a standard for nursing assessment on DM patient and, therefore, increasing nursing treatment for them."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sodikin
"Praktik residensi keperawatan medikal bedah merupakan praktik klinik untuk meningkatkan kemampuan residen dalam mengelola kasus dengan mengintegrasikan peran perawat spesialis dalam memberikan asuhan keperawatan Askep Peran perawat sebagai care provider dan case manager residen mengelola kasus utama pasien DM dan 32 kasus resume dengan menggunakan pendekatan model Adaptasi Roy Peran sebagai reseacher residen menerapkan tindakan keperawatan berbasis bukti EBN yaitu ROM ankle pasien DM dengan venous ulcer Hasil tindakan ROM ankle menunjukkan terdapat peningkatan sudut dorsofleksi dari baseline 9 61 derajat menjadi 11 45 derajat dan sudut plantarfleksi dari baseline menjadi 30 59 derajat menjadi 35 5 derajat serta menurunkan nyeri luka dari baseline skala 4 8 menjadi skala 3 63 Peran sebagai inovator residen menerapkan pedoman pengkajian distress diabetes scale DDS bagi pasien DM Pengkajian DDS dilakukan untuk mengidentifikasi masalah psikososial pasien DM di Rumah Sakit dengan memberikan rekomendasi intervensi berdasarkan 4 domain Kata kunci Praktik residensi Peran perawat model adaptasi Roy pengkajian DDS.

A practical residency of medical surgical nursing KMB is a clinical practice for increasing resident rsquo s ability to manage cases by integrating the role of specialist nurse for giving nursing care The role of nursing as a care provider and case manager is the resident manages main cases of DM patient and 32 resume cases of patients with endocrin disorder by using an approach of Roy adaptation model The role of the researcher is the resident implements nursing care and treatment based on the evidence EBN which is called ankle ROM of DM patient with venous ulcer The ROM treatment research shows an increasing values of dorsofleksi angle from the baseline 9 61 becomes 11 45 and plantar fleksi from the baseline 30 59 becomes 35 5 and also reducing wound pain from the baseline 4 8 becomes 3 63 The practical inovator role implements an assessment guideline of distress diabetes scale DDS The DDS rsquo s assessment can be done for screening the psychosocial problem of DM patient in the hospital by recommending an intervention based on four 4 domains Key words Practical residency Nurse role Roy Adaptation model DDS assessment."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aini Yusra
"Program spesialis keperawatan medikal bedah merupakan kegiatan praktek residensi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan klinik keperawatan sehingga dapat meningkatkan pelayanan dibidang kesehatan. Ruang lingkup dari kegiatan residensi ini adalah pemberian asuhan keperawatan lanjut pada kasuskasus yang berhubungan dengan sistem endokrin yang diberikan melalui proses keperawatan berdasarkan pada pendekatan teori, praktek keperawatan berdasarkan pembuktian, proyek inovasi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi pasien.
Selama menjalankan praktek residensi ini praktikan sudah melaksanakan peran sebagai pemberi perawatan dengan melakukan asuhan keperawatan pada 33 kasus pasien gangguan sistem endokrin khususnya diabetes melitus tipe 2 dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy. Peran sebagai peneliti, dimana perawat spesialis dituntut mampu menggunakan hasil riset untuk mewujudkan praktek keperawatan yang berdasarkan hasil pembuktian, dalam hal ini praktikan telah melaksanakan praktek keperawatan tentang peregangan pasif selama 20 menit dapat menurunkan glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Kegiatan selanjutnya adalah proyek inovasi yang merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pratikan dalam rangka melaksanakan peran dan fungsi perawat spesialis sebagai leader, educator dan inovator. Kegiatan inovasi ini dilaksanakan secara berkelompok membuat suatu proyek inovasi tentang pengkajian kaki sebagai deteksi dini resiko kaki diabetik pada pasien DM tipe 2 di RSUP Fatmawati Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrian Rayasari
"Gangguan sistem endokrin yang terbanyak dipelayanan kesehatan adalah pada kasus Diabetes Mellitus (DM) dan DM tipe 2 presentasenya mencapai 95%. Pada perkembangnnya gula darah yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik pada mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Pencegahan dan penanganan komplikasi DM, dilakukan oleh multidisiplin keilmuan yang dilakukan secara terpadu. Peran perawat spesialis medikal bedah pada kekhususan endokrin diharapkan mampu melakukan asuhan keperawatan secara holistik hingga pasien DM mampu beradaptasi dengan penyakitnya dan mampu mengontrol gula darahnya. Model Adaptasi Roy,dapat digunakan sebagai landasan perawat melakukan asuhan yang komprehensif dengan mengurangi stimulus yang ada dan meningkatkan koping individu sehingga tercapai perilaku yang adaptif. Melalui penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian (evidence based practice), pengkajian kaki diabetik dilakukan untuk pencegahan terjadinya komplikasi ulkus kaki diabetik. Pada peran perawat sebagai innovator pengkajian kaki dapat digunakan sebagai salah satu standar pengkajian keperawatan pada pasien DM, sehingga tercapai peningkatan asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan DM.

Endocrine System Disorder mostly occurs in health service on Diabetes Mellitus, especially the DM Type-2, in which the percentage reach 95%. Furthermore, uncontrolled blood sugar causes several micro vascular or macro vascular complications. The DM prevention and treatment should be done by means of integrated multi-discipline efforts. It is expected that medical surgical nurses who are majoring in endocrine will be able to conduct a holistic nursing so that the DM patients are able to adapt to his illness and control his blood sugar. Roy Adaptation Model is applied as the basis for the nurses to conduct comprehensive care by reducing existing stimulus and increasing individual coping in order to generate adaptive behaviors. Through the application of evidence-based practice, diabetic foot research is conducted to prevent diabetic foot ulcers complication. In the nurse's role as an innovator, foot assessment can be utilized as a standard for nursing assessment on DM patient and, therefore, increasing nursing treatment for them."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafna Ilmy Muhalla
"Residensi spesialis keperawatan medikal bedah merupakan bagian dari proses pendidikan ners spesialis, berfokus pada manajemen asuhan keperawatan pasien dengan gangguan endokrin menggunakan pendekatan teori Model Adaptasi Roy, edukasi; bimbingan dan konsultan, penerapan praktik keperawatan berdasarkan bukti dan pelaksanaan inovasi keperawatan. Masalah keperawatan umum pada 33 kasus kelolaan antara lain mode fisiologis: nutrisi kurang dari kebutuhan dan intoleransi aktivitas, mode konsep diri: resiko gangguan religiusitas dan cemas, mode peran: manajemen kesehatan diri tidak efektif. Edukasi manajemen diabetes diberikan kepada pasien dan keluarga, bimbingan dan konseling pada mahasiswa dan rekan sejawat tentang tekhnik penyuntikan insulin, disfungsi seksual pada diabetes dan manajemen luka. Intervensi keperawatan berdasar bukti telah diterapkan lokasi dan rotasi sistematis pada penyuntikan insulin yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan stabil, terdapat trend penurunan kadar glukosa darah dan tidak terjadi komplikasi penyuntikan. Inovasi keperawatan dilakukan pelatihan dan penerapan metode irigasi luka dengan tekanan 13 psi dan pengkajian luka menggunakan format CSSC-DFU sebagai kendali infeksi dan inflamasi. Hasil inovasi diperoleh peningkatan pengetahuan, sikap, psikomotor perawat dan ditindaklanjuti dengan revisi ulang SOP perawatan luka diabetes di RSUP Fatmawati Jakarta. Disarankan selanjutnya tetap melakukan strategi asuhan keperawatan dengan pendekatan multidisiplin, edukasi diabetes, penerapan peran perawat spesialis, terapi komplementer dan alternatif, perawatan di rumah dan masyarakat, pendekatan budaya dan spiritual, penyediaan fasilitas layanan bagi diabetes, dan menggunakan teori keperawatan lain sehingga klien mampu beradaptasi positif dengan diabetes di sepanjang hidupnya.

Medical surgical nursing specialist residence is a part of nursing specialist study program, focused on endocrine disorder patient?s nursing care management by Roy Adaptation Model approach, education; supervision and consultant; evidence based nursing practice application and nursing innovation implementation. Common nursing problems on 33 cases are on physiologic mode: nutrition less than requirement and activity intolerance, self concept mode: risk of impaired religiosity and anxiety, role performance mode: ineffective self healthy management. A diabetes management education was provided to client and family. Diabetic sexual dysfunction; site and systematic rotation on insulin injection and wound management are shared and supervised to nursing student and nurses. An evidence based nursing intervention was applied by site and systematic rotation on insulin injection; it was controlled blood glucose by decreasing blood glucose trend without complication. A nursing innovation was implemented by clinical mentorship program and application of 13 psi wound irrigation and wound assessment by CSSC-DFU format as an infection and inflammation control, it?s show a cognitive; affective and psychomotor improvement, and revision of RSUP. Fatmawati Jakarta?s wound care standard operation procedure. Finally, nurse is suggested to give a nursing care with multidisciplinary approach, diabetes education, medical surgical nurse specialist role performance, complementary and alternative therapy, community; practice nursing and home-based nursing, cultural and spiritual approach, providing services for diabetes and using another nursing theory until the client is able to adaptive with diabetes for entire of his life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliandini Pangestika
"Latar belakang: Mukopolisakaridosis (MPS) tipe II adalah kelainan genetik yang ditandai dengan gangguan metabolik berupa defisiensi enzim iduronat-2-sulfatase (I2S) karena adanya mutasi pada gen iduronat-2-sulfatase (IDS), sehingga heparan sulfat dan dermatan sulfat tidak terdegradasi dan terakumulasi pada jaringan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis aktivitas spesifik enzim I2S dan kaitannya dengan varian mutasi gen IDS pada pasien MPS II di Indonesia.
Metode: Data sekuen nukleotida gen IDS dari enam pasien MPS II dianalisis untuk melihat jenis mutasi serta dibuat model konformasi proteinnya. Sel peripheral blood mononuclear cell (PBMC) diisolasi menggunakan metode sentrifugasi bertingkat dan dikultur menggunakan medium RPMI. Nilai aktivitas spesifik I2S diperoleh dengan mengukur aktivitas I2S per miligram konsentrasi total protein. Aktivitas enzim I2S diukur menggunakan metode fluorometri, sementara konsentrasi total protein diukur menggunakan bicinchoninic acid (BCA) protein assay. 
Hasil: Tiga varian mutasi yang ditemukan pada pasien MPS tipe II adalah missense (3/6), delesi (2/6), dan nonsense (1/6). Aktivitas enzim spesifik I2S pada pasien menunjukkan angka yang bervariasi. Mutasi dengan rata-rata aktivitas spesifik I2S paling rendah sampai paling tinggi secara berurutan adalah mutasi delesi (0,026 nmol/min/mg), missense (0,052 nmol/min/mg), dan nonsense (0,052 nmol/min/mg). 
Kesimpulan: Aktivitas spesifik enzim I2S pada pasien MPS tipe II di Indonesia 0,044 nmol/min/mg, sedangkan pada kontrol adalah 0,172 nmol/min/mg. Nilai rata-rata aktivitas spesifik I2S pada pasien menurun empat kali lipat dibandingkan pada kontrol.

Background: Mucopolysaccharidosis type II (MPS II) is an inherited metabolic disorder that caused by iduronate-2-sulfatase (I2S) enzyme deficiency due to mutations in the iduronate-2-sulfatase (IDS) gene, so that heparan sulfate and dermatan sulfate do not be degrade and accumulate in tissues. This study was conducted to analyze the specific activity of I2S and its relationship to IDS variant mutation of MPS II patients in Indonesia.
Method: IDS gene nucleotide sequences from six MPS II patients were analyzed to see mutation type and protein conformation model was made. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) were isolated using a stratified centrifugation and cultured using the RPMI medium. I2S specific activity values are obtained by measuring I2S activity per milligram of total protein concentration. I2S enzyme activity was measured using fluorometry method, while total protein concentration was measured using bicinchoninic acid (BCA) protein assay.
Result: There were three variant mutation in MPS II patients, such as missense (3/6), deletion (2/6), and nonsense (1/6). I2S specific enzyme activity shows varying numbers. IDS mutation based on I2S specific activity from lowest to highest mean value are deletion (0.026 nmol/min/mg), missense (0.052 nmol/min/mg), and nonsense (0.052 nmol/min/mg).
Conclusion: I2S specific activity in MPS II patient is 0,044 nmol/min/mg, while the control is 0,172 nmol/min/mg based on the mean value. I2S specific activity in patients decreased four times compared to controls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Aditya Arpandy
"ABSTRAK
Latar belakang. Multipel Sklerosis MS dan Neuromyelitis Optica Spectrum Disorder NMOSD adalah penyakit autoimun yang mengakibatkan lesi inflamasi dan demielinisasi pada sistem saraf pusat. Salah satu manifestasi klinis yang paling menonjol pada kedua penyakit ini adalah neuritis optik NO . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan struktur dan fungsi nervus optikus pada pasien MS dan NMOSD serta melihat hubungannya dengan derajat disabilitas yang dinilai dengan EDSS, durasi penyakit, dan jumlah relaps. Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan jumlah sampel 30 mata MS dan 15 mata NMOSD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM , tanpa riwayat neuritis optik dalam 6 bulan terakhir. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2017. Struktur nervus optikus dinilai dengan menggunakan optical coherence tomography yang menilai ketebalan GCL-IPL ganglion cell layer-inner plexiform layer dan RNFL retinal nerve fiber layer serta foto fundus. Sedangkan fungsi nervus optikus dinilai dengan ketajaman penglihatan logmar , sensitivitas kontras, dan latensi P100. Hasil. Rerata usia MS 30 6 tahun tahun dan NMOSD 23,19 7,25 tahun. Hanya terdapat satu orang laki-laki pada kelompok MS, sedangkan subjek NMOSD keseluruhannya adalah perempuan. Kelompok NMOSD memiliki ketebalan lapisan GCL-IPL, RNFL serta ketajaman penglihatan yang lebih rendah dibandingkan MS. Pada kelompok ini juga didapatkan korelasi positif antara nilai EDSS dengan ketajaman penglihatan r=0,74 dan korelasi negatif dengan rerata ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,67 dan RNFL r=-0,46 . Pada kelompok MS, subjek dengan nilai EDSS yang tinggi cenderung memiliki lapisan GCL-IPL yang lebih tipis. Korelasi negatif antara durasi penyakit dengan ketajaman penglihatan r=0,65 dan ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,63 terlihat pada kelompok NMOSD. Sedangkan pada MS didapatkan korelasi negatif antara durasi penyakit dengan sensitivitas kontras r=-0,42 serta ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,40 dan RNFL r=-0,38 . Jumlah relaps berkorelasi negatif dengan ketebalan lapisan RNFL r=-0,63 pada kelompok NMOSD. Pada kelompok MS, jumlah relaps tidak berkorelasi dengan parameter struktur dan fungsi nervus optikus. Kesimpulan. Ketebalan lapisan GCL-IPL dan RNFL lebih tipis pada kelompok NMOSD. Fungsi nervus optikus pada NMOSD juga lebih inferior dibandingkan MS. Derajat disabilitas dan durasi penyakit berkorelasi dengan parameter struktur dan fungsi nervus optikus pada pasien MS dan NMOSD. Sedangkan korelasi dengan jumlah relaps hanya didapatkan pada kelompok NMOSD.

ABSTRACT<>br>
Background. Multiple Sclerosis MS and Neuromyelitis Optica Spectrum Disorder NMOSD is an autoimmune disease that results in inflammatory lesions and demyelinization of the central nervous system. One of the most prominent clinical manifestations in both diseases is optic neuritis ON . This study aims to determine the differences in structure and function of the optic nerve in MS and NMOSD patients and to see its relationship with the degree of disability assessed by EDSS, duration of disease, and number of relapse. Method. This study used cross sectional design with 30 MS eyes 15 NMOSD eyes at Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM , with no history of optic neuritis in the last 6 months. The study was conducted in December 2017. The optic nerve structure was assessed using optical coherence tomography by measuring the thickness of GCL IPL ganglion cell layer inner plexiform layer and RNFL retinal nerve fiber layer and fundus photography. While optic nerve function is assessed with visual acuity, contrast sensitivity, and P100 latency. Results. Mean age of MS subjects were 30 6 years and NMOSD 23.19 7.25 years. There is only one male in the MS group, while the entire NMOSD subject is female. The NMOSD group has lower GCL IPL and RNFL thickness and also lower visual acuity than MS. In this group there was also a positive correlation between EDSS value with visual acuity r 0.74 and negative correlation with mean GCL IPL r 0.67 and RNFL thickness r 0.46 . In the MS group, subjects with high EDSS values tend to have thinner GCL IPL. The positive correlation between disease duration and visual acuity r 0.65 and negative correlation with GCL IPL layer thickness r 0.63 was seen in the NMOSD group. While in MS, there was a negative correlation between duration of disease with contrast sensitivity r 0.42 and mean GCL IPL r 0.40 and RNFL thickness r 0.38 . The number of relapse were negatively correlated with mean RNFL thickness r 0.63 in the NMOSD group. In the MS group, the number of relapse was not correlated with the structural and functional parameters of the optic nerve. Conclusion. The thickness of the GCL IPL and RNFL is thinner in the NMOSD group. The optic nerve function in NMOSD is also inferior to MS. The degree of disability and duration of disease correlates with the structural and functional parameters of the optic nerve in MS and NMOSD patients. While the correlation with the number of relapse is only found in the NMOSD group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58954
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>