Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 284 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toni Soetopo
Abstrak :
Fenomena perpindahan penduduk desa-kota di kota-kota di negara berkembang telah mengakibatkan pertambahan penduduk, khususnya di kota-kota besar. Hal ini karena adanya pengaruh daya dorong dan daya tarik kota, seperti berkembangnya industrialisasi dan terbukanya kesempatan kerja diberbagai sektor lapangan ketja. Perkembangan kota yang pesat dalam dasawarsa terakhir dapat menimbulkan dampak negatif maupun positif seperti kerusakan lingkungan, kelangkaan tanah, kelangkaan sumber air dan penyediaan perumahan dan permukiman serta kesempatan kerja. Sebagai antisipasi dampak di atas, khususnya permukiman dan perumahan telah berkembang kota baru atau perrnukiman skala besar di sekitar kota induk (Jakarta), diantaranya kota baru Bumi Serpong Damai. Sementara itu, studi mengenai masalah pembangunan kota terhadap kualitas hidup masyarakat lokal yang tergusur akibat pembangunan kota relatif masih sedikit. Tujuan penelitian adalah sebagai berikut : (1) Bagaimana dampak proses pembangunan kota baru BSD terhadap pendapatan, kesempatan kerja penduduk asli terkena gusur (2) Apakah penyediaan air bersih dan pengelolaan limbah (sampah), sudah memadai dan tidak merusak Iingkungan (3) Bagaimana dampak interaksi social antara penduduk lokal dengan penduduk kota baru BSD. Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, diajukan hipotesis sebagai berikut : ?Pernbangunan kota baru mandiri Bumi Serpong Damai berhubungan dan berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat tergusur (asli)" Hasil analisis penelitian pada atas di tiga desa yaitu Rawabuntu, Rawamekar Jaya dan Desa Jelupang, ditemukan kesimpulan bahwa proses pembangunan kota mandiri Bumi Serpong Damai memberi nilai positif dan negatif kepada masyarakat sekitar kota baru tersebut. Dampak positif dan negatif ini ditunjukkan, antara lain: 1. Meningkatnya pendapatan masyarakat di desa sekitar Bumi Serpong Damai 1997 dibandingkan 1987 menimbulkan dampak positif. Namun dalam penelitian ini dicatat bahwa masih kurang memberi kesempatan kerja bagi penduduk loka1?
The impact of Urbanization phenomenon in Development Country is population growth in a big city. The push and pull factors are the issues for a big city as industrial development and job opportunity in any sector of occupation. The rapid growth in the last decade can damage the environment : less land, less water, less housing and less job opportunity. To anticipate the rapid growth of Jakarta, especially for the housing problem there are some satellite towns development around out side Jakarta, Bumi Serpong Damai satellite town for example. Regardless, there are only a few studies of town development problem to local people who have to move because of that satellite town development. The aim of this research are : 1. How is the impact of Bumi Serpong Damai process to local people in income and job opportunity. 2. Is there any dean water and good performer rubbish controller available. 3. Is there any social interaction between local people and the Bumi Serpong Damai new city corner. To achieve the goal, there is a hypothesis for this research : " There is a relation between the development of Bumi Serpong Damai Satellite Town by the quality of live of the people who moved because of the Bumi Serpong Damai development ". The researches in Rawabuntu, Rawamekar Jaya and Jelupang Villages found that the process in Bumi Serpong Damai satellite town development has positives and negatives value to the people who lived around the Bumi Serpong Damai town.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waktu Karo Sekali
Abstrak :
Pertambahan penduduk yang terlalu cepat di perkotaan merupakan masalah bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagai ilustrasi jumlah penduduk yang bermukim di kebanyakan kota di Indonesia telah bertambah dengan cepat sekali, bahkan lebih cepat bila dibandingkan dengan pertambahan rata-rata penduduk di seluruh tanah air dalam masa tahun tujuh puluhan ini. Apabila pertambahan penduduk selama ini adalah sekitar 2% setahun, maka dalam banyak kota penduduk yang bertambah 3,3% setahun. Bahkan beberapa kota penting, seperti Jakarta dan Surabaya, naik dengan 4,8% setahun lebih dari dua kali lipat pertambahan rata-rata di tingkat nasional. Selanjutnya akibat dari pertambahan penduduk ini banyak pandatang dari desa yang pekerjaannya sebagai petani, dengan kemampuan yang serba terbatas baik modal maupun pengetahuan harus dapat menyesuaikan diri dengan tata kehidupan perkotaan. Karena ketiadaan modal dan ketrampilan yang sesuai, mereka harus tinggal di tempat pemukiman yang berkualitas rendah, di mana kepadatan penduduknya tinggi dan letak pemukiman tidak teratur. Masalah menonjol yang timbul dari keadaan seperti itu dapat dilihat pada kualitas hidup yang masih rendah terlihat dari rendahnya derajat kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kualitas perumahan, kemiskinan dan sebagainya. Dalam kondisi kehidupan secara terus menerus kurang baik akan menimbulkan pemukiman yang buruk ( slum area ), yang mana kondisi demikian tidak sesuai dengan rencana induk kota, sehingga sebagai akibatnya terjadi pembongkaran, penggusuran dan penampungan terhadap pemukiman tersebut, sehingga di dalam kenyataannya membawa penduduk dalam kondisi yang kurang baik. Masalah pokok dalam penelitian dari studi ini adalah apakah ada pengaruh tingkat pendapatan terhadap kualitas hidup masyarakat khususnya pada daerah penelitian di lingkungan RW 05 Kelurahan Serdang Kecamatan Kemayoran. Dalam penelitian ini ada tiga hipotesis yang akan diujikan yaitu : 1. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan pendidikan ?. 2. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan kondisi kesehatan ?. 3. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan kondisi tempat tinggal ?. Untuk menguji hipotesis itu, suatu penelitian lapangan telah dilakukan yang meliputi 78 kepala rumahtangga sebagai unit analisis yang dipilih secara random di antara penduduk Kecamatan Kemayoran. Untuk mendapatkan data sosial ekonomi, responden dibagi menjadi tiga strata kategari pendapatan, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Proses pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan di lapangan. Pada tahap pendahuluan, beberapa pertemuan adalah dengan pejabat lurah yang mane lokasi penelitian tersebut berada, dilanjutkan dengan kunjungan kepada RW dan RT. Tahap berikutnya meliputi wawancara di lapangan dengan responden. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan uji statistik non parametrik, yaitu menggunakan chisquare dengan koefisien kontingensi. Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pendidikan, pendapatan dengan kondisi kesehatan, dan pendapatan dengan kondisi tempat tinggal. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pendapatan mempunyai pengaruh besar pada variabel tingkat sosial ekonomi, dan dengan demikian sektor kritis yang perlu diperbaiki adalah meningkatkan tingkat pendapatan yang juga meningkatkan tingkat pendidikan, kondisi kesehatan dan kondisi tempat tinggal.
Population increase very fast in the urban areas is a problem for the developing countries including Indonesia. As a illustration the number of people living in the cities has been fastly increasing, even faster compared to the average population increase in Indonesia within the period of 1970s. With the total population growth around 2% per year, in many cities the population has increased by 3,3% annually. Even in some major cities such as Jakarta and Surabaya, population increased by 4,8% per year, or twice the national average population growth. Furthermore the effect of population increase many people from rural areas who work as farmers with limited of capital and skill must just with city environmental life. Having no capital and appropriate skills, they have to live in some poor quality settlements, where population density is high and the lay out housing is unorganized. Salient problems arising from such condition can be observed on the low level of quality of life can be measured by the low level of health, education, housing and poor living conditions, etc. Such poor condition of living settlements are continuously creating slums areas. That such condition is not suit to the master plan of city, it causes to unpack, eviction and relocation, in fact it condition bring about people living in bad. The main enquiry of this study is whether there an influence of the level of income on the quality of life of the people in RW 05 as specially in the research region subdistrict of Kemayoran, Central Jakarta. In the study there are three hypothesis will be test namely 1. What is there a correlation between people's level of income and their level of education?; 2. What is there correlation between people's level of income and their health condition ? 3. What is there a correlation between people's level of income and their housing condition? To test the hypothesis a field survey was conducted, involving 78 heads of household as units of analysis selected randomly among the Kecamatan Kemayoran population. In order to obtain socio-economic data, the respondents were divided into three strata of income categories, i.e. high, medium and low. Data collection was conducted through several stages of field activity. At initial stage, some meetings were held with the head of the subdistrict and village in which area of study is located, followed with visits to the concerned community (RW) and neighborhood (RT) association. The following stage covered field interview with the respondents. Quantitative data analysis was carried out with using non-parametric statistical data, i.e. chi-square and coefficient of contingency. Results of data analysis indicates that weak correlations exist between income and educational level, income and level of education, income and level of health condition, and income and housing condition. It show that the income variable, having determinant influence on the other socio-economic status variables, constitutes the crucial sector which necessitates treatments, as increase on the level of income will bring about increases on the level of education, health status, and housing condition of the people.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wangke, Welson Marthen
Abstrak :
Pembangunan di Indonesia yang dilakukan tahap demi tahap berupaya merombak struktur ekonomi yang tidak seimbang yakni terlalu bercorak pertanian ke struktur ekonomi yang lebih kokoh dan seimbang antara pertanian dan industri.Setiap kegiatan pembangunan dapat memberi dampak, baik yang bersifat positif atau menguntungkan maupun yang bersifat negatif atau merugikan terhadap lingkungan hidup yang terdiri dari lingkungan hidup alam; lngkungan hidup buatan dan lingkungan hidup sosial. Pembangunan industri membutuhkan tanah yang cukup luas, sedangkan tanah yang cocok untuk industri umumnya telah dikuasai dan diusahakan oleh masyarakat terutama untuk pertanian. Pulau jawa yang terpadat penduduknya di Indonesia, telah cukup banyak dibangun industri sehingga banyak pula tanah pertanian yang dialihkan menjadi tanah untuk industri. Peralihan tanah tersebut dapat memberi dampak terhadap kehidupan masyarakat bekas pemilik tanah. Seluk-beluk kehidupan masyarakat bekas pemilik tanah tersebut hingga saat ini masih kurang diketahui, oleh sebab itu penelitian ini diadakan dengan mengevaluasi kualitas hidup masyarakat tersebut apakah baik atau buruk. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah setelah tanah pertaniannya dialihkan menjadi tanah industri?; (2) Apakah ada perbedaan kualitas hidup antara masyarakat bekas pemilik tanah dengan masyarakat yang tidak mengalihkan tanahnya untuk industri (tetap sebagai petani)?; (3) Faktor--faktor apakah yang berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah? Penelitian bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah dan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup tersebut. Berdasarkan masalah penelitian, diajukan hipotesis sebagai berikut: (1) Ada perbedaan kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah dengan masyarakat yang tidak mengalihkan tanah pertaniannya untuk industri (tetap sebagai petani); (2) Ada perbedaan kualitas hidup antara masyarakat bekas pemilik tanah Kawasan Industri Pulo Gadung dengan di Kecamatan Tambun Kabupaten Bekasi atau dengan kata lain faktor lokasi (pedesaan dan perkotaan) berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah; (3) Luas tanah yang dialihkan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah atau dengan kata lain semakin luas tanah yang dialihkan, semakin baik kualitas hidupnya; (4) Cara penggunaan uang ganti rugi pembebasan tanah berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah, atau dengan kata lain jika uang ganti rugi lebih banyak digunakan untuk tujuan produktif kualitas hidup cenderung lebih baik. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu: (1) di Kawasan Industri Pulo Gadung dan sekitarnya yang bercirikan perkotaan; (2) di Kecamatan Tambun kabupaten Bekasi yang lebih bercirikan pedesaan. Pengambilan contoh responden dengan cara acak sistematik yaitu masing-masing sebesar 60 keluarga bekas pemilik tanah Kawasan Industri Pulo Gadung, 60 keluarga bekas pemilik tanah industri di Kecamatan Tambun Kabupaten Bekasi dan 80 keluarga petani di Kecamatan Tambun Kabupaten Bekasi sebagai kontrol. Data diperoleh dengan mengadakan wawancara yang berpedoman pada kuesioner terstruktur dan mengadakan pengamatan lapanoan. Data lain diperoleh dari berbagai instansi yang berkaitan dengan penelitian ini. Data kualitas hidup dianalisis secara deskripsi dan pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji Chi- Square. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah (1) Pembangunan industri telah memberi dampak positif atau menguntungkan bagi sebagian besar masyarakat bekas pemilik tanah. Kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah lebih banyak yang menjadi baik daripada menjadi buruk (2) Kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah lebih baik daripada masyarakat yang tidak mengalihkan tanah pertaniannya untuk industri (tetap sebagai petani); (3) Faktor lokasi peralihan tanah pertanian menjadi tanah industri tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah. Kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah baik yang berlokasi di perkotaan maupun yang di pedesaan tidak menunjukan perbedaan yang nyata; (4) Faktor luas tanah yang dialihkan berpengaruh nyata terhadap kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah. Semakin luas tanah yang dialihkan untuk industri, maka kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah cenderung makin baik; (5) Faktor cara penggunaan uang ganti rugi pembebasan tanah berpengaruh nyata terhadap kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah. Semakin besar penggunaan uang ganti rugi untuk tujuan produktif maka kualitas hidup makin baik. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah jika dilihat kualitas hidup masyarakat bekas pemilik tanah, maka adanya peralihan tanah-tanah pertanian menjadi kawasan industri tidak perlu dikhawatirkan karena pada umumnya masyarakat bekas pemilik tanah tersebut dapat memperoleh manfaat dari pembangunan industri. Dalam membina masyarakat bekas pemilik tanah maka yang terutama adalah ditujukan kepada bekas pemilik tanah sempit agar dapat menggunakan uang ganti rugi pembebasan tanah untuk tujuan produktif. Dilihat dari indikator kualitas hidup, faktor pendidikan perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan.
The national development of the Republic of Indonesia has been implemented continuously in order to restore the imbalance economic structure. Indonesia is known as an agriculture country, thus automatically its economic system is characterized agriculture oriented. In other side of development, Indonesia has been starting to build up the industrial world. In general, activities of development always bring about antagonistic consequences, advantageous and disadvantageous impacts. These impacts will effect natural, man-made and social environment of the lands, which suitable for industries generally have been utilized and owned by people especially for farming. Java as the largest populated island becomes the center of industrial activities, therefore many industries built. It means that more lands are needed in such a dense island. The lands, which have utilized for agriculture purposes for many years, are transformed into industrial areas. Such a process affects the people's life, especially those who are quite dependent on the agriculture land. The effects can be evaluated either good or not. Questions arise in this research are: (1) how is the quality of life of ex landowners who?s their agriculture lands have been transformed into industrial land? ; (2) Is there any difference in quality of life between the community whose agriculture lands are transformed and are not transformed into industrial land? ; (3) What are factors affect the quality of life of ex landowners? The purpose of this research is to find out the community quality of life whose the agriculture lands have been transformed into industrial land, and to find out factors that effect its. The'-'hypotheses" put forward in this research, are (1) There is difference in quality of life between community ex land owners Pulo Gadung Industrial Estate and at Tambun Sub district Bekasi; (2) There is difference in the community quality of life of ex land owners and those whose agriculture lands are not transformed (remain as farmers) ; (3) Size of lands were transformed effect the community quality of life of ex land owners ; (4) The way to spend land compensation fund effects the quality of life of the ex land owners. The research was carried out in Pulo Gadung Industrial Estate and surroundings. The area is urban. The second place is in Tambun Sub district-Bekasi is more rural. The samples were taken with systematic sampling, consisting of 60 respondents in Pula Gadung Industrial Areas and 60 respondents in Tambun location. And then BO respondents are farmers or those whose agriculture land are not transformed into industrial land. Data were gathered by means of guided questionnaires and field observations. The data of the community quality of life were analyzed as by descriptive and the hypotheses were tested by Chi-Square Test (X2). The results of this research are (1) Development of industries have positive impact or beneficiary to most of ex landowners. The quality of life of ex landowners is improving rather: than decreasing. (2) The: quality of life of. Ex landowners are better than those whose lands are not transformed to industry (remain as farmers). (3) The location factor of land agriculture transform to industrial land has not significant effect to the quality of life of ex landowners. The quality of life ex urban and rural landowners are not significant different. (4) The size of land transform has significant effect to the quality of life of ex landowners. The wider size of agriculture land transformed to industrial land, the quality of life has a better trend. (5) The way to spend land compensation fund has significant effect to the community quality, quality of life. Spending for productive goods has better impact to quality of life, than for consumptive goods. The implication of these results is: If we are concerned with the quality of life of ex landowners, transform of agriculture land to industry mostly has beneficiary. To those who have small size land, it is appropriate to guide them to utilize their money productively. The education factor as an indicator of quality of life must be taken into consideration to improve.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Estee Fina Pleyto
Abstrak :
Dalam bekerja, para pekerja seks biasanya membangun tembok yang menghalangi atau membatasi antara dirinya yang sebenarnya (real self) dengan dirinya pada saat mereka melayani para pria yang menjadi konsumennya. Barry (1995) menyebutnya sebagai disengangement, di mana pekerja seks membangun suatu jarak emosional dengan dirinya sendiri. Pheterson (1996) menyebut gejala ini sebagai detachment (ketidakterlibatan). Salah satu komponen utama yang digunakan untuk mengembangkan definisi pelacuran atau prostitusi adalah adanya ketidakacuhan emosional. Konsep serupa dikemukakan oleh Seeman (dalam Mirowsky & Ross, 1989) sebagai self-estrangement, yaitu perasaan individu bahwa dirinya terpisah dari pikiran, perilaku, dan pengalamannya sendiri karena berada di bawah kontrol orang lain. Maddi dkk. (1979) menyebut gejala serupa sebagai vegetativeness, yaitu ketidakmampuan individu untuk memberikan makna pada pekerjaannya. Sikap yang terkait dengan vegetativeness adalah sikap apatis dan tidak perduli. Self-estrangement atau vegetativeness merupakan salah satu dimensi/bagian atau jenis dari alienasi, sebuah tema yang akan dibahas dalam penelitian ini. Maddi juga menemukan bahwa alienasi berkorelasi negatif secara signifikan terhadap makna hidup. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran alienasi dan makna hidup pada pekerja seks. Penelitian menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Alienasi (oleh Maddi dkk.,1979) dan Skala Makna Hidup (oleh Crumbaugh & Macholick) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Komalasari (1995). Selain itu peneliti juga membuat pedoman wawancara terstandar yang terbuka untuk mendapatkan data kualitatif. Dari hasil analisis ditemukan bahwa secara umum para pekerja seks di PSBKW Harapan Mulya Kedoya teralienasi dari kehidupannya. Para pekerja seks tersebut terpisah dan menjadi asing (alienated) dari pekerjaan, dari diri mereka sendiri, dari masyarakat (institusi sosial), dari hubungan interpersonal, serta dari keluarga mereka. Seluruh dimensi alienasi dihayati oleh para pekerja seks dalam seluruh area alienasi, dengan penghayatan paling signifikan adalah penghayatan powerlessness, diikuti oleh penghayatan nihilism, vegetativeness, dan terakhir penghayatan adventurousness. Alienasi dari hubungan interpersonal terkait erat dengan alineasi dari institusi sosial dan alienasi dari diri sendiri. Riga ditemukan bahwa alienasi dari hubungan interpersonal tidak sating terkait dengan alienasi dari keluarga. Selain itu, para pekerja seks di PSBKW Harapan Mulya Kedoya yang teralineasi belum tentu tidak rnemiliki penghayatan terhadap makna atau tujuan hidupnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17874
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aidiina Munir Sjamsoeddin
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sumbangan empat bentuk dukungan sosial (dukungan informasi, dukungan praktis, dukungan harga diri, dan dukungan belonging) terhadap kepuasan pada masa pensiun serta melihat apakah ada perbedaan bentuk dukungan sosial terhadap kepuasan hidup pada orang yang pensiun pada usia dewasa madya dengan orang yang pensiun pada usia dewasa akhir.

Subyek yang dipilih dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan yang berusia 56-64 tahun yang dikelompokkan sebagai tahapan usia dewasa madya dan 65 tahun keatas sebagai dewasa akhir.

Hasil analisis regresi menemukan bahwa ke empat variabel dukungan sosial secara bersama-sama memberikan sumbangan sebesar 46.7% terhadap kepuasan hidup para pensiunan. Selain itu ditemukan bahwa secara signifikan dukungan harga diri memberikan sumbangan yang terbesar ditunjukkan oleh hasil analisis simple regresi sebesar 28.1%. Perbedaan bentuk dukungan sosial ditemukan antara orang yang pensiun pada usia dewasa madya dengan orang yang pensiun pada usia dewasa akhir. Dukungan belonging memberikan sumbangan yang terbesar terhadap kepuasan hidup pada pensiunan dewasa madya sedangkan dukungan harga diri memberikan sumbangan yang terbesar terhadap kepuasan hidup pada pensiunan dewasa akhir.

Dari hasil penelitian dapat disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk menambahkan jumlah subyek dan melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap variabelvariabel yang kemungkinan dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidup. Selain itu perlu juga ditambahkan faktor lain untuk melihat pengaruhnya terhadap kepuasan hidup. Untuk praktisnya, disarankan bagi mereka yang hidup berdampingan dengan pensiunan untuk dapat lebih memahami kondisi yang dialami para pensiunan dan dapat memberikan bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan mereka sehingga mereka dapat tetap merasakan kepuasan dan menikmati masa tua mereka.
2007
T17833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Abdurachim Nazir
Abstrak :
Latar Belakang. Bedah pintas koroner merupakan salah satu pengobatan dari PJK Rehabilitasi Kardiovaskular selalu dilakukan pada pasien pasca bedah pintas koroner untuk memulihkan penderita pada kesehatan yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup. Mengukur kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner. Salah satu kuesioner yang banyak dipakai adalah SF-36. Di Indonesia belum ada penelitian kualitas hidup pasien pasca bedah koroner yang melakukan rehabilitasi fase III. Metodologi. Penelitian dilakukan dengan disain potong lintang di divisi rehabilitasi PJNHK terhadap pasien pasca bedah pintas koroner yang melakukan rehabilitasi fase III tahun 2004 -2005 diambil secara consecutive sampling. Kuesioner SF-36 diberikan secara langsung atau melalui pos sµrat. Sebelumnya dilakukan uji kesahihan dan keandalan dari kuesioner SF-36 bahasa Indonesia. Hasil. Didapatkan 112 pasien, 34 rehabilitasi di rumah sakit dan 78 pasien rehabilitasi di rumah. Karakteristik kedua kelompok sama. Uji kesahihan memakai r product moment dari Pearson setiap butir pertanyaan kuesioner SF-36 bahasa Indonesia r = 0,53-0.83 > 0,51 (r tabel) dan Cronbach a 0,855. Skor SF-36 tidak berbeda bermakna baik antara kedua kelompok ( rehabiltasi di rumah sakit vs di rumah) maupun dengan kelompok kontrol (sehat). Kesimpulan. Kualitas hidup pasien yang melakukan rehabiltiasi fase III baik di rumah sakit maupun di rumah sama baiknya dan kuesioner SF-36 terjemahan bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup di Indonesia.
Background. Coronary artery bypass graft surgery (CABG) is one of the management for coronary artery disease. Cardiovascular rehabilitation usually conducted for recovery and improved quality of life. Questionnaire was used to evaluate quality of life. One of the quality of life instrument most commonly used is Questionnaire SF-36. So far there isn't any study to evaluate quality of life in patients post CABG who wishes to follow rehab program phase III in Indonesia. Methodology. This is a cross sectional study conducted in Cardiovascular Rehabilitation Division in NCCHK to patients post CABG in phase III rehab program during 2004-2005. Subject was taken in consecutive sampling manner. Questionnaire SF-36 was handed directly or via mail. Validity and reliability test was done for the questionnaire form in Indonesia language. Result. There were 112 patients, 34 patients did rehab program in hospital and 78 were home-based. The characteristics between two groups were similar. Validity test using r product moment from Pearson to every questions in SF-36 showed r = 0,53-0.83 > 0,51 (r table) and Cronbach a= 0,855. SF-36 scoring was not significantly different among two group (in hospital rehab vs home-based rehab) and also control group (healthy). Conclusion. There were no difference of quality of life in patients who had done rehabilitation program phase III in hospital and home-based and questionnaire SF-36 form in Indonesia language valid and reliable.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikalius
Abstrak :
Penyebab tersering terjadinya PPOK adalah karena kebiasan merokok, polusi udara, defisiensi antitripsin alfa-1 dan faktor genetik. Penyakit ini akan terus berlanjut secara progresif lambat. Obat-obatan seperti bronkodilator tidak banyak membantu kecepatan penurunan faal paru, faktor lain yang memperberat seperti seringnya eksaserbasi, kebiasan merokok dan faktor lingkungan. Penderita PPOK cenderung menghindari aktiviti fisik sehingga penderita mengurangi aktiviti sehari-hari menyebabkan imobilisasi, hubungan penderita dengan lingkungan dan sosial menurun sehingga kualiti hidup menurun dan kapasiti fungsional juga menurun. Kualiti hidup adalah kemampuan individu untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat serta merasa puas dengan peran tersebut sedangkan kapasiti fungsional adalah hal-hal yang berhubungan dengan aktiviti sehari-hari seperti merawat diri, makan, berpakaian dan kegiatan rumah tangga. Salah satu program yang dapat meningkatkan kualiti hidup dan kapasiti fungsional adalah program rehabilitasi paru. Tujuan rehabilitasi paru meningkatkan dan mempertahankan tingkat kemampuan tertinggi seseorang untuk hidup mandiri dan berguna bagi masyarakat. Rehabilitasi paru yang diberikan adalah fisioterapi dada dan latihan memakai ergometer sepeda. Fisioterapi dada yang diberikan adalah Pemberian sinar infra merah daerah dada dan punggung masing-masing 7,5 menit, pernapasan diafragma dilanjutkan pernapasan pursed lip, latihan elevasi otot-otot bahu, sendi leher,dan sendi lengan atas, vibrasi dilakukan saat ekspirasi 5x napas dalam dan latihan batuk. Kemudian dilanjutkan latihan dengan ergometer sepeda. Latihan dilakukan 3 kali seminggu 10 menit minggu pertama dan kedua kemudian dinaikkan 5 menit setiap minggu,minggu ke enam sampai ke delapan 30 menit. Tujuan utama penelitian ini adalah membuktikan peranan rehabilitasi paru penderita PPOK, metode prospective study membandingkan kelompok perlakuan (mendapat rehabilitasi paru) dan kontrol (tidak mendapat rehabilitasi paru). Pengambilan sampel menggunakan cara quota sampling. Penelitian ini dilakukan terhadap 43 penderita PPOK stabil rawat jalan di RSUD Dr Moewardi Surakarta yang dibagi 2 kelompok, terdiri 21 kelompok perlakuan dan 22 kelompok kontrol. Penilaian kualiti hidup menggunakan St George's respiratory Questionnare (SGRQ) dan kapasiti fungsional dinilai dengan uji jalan 6 menit dilakukan penilaian sebelum rehabilitasi paru dan setelah 8 minggu. Hasil penelitian didapatkan pada kelompok perlakuan (n=21; 15 laki-laki, rerata umur 61,9±8,7 tahun) dibandingkan kontrol (n=22;18 laki-laki, rerata umur 59,9±8,3 tahun). Terjadi penurunan SGRQ antara perlakuan (-21,8%) dan kontrol (0,9%) setelah dilakukan uji beda secara statistik berbeda bermakna p< 0,005. Nilai SGRQ menurun menunjukkan kuali hidup meningkat. Peningkatan jarak pada uji jalan 6 menit kelompok perlakuan ( 55±26,6 meter), kelompok kontrol (3,4 ± 15,2 meter). Uji beda antara kelompok perlakuan dan kontrol secara uji statistik berbeda bermakna p<0,005. Reningkatan jarak pada uji jalan 6 menit berarti kapasiti fungsional meningkat. Kesimpulan, penderila PPOK setelah diberi rehabilitasi paru selama 8 minggu dapat meningkatkan kualiti hidup dan kapasiti fungsional.
Study objective : to assess the benefit of Pulmonary Rehabilitation to the COPD patients Setting : COPD Patients at the Medical Rehabilitation Unit DR Moewardi Surakarta Hospital Methods : Prospective study, comparing treatment group and control group who underwent 8 weeks administration of pulmonary rehabilitation programs. The patients in the treatment groups received chest physiotherapy and ergo-cycle exercise 3 times a week within 8 weeks. Measurement : The quality of life was assessed by SGRQ, functional capacity was assessed by six minutes walking test (SMWT) Results : Total SGRQ patient in the treatment group (n=21, 15 male; mean age 61,9± 8,7 yrs) compare with control group (n=22, 18 male; mean age 59,9 ± 8,3 yrs) had statistically significant decreased (-21,8 ± 9,1% ; 0,9± 2,7% respectively, p<0,005).There are statistically significant improving of six minute walking test (SMWT) in treatment group compare to control group (55±26,6 m ; 3,4 ±15,2m respectively, p<0,005). Conclusions: The pulmonary rehabilitation programs 3 times a week within 8 weeks improve the quality of life and functional capacity of COPD patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Khairuza
Abstrak :
Pada program pembangunan, penting untuk diketahui bagaimana pengaruh yang dihasilkan oleh program mampu bermanfaat oleh masyarakat dimasa kini dan masa yang akan datang. Secara sederhana inilah yang melatarbelakangi penulisan tesis ini. Tesis ini bertujuan untuk menganalisis “Pengaruh Program Kemitraan terhadap Tingkat Kualitas Hidup Mitra Binaan PT. Pertamina (Persero) Region I Sumatera Utara dan mencoba memberikan rekomendasi atas hasil analisis pada tujuan pokok tersebut. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa 66,3% responden menilai bahwa pengaruh program kemitraan terhadap tingkat kualitas hidup mitra binaan masuk dalam kategori “cukup baik”. Dari analisis regresi linear sederhana didapatkan hasil nyata antara program kemitraan dan tingkat kualitas hidup Mitra Binaan PT. Pertamina Persero Region I Sumbagut dengan nilai R2 (koefisien determinan) = 0,379 atau 37,9%.
It is important for the society to understand the influence of a development program in the present time and in the future. This is the reason behind the writing of this thesis. This thesis aims to analyze “The Influence of Partnership Program against The Level of Life Quality partner of PT. Pertamina Region I North Sumatera” and tries to give a recommendation based on the result. The result shows that 66.3% respondents appraise that the effect of partnership program against the life quality of SME partner of PT. Pertamina Region I North Sumatera is in category of “good enough”. The Simple Linear Regression analysis shows that the significant value between partnership program and level of life quality of SME Partner is at R2 (determinant coefficient) = 0,379 or 37,9%.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T36778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Julaeha
Abstrak :
ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan di Kabupaten Pesawaran. Pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien TB di Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik klien dan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan kualitas hidup klien TB paru. Desain deskriptif korelatif dengan pendekatan cross-sectional digunakan dalam penelitian pada 41 pasien TB berumur 18-59 tahun pada fase intensif pengobatan dari bulan April sampai Mei 2014. Hasil penelitian menunjukkan kualitas hidup klien TB terganggu. Ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan (p = 0,034), tugas kesehatan keluarga (p = 0,005), pendapatan (p = 0,030) dan dukungan keluarga (p = 0,012) dengan kualitas hidup klien TB. Pengembangan program yang terintegrasi antara program TB dan perawatan kesehatan masyarakat dan program lainya untuk meningkatkan kemampuan keluarga melaksanakan tugas kesehatan keluarga.
ABSTRACT
Tuberculosis (TB) is a major public health problem in Indonesia as well as in Pasawaran. The family health tasks implementation may affect Health Related Quality Of Life (HRQOL) among TB patients in Pesawaran. This study aims to determine the corelation of characteristics of patients and family health tasks to HRQOL TB patients. The descriptive correlative design with cross-sectional approach was applied to this study to 41 patients. The inclusion criteria for the respondents are aged range at18-59 years old and under the initial phase of TB treatment from April to May 2014. The results showed that HRQOL among TB patients generally were impaired. The characteristics associated to HRQOL among TB patients were occupation (p = 0.034), family health tasks (p = 0.002), income (p = 0.034) and family support (p = 0.012) . An integrated program need to be developed to increase family’s ability to improve family health tasks.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Fitriana
Abstrak :
[Latar belakang : Kelompok geriatri memiliki karakteristik khusus yang berpotensi meningkatkan lama masa rawat dan menurunkan kualitas hidup dan terbukti dapat diperbaiki dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G). Terdapat kemungkinan adanya perbedaan antara lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri dengan P3G sebelum dengan sesudah adanya sistem pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) Tujuan: melakukan evaluasi pelaksanaan sistem JKN terhadap lama rawat, quality adjusted life days (QALD) dan efektivitas biaya pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri akut RSCM. Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan kontrol historis dilakukan pada pasien geriatri ≥ 60 tahun dengan ≥ 1 sindrom geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri akut RSCM periode Juli-Desember 2013 (era non JKN) dan Januari-Juni 2014 (era JKN). Perbedaan dua rerata lama rawat dan QALD era non JKN dengan JKN dianalisis dengan uji-T tidak berpasangan. Dilakukan juga penghitungan incremental cost effectivity ratio (ICER) program JKN dengan outcome lama rawat dan QALD yang akan dipresentasikan dalam skema ICER. Hasil: Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era JKN dengan karakteristik relatif sama. Rerata usia adalah 70 [60-86] tahun dan 68 [60-85] tahun secara berurutan. Tidak ada perbedaan lama rawat antara era non JKN dan JKN dengan median 12 [2-76] dan 12 [2-59] hari, p= 0,974. Begitu juga tak ada perbedan QALD antara kelompok non JKN dan JKN dengan median 0,812[-3,1 – 24,37] dan 0,000 [-7,37 – 22,43], p= 0,256. Biaya per satu kali rawat pada era non JKN adalah Rp. 19.961,000 [Rp.2.57 juta –Rp. 100 juta] dan JKN Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067 juta - Rp.100 juta]. Skema ICER memperlihatkan biaya rawat lebih mahal Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan lama rawat lebih pendek 0,91 hari. Berdasarkan QALD, biaya rawat lebih murah Rp.3.484.887,- dengan 0,25 QALD lebih rendah dibanding era non JKN. Simpulan: Tidak ada perbedaan lama rawat dan kualitas hidup pasien yang dirawat pada era non JKN dengan era JKN.;Background: Geriatric population with special characteristics tend to have longer average length of stay and lower quality of life. CGA (comprehensive Geriatric Assesment) was proven to improve the outcomes and has already be the standard procedure in RSCM. There were concerns on the difference between length of stay and quality of life before and after NHIP (National Health Insurance program) applied. Objectives: To evaluate the implementation of NHIP system according to length of stay, quality adjusted life days and cost effectiveness of care in geriatric patients in acute care for elderly Cipto Mangunkusumo Hospital Method : This is a retrospective cohort study with historical control. The subjects were geriatric patients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to Desember 2013 (Non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). We used independent T test to compare between two mean of length of stay and QALD. Results : The characteristics were relatively similar between 100 subject in non NHIP group and 125 subject in NHIP group. the median of age were 70 [60- 86] dan 68 [60- 85] years old respectively. There was no significant difference between length of stay in non NHIP, median 12[2-76] days and NHIP group, median 12[2-59] days, p= 0,974. Quality of life which described as QALD proved that there was also no significant difference between non NHIP, median 0,812[-3,1 – 24,37] and NHIP group, median 0,000 [-7,37 –22,43], p= 0,256. The cost spent for one admission was Rp. 19.961,000 [Rp.2.57–Rp. 100 millions] in non NHIP and Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067-Rp.100 millions] in NHIP group. Incremental cost effectiveness ratio (ICER) scheme showed NHIP is more expensive Rp.1.500.000,- to have 0,91 shorter days than non NHIP system. For QALD, the cost was cheaper Rp.3.484.887,- to have 0,25 QALD lower than non NHIP. Conclusion: There were no difference in length of stay and quality of life of patients who admitted in acute geriatric Cipto Mangunkusumo hospital with CGA approach before and after National Health Insurance program implementation., Background: Geriatric population with special characteristics tend to have longer average length of stay and lower quality of life. CGA (comprehensive Geriatric Assesment) was proven to improve the outcomes and has already be the standard procedure in RSCM. There were concerns on the difference between length of stay and quality of life before and after NHIP (National Health Insurance program) applied. Objectives: To evaluate the implementation of NHIP system according to length of stay, quality adjusted life days and cost effectiveness of care in geriatric patients in acute care for elderly Cipto Mangunkusumo Hospital Method : This is a retrospective cohort study with historical control. The subjects were geriatric patients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to Desember 2013 (Non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). We used independent T test to compare between two mean of length of stay and QALD. Results : The characteristics were relatively similar between 100 subject in non NHIP group and 125 subject in NHIP group. the median of age were 70 [60- 86] dan 68 [60- 85] years old respectively. There was no significant difference between length of stay in non NHIP, median 12[2-76] days and NHIP group, median 12[2-59] days, p= 0,974. Quality of life which described as QALD proved that there was also no significant difference between non NHIP, median 0,812[-3,1 – 24,37] and NHIP group, median 0,000 [-7,37 –22,43], p= 0,256. The cost spent for one admission was Rp. 19.961,000 [Rp.2.57–Rp. 100 millions] in non NHIP and Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067-Rp.100 millions] in NHIP group. Incremental cost effectiveness ratio (ICER) scheme showed NHIP is more expensive Rp.1.500.000,- to have 0,91 shorter days than non NHIP system. For QALD, the cost was cheaper Rp.3.484.887,- to have 0,25 QALD lower than non NHIP. Conclusion: There were no difference in length of stay and quality of life of patients who admitted in acute geriatric Cipto Mangunkusumo hospital with CGA approach before and after National Health Insurance program implementation.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58888
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>