Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natarudin
Abstrak :
Penelitian mengenai Penyidikan Tindak pidana perkosaan di Polda Metro Jaya bertujuan untuk menunjukkan proses penyidikkan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh tim penyidik Ruang Pelayanan Khusus selaku aparatur penegak hukum bagian dari sub system peradilan pidana. Adapun permasalahan yang diteliti adalah mengenai penyidikan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh tim Ruang Pelayanan Khusus. Ruang lingkup masalah penelitian mencakup mengenai proses penyelidikan dan penyidikan termasuk di dalamnya adalah tindakan-tindakan penyidik tim Ruang palayanan khusus dalam penanganan tindak pidana perkosaaan, manajemen operasional penyidikkan, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyidikan, pola-pola hubungan yang terjadi dalam proses penyidikan dan fakta-fakta empiris yang ditemukan dalam penanganan korban perkosaan oleh penyidik tim Ruang Pelayanan Khusus. Dengan Fokus penelitian dalam tulisan tesis ini adalah penyidikan tindak pidana perkosaan oleh Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya. Proses penyidikan adalah serangkaian tugas penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang - Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkal pelaku tindak pidana. Dalam proses penyidikan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya ditemukan beberapa hal spesifik antara lain dalam hal pembuktian medis terhadap tindak pidana perkosaan, pemeriksaan terhadap korban perkosaan dan timbul suatu pertanyaan kenapa dalam Tim ruang pelayanan khusus tersebut semua penyidiknya Polisi Wanita (Polwan). Hal tersebut dapat diabstraksikan diantaranya adalah bahwa pembuktian secara medis kedokteran adalah mutlak diperlukan untuk membuktikan apakah benar korban tersebut merupakan korban dari tindak pidana perkosaan dan juga ditemukan rasa traumatic korban terhadap peristiwa yang dialaminya, serta jawaban dari pertanyaan tersebut adalah agar dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik Polwan (Tim Ruang pelayanan khusus) korban tidak merasa canggung/korban dapat menerangkan secara gamblang mengenai peristiwa yang dialaminya. Selain itu karena kesamaan jender dalam hal ini rasa traumatic korban dapat dinetralisir oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus yang dalam hal ini juga dapat sebagai konseling. Namun demikian dalam proses penyidikan terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus bukan berarti berjalan dengan mulus begitu saja. Pengetahuan, pengalaman dan perasaan sesama perempuan yang dimiliki oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus dalam hal penyidikan sangatlah membantu untuk mengungkapkan suatu tindak pidana perkosaan. Tindakan Tim Ruang pelayanan khusus tersebut tidak hanya berhenti sampai dengan selesainya proses penyidikan/ setelah berkas perkara dan tersangkanya dilimpahkan kepada Penuntut Umum namun penyidik masih berusaha untuk merehabilitasi perasaan traumatic dan medis dan memberikan jaminan keamaan/keselamatan korban dan keluarganya. Dalam tesis ini ditunjukkan bahwa tindakan penyidik Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya secara formal telah mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kapolri tentang proses penyidikan tindak pidana dan Petunjuk Tehnis (Juknis) Kapolri tentang penyelidikan Reserse. Selain hal tersebut penyidik Tim Ruang pelayanan khusus dalam melakukan penyidikan tindak pidana perkosaan juga mengikuti pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diinfentarisir bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam penanganan korban perkosaan dihadapkan oleh rasa traumatic korban sehingga dibutuhkan kesabaran dari penyidik untuk menciptakan nuansa pemeriksaan yang tidak diliputi perasaan takut, cemas dan emosional yang tidak menentu. Untuk dapat melaksanakan proses penyidikan tindak pidana perkosaan secara professional, benar dan adil serta dapat memberikan jaminan keamanan dan perlindungan baik terhadap korban maupun saksi-saksi maka dibutuhkan seorang penyidik yang memiliki pengetahuan tentang tindak perkosaan, pembuktian medis, pemahaman mengenai psikologi individu. Selain pengetahuan tersebut juga diharapkan penyidik Tim Ruang pelayanan khusus juga dapat melakukan kerjasama dengan paramedis/dokter, unit-unit lain yang terkait dalam membantu pengungkapan kasus serta sub system CJS (criminal justice system) lainnya tidak dapat lepas dari keberhasilan dalam pengungkapan kasus secara benar dan adil. Sehingga diharapkan bahwa kasus perkosaan tersebut dapat terselesaikan secara tuntas dan dapat memenuhi rasa keadilan dari korban.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Ratna Juwita
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
S2356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilham Bustari
Abstrak :
Skripsi ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan korban perkosaan guna memposisikan dan mengakamodasi perlindungan terhadap para korban tersebut. Peneliti melakukan analisis terhadap hukum adat Nagari Lunang terkait perlindungan terhadap korban perkosaan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berperspektif sosio-legal dengan melakukan analisis terhadap aturan terkait perlindungan korban perkosaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan CEDAW, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta dengan pengumpulan data yang dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pengamatan, wawancara secara mendalam dengan bantuan instrumen berupa pedoman wawancara, dan dokumentasi dalam rangka mengungkapkan gejala-gejala dalam kehidupan di masyarakat seperti yang dipersepsikan oleh warga masyarakat Nagari Lunang tentang kondisi mereka sendiri. Perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan baik secara yuridis maupun non-yuridis merupakan hal yang penting guna menjamin tegaknya rasa keadilan dalam masyarakat. Namun, hingga saat ini, perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan masih sangat minim, seperti yang ditunjukkan dari kurangnya komitmen negara dalam melindungi mereka. Untuk mewujudkan perlindungan yang dimaksudkan tersebut maka dibutuhkan suatu instrumen hukum yang dapat mengakamodir hak-hak perempuan atas kebenaran, keadilan dan pemulihannya secara utuh menyeluruh.
This undergraduate thesis aims to analyze the laws and regulations in Indonesia relating to rape victims to positioning and accommodate the protection of these victims. Researchers conducted an analysis of the customary law of Nagari Lunang related to the protection of rape victims. The method used in this study is a socio-legal perspective by analyzing the rules relating to the protection of rape victims regulated in Law Number 7 of 1984 concerning the ratification of CEDAW, Criminal Law Book, and Law Number 13 Year 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, as well as by collecting data carried out in several ways, namely observation, in-depth interviews with the help of instruments in the form of interview guidelines, and documentation in order to express symptoms in life in the community as perceived by residents of Nagari Lunang about their own condition. Protection of women victims of rape both legally and non-legally is important to ensure the upholding of a sense of justice in society. However, until now, the protection of women victims of violence is still very minimal, as shown by the lack of state commitment to protect them. To realize the intended protection, a legal instrument is needed that can fully accommodate the rights of women to truth, justice, and its full recovery.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adine Berlianti
Abstrak :
Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki. Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki. ......News about boy being a victim of rape is often get bad responses from readers in the form of negative comments. This can be referred as secondary victimization towards boy victim of rape. The emerge of these responses is related to patriarchal efforts to enforce false beliefs about male rape in society known as male rape myth. To explain this, the authors uses Turchik’s male rape myth concept and elaborates it with Tavares’ concept of secondary victimization. The data used to explain this phenomenon were obtained from the comments column on two news reports in the online mass media TribunNews, and analyzed using qualitative content analysis methods. The results of the analysis show that bad comments that given by the community are form of secondary victimization towards boy victim of rape. These bad comments arise because of efforts to enforce male rape myth in patriarchal society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rais Rahmat Ismail
Abstrak :
Perkosaan anak merupakan fenomena yang terjadi pada lingkungan domestik antara pelaku dengan anak. Korban dipandang sebagai anak yang belum memiliki kapasitas dan pengetahuan untuk mempertimbangkan risiko yang timbul akibat terjadinya perkosaan. Perkosaan adalah tindakan yang tidak disukai oleh masyarakat, sehingga untuk dapat menjelaskan gejala tersebut diperlukan metode yang tepat untuk menelitinya. Penulis mencoba menganalisis pola hubungan sosial antara pelaku dan korban terhadap penanganan kasus perkosaan di Polda Metro Jaya pada periode tahun 2021-2022 dengan menggunakan teori The Criminal and His Victim dan The Relationship Between Victim-Perpetrator. Subjek penelitian anak sebagai korban perkosaan dengan skala waktu dimulai antara 1 Januari 2021 dan 31 Desember 2022 yang dilaporkan kepada Sub Direktorat Remaja, Anak dan Wanita (Subditrenakta) Polda Metro Jaya. Ketika dikatakan dalam The Criminal and His Victim bahwa anak menempati beberapa posisi sosial, mereka tidak memiliki posisi negosiasi yang tinggi sehingga rentan menjadi korban serta didalam The Relationship Between Victim-Perpetrator bahwa hubungan antara pelaku dan korban akan menentukan jumlah kejadian perkosaan, durasi hubungan, tingkat pemaksaan, motif, kesempatan, serta berapa lama waktu yang dibutuhkan korban untuk melaporkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan hasil menunjukkan bahwa perkosaan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan sosial dengan korban dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hubungan sosial pelaku dan korban, sosiodeografi pelaku dan korban, kondisi pelaku, jumlah pelaku, tempat kejadian dan hubungan pelapor dengan korban. Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bahwa tingkat hubungan pelaku dan korban terjadinya perkosaan dapat membentuk suatu pola perkosaan yang dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang terjadi sebelum perkosaan terhadap anak itu terjadi. ......Perkosaan anak merupakan fenomena yang terjadi pada lingkungan domestik antara pelaku dengan anak. Korban dipandang sebagai anak yang belum memiliki kapasitas dan pengetahuan untuk mempertimbangkan risiko yang timbul akibat terjadinya perkosaan. Perkosaan adalah tindakan yang tidak disukai oleh masyarakat, sehingga untuk dapat menjelaskan gejala tersebut diperlukan metode yang tepat untuk menelitinya. Penulis mencoba menganalisis pola hubungan sosial antara pelaku dan korban terhadap penanganan kasus perkosaan di Polda Metro Jaya pada periode tahun 2021-2022 dengan menggunakan teori The Criminal and His Victim dan The Relationship Between Victim-Perpetrator. Subjek penelitian anak sebagai korban perkosaan dengan skala waktu dimulai antara 1 Januari 2021 dan 31 Desember 2022 yang dilaporkan kepada Sub Direktorat Remaja, Anak dan Wanita (Subditrenakta) Polda Metro Jaya. Ketika dikatakan dalam The Criminal and His Victim bahwa anak menempati beberapa posisi sosial, mereka tidak memiliki posisi negosiasi yang tinggi sehingga rentan menjadi korban serta didalam The Relationship Between Victim-Perpetrator bahwa hubungan antara pelaku dan korban akan menentukan jumlah kejadian perkosaan, durasi hubungan, tingkat pemaksaan, motif, kesempatan, serta berapa lama waktu yang dibutuhkan korban untuk melaporkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan hasil menunjukkan bahwa perkosaan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan sosial dengan korban dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hubungan sosial pelaku dan korban, sosiodeografi pelaku dan korban, kondisi pelaku, jumlah pelaku, tempat kejadian dan hubungan pelapor dengan korban. Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bahwa tingkat hubungan pelaku dan korban terjadinya perkosaan dapat membentuk suatu pola perkosaan yang dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang terjadi sebelum perkosaan terhadap anak itu terjadi. ......Child rape is a phenomenon that occurs in the domestic environment between the perpetrator and the child. Victims are children who do not have the capacity and knowledge to consider the risks that arise as a result of rape. Rape is an act that society does not like, so to be able to explain this phenomenon, an appropriate method is needed to examine it. The author tries to analyze the pattern of social relations between perpetrators and victims regarding the handling of rape cases at Polda Metro Jaya in the 2021-2022 period by using The Criminal and His Victim and The Relationship Between Victim-Perpetrator theories. The research subjects were children as victims of rape with a time scale starting from 1 January 2021 to 31 December 2022 which was reported to the Sub Directorate for Youth, Children and Women (Subditrenakta) Polda Metro Jaya. When it is said in The Criminal and His Victim that children occupy several social positions, they do not have a high negotiating position so they are vulnerable to becoming victims and in The Relationship Between Victim-Perpetrator that the relationship between the perpetrator and the victim will determine the number of rape incidents, the duration of the relationship, the degree of coercion, motive, opportunity, and how long it took the victim to report. This study used a quantitative approach and the results showed that rape was committed by people who had social relations with the victim. It was influenced by several factors, such as the social relationship between the perpetrator and the victim, the sociodeography of the perpetrator and the victim, the condition of the perpetrator, the number of perpetrators, the scene of the incident and the relationship between the complainant and the victim. The results of this study can be knowledge that the level of relationship between the perpetrator and the victim of rape can form a pattern of rape which is influenced by various circumstances that occurred before the rape of a child occurred.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathimah Azzahra
Abstrak :
Keterangan korban sangat penting dalam memastikan keberhasilan penuntutan kasus dugaan pemerkosaan yang minim barang bukti. Literatur telah menunjukkan bahwa terdapat karakteristik keterangan korban tertentu yang dianggap kurang kredibel daripada yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh informasi hubungan korban-pelaku terhadap persepsi kredibilitas kasus perkosaan. Sebanyak 130 partisipan mahasiswa fakultas hukum dan perguruan tinggi ilmu kepolisian dengan rentang usia 17-30 tahun (M = 24.02; SD = 3.67) berpartisipasi dalam penelitian ini. Persepsi kredibilitas diukur melalui daftar pertanyaan yang diadaptasi dari penelitian Sumampouw dkk (2022). Informasi hubungan korban-pelaku dimanipulasi ke dalam kondisi stranger rape dan acquaintance rape. Hasil analisis independent sample t-test menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa kasus stranger rape tidak secara signifikan dipersepsikan lebih kredibel dibandingkan kasus acquaintaince rape. ......Victims' statements are critical in ensuring successful legal prosecution of alleged rape cases that lack evidence. Literature has demonstrated that certain characteristics of rape victims' statements are considered less credible than others. This study aims to examine the effect of the victim-perpetrator relationship on the perceived credibility of rape allegation cases. A total of 130 law and police academy (STIK-PTIK) students with an age range of 17-30 years old (M = 24.02; SD = 3.67) participated in this study. Perceived credibility is measured through a list of questions adapted from a study by Sumampouw et al (2022). Information on the victim-perpetrator relationship is manipulated across stranger and acquaintance rape conditions. Independent sample t-test analysis showed that stranger rape is not significantly perceived as more credible than acquaintance rape.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Oktaviani
Abstrak :
Viktimisasi Sekunder merupakan suatu proses dimana korban mengalami kembali proses menjadi korban ketika bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (formal) dan masyarakat (informal). Penulisan ini bertujuan untuk melihat pengalaman viktimisasi sekunder perempuan korban perkosaan, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana viktimisasi sekunder tersebut bisa terjadi, yang direpresentasikan dalam serial Netflix Unbelievable. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan metode analisis isi kualitatif dalam menganalisis serial tersebut yang terdiri dari 8 episode. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan telah mengalami pengalaman buruk seperti dieksklusikan dari hukum, diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya, tidak dipercaya, direndahkan, diintimidasi, diancam, dan dipaksa mengakui bahwa ia berbohong. Pengalaman tersebut merupakan bentuk dari viktimisasi sekunder yang kemudian membuat korban mengalami berbagai dampak negatif dalam hal psikologis, relasional, dan finansial. Viktimisasi sekunder yang dialami korban terjadi karena adanya penerimaan rape myth yang menganggap perempuan berbohong terkait perkosaan yang dialaminya (she lied). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa serial ini telah mematahkan rape myth lainnya yang meliputi perempuan ingin diperkosa dan menikmatinya (she enjoy rape); dan perempuan memprovokasi perkosaan melalui pakaian dan perilaku mereka (she asked to be raped). Pada akhirnya, analisis juga menunjukkan bahwa akar dari segala penderitaan perempuan korban perkosaan adalah patriarki yang sudah melembaga dalam setiap aspek kehidupan. ......Secondary Victimization is a process where victims experience the process of being victims again when they come into contact with the criminal justice system (formal) and society (informal). This writing aims to look at the experience of secondary victimization of rape victims, their impact on victims, and how this secondary victimization can occur, which is represented in the Netflix series Unbelievable. This writing uses radical feminist theory and qualitative content analysis methods in analyzing the series which consists of 8 episodes. The results of the analysis show that women victims of rape have experienced bad experiences such as being excluded from the law, doubting and having their credibility questioned, distrusted, humiliated, intimidated, threatened, and forced to admit that they lied. This experience is a form of secondary victimization which then makes the victim experience various negative impacts in terms of psychological, relational, and financial. The secondary victimization experienced by the victim occurs because of the acceptance of the rape myth which assumes that women lied about the rape they experienced. The results of the analysis also show that this series has broken other rape myths which include women enjoying rape; and women asked to be raped. In the end, the analysis also shows that the root of all the suffering of women victims of rape is patriarchy which has been institutionalized in every aspect of life.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Alverina Jovita
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran pengungkapan diri dan status identitas pada perempuan penyintas pemerkosaan di Jabodetabek. Penelitian ini dilatarbelakangi dengan keprihatinan akan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, salah satunya kasus pemerkosaan. Pengukuran status identitas menggunakan Extended Objective Measure of Ego Identity Status II EOM-EIS II dan pengukuran proses pengungkapan diri menggunakan wawancara semi terstruktur dengan mengembangkan tinjauan pustaka terkait pengungkapan diri menjadi pertanyaan-pertanyaan wawancara. Pengolahan statistik deskriptif menunjukan bahwa frekuensi tertinggi status identitas partisipan berada pada status Diffusion f=10. Dari hasil olah data kualitatif ditemukan bahwa pengungkapan diri berdampak positif terhadap pemulihan identitas seseorang jika diikuti dengan reaksi sosial positif. Usia ketika pemerkosaan terjadi dan stabilitas keluarga menjadi dua variabel penting yang mempengaruhi pengaruh pengungkapan diri.
ABSTRACT
The objective of this research is to describe the identity status and self disclosure process among rape survivors in Jabodetabek. This research was based on the increasing number of violence against women, especially rape. To measure identity statuses, we used Extended Objective Measure of Ego Identity Status II EOM EIS II and self disclosure was measured using semi structured interview in which the questions were developed from literature study on the matter. Descriptive statistics analysis shows that identity Diffusion is the most frequent identity status among all the participants f 10. Qualitative analysis found that self disclosure has big impact on survivors rsquo identity healing process if it is followed with positive social reactions. Individuals age and family stability are two important variables that affect the impact self disclosure.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matthews, Nancy A.
New York: Routledge, 1994
362.883 MAT c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amsori
Abstrak :
Ganti kerugian bagi korban perkosaan merupakan salah satu pemenuhan/perwujudan dari hak asasi manusia dan perlindungan hukum. Arti penting pemberian ganti kerugian bagi korban perkosaan juga mengingat bahwa pada umumnya mereka (korban) berasal dari golongan yang lemah mental, fisik dan sosial. Ilmu yang mengkaji permasalahan korban adalah viktimologi. Pandangan-pandangan ajaran viktimologi perlu mendapat perhatian dari para pihak yang terlibat baik dalam sistem dan proses peradilan pidana maupun perdata yaitu, polisi, jaksa penuntut umum, hakim dan advokat, karena dengan adanya persamaan pandangan tentang kepentingan korban dan keinginan untuk memperjuangkannya, akan dapat mewujudkan pemenuhan pemberian ganti kerugian tersebut. Adapun bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada korban dapat berupa kompensasi (pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh pemerintah) dan restitusi (pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh pelaku). Dalam kenyataan praktik peradilan masih jarang korban perkosaan mengajukan permohonan ganti kerugian disebabkan karena tidak tahu akan haknya, tidak tahu prosedur hukum, karena malu dan berbagai faktor lain. Pemberian ganti kerugian dalam perkara pidana telah diatur dalam Pasal 98 KW-1AP mengenai penggabungan gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana. Meskipun KUHAP telah memungkinkan bagi korban perkosaan untuk mengajukan ganti kerugian dengan penggabungan perkara, namun ada diantaranya yang mengajukan permohonan ganti kerugian melalui gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap prosesnya sering lambat dan hanya dapat diberikan berupa ganti kerugian materil. Mengingat perlunya ganti kerugian bagi korban perkosaan, seyogianya KUHAP perlu disempurnakan, sehingga ada landasan yuridis yang kuat untuk memperjuangkan hal tersebut.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>