Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Nadia Silvarani
"ABSTRAK
Dalam budaya patriarki, posisi wanita sering diremehkan. Bahkan, mereka sulit mengungkapkan apa yang mereka inginkan dan rasakan. Pernyataan bahwa kaum wanita adalah kaum kelas dua tersebut membuat mereka dapat dikategorikan sebagai kaum yang terbungkam. Mereka tak dapat mengutarakan apa yang diri (subjek) mereka inginkan. Sering kali, cara seorang wanita untuk keluar dari keterbungkamannya adalah dengan meranjak ke ranah publik. Para wanita berharap mereka dapat meraih eksistensialisme diri seperti diraih oleh para laki-laki di ranah publik. Berkecipung di ranah domestik membuat keberadaan mereka semakin termarjinalkan dan tak jarang hanya menjadi objek dari keluarga, seperti suami atau anak mereka. Hal-hal domestik tersebut telah menyita waktu dan perhatian mereka untuk mengembangkan diri. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, peneliti menyelidiki apakah ranah publik memang ranah yang menjanjikan eksistensialisme diri seorang wanita. Nyatanya, tidak begitu. Dalam Film Sang Penari, karakter Srintil yang memilih untuk berkecimpung ranah publik, justru tidak mendapatkan eksistensialismenya sebagai subjek. Meski semua warga desa mengelu-elukan posisinya sebagai ronggeng, Srintil merasa tidak bahagia. Melalui metode analisis semiotika (dengan analisis leksia dan paradigmatik), peneliti mencoba mengkaji setiap leksia yang terdapat dalam film Sang Penari agar subjektivisme semu yang dialami Srintil terkuak.

ABSTRACT
Within the patriarchal society, women's roles are often viewed condescendingly. Not only that, they even find it hard to express their desires or feelings. Statements that categorize women as minority and second class may very well categorize them as the repressed ones. They are unable to express their desires and wants. Often times, a woman's only means to express herself is by bringing her words to the public domain. Women are hopeful that they will be achieved existentialism just like their male counterparts in public domains. Being largely active only in domestic settings, women are thus even more marginalized and often become mere objects of their family, such as their husbands or children. Domestic matters take up much of their time and attention that they are left with almost no time for self developments. Therefore, through this research, the researchers investigated whether the public domain is truly a domain fit to develop women's existentialism. In reality, it is not so. In the movie "Sang Penari" (The Dancer), the character of Srintil who chose to participate in the public domains did not end up with existentialism as a subject. Even though Srintil attained adulation, she did not find happiness. Through semiotic analysis (with lexical and paradigmatic analysis), researchers attempted to analyzed every Lexica found in the movie "Sang Penari" so that the apparent existentialism experienced by Srintil would be revealed."
2013
T34880
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ken Rahmalia
"Dalam diskursus yang ada di sekitar tokoh penjahat wanita Disney, sering kali karakteristik yang mereka miliki diatribusikan kepada faktor identitas di luar keperempuanan mereka, karena karakteristik-karakteristik ini dinilai terlalu maskulin untuk dimiliki seorang perempuan. Subjektivitas, karakteristik penting yang ada di setiap tokoh penjahat perempuan Disney, adalah salah satunya. Dengan membahas film animasi Disney Cinderella (1950) dan Snow White and the Seven Dwarfs (1937) dan membandingkan naratif yang ada di sekitar karakter-karakter antagonis mereka dengan mitos Lilith, artikel ini berargumen bahwa meski subjektifitas adalah sebuah sebuah karakteristik yang hadir berdampingan dengan keperempuanan sejak dahulu kala dalam figur-figur perempuan, subjektivitas tetap menjadi suatu karakteristik yang tidak diterima untuk dimiliki perempuan. Sama seperti Lilith, karakter-karakter perempuan Disney yang menunjukkan subjektivitas tinggi sering dicap buruk karena status subjek mereka dan tidak bertindak sebagai penerima pasif dari jalannya takdir. Ditambah lagi, naratif-naratif ini terlihat mendukung anggapan bahwa perempuan tidak dapat memiliki tanggung jawab yang diperlukan sebuah individu dengan status subjek.

In the discourse surrounding Disney villainesses, it is often believed that female antagonists owe their characteristics to identities outside of their femaleness, due to the understanding that they own traits deemed too ‘masculine’ for women. Subjectivity, a defining trait present in every single one of the Disney villainesses, is one of them. Examining the animated Disney movies Cinderella (1950) and Snow White and the Seven Dwarfs (1937), and comparing the narratives surrounding their antagonists to the myth of Lilith, this article argues that while subjectivity is a trait that have always coexisted with femininity in women since the very beginning of time, subjectivity is still a trait not accepted in women. Just as the case with Lilith, Disney’s female characters with strong displays of subjectivity are often vilified for displaying their subjective status instead of acting as passive recipients to the dealings of fate. Additionally, the narratives seem to reinforce the notion that these subjective females are incapable of handling the responsibility that comes with their subject status."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kintan Labiba Manggarsari
"Konsep subjektivitas memiliki hubungan dalam penyingkiran dan reduksi perempuan dari kebudayaan. Perempuan merupakan liyan dalam kehidupan, dalam kebudayaan, yang tidak diketahui, sehingga muncul realitas perempuan versi laki-laki. Dalam sinema, perempuan mengalami reduksi dan diferensiasi dari industri yang strukturnya berangkat dari dominasi laki-laki. Representasi perempuan di layar sinema dominan tidak menunjukkan perempuan sebagai perempuan yang utuh, karena struktur yang melatari sinema secara dominan berangkat dari sudut pandang dan otoritas laki-laki. Subjektivitas perempuan menjadi nilai penting karena dapat memberikan penggambaran dan wawasan mengenai perempuan sebagaimana adanya, hadir bukan sebagai ilusi. Subjektivitas sutradara perempuan dapat menghasilkan representasi perempuan yang lebih dekat dengan kehidupan. Namun, ketika berangkat dari subjektivitas perempuan, sinema perempuan menghasilkan pendekatan yang berbeda dengan sinema dominan, sehingga sinema perempuan mengalami diferensiasi dan ditempatkan sebagai kontra sinema. Melalui pemikiran feminist film theory, tulisan ini berusaha mengidentifikasi bagaimana dinamika struktur kekuasaan dan paradigma yang terbentuk dalam sinema, khususnya permasalahan subjektivitas, membuat sutradara perempuan keluar dari konvensi sinema dominan dan menghasilkan bahasa baru, yang menempatkan sinema perempuan berada di posisi yang berbeda dengan sinema arus utama.

The concept of subjectivity has a correlated role in the exclusion and reduction of women from culture. Women are the other; in life, in culture, that is unknown, so a male version of women's reality is produced. In cinema, women experience reduction and differentiation from an industry whose structure is rooted in male dominance. The representation of women on screen in dominant cinema does not represent women as complete women, given that the structures underlying cinema are dominantly based on male perspectives and authority. Female subjectivity holds crucial value because it provides portrayals and insights into women as they really are, not as illusions. The subjectivity of female directors produces representations of women that are closer to life. However, when it departs from women's subjectivity, women's cinema presents a different approach from the dominant cinema, which leads to women's cinema being differentiated and placed as a counter-cinema. Through feminist film theory, this paper seeks to identify how the dynamics of power structures and paradigms formed in cinema, especially the problem of subjectivity, have forced female directors to step out of the conventions of dominant cinema and produces a new language, which places women's cinema in a different platform from mainstream cinema."
Depok: Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Dermawan,author
"Dekonstruksi kebenaran dalam seni rupa yang dimaksudkan di sini adalah praksis Dekonstruksi oleh Derrida terhadap konstruksi pemikiran beberapa filsuf dan perupa tentang status ontologis seni rupa dan juga hubungan logis antara pernyataan dengan kenyataan yang berhubungan dengan seni rupa dan penafsiran karya seni rupa. Secara umum dekonstruksi dapat dimengerti sebagai cara membaca kritis dan spontan terhadap filsafat Barat yang logo dan fonosentris, dan yang memahami ada sebagai kehadiran. Dalam hal ini, dekonstruksi adalah suatu praksis demonstratif untuk membuktikan bahwa kenyataan ada (kebenaran sejati) tidak hadir bagi yang memikirkan dan yang menuliskannya.
Sehubungan dengan ini, khusus di bidang seni dan seni rupa, Derrida menyangkal anggapan para filsuf bahwa seni memiliki kebenaran tunggal (ontologis) yang dapat dijelaskan dengan bahasa. Ia juga menyangkal dapat tercapainya kebenaran relasi (logis) antara bahasa dengan obyek bahasa dalam kegiatan penafsiran karya seni rupa. Filsuf, menurut pendapatnya "membatasi" keanekaragaman seni di dalam seni-seni diskursif : "percakapan" (phonic) dan pemikiran (logos). Oleh karena itu, wacana tentang seni (dalam hal ini seni rupa) menjadi tidak produktif. Agar produktif, Derrida menciptakan wacana yang "mobil". Bergerak di dalam dan di luar bingkai filsafat yang logo dan fonosentris.
Derrida memahami semua yang ada hanya sebagai teks dan ditandai tekstualitas. Baginya teks berasal dari, dan sebagai pengantar kepada teks-teks berikutnya. Teks juga adalah rangkaian tanda-tanda yang distrukturkan oleh "jejak jejak" (traces) otonom. Dengan demikian, seni rupa juga adalah teks yang merupakan jalinan tanda-tanda yang distrukturkan oleh jejak-jejak otonom atau berdiri sendiri-sendiri. Lebih jauh, dia juga menyikapi teks sebagai tulisan, dan tulisan sebagai barang mati. Oleh karena itu, karya seni rupa juga adalah teks atau tulisan, dan barang mati.
Berdasarkan pemikiran seperti ini, dalam mengapresiasikan karya seni rupa, ia secara bebas mengapresiasikan infrastruktur khusus atau ":jejak-jejak" goresan pada karya yang menarik perhatiannya tanpa mengindahkan makna yang dikomunikasikan oleh perupanya. Ia menghubungkan jejak-jejak atau infrastruktur karya dengan teks-teks, baik filsafat, maupun teks-teks lainnya sejauh ia menghendakinya. Teks-teks dilepas dari konstruksi kesatuannya. Dengan ini, konstruksi pemikiran tentang seni yang selalu cenderung mengarah kepada kesatuan atau totalitas, dialihkannya ke wacana pertebaran jejak-jejak otonom.
Dari pemikiran dan contoh-contoh yang diberikannya, dekonstruksi Derrida terhadap "kebenaran" dalam tema seni rupa adalah usaha untuk memperluas wacana "kebenaran" (kenyataan ada) karya seni rupa ke luar wacana yang dibingkai filsafat yang logo dan fonosentris. Gerakan ke luar "melampaui" (goes beyond) filsafat ini tidak diberi batasan yang tegas, kecuali ia bermain dengan wacana tersebut dan pada waktu dan keadaan tertentu ia memutuskan "permainan"nya sudah cukup. Putusan cukup inilah yang membatasi karya seni, dalam hal ini karya seni rupa, dengan dunia.
Dalam khasanah percakapan dan pada karya seni rupa kontemporer di Indonesia ciri dekonstruksi seperti melanggar batas-batas defenisi dan kategori-kategori dalam teori seni dan keindahan, ketidakhadiran subyek dalam karya, dan usaha memperkenalkan karya seni rupa yang menentang estetika kesatuan dan keselarasan, telah dapat diidentifikasikan. Tetapi ciri-ciri tersebut baru sebatas bagian dari ciri-ciri umumnya saja. Ciri-ciri itupun, secara terpisah, dapat diidentifikasikan pada karakteristik karya seni rupa di luar wacana dekonstruksi. Usaha untuk menunjukkan mana karya seni rupa yang sepenuhnya dekonstruktif bukan pekerjaan mudah. Karena batasan dari dekonstruksi itupun tidak mudah ditegaskan.
Khusus dalam wacana kritik pada.karya seni rupa kontemporer di Indonesia, sejauh penelitian penulis, gaya kritik dekonstruktif belum memperlihatkan fenomena yang berarti. Wacana kritik masih terfokus pada karya dan perupanya; sedangkan kritik dekonstruktif lebih terfokus kepada otoritas "pembaca" atau kritisinya, dan mengembangkan wacana ke arah wacana produktif, intertekstualitas dan tanpa batas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T8976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius I. Susilo
"Penemuan sejati hukanlah penemuan 'tempat-tempat' baru melainkan mlihat dengan cara Baru". Adapun tujuan penelitian thesis ini adalah memperoleh suatu perspektif baru dari pengertian subjektivitas, suatu pengertian Ontologis yang rnempertanyakan `Ada'(Being, Das Sein) pada umumnya dan khususnya `Ada manusia' sebagai subjek yang mempertanyakannya. Suatu pertanyaan mengenai `Ada itu sendiri', dan bukan mengenai apa yang Ada dan cara mengetahuinya sebagaimana dibahas dalam Epistemologi.
Disini dibedakan antara `Ada' (Being, Sein) dan `ada' (being, Seiendes). Pertartyaan mengenai `Ada' (a question about Being) yang menurut Heidegger telah lama dilupakan dalam kancah pemikiran Filsafat Barat (Sein-vergessenheit) justru telah menjadi pusat kajian filsafat Timur yang secara mendalam dilakukan oleh Nagarjuna seorang tokoh filsafat Mahayana dalam Buddhisme.
Dengan mempelajari dan membandingkan kedua tokoh ini diharapkan akan diperoleh suatu pengertian dan cara pandang bare akan arti subjektivitas. Bagi kedua filsuf tersebut pengertian yang benar mengenai Aku-subjek sebagai Dasein atau Atta akan dapat mengatasi perbedaan ontologis antara Ada dan ada., karena semuanya berpulang pada diri subjek itu sendiri sebagai penentu dan penguasa hidupnya dan demikian juga dunia tempatnya berada.
Metode penelitian kami dasarkan terutama pada dua buku utama tokoh tersebut yailu Sein and Zeit (Being and Time) dari Heidegger dan `Mulamadhyamakakarika' (Foundation Stanzas of the Middle Way) dari Nagarjuna baik sumber primer maupun sekundemya.
Adapun metode yang kami gunakan adalah Hermeneutika-Fenomenologi yang menekankan bahwa pemahaman bukan pertama-tama bagaimana subjek memahami objek sebagaimana dalam epistemologi melainkan memahami cara beradanya subjek secara ontologis. Bagi Heidegger hermeneutika merupakan analisis fundamental keberadaan manusia.
Penelitian kami menunjukkan adanya persamaan yang menyatakan bahwa konsep ?kekosongan? (Emptiness, Nichtes, Sunyata) sebagai Jalan-Tengah (Middle-Way, Madhyamika) adalah prasyarat bagi subjektivitas dalam merealisasikan kebebasannya untuk menjadi Dasein yang otentik melalui tindakan-tindakan konkrit dalam kesehariannya disini dan saat ini sebagaimana dikatakan Heidegger"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T24416
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Binar Budiman
"Film adalah sebuah media yang digunakan untuk memproduksi sebuah karya seni melalui aspek visual dan sonor, biasanya digunakan sebagai hasil dari perpindahan dari tatanan simbolik-imajiner menjadi simbolik-reel. Salah satu film yang menunjukkan perpindahan tersebut adalah J’ai Perdu Mon Corps (2019), sebuah film animasi oleh Guillaume Laurant dan Jérémy Clapin, adaptasi dari novel Happy Hands (2006) oleh Guillaume Laurant. Artikel ini akan fokus pada perubahan yang melingkupi perilaku tokoh utama berdasarkan kegagalan pemenuhan hasrat mereka di masa lalu. Metode yang digunakan adalah teori film Joe Boggs dan Dennis Petrie, yang dapat membantu mengkaji aspek naratif dan sinematografi, untuk mengidentifikasi adegan yang akan menunjukkan efek memori terhadap perasaan keterasingan. Pada aspek tematik, artikel ini akan menggunakan psikoanalisis Lacan yaitu stade du miroir (1966) dan objet petit a (1973). Keduanya akan digunakan untuk mengidentifikasi dampak dari kegagalan memenuhi keinginan Naoufel dan Tangan yang berujung pada keterasingan. Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur film memperlihatkan dua kisah paralel antara kisah Tangan mencari tubuhnya dan kisah Naoufel menemukan kedewasaannya. Kehadiran Tangan sebagai entitas terpisah dari Naoufel ini dimaksudkan sebagai fragmentasi dirinya mengatasi keterasingan yang mengganggu proses subjektivitasnya.

Film is a media used to produce an art expression through the visual and audio aspects, often used as a result from the shifting of the symbolic-imaginary into the symbolic-real. One of the films based on that same topic is J’ai Perdu Mon Corps (2019), an animation film by Guillaume Laurant and Jérémy Clapin, adapted from the novel Happy Hands (2006) by Guillaime Laurant. This article will focus on the changes that are surrounding the main characters’ behaviour based on the failures of fulfilling their demands and desires in the past. The methods used are the film theory by Joe Boggs and Dennis Petrie, which will be used to aid the narrative and the cinematographic aspect, to identify the scenes that will show the effects of memory and/or the past to the feelings of the alienation. On the thematic aspect, the article will use Lacan’s psychoanalysis which are the stade du miroir (1966) and objet petit a (1973). Both will be used to identify the effects from the failures in fulfilling Naoufel and The Hand’s desires which leads to alienation. The results of the analysis show that the structure of the film presented two parallel stories between the tale of The Hand looking for his body and the story of Naoufel finding his maturity. The presence of The Hand as a separate entity from Naoufel is intended as his fragmentation in overcoming the alienation that interferes with his subjectivity process."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puspoprojo
Bandung: Remadja Karya, 1987
116.4 POE s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Langgeng Prima Anggradinata
"[ABSTRAK
Tesis ini mengkaji kumpulan puisi Perempuan yang Dihapus Namanya karya
Avianti Armand. Tesis ini menggunakan teologi feminis Kristen rekonstruksionis
sebagai perspektifnya. Selain itu teori intertekstualitas dan teori citraan juga
digunakan dalam tesis ini. Dari analisis tesis ini terlihat bahwa kumpulan puisi ini
(sebagai teks transformasi) melakukan rekonstruksi terhadap kisah-kisah dalam
Alkitab (sebagai teks hipogram). Rekonstruksi itu meliputi: (1) perubahan perspektif,
(2) konversi peristiwa, (3) ekspansi peristiwa, dan (4) seleksi peristiwa. Kemudian,
rekonstruksi kisah-kisah yang dilakukan kumpulan puisi ini berpengaruh pada citra
perempuan dalam antologi puisi ini. Hasil akhir dari tesis ini menunjukkan bahwa
tokoh-tokoh perempuan dalam antologi ini (khususnya Batsyeba dan Tamar) telah
bertransformasi dari objek menjadi subjek. Mereka mampu menyatakan perasaannya,
berbicara, mengkritik, memutuskan nasibnya sendiri, dan bertindak. Selain itu,
tokoh-tokoh perempuan.

ABSTRACT
This thesis analyses Perempuan yang Dihapus Namanya by Avianti Armand. This
thesis uses the perspective theology of Christian Reconstructions feminist.
Intertextuality theory and the theory of imagery are also used in this thesis. From the
analysis of this thesis seem that this anthology (as text transformation), reconstructs
the stories in the Bible (as text hypogram). The reconstruction includes: (1) changes
in perspective, (2) events conversion, (3) events expansion, and (4) events selection.
Thus, the reconstruction of the stories in this anthology has effects on the image of
women in this poetry anthology. The final result of this analysis shows that the
figures of women in this anthology (especially Bathsheba and Tamar) have been
transformed from object into subject. They are able to express their feelings, speak
out, criticize, decide their own destiny, and act. In addition, figures of women in this
anthology have become women who have experienced God., This thesis analyses Perempuan yang Dihapus Namanya by Avianti Armand. This
thesis uses the perspective theology of Christian Reconstructions feminist.
Intertextuality theory and the theory of imagery are also used in this thesis. From the
analysis of this thesis seem that this anthology (as text transformation), reconstructs
the stories in the Bible (as text hypogram). The reconstruction includes: (1) changes
in perspective, (2) events conversion, (3) events expansion, and (4) events selection.
Thus, the reconstruction of the stories in this anthology has effects on the image of
women in this poetry anthology. The final result of this analysis shows that the
figures of women in this anthology (especially Bathsheba and Tamar) have been
transformed from object into subject. They are able to express their feelings, speak
out, criticize, decide their own destiny, and act. In addition, figures of women in this
anthology have become women who have experienced God.]"
2015
T43505
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Binar Asri Lestari
"[ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan hubungan antara partisipasi politik dengan subjective well being pada mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis di Universitas Indonesia. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur partisipasi politik adalah CPS (Citizen Participation Study), sedangkan alat ukur subjective well being adalah SWLS (Satisfaction With Life Scale) dan PANAS (Positive Affect and Negative Affect Scale).Kelompok mahasiswa aktivis dan non- aktivis dibedakan berdasarkan keikutsertaannya sebagai pengurus bidang sosial politik atau ketua BEM. Responden penelitian berjumlah 128 orang dengan rincian 75 mahasiswa non-aktivis dan 53 mahasiswa aktivis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa aktivis memiliki tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa non- aktivis.Uji partial correlation tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara partisipasi politik dengan subjective well being. Perbedaan kelompok juga tidak memberikan pengaruh terhadap hubungan antara partisipasi politik dan subjective well being.
ABSTRACT
The objective of this research is to compare the correlation between political participation and subjective well being among activist student and non activist student in Universitas Indonesia. Political participation are measured with adapted CPS (Citizen Participation Study) survey and subjective well being are measured with SWLS (Satisfaction With Life Scale) and PANAS (Positive Affect and Negative Affect Scale). The group of activist student are identified by their participation as board member of social politics departments or as president of BEM (student executive board). 128 students are involved in this research, 75 students are nonactivist and 53 students are activist. This study shows that activist student have higher political participation compared to non activist student.Partial correlation examination does not show correlation between political participation and subjective well being. Group difference neither give effect to correlation beetween political participation and subjective well being.
, The objective of this research is to compare the correlation between political participation and subjective well being among activist student and non activist student in Universitas Indonesia. Political participation are measured with adapted CPS (Citizen Participation Study) survey and subjective well being are measured with SWLS (Satisfaction With Life Scale) and PANAS (Positive Affect and Negative Affect Scale). The group of activist student are identified by their participation as board member of social politics departments or as president of BEM (student executive board). 128 students are involved in this research, 75 students are nonactivist and 53 students are activist. This study shows that activist student have higher political participation compared to non activist student.Partial correlation examination does not show correlation between political participation and subjective well being. Group difference neither give effect to correlation beetween political participation and subjective well being.
]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S61620
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Arivia Effendi
"This study provides an overview of the problems faced by LGBT people in Indonesia. There are four issues raised, namely, the meaning of gender and sexual orientation, violence and abuse, the role of the state, and the meaning of happiness for LGBT people. This study uses a sample of 60 respondents living in large cities, especially Jakarta. However, the strength of this study lies not in the survey results but in the results of the in-depth interviews. From this study it was found that respondents, in the context of a conservative state, are more open in interviews than surveys. This study unearths the meaning of life for LGBT people under a state which is repressive and absent for them."
Jakarta: YJP Press, 2016
305 IFJ 4:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>