Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Waruwu, Jovan Kurata
"Pemikiran tentang adanya perlindungan terhadap saksi dan korban tidak lepas dari kebutuhan akan saksi dan korban yang menjadi saksi dalam setiap persidangan. Hampir semua perkara membutuhkan saksi sebagai alat bukti di pengadilan. Sifat sebagai "kartu as" terhadap seorang saksi akan diberikan apabila data yang dimiliki oleh seorang saksi tersebut diinginkan sesuai dengan harapan penyidik atau Penuntut Umum. Selama ini perlakukan terhadap saksi sangat berbeda dengan perlakukan terhadap terdakwa, negara memberikan ruang hak asasi yang sangat luas terhadap terdakwa namun melupakan perlindungan terhadap saksi. Meskipun ada beberapa pasal dalam KUHAP yang dapat diintepretasikan sebagai suatu perlindungan terhadap saksi, namun dalam hal tersebut masih dirasa kurang. Suasana seperti itulah yang menjadikan keberadaan saksi sampai saat ini masih menjadi tanda-tanya, dimana banyak dari beberapa saksi yang menganggap kehadiran dirinya di dalam sebuah persidangan hanyalah sebagai bagian dari penindasan terhadap hak asasi mereka.
Pemikiran lebih jauh mengarah kepada kesejahteraan, kenyamanan, dan keselamatan saksi dan korban termasuk dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap saksi dan korban yang didalamnya termasuk institusi yang melindungi dan melaksanakan perlindungan yang harus telah menjadi program pemerintah mulai dari sekarang. Hal ini dikarenakan negara adalah pihak yang mengayomi kepentingan masyarakat, oleh karena itu harus memberikan kecukupan perlindungan termasuk dalam hal perlindungan terhadap hak-hak seorang saksi, hal ini akan berkaitan dengan penghormatan hak asasi manusia. Khusus dalam beberapa kasus tertentu seperti terorisme, perkosaan, penganiayaan, pengancaman termasuk juga kasus korupsi, perlindungan terhadap saksi dan korban mutlak diperlukan.
Berbicara mengenai perlindungan maka akan berbicara pula mengenai pandangan dari institusi Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang perlindungan, serta pelaksanaan perlindungan tersebut dan bagaimana keterlibatan ketiga institusi ini dalam rangka perlindungan terhadap saksi dan korban."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azi Tyawhardana
"Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan dasar perlindungan terhadap pelapor tindak pidana dan saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama. Menurut ketentuan pasal 10 ayat (1) UU tersebut, pelapor tidak dapat dituntut secara hukum atas laporan yang diberikannya, sementara itu menurut pasal 10 ayat (2) kesaksian yang diberikan oleh saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Sebagai implemetasidari UU tersebut, Mahkamah Agung pada tanggal 10 Agustus 2011 telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Dari bunyi judul SEMA tersebut, maka jelaslah bahwa SEMA tersebut memberikan ketegasan mengenai konsepsi whistleblower dan justice collaborator yang sebelumnya masih samar-samar dalam system peradilan pidana di Indonesia. Permasalahan menjadi menarik mengingat dengan terbutnya SEMA tersebut pengertian whistleblower didefinisikan sebagai pelapor yang tidak terlibat dalam tindak pidana yang dilaporkannya sementara justice collaborator diartikan sebagai salah satu pelaku yang ikut bekerjasama dengan penegak hukum dalam memberikan kesaksian untuk membongkar keterlibatan pelaku lainnya dalam tindak pidana tersebut. Dibedakannya secara tegas konsepsi mengenai whistleblower dan justice collaborator dalam SEMA tersebut tentunya berdampak pada pembedaan perlindungan yang diberikan terhadap keduanya sesuai Undang - Undang No. 13 Tahun 2006. Penelitian tesis ini akan berupaya untuk membahas keterkaitan antara SEMA No. 4 Tahun 2011 dan implemetasinya terhadap perlindungan pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang juga pelaku dalam tindak pidana yang sama sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
......
Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims have provided basic protection against reporting person and witnesses who are also suspects in the same case. According to the provisions of Article 10 paragraph (1) of the Act, reporting person can not be prosecuted over his statements on the case, while according to Article 10 paragraph (2) the testimony given by a witness who is also a suspect in the same case can be considered by a judge to reduce sentences. As implementation to the Act, the Supreme Court on August 10, 2011 has issued Circular (SEMA) No. 04 Year 2011 on Treatment For Reporting Person (Whistleblower) and The Cooperating defendent (Justice Collaborator) In Specific Crime. Of the heading to the circular, it is clear that the circular is made clear on the concept of justice collaborator and whistleblower who previously remained vague in the criminal justice system in Indonesia. Issues have become particularly attractive given that the circular had defined whistleblower as a reporting person who was not involved in the case while justice collaborator was interpreted as one of the defendent who participated in cooperation with law enforcement in testifying to dismantle the involvement of other actors in the same criminal act. By explicitly distinguish the conception of justice collaborator and whistleblower, the circular is certainly make an impact on the protection provided to them in accordance with Law No.. 13 of 2006. This thesis will attempt to discuss the linkages between circular No. 4 of 2011 and its implementation to the protection of reporting person and witnesses who are also actors in the same offenses as stipulated in Law no. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1996
S21907
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Tri Basuki
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S21583
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.S. Gunadi Sjarif
"Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban.
......
Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinto Tri Hasworo
"Skripsi ini akan membahas mengenai perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran berat hak asasi manusia. Alasan penulis mengambil tema tentang perlindungan korban dan saksi adalah karena penulis melihat pentingnya peran korban dan saksi dalam mengungkap sebuah tindak pidana, terutama dalam perkara pelanggaran berat hak asasi manusia. Peran perlindungan korban dan saksi juga sangat penting untuk mendukung proses peradilan (pembuktian) yang fair dan obyektif. Karena tanpa perlindungan kepada korban dan saksi dari ancaman, teror, intimidasi, kekerasan, maka akan mempengaruhi proses peradilan yang fair dan obyektif.
Begitu pentingnya peran saksi dalam mengungkap sebuah kejahatan dan sebagai komponen pendukung terciptanya peradilan yang obyetif, tidak diimbangi dengan pranata yang memadai untuk melindungi korban dan saksi dari ancaman, teror, intimidasi dan kekerasan. Perlindungan kepada korban dan saksi hanya diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002.
Dalam proses Peradilan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok 12 September 1984, para korban terbagi dalam dua kelompok: satu kelompok mendukung penyelesaian kasus Tanjung Priok melalui mekanisme islah dan kelomok yang lain mendorong kasus Tanjung Priok diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Hak Asasi Manusia. Kualitas kesaksian korban dari kelompok islah relatif 'mengamankan' posisi para terdakwa. Sedangkan kualitas kesaksian korban non islah sebaliknya, memberatkan posisi para terdakwa yang semuanya adalah anggota TNI atau mantan perwira TNI. Sementara kualitas kesaksian korban yang tidak masuk dalam kelompok islah sebaliknya.
Selain membahas mengenai perlindungan saksi dan korban, skripsi ini juga mengulas proses penyelesaian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia Tanjung Priok, baik melalui pengadilan para korban Tanjung Priok, islah dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Selain itu, juga akan dipaparkan mengenai pengaruh islah terhadap kualitas kesaksian saksi korban di pengadilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frangki Boas
"Skripsi ini akan membahas mengenai perlindungan
terhadap whistleblower dalam rangka perlindungan saksi dan
korban di Indonesia. Dalam perjuangan pemberantasan
korupsi, whistleblower dapat dilihat sebagai sebuah bagian
penting, dimana Whistleblower melaporkan adanya
penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi tempat dirinya
bekerja untuk berbagai alasan, dimana yang paling utama
adalah motivasi dan keyakinan etika. Informasi yang
diberikan oleh whistleblower mengenai adanya praktik tindak
pidana korupsi akan ditelusuri kebenarannya oleh aparat
yang berwenang untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
Atas perannya mengungkap adanya praktik tindak pidana
korupsi tersebut whistleblower perlu diberikan perlindungan
secara khusus, karena dalam praktiknya whistleblower
mengalami ancaman dan tekanan atas informasi yang telah
mereka berikan. Dengan adanya ancaman dan tekanan tersebut
banyak orang yang tidak mau melaporkan adanya praktik
tindak pidana korupsi yang mereka ketahui karena takut
mengalami hal yang sama dengan orang yang telah lebih
dahulu mengungkap adanya praktik tindak pidana korupsi.
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan untuk
melindungi saksi dan korban yang diimplementasikan melalui
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, akan tetapi undang-undang tersebut belum
dapat menjangkau whistleblower secara maksimal. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya whistleblower memiliki
karakteristik yang berbeda dengan saksi ataupun korban.
Selain itu bentuk ?bentuk perlindungan yang diberikan oleh
undang-undang tersebut masih belum memadai bagi
whistleblower. Perlindungan yang diberikan kepada
whistleblower harus lebih maksimal dari perlindungan
terhadap saksi dan korban, oleh sebab itu perlu dibuat
suatu praturan perundang-undangan yang dapat memberikan
perlindungan secara khusus bagi whistleblower. Dengan
demikian keberanian setiap orang untuk melaporkan adanya
praktik tindak pidana korupsi di tempat mereka bekerja akan
semakin meningkat, tanpa perlu merasa takut terhadap
ancaman dan tekanan yang akan menimpa mereka di kemudian
hari."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S22360
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Noptra
"Perlindungan terhadap saksi dan korban merupakan sesuatu yang harus diberikan karena keberadaan saksi dan korban yang sangat krusial dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana, terutama terhadap kasus pidana yang melibatkan pihak-pihak yang berkuasa dan/atau mempunyai kedudukan di dalam sistem pemerintahan negara. Sadar akan pentingnya perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut, maka pada tanggal 18 Juli 2006, Pemerintah meresmikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan diresmikannya undang-undang tersebut maka perlindungan terhadap saksi dan korban tidak lagi ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, karena akan ditangani sepenuhnya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada dasarnya, perlindungan saksi dan korban di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan seperti dari segi kualifikasi saksi dan korban yang berhak atas perlindungan, lembaga yang memberikan perlindungan, penjaminan pelaksanaan hak saksi dan korban, serta dari segi bentuk dan tata cara perlindungan. Beberapa kelemahan ini bisa diatasi dengan melakukan perbaikan terhadap rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta penting bagi LPSK dan lembaga lainnya berkoordinasi dengan baik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran aktif dari masyarakat dalam menjamin suksesnya pemberian bantuan perlindungan terhadap saksi dan korban.
......Protection for witness and victims of crime is something that needs to be given because their existence is crucial in the process of criminal act, especially in criminal cases that involve predominate parties and/or has position in the country’s governmental system. Realizing the importance of the protection for witness and victims of crime, on July 18th 2006 the Government established Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victims of Crime. By the establishment of such Law then the protection of witness and crime victims are no longer handled by the police and public prosecutors’ office, but will be fully handled by the Institution of Protection of Witness and Victims of Crime (LPSK). Basically, the protection of witness and victims of crime in Indonesia still has numerous weaknesses such as the qualification of witness and victims of crime that needs protection, the institutions that gives protection, the guarantee of execution of the protection of witness and victims of crime, and the form and procedures of protection. Some of this weakness could be overcomes by doing repair on the formulation that contained in the Law for the protection of witness and victims of crime, and it is important by LPSK and other institutions to coordinate with each other. Other thing that is also important is the active participation of the community in guarantying the success of the protection of witness and victims of crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22383
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purwastuti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22568
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Rosadiansyah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kedudukan justice collaborator dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Implementasi penerapan Justice Collaborator pada 2 (dua) kasus yakni
Agus Condro Prayitno dan Kosasih Abbas dibahas sebagai bahan analisis dalam
tesis ini. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa Agus Condro memiliki
peran yang signifikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap
kasus tersebut sehingga mendapatkan keringanan hukuman namun pada saat Agus
Condro dijatuhi hukuman, belum ada peraturan mengenai Justice Collaborator.
Berbeda dengan kasus Kosasih Abbas, ia ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) sebagai Justice Collaborator karena
kooperatif pada saat penyidikan. Namun pada saat dijatuhi hukuman, majelis
hakim berpandangan berbeda, majelis tidak mempertimbangkan ia sebagai Justice
Collaborator. Kedepan dibutuhkan formulasi dan konsepsi dalam pengaturan
Justice Collaborator dalam proses hukum pidana sebagai upaya pembaharuan
hukum pidana di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the position of the justice collaborator in the criminal justice
system in Indonesia. The research method in use is normative juridical.
Implementation of the application justice collaborator in two (2) cases namely
Agus Condro Prayitno and Kosasih Abbas discussed for analysis of materials in
this thesis. From the analysis result concluded that Agus Condro have a
significantly role as a witness who cooperated to get relief. but at the time was
sentenced Agus Condro, there are no regulations about justice collaborator. In
contrast to case of Kosasih Abbas, he is defined by The Corruption Eradication
Commision of Indonesia Republic (KPK RI) as a justice collaborator because of
cooperative as the investigation, but at the time of sentenced he panel of
judgesargued differently, the panel did not consider he as justice collaborator. In
teh future, it will be needed formulation and conception in the setting of justice
colaborator in the process criminal law as effort to reform the criminal law in
Indonesian."
Universitas Indonesia, 2013
T35933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>