Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Azizah
"Tesis ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang menganalisa klausula arbitrase dalam judul tesis ini berfokus untuk menjawab apakah klausula arbitrase yang terdapat dalam judul (Indonesia) sudah cukup mengakomodir dalam penggunaan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa dan memudahkan proses penyelesaian sengketa asuransi kebakaran di Indonesia. Kajian pustaka dijadikan dasar dalam penelitian guna penulisan tesis ini. Dari hasil yang diperoleh dengan menganalisis data serta norma, diperoleh gambaran mengenai kelebihan-kelebihan dari arbitrase dibandingkan dengan pengadilan umum dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
Dari penelitian ini dapat dilihat bagaimana klausula arbitrase yang terdapat dalam tidak atau belum mengakomodir kemudahan untuk proses penyelesaian sengketa asuransi. Ketidakjelasan atau ambiguitas kurang terperincinya klausula arbitrase dalam polisnya telah menimbulkan perbedaan penafsiran yang justru menyebabkan terjadinya sengketa (kesulitan) dalam menentukan cara/forum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa, yang ternyata menyebabkan berlarut-larutnya proses penyelesaian sengketa (perdagangan). Sengketa yang timbul dari pelaksanaan putusan No:46/pdt.6/1999/Jakarta Selatan yang mencantumkan klausula arbitrase di dalamnya, sebagaimana telah ditentukan oleh Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 (UU Arbitrase) bahwa para pihak dalam perjanjian kehilangan haknya untuk membawa sengketanya ke pengadilan umum dan pengadilan umum yang bersangkutan dilarang menerima dan wajib menolak permohonan sengketanya, ternyata masih saja kasus arbitrase yang bersangkutan diterima oleh pengadilan umum.
Dari hasil anallisis kasus yang ada penulis menyarankan bagaimana dapat dilakukan pembenahan dalam penyusunan klausula-klausula arbitrase yang ada di dalam perjanjian, Indonesia dengan memperhatikan elemen-elemen esensial yang harus ada dalam suatu klausula arbitrase. Memperhatikan sikap hakim (pengadilan) yang masih menerima kasus sengketa perjanjian dagang yang telah mencantumkan klausula arbitrase, perlu diadakan sosialisasi UU no. 30 Tahun 1999 tersebut terhadap masyarakat umumnya dan kepada para hakim khususnya dalam menyikapi kasus sengketa yang timbul dari perjanjian yang telah memiliki klausula arbitrase supaya kelebihan-kelebihan arbitrase benar-benar efektif.
......This thesis is written based on the research that analyzes the arbitration clauses in the court. This thesis is focused on answering whether the arbitration clause contained in the court is sufficient to accommodate the use of arbitration as a way of disputes resolution and facilitate the process dispute reolution in Indonesia or not. Literature review of the research is the basis in this research in order to write this thesis.
From this research we can see how the arbitration clauses the court contained is not (yet) able to accommodate the effectiveness of dispute settlement process. Vagueness or ambiguity and the lacking of the details in the arbitration clauses the ineffectiveness on the dispute settlement process. The disputes arising from the implementation of that includes the arbitration clauses in it, as determined by Law No:46/pdt.6/1999/Jakarta Selatan (Arbitration Law) that the parties in the contractlose their right to take the disputes to the general court and relevant court is barred from receiving and shall dispute settlement reguest, apparently there still disputes case is accepted by the general court.
From the results of the analysis of the case, the author suggest the improvements can be made in darfting the arbitration clauses in the agreements, especially in the court view of the elements that essential to exist in an arbitration clause. Noting the attitude of the judge (general court) that is still receiving the contract disputes cases which its includes the arbitration clauses, it is necessary to socializw the Law No. 30/1999 (Arbitration Law) to the public generally and especially to the judges in dealing with the disputes arising from agreements which have arbitration clauses so that the advantages of the arbitration van be really effective."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28373
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Carissa Tridina Arsyad Temenggung
"ABSTRAK
Sktipsi ini membahas tentang konsep dana pihak ketiga (DPK) yaitu
metode pendanaan alternatif sebagai solusi untuk mengatasi kenaikan biaya diperlukan dalam penyelesaian sengketa dan penerapannya di Indonesia. Di Secara khusus, tesis ini mengkaji apa itu konsep DPK dan kegunaannya yang mulai berkembang dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Kemudian, juga membahas upaya beberapa negara untuk mengatur konsep ini dalam undang-undang perjanjian nasional maupun internasional, serta yang penting harus diatur untuk mengajukan TPF dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Pembahasan dalam tesis ini disusun berdasarkan metode yuridis normatif dengan pendekatan konseptual, normatif, historis, dan hukum. Berdasarkan hasil Hasil penelitian, tulisan ini menyimpulkan bahwa DPK adalah metode pendanaan resolusi perselisihan sekarang semakin populer dan penggunaannya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yang kemudian disambut dengan upaya-upaya yang diatur oleh beberapa negara dalam hukum nasional serta dalam instrumen perjanjian internasional tentang hal-hal penting dapat mengatur dan meminimalkan risiko dalam penggunaan DPK. Meskipun mengenali praktik pendanaan informal dan mulai terlibat dalam perselisihan arbitrase internasional yang melibatkan TPF, Indonesia masih belum punya pengaturan khusus terkait TPF. Mengenai masalah ini, maka makalah ini mengusulkan beberapa hal yang perlu diatur untuk menerapkan konsep DPK dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia.
ABSTRACT
This thesis discusses the concept of third party funds (DPK), namely
Alternative funding methods as a solution to address rising costs are required in dispute resolution and implementation in Indonesia. In particular, this thesis examines what the DPK concept is and its uses which have begun to develop in dispute resolution through arbitration. Then, it also discusses the efforts of several countries to regulate this concept in national and international treaty laws, and what is important must be arranged to submit TPF in dispute resolution through arbitration. The discussion in this thesis is prepared based on normative juridical methods with conceptual, normative, historical, and legal approaches. Based on the results of the research, this paper concludes that TPF is a method of funding dispute resolution which is now increasingly popular and its use in dispute resolution through arbitration, which is then greeted by efforts regulated by several countries in national law as well as in international treaty instruments on matters it is important to be able to regulate and minimize risks in the use of TPF. Despite recognizing informal funding practices and starting to get involved in international arbitration disputes involving the TPF, Indonesia still does not have specific arrangements regarding the TPF. Regarding this issue, this paper proposes several things that need to be regulated to apply the DPK concept in dispute resolution through arbitration in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamonangan, Lambertus Philo
"Tesis ini meneliti dan mengkaji mengenai kewenangan yang dimiliki oleh arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang telah terdapat Perjanjian arbitrase ditinjau dari peraturan perundangundangan yang berlaku. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian adalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 serta asas pacta sunt servanda arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu perjanjian yang telah terdapat Perjanjian arbitrase. Namun dalam implementasinya masih banyak ditemui pendapat pengadilan yang mengatakan bahwa pengadilan mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum meskipun para pihak telah sepakat dalam suatu perjanjian arbitrates untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Berdasarkan implementasi kewenangan arbitrase tersebut penelitian ini memberikan pandangan kepada lembaga peradilan untuk menghormati penggunaan lembaga penyelesaian arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak berdasarkan asas pacta sunt servanda.
......This Thesis analyses the competence of arbitration to adjudicate tort dispute that is bound by arbitration agreement pursuant to the Indonesian regulation(s). the method of research used in this thesis is normative-juridical method. The research found that according to the Law No. 30 of 1999 Arbitration and Alternative Dispute Resolutions and the principle of pacta sunt servanda, arbitration is competent to adjudicate tort dispute that is bound by arbitration agreement. But in implementation there are some court decision which ruled that Indonesia District Court have the authority to adjudicate tort dispute although the parties have agreed to resolve tort dispute through arbitration. In regards to the implementation of the arbitration authority, this thesis suggest Indonesian Court to respect the use of arbitration that the parties have agreed to on the basis of pacta sunt servanda principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Rita Sri Kurniarum
"Dalam suatu perjanjian yang telah disepakati antara para pihak, yang kemudian dituangkan kedalam suatu akta notaris, berkenaan dengan hal tersebut sangatlah penting dalam ketepatan pemilihan perumusan klausula pasal dalam perjanjian agar tidak membuka celah hukum yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran sehingga akan memungkinkan terjadinya perselisihan dikemudian hari. Perjanjian yang disepakati dengan adanya Hak Opsi dalam pengakhiran perjanjian dapat menimbulkan masalah ketika terjadi perbedaan penafsiran antara para pihak dan sengketa tersebut kemudian dibawa ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan pilihan forum yang disepakati, namun dapat dibatalkan di Pengadilan Negeri dengan alasan limitatif. Untuk itu peran notaris dalam perumusan klausula perjanjian yang kemudian dituangkan kedalam akta otentik dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda. Disinilah notaris turut berperan dalam memberikan penyuluhan hukum sebagai upaya preventif dalam kewenangan jabatannya, sehingga ketika suatu klausula yang tercantum dalam semua pasal suatu perjanjian telah dituangkan dan dinyatakan secara tegas, tepat, jelas dan komprehensif, maka hal tersebut akan dapat meminimalisasi perbedaan penafsiran yang mungkin timbul sehingga tidak perlu membawa sengketa ke pilihan forum (dalam hal ini BANI).
Peneliti dalam membahas permasalahan ini dengan metode penelitian yuridis normatif. Data penulis memperlihatkan bahwa klausula hak opsi dalam pengakhiran perjanjian yang dibuat secara kurang jelas, tidak tegas dan tidak komprehensif maka ketika perjanjian tersebut akan berakhir, hak opsi yang ditawarkan tersebut menimbulkan perbedaan penafsiran sehingga terjadi sengketa. Untuk itu sebaiknya Notaris sebagai pejabat publik yang berwenang membuat akta otentik hendaknya melakukan penyuluhan hukum dalam pembuatan klausula pasal perjanjian dan menuangkannya ke dalam akta otentik secara tepat, jelas, tegas dan komprehensif yaitu semua kondisi dan akibatnya disebutkan secara detail dan terperinci disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh para pihak, Namun tetap harus sesuai dengan koridor dan batas-batas peraturan perundang-undangan yang berlaku.

In an agreement that has been agreed between the parties, which was then poured into a notarial deed, with respect to it are essential in the accuracy of selecting the formulation of clause clause in the agreement not to open a legal loophole that could lead to differences in interpretation that will allow disputes in the future. The treaty agreed with Option Rights in the termination of a treaty may pose a problem when there is a difference of interpretation between the parties and the dispute was taken to arbitration board of Indonesia (BANI) in accordance with the choice of forum agreed, but can be canceled at the District Court on the grounds limitedly. For the role of the notary in the formulation of the agreement clause and then poured into an authentic deed is made such that it does not lead to a different perception. Here, notaries play a role in providing legal counseling as preventive measures within the authority of his position, so that when a clause contained in all the articles of a treaty has been poured and explicitly stated, precise, clear and comprehensive, then it will be able to minimize the differences of interpretation that may arise so no need to bring disputes to the forum selection (in this case BANI).
Researcher`s in discussing these issues with uses normative juridical research method. The researcher data show that a clause in a termination option rights created less clear, firm and comprehensive then when the contract would expire, option rights were offered the lead to differences in interpretation so that there is a dispute. For it should Notary public official authorized to make authentic act should perform legal counseling in the manufacture of a clause on treaty clauses and poured it into the authentic act appropriately, clear, concise and comprehensive that all the conditions and consequences mentioned in detail and detailed adjusted to desired by the parties, but should still be in accordance with the corridor and the limits of the legislation in force."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Dwihanjani
"Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang banyak diminati oleh masyarakat. Pelaksanaan arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase yang memberikan kewenangan mengadili kepada arbiter/majelis arbitrase. Namun, ketika perjanjian pokok yang mengandung perjanjian arbitrase berakhir atau batal, timbul pertanyaan mengenai keabsahan perjanjian arbitrase di dalamnya dan kewenangan mengadili arbiter/majelis arbitrase. Hal tersebut berkaitan erat dengan prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz. UU Arbitrase mengatur prinsip separabilitas, namun tidak terdapat ketentuan yang jelas mengenai Kompetenz-Kompetenz atau forum mana yang sebenarnya berwenang untuk mengadili sengketa mengenai keabsahan perjanjian arbitrase dan kewenangan arbiter/majelis arbitrase. Dalam praktiknya, putusan pengadilan Indonesia juga masih menunjukkan inkonsistensi dalam pelaksanaan prinsip separabilitas dan penentuan pihak yang berwenang untuk memeriksa keabsahan perjanjian arbitrase dan wewenang arbiter/majelis arbitrase. Penelitian ini akan menggali alasan negara Indonesia tidak mengatur prinsip Kompetenz-Kompetenz bersamaan dengan separabilitas secara tegas, akibat hukum batal atau berakhirnya perjanjian pokok terhadap perjanjian arbitrase di dalamnya ditinjau dari prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz, dan kecukupan ketentuan kompetensi pengadilan dalam UU Arbitrase untuk mengakomodasi pelaksanaan arbitrase di Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka serta menggunakan metode deskriptif evaluatif dan pendekatan perbandingan hukumdengan negara Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam sebagai negara pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU Arbitrase tidak mengatur prinsip Kompetenz-Kompetenz bersamaan dengan separabilitas secara tegas karena politik demikian yang dipilih oleh pembuat undang-undang. Adapun berdasarkan prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz, batal atau berakhirnya perjanjian pokok tidak membatalkan perjanjian arbitrase dan menghilangkan wewenang mengadili arbiter/majelis arbitrase. Dapat disimpulkan pula bahwa ketentuan kompetensi pengadilan dalam UU Arbitrase perlu diperjelas agar dapat mengakomodasi pelaksanaan arbitrase di Indonesia dengan lebih baik.
.....Arbitration is an alternative dispute resolution that is much in demand by the public. The implementation of arbitration is based on an arbitration agreement which bestows the authority to adjudicate to an arbitrator/arbitral tribunal. However, when the main agreement containing the arbitration agreement is cancelled or expires, questions regarding the validity of the arbitration agreement contained therein and the arbitrator/arbitral tribunal’s authority to adjudicate arise. This is closely related to the principle of separability and Kompetenz-Kompetenz. Indonesia Arbitration Law regulates the principle of separability, yet there are no clear provisions regarding Kompetenz-Kompetenz or which forum is authorized to adjudicate disputes regarding the validity of the arbitration agreement and the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. In practice, a form of inconsistency can still be found within Indonesian court decisions which dealt with the implementation of the separability principle and the determination of a competent forum to assess the validity of the arbitration agreement and the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. This research will explore the reasons as to why Indonesia Arbitration Law does not clearly regulate the principle of Kompetenz-Kompetenz together with separability, the legal consequences of canceling or terminating the main agreement on the arbitration agreement contained within it in terms of the separability and Kompetenz-Kompetenz principle, and the adequacy of provisions regarding competence of courts in Indonesia Arbitration Law to accommodate the execution of arbitration in Indonesia. The data collection in this research was carried out through literature study by implementing a descriptive evaluative method and a comparative legal approach with Singapore, Malaysia, the Philippines and Vietnam as the countries used for comparison. The results of the study show that Indonesia Arbitration Law does not clearly regulate the principle of Kompetenz-Kompetenztogether with separability because such politics was chosen by the legislators. Moreover, based on the principle of separability and Kompetenz-Kompetenz, canceling or terminating the main agreement neither cancels the arbitration agreement within it nor eliminates the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. It can also be concluded that the provisions on the competence of courts within the Arbitration Law need to be clarified in order to better accommodate the implementation of arbitration in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F. Sentiana Amarella
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana keabsahan perjanjian arbitrase yang dibuat dalam bentuk pertukaran surat elektronik (e-mail) serta bagaimana akibat hukum jika suatu perjanjian arbitrase dalam bentuk pertukaran surat yang tidak disertai dengan catatan penerimaan oleh para pihak pada kasus PT. Indoexim International v. PT. Agility International. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase yang dibuat dalam bentuk pertukaran surat elektronik (e-mail) adalah sah menurut hukum selama terpenuhinya syarat-syarat perjanjian arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Undang-undang arbitrase tidak menjelaskan lebih rinci mengenai akibat hukum jika tidak terdapat catatan penerimaan oleh para pihak pada kasus PT. Indoexim International v. PT. Agility International, namun majelis hakim berwenang untuk menafsirkan ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut. Sehingga keputusan yang diberikan oleh majelis hakim terkait catatan penerimaan oleh para pihak tersebut dapat menjadi solusi atas persoalan yang tidak dijelaskan lebih rinci oleh undang-undang.

This thesis discusses about how the validity of the arbitration agreement that is made in the form of exchanges of electronic mail (e-mail) and how legal consequences if an arbitration agreement in the form of an exchange of letters which are not accompanied by a note of the acceptance by the parties. The methods used in this research is the juridical normative, i.e. the legal research that refers to norms of the law contained in the legislation.
This research it was concluded the arbitration agreement that is made in the form of exchanges of electronic mail (e-mail) is lawful as long as satisfy the terms of the arbitration agreement as provided for in article 4 paragraph (3) of Act No. 30 of 1999. The arbitration law does not explain in more detail about the legal consequences if there is no note of the acceptance by the parties in the case of PT. Indoexim International v. PT. Agility International, however the Tribunal judges are authorized to interpret the existing provisions in the law. So the decision given by the Tribunal judge related note the acceptance by the parties can be a solution over the issue that are not described in more detail by law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library