Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurlaksmi Handayani
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri penderita SLE (Systemic Lupus Erythematosus) sebelum dan setelah didiagnosis menderita SLE. SLE adalah suatu penyakit yang menyebabkan peradangan yang kronis dengan penyebab yang tidak diketahui dan mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem syaraf, membran serous, dan organ tubuh lainnya (Schur dalam Kelley, Harris, Jr., Ruddy, & Sledge, 1981). Sebagai suatu penyakit kronis, SLE memiliki dampak terhadap berbagai aspekaspek kehidupan penderitanya dan dapat mempengaruhi konsep diri penderitanya. Berbagai gejala fisik yang harus dialami oleh penderita, keterbatasan-keterbatasan daiam melakukan aktivitas sehari-hari, stigma negatif seperti rasa iba dan penolakan dari keluarga dan lingkungan dapat membuat penderita merasa frustrasi dan stres. Wanita dari tahapan usia subur (18-40 tahun) merupakan golongan terbanyak menderita SLE. Seringkali mereka merasa takut tidak dapat memiliki keturunan disebabkan oleh penyakit ini. Padahal tahapan usia tersebut merupakan tahapan usia dewasa muda dimana salah satu tugas perkembangannya adalah berkeluarga dan membesarkan anak (Havighurst dalam Hurlock, 1980). Sementara itu di masyarakat telah berkembang suatu harapan yang kuat bahwa wanita sewajarnya menjadi seorang ibu (Russo dalam Hyde, 1985). Berbagai permasalahan di atas dapat mempengaruhi cara pandang penderita terhadap dirinya sendiri. Taylor (1999) menyebutkan bahwa suatu penyakit kronis dapat menghasilkan perubahan drastis dalam konsep diri seseorang. Sedangkan konsep diri dalam Hurlock (1979) diartikan sebagai elemen yang dominan dalam pola kepribadian seseorang, dan merupakan kekuatan yang memotivasi perilaku seseorang. Konsep diri menyangkut persepsi seseorang terhadap dirinya, kemampuannya, dan bagaimana ia berpikir tentang dirinya. Di samping itu juga menyangkut bagaimana seseorang mempersepsikan hubungannya dengan orang lain dan berbagai macam aspek dalam kehidupan serta nilai-nilai yang menyertai persepsi itu (Rogers dalam Hall & Lindzey, 1978). Konsep diri dapat mempengaruhi perilaku dan reaksi seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya, termasuk penyesuaian dirinya atau coping terhadap stres yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang dihadapinya (Hurlock, 1979). Oleh karena itu konsep diri penderita SLE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupannya di masa sekarang maupun di masa mendatang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Subyek dalam penelitian ini adalah 3 orang wanita penderita SLE pada tahapan usia dewasa muda (18-40 tahun) yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling secara insidental agar memudahkan peneliti. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam keempat kategori konsep diri penderita. Keempat kategori konsep diri tersebut adalah konsep diri dasar, konsep diri sementara, konsep diri sosial dan konsep diri ideal, yang masing-masing berkaitan dengan komponen fisik dan psikologis (Hurlock, 1979). Pada konsep diri dasar, umumnya penderita merasa bahwa fisik mereka tidak sekuat dahulu sehingga hal ini menjadi penghambat bagi mereka dalam beraktivitas. Kegiatan-kegiatan mereka mulai dibatasi untuk menjaga kondisi diri dan mencegah kambuhnya penyakit. Penderita juga menjadi lebih perhatian terhadap kondisi kesehatannya. Perubahan penampilan yang merugikan dan menetap membuat penderita menjadi minder dan tidak percaya diri. Penderita juga menjadi lebih rentan terhadap stres dan tidak dapat menerima berita-berita yang tidak menyenangkan baginya. Selain itu penderita juga menjadi lebih giat dalam kegiatan keagamaannya. Sebagian penderita merasa pesimis dalam memandang hidupnya karena merasa tidak dapat hidup normal seperti orang sehat pada umumnya. Namun ada pula penderita yang tidak merasa terlalu terganggu oleh hal tersebut karena sudah lebih dapat menerima keadaan dirinya. Dalam hal ini, penderita tetap optimis dalam memandang kehidupannya. Dalam konsep diri sementara, kondisi fisik yang memprihatinkan terutama pada masa-masa awal dideritanya SLE membuat penderita menilai dirinya lebih negatif untuk sementara. Di lain pihak kejadian-kejadian yang menghasilkan emosi-emosi positif seperti keberhasilan dalam meraih hal tertentu membuat penderita menilai dirinya secara lebih positif untuk sementara. Pada konsep diri sosial, penderita merasakan pandangan iba dan kasihan dari keluarga dan lingkungan. Keluarga pada umumnya memberikan perhatian lebih dan dukungan pada penderita. Hal ini dapat diekspresikan secara berlebihan sehingga memicu kecemburuan pada anggota keluarga yang lainnya. Namun dapat pula terjadi pengabaian dan penolakan oleh keluarga serta lingkungan penderita. Penolakan ini disebabkan karena penderita dianggap sebagai beban keluarga dan dipandang aneh oleh lingkungan sehingga memancing ejekan, cemoohan serta gunjingan. Pada penderita yang belum berkeluarga terdapat kekhawatiran bahwa lawan jenis akan memandang mereka dengan sebelah mata disebabkan oleh penyakitnya tersebut. Pada konsep diri ideal, penderita berharap agar dapat menjalani kehidupan yang layak dan baik seperti orang lain, yaitu ingin agar dapat bekerja, berumah tangga, memiliki keturunan, diterima oleh keluarga dan lingkungan, serta ingin agar SLE-nya tidak kambuh lagi sehingga mereka dapat hidup seperti orang sehat pada umumnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Syafira
Abstrak :
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui sert manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. Pengobatan pada pasien SLE harus diperhatikan untuk mencegah faktor risiko yang dapat memperparah kondisi pasien. Pemantauan terapi obat pada psien SLE dilakukan untuk mengevaluasi DRPs. Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat, dimana dapat menghambat ataupun berpotensi mengganggu pasien dalam mencapai hasil optimum suatu terapi suatu terapi. ......Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic autoimmune inflammatory disease with an unknown etiology and diverse clinical manifestations, course and prognosis. This disease mainly affects women of reproductive age with a high mortality rate. Genetic, immunological and hormonal as well as environmental factors are thought to play a role in the pathophysiology of SLE. Treatment in SLE patients must be considered to prevent risk factors that can exacerbate the patient's condition. Monitoring drug therapy in SLE patients is performed to evaluate DRPs. Drug Related Problems (DRPs) are events or conditions that involve drug therapy, which can hinder or potentially interfere with the patient in achieving optimal results of a therapy.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amaliah
Abstrak :
Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun sistemik yang 10-20% kasusnya memiliki awitan sejak masa kanak. Kesintasan anak dengan LES di negara maju maupun berkembang jauh meningkat sejak beberapa dekade terakhir. Meskipun kesintasannya meningkat, tidak semua anak dan remaja LES dapat memasuki masa dewasa dengan baik. Layanan transisi remaja merupakan jembatan penghubung antara layanan kesehatan anak dan dewasa yang mulai banyak dikembangkan untuk remaja dengan kebutuhan medis khusus seperti LES. Metode: Studi pre-eksperimental pada remaja LES berusia 15 tahun hingga 17 tahun 6 bulan dilakukan di RSUPNCM dalam kurun waktu antara Desember 2022 hingga Mei 2023. Dalam studi ini seluruh subyek diikutkan dalam modul transisi remaja yang kegiatannya dilakukan secara daring maupun luring. Kegiatan daring meliputi 3 kali pemaparan materi dan diskusi interaktif dengan tema LES, masa remaja, dan layanan kesehatan di klinik dewasa. Kegiatan luring dilakukan melalui bermain peran menyerupai suasana saat melakukan kunjungan mandiri di layanan kesehatan dewasa yang dilakukan pada akhir penelitian. Luaran modul transisi dinilai dengan membandingkan rerata skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum dan sesudah mengikuti modul transisi. Hasil: Terdapat 36 remaja LES yang mengikuti modul transisi, namun hanya 32 subyek yang mengikuti ≥75% kegiatan. Rerata skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum mengikuti modul adalah 3,4 (0,6). Rerata tersebut meningkat menjadi 3,8 (0,6) setelah mengikuti modul (p=0.001). Tidak ada hubungan antara lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dan kunjungan mandiri terhadap skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum mengikuti modul transisi. Simpulan: Modul transisi remaja terbukti dapat meningkatkan kesiapan transisi remaja dengan LES berusia 15-17 tahun. ......Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease in which 10-20% of cases have an onset in childhood. The survival of children with SLE in both developed and developing countries has increased greatly in the last few decades. Although survival has increased, not all children and adolescents with SLE can enter adulthood well. Adolescent transition services are a bridge between child and adult health services which have begun to be developed for adolescents with special medical needs such as SLE. Methods: The pre-experimental study on LES adolescents aged 15 to 17 years 6 months was conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital from December 2022 to May 2023. In this study, all subjects were included in the adolescent transition module, whose activities were carried out both online and offline. Online activities include 3 presentations of material and interactive discussions on the themes of LES, adolescence, and health services in adult clinics. Offline activities are carried out through role playing, resembling the atmosphere during independent visits to adult health services carried out at the end of the study. The main outcome of the transition module was assessed by comparing the average Indonesian TRAQ 6.0 score before and after participating in the transition module. Results: There were 36 LES adolescents who took part in the transition module, but only 32 subjects took ≥75% of the activities. The average Indonesian TRAQ 6.0 score before taking the module was 3.4 (0.6). The mean increased to 3.8 (0.6) after participating in the module (p=0.001). There is no relationship between disease duration, degree of disease activity, and independent visits to the Indonesian TRAQ 6.0 score before joining the transition module. Conclusion: The transition module has been proven to increasing transition readiness of adolescents aged 15 to 17 years with SLE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananta Rurri
Abstrak :
Disertasi ini menganalisis hubungan profil Human Leukocyte Antigen DRB1 dan DQB serta polimorfisme alel yang dominan, dengan terjadinya ulser mulut pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE), dengan memperhatikan faktor usia, jenis kelamin, ras dan stres. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Kramat 128 Jakarta pada 96 pasien SLE dengan dan tanpa ulser mulut, dengan pengambilan data secara cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan dominasi alel DRB1*15:01 dan DQB*05:01 pada SLE dengan ulser mulut. Terdapat hubungan bermakna antara HLA-DRB1*15:01 dengan terjadinya ulser mulut (p<0,05), dan terdapat hubungan bermakna antara stres dengan terjadinya ulser mulut. Kejadian ulser mulut pada pasien SLE dengan HLA-DRB1*15:01 yang mengalami stress meningkat 3,7 kali (OR=3,77). Terdapat kesamaan sequence DNA HLA dengan HLA-DRB1*15:01 pada alel yang sama diantara pasien dengan ulser mulut. ......The present study was design to analize the association of HLA-DRB1, DQB profile, and polymorphisms of dominant alel with oral ulcers SLE. This study included an evaluation association of age, gender, race and stress. A cross sectional of 96 SLE patients with or without oral ulcers followed up at the Kramat 128 Hospital Jakarta. The result shows that the HLA-DRB1*15:01 and DQB*05:01was more frequent in SLE patients with oral ulcers. HLA-DRB1*15:01 was significantly associated with susceptibility to oral ulcers SLE (p<0.05). Stress was also significance association with oral ulcers SLE. Patiens with HLA-DRB1*15:01 and stress, have a higher risk of oral ulcers (OR=3.77). There is similarity sequens DNA HLA with HLA-DRB1*15:01 in the same alel in SLE patients with oral ulcers.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdy Ferdian
Abstrak :
Background. Antibody to complement C1q (Anti-C1q Antibody) can be found in Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients. Complement C1q plays a role in the clearance of apoptotic cells and immune complexes. Anti-C1q causes complement C1q become inactive so that the clearance decreases, which induces self antigen and inflammatory response. Many tissue inflammation are associated with disease activity and lupus manifestations. The aim of this study is to find out the correlation of anti-C1q level with disease activity, so that anti-C1q can be used as an objective indicator of inflammation along with SELENA-SLEDAI. Method. This is an analytic descriptive study with cross sectional design. Anti-C1q antibody levels were measured in 52 SLE patients who are hospitalized or treated routinely in outpatient clinic of Rheumatology Dr.Hasan Sadikin Hospital Bandung Indonesia from October to December 2015. Result. Most of the study subjects were women (94%), with a median age of 33 years. There were 13 new patients (25%), and the rest 42 patients were treated routinely. The median SELENA-SLEDAI was 6 (0-32). Subject were divided into no activity (11.5%), low disease activity (34.6%), medium disease activity (25%) high disease activity (15.4%) and very high disease activity (13.5%). Median anti-C1q level was 3.92 U/mL (range 0.6-100.2 U/mL). Anti-C1q antibody levels were positively correlated with SLE disease activity based on SELENA-SLEDAI scores (r=+0.304; p=0.014) Conclusion. Anti-C1q antibody levels has mild correlated with lupus disease activity based on SELENA-SLEDAI score
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2019
616 IJR 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Deshinta Putri Mulya
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar Belakang : Pada penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) terdapat defek pada sel T regulator baik dalam hal jumlah maupun fungsi sel T regulator. Pemberian probiotik dalam hal ini pemberian Lactabacillus reuteri diharapkan mampu menstimulasi timbulnya respon imun yang bersifat imunoregulator dengan cara meningkatkan jumlah sel T regulator dan menurunkan produksi IL6. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian probiotik terhadap toleransi sistem imun penderita SLE melalui perubahan kadar T regulator (CD4+CD25+Foxp3+) dan IL 6. Metode :30 subjek pasien SLE dengan manifestasi ringan yang datang ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM, diberikan probiotik Lactobacillus reuteri (15 orang) dan placebo (15 orang) selama 8 minggu. CD4+CD25+FoxP3+ dan IL 6 diperiksa sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan flowcytometri dan pemeriksaan ELISA. Hasil : Pemberian Lactobacillus reuteri selama 8 minggu meningkatkan kadarCD4+CD25+FoxP3+secara bermakna (1,38+ 8,36% VS 3,71+3,17% ; P=0,007 ; CI =-3,91 ? -0,74) . Terdapat penurunan kadar IL 6 setelah perlakuan, baik pada kelompok yang diberikan Lactobacillus reuteri (4,76+5,75 pg/ml VS 3,7 +3,36 pg/ml ; P=0,25 ; CI -0,83- 2,9) maupun pada kelompok placebo ( 2,6+2,02 pg/ml VS 2,07+2,39 ; P= 0,35 ; CI = -0,57 ? 1,52). Namun begitu, pada akhir penelitian perubahan tersebut tidak menimbulkan perbedaan bermakna kadar CD4+CD25+FoxP3+dan IL 6antara kedua kelompok. Kesimpulan :Terjadi peningkatan bermakna kadar CD4+CD25+FoxP3+ pada kelompok yang diberikan probiotik Lactobacillus reuteri selama 8 minggu.
ABSTRACT
Backgroud : In patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) there are abnormality on T lymphocytes, including the existence of a defect in the regulatory T cells both in terms of number and function. Giving probiotic, in this case Lactabacillus reuteri administration, is expected to stimulate the immune response to be more tolerance by increasing the number of regulatory T cells and decreasing the IL6 production. Aim : To know the effect of probiotic (Lactobacillus reuteri ) on the immune system of patients with SLE through changes in the levels of regulatory T cells (CD4+CD25+ Foxp3+) and IL 6 Method :Thirty ofSLE patients with mild manifestations, who came to Allergy and Immunology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, were given the probiotic Lactobacillus reuteri (15 people) and placebo (15 people) for 8 weeks. CD4+ CD25 + FoxP3+ and IL 6 were examined before and after exposure using flowcytometri and ELISA. We then analyzed the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + and IL6 before and after exposure. Result : Administration of Lactobacillus reuteri for 8 weeks brought statistically significant improvement on CD4+ CD25 + FoxP3 +level (1,38+ 8.36% + 3.17% vs. 3.71; P = 0.007; CI = -3.91 - -0.74). There were decreased level of IL 6 in Lactobacillus reuteri group (4.76 + 5.75 pg / ml VS3,71 + 3.36 pg / ml; P = 0.25; CI - 0,83- 2, 9) and the placebo group (2.6 + 2.02 pg / ml vs. 2.07 + 2.39; P = 0.35; CI = - 0.57 - 1.5). However,at the end of study, those changes didn?t make statistically significant difference of CD4+CD25+FoxP3+ and IL 6 level between two group. Conclusion : A significant increase of the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + were found after 8 weeks Lactobacillus reuteri administration, Backgroud : In patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) there are abnormality on T lymphocytes, including the existence of a defect in the regulatory T cells both in terms of number and function. Giving probiotic, in this case Lactabacillus reuteri administration, is expected to stimulate the immune response to be more tolerance by increasing the number of regulatory T cells and decreasing the IL6 production. Aim : To know the effect of probiotic (Lactobacillus reuteri ) on the immune system of patients with SLE through changes in the levels of regulatory T cells (CD4+CD25+ Foxp3+) and IL 6 Method :Thirty ofSLE patients with mild manifestations, who came to Allergy and Immunology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, were given the probiotic Lactobacillus reuteri (15 people) and placebo (15 people) for 8 weeks. CD4+ CD25 + FoxP3+ and IL 6 were examined before and after exposure using flowcytometri and ELISA. We then analyzed the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + and IL6 before and after exposure. Result : Administration of Lactobacillus reuteri for 8 weeks brought statistically significant improvement on CD4+ CD25 + FoxP3 +level (1,38+ 8.36% + 3.17% vs. 3.71; P = 0.007; CI = -3.91 - -0.74). There were decreased level of IL 6 in Lactobacillus reuteri group (4.76 + 5.75 pg / ml VS3,71 + 3.36 pg / ml; P = 0.25; CI - 0,83- 2, 9) and the placebo group (2.6 + 2.02 pg / ml vs. 2.07 + 2.39; P = 0.35; CI = - 0.57 - 1.5). However,at the end of study, those changes didn’t make statistically significant difference of CD4+CD25+FoxP3+ and IL 6 level between two group. Conclusion : A significant increase of the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + were found after 8 weeks Lactobacillus reuteri administration]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akrom Ibaad
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Kesehatan gigi merupakan salah satu hal yang penting dalam menunjang kesehatan umum, dimana penyakit gigi dan mulut dapat menyebabkan penyakit pada bagian tubuh yang lain ataupun dapat meningkatkan keparahan dari penyakit sistemik yang telah ada. Sebaliknya kesehatan sistemik dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Terdapat beberapa penyakit sistemik yang dapat ermanifestasi pada mulut, seperti Diabetes Melitus dan SLE yang merupakan kelainan sistem imun. Etiologi dari penyakit ini masih belum diketahui. Walaupun demikian terdapat faktor-faktor predisposisi yang sudah diketahui.. Faktor predisposisi yang ditemukan antara lain genetik, infeksi, hormonal, antibodi, kompleks imun, sinar matahari, makanan dan minuman, stress dan kelelahan fisik.
Tujuan: untuk mengetahui status kesehatan gigi dan mulut pada Orang Dengan Lupus (Odapus) yang berkunjung di Yayasan Lupus Indonesia(YLI). Dari 30 responden diketahui bahwa 26 orang adalah perempuan dan 4 orang laki-laki. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan pemeriksaan klinis kesehatan gigi dan mulut pada Odapus dengan Index OHIS untuk melihat status kebersihan gigi dan mulut, Index DMFT untuk mengukur kesehatan gigi ,dan Index CPITN untuk mengukur kesehatan jaringan periodontal.
Hasil: Rata-rata Odapus yang diteliti, 21 orang (70 %) memiliki tingkat kebersihan mulut sedang, 13 orang ( 44%) memiliki tingkat kesehatan gigi sedang dan 10 orang (34 %) memiliki kelainan periodontal dengan kedalaman poket antara 4-5 mm.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukan bahwa status kesehatan gigi dan mulut pada Odapus masih tergolong sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari tingkat pendidikan yang sebenarnya sudah baik, tetapi dari faktor perilaku yang masih kurang dan dari penyakit SLE yang dapat memperburuk kondisi kesehatan gigi dan mulut
ABSTRACT
Background: Oral health is one of the most important that supports general health. Oral diseases can cause systemic diseases or worsen the existent systemic diseases. On the revearse, systemic diseases can influence oral health. Etiology of this disease is still unknown. Nevertheless, several predisposition factors found, e.g. genetic, infection, hormonal factors, antibody, immune complex, sunburn, food, stress, and exhausted.
Pruposes: to know oral health status of SLE patient that visited Indonesian Lupus Organization. From 30 respondents, it is found that 26 patients are women and 4 patients are men. This research uses interview and clinical examination methods which the respondents are examined with Index OHIS to see oral hygiene status, Index DMFT to messure teeth health, and Index CPITN to meassure periodontal tissue health.
Results: The avarage of SLE patients examined, 21 patients (70%) have moderate oral hygiene, 13 patients (44%) have moderate teeth, and 10 patients (34%) have periodontal diseases with pocket depth between 4- 5 mm.
Conclusion: This research result shows that SLE patients have moderaten oral health status. This condition is influenced by bad behaviour factors, although their education status is good, and also the SLE which worsen their oral health.
2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
Abstrak :
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronis yang dapat dirasakan oleh pasien dengan SLE seumur hidup. Manifestasi klinis dari SLE berbeda-beda pada tiap individu, sehingga dibutuhkan perawatan yang tepat agar komplikasi yang parah dapat diminimalisasi. Discharge planning merupakan solusi untuk perawatan anak ketika sudah pulang ke rumah. Discharge planning bertujuan untuk memberikan  pembekalan perawatan di rumah sehingga orangtua atau keluarga dapat merawat pasien secara mandiri. Karya Ilmiah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi tentang hasil implementasi discharge planning pada anak dengan SLE. Metode yang digunakan untuk oenulisan karya ilmiah ini menggunakan studi kasus pada anak dengan SLE yang diberikan intervensi discharge planning sejak pasien pertama kali masuk dan dilakukan pemantauan selama lima hari  dengan pemberian asuhan keperawatan. Hasil discharge planning menunjukkan peningkatan keterampilan orangtua dan keluarga dalam merawat anak dengan SLE yang dibuktikan dengan hasil observasi selama masa perawatan. Sehingga, discharge planning tepat digunakan untuk pasien dengan SLE dalam perawatan lanjutan di rumah sehingga pasien dengan SLE dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mencegah kejadian eksaserbasi berat dan komplikasi yang parah. Discharge planning yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi pasien dan keluarga.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic disease. Clinical manifestations of SLE vary in each, so proper care is needed so that severe complications can be minimized. Discharge planning is a solution for childcare when they have returned home. Discharge planning aims to provide debriefing at home so parents or families can take care of patients independently. This Scientific Work was written to provide information about the results of discharge planning implementation in children with SLE. The method used for writing scientific papers uses case studies on children with SLE who are given discharge planning intervention since the patient first entered and monitored for five days with the provision of nursing care. The discharge planning results show an increase in parental and family skills in caring for children with SLE as evidenced by the results of observation during the treatment period. Thus, discharge planning is appropriate for patients with SLE in continuing care at home so that patients with SLE can improve their quality of life and prevent severe exacerbations and complications. Discharge planning carried out had a positive impact on patients and families.

Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Hardaningsih
Abstrak :
Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik LES) merupakan kelainan autoimun sistemik kronik yang dapat melibatkan susunan saraf pusat sehingga terjadi gangguan neurokognitif yang memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual. Berbagai marker biologis terkait penyakit LES dapat memegaruhi fungsi neurokognitif. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerdasan intelektual anak dengan LES dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Studi potong lintang terhadap 62 anak usia 7-18 tahun dengan LES. Pemilihan subyek secara consecutive sampling mulai September-Desember 2019. Tingkat kecerdasan intelektual ditetapkan dengan Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV melalui penilaian Intelligence Quotient (IQ). Analisa korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kadar hemoglobin terhadap IQ dilakukan uji korelasi Spearman. Analisa bivariat marker autoantibodi antiphospholipid syndrome (APS) terhadap IQ dilakukan dengan uji Chi Square. Hasil: Prevalens subjek dengan IQ di bawah rata-rata (IQ<90) sebesar 73%. Nilai rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES secara berurutan adalah 85,02 ; 84,37 dan 83,11. Hasil korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, IMT dan kadar hemoglobin terhadap IQ total secara berurutan r=-0,029; r=-0,063; r=0,03; r=0,014; r=0,108 dengan P>0,05). Proporsi marker autoantibodi APS terhadap IQ verbal, IQ performa dan IQ total dibawah rata-rata dibandingkan rata-rata tidak berbeda bermakna secara berurutan p=0.18; p=0,57; dan p=0.854. Kesimpulan: Rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES di bawah nilai normal. Lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, marker autoantibodi APS, IMT dan kadar hemoglobin pada LES tidak memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual.
Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic systemic autoimmune disorder that can involve central nervous system resulting in neurocognitive disorder that affect the level of intellectual intelligence. Various biological markers associated with LES can influence neurocognitive function. Objective: This study was conducted to determine the level of intellectual intelligence of children with LES and the factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted on 62 children aged 7-18 years with SLE by consecutive sampling from September to December 2019. The level of intellectual intelligence was determined by the Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV with an Intelligence Quotient (IQ) level. Correlation of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, body mass index (BMI) and hemoglobin level to IQ was analyzed by Spearman test. Bivariate analysis autoantibody markers of antiphospholipid syndrome (APS) on IQ was performed with Chi Square test. Result: The prevalence of IQ below average (IQ < 90) was 73%. Mean value of verbal, performance and full IQ were 85.02 ; 84.37 and 83.11,respectively. The correlation results of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, BMI and hemoglobin level werent statistically significant to full IQ respectively (r =-0,029; r=-0,063; r=0.03; r=0.014; r=0.108 with p>0.05). The proportion of autoantibody markers of APS to verbal, performance and full IQ below average compared to average didt significantly difference (p=0.18; p=0.57; p=0.854, respectively). Conslusion: Average of verbal, performance and full IQ in children with SLE is below normal level. Neither duration and activity of disease, cumulative dose of steroid, autoantibody markers of APS, BMI nor hemoglobin level are correlated to intellectual intelligence in children with SLE
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
Abstrak :
Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES. Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS. Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis. Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik. Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.
Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients. Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS. Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records. Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value. Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>