Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nobi Asshofa Zen
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kiprah Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme dalam memperjuangkan hak masyarakat terkait kesetaraan sebagai penduduk sekitar pertambangan PT Freeport Indonesia khususnya suku Amungme di wilayah Mimika sepanjang tahun 1994-2001. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber yang digunakan adalah arsip dan koran sezaman, serta buku, artikel, jurnal, tesis dan disertasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan terutama studi sejarah sosial di Indonesia bagian timur. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan di wilayah Mimika, terkait persoalan-persoalan mengenai keberadaan pertambangan Freeport.
ABSTRACT
This thesis discusses the movement of Amungme Indigenous Consultative Organization in the fight for equality rights of the peoples as residents around Freeport Indonesia Company, particularly Amungme in Mimika region throughout the year of 1994 2001. This research conducted using the historical method, which are heuristic, criticism, interpretation and historiography. Sources used are archival and contemporary newspapers, as well as books, articles, journals, theses and dissertations. This research is expected to contribute to knowledge, especially the study of social history in eastern Indonesia. This research is also expected to be used in public policy making for Mimika region, related to issues concerning the existence of the Freeport mining.
2017
S66811
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Everyday in my mind and my prayer, i always ast to god why he created beautiful mountains in the land of Amungme? is it because that beauti and richer with mine makes Freeport...
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Everyday in my mind my prayer. I always as to god why he created beautiful mountains in the land of Amungme? Is it because that beaty and richer with mine makes freeport company ABRI (military), government and others come here to explore for their own advantage and leave for our suffering? ...
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Wijaya
Abstrak :
ABSTRAK
Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda pada satu lokasi yang berdampingan akan menimbulkan kesenjangan, baik kesenjangan sosial, ekonomi maupun, politik. Kesenjangan yang diakibatkan oleh kerangka berpikir (frame of references) yang berbeda mengakibatkan komunikasi yang tidak dua arah. PT. Freeport Indonesia dengan budaya inovator dan masyarakat Amungme serta Kamoro yang tradisionil mengalami hambatan dalam berkomunikasi yang lancar Frame of references yang membentuk persepsi pada masa lalu akan mungkin muncul kembali dikemudian hari untuk menginterpretasikan peristiwa yang hampir sama (Erwin P Bettinghaus,1987) Hal ini menjelaskan kerusuhan sosial yang sering terjadi di Mimika.

Pentingnya komunikasi tersebut baik pada masyarakat tradisionil yang menekankan komunikasi lisan (J.L. Fischer,1973) dan arti komunikasi pada masyarakat kapitalis yang demikian penting (Jurgen Habermas, 1970) Serta karakteristik komunikasi tertulis dari budaya birokrasi (Max Weber, 1943) menuntut Suatu pendekatan manajemen komunikasi dan Strategi komunikasi agar terjadi Suasana harmonis dan derap maju bersama dari tiga perbedaan yang ada.

Dengan pendekatan kualitatif Serta didukung wawancara pembicaraan informal dan wawancara baku terbuka pada pihak yang berkepentingan dan kompeten juga kajian literatur maka pemgumpulan data dan analisis dapat dilakukan. Keterbatasan penelitian mengakibatkan data yang didapat tidak dilengkapi dengan data primer.

Hasil temuan Studi ini menekankan pentingnya lembaga independen yang dapat dipercaya untuk menjembatani berbagai macam kepentingan yang berbeda. Strategi komunikasi yang disusun dibagi dalam tiga periode yaitu periode jangka pendek jangka menengah dan jangka panjang dengan tujuan yang berbeda dan khalayak yang berbeda pula untuk masing-masing periode.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk melihat penyebab dan gambaran prasangka yang dimiliki anggota suku Amungme terhadap karyawan pendatang dan PT Freeport Indonesia (PTFI) ditinjau dari cognitive balance theory menurut Heider (1958). Suku Amungme memiliki nilai- nilai kepercayaan tertentu mengenai hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek rnoyang, dan manusia dengan alam. Nilai kepercayaan tersebut merupakan elemen kognitif yang penting bagi suku Amungme. Dengan masuknya PTFI ke Tembagapura, Papua, pada bulan April 1967, diasumsikan bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PTFI tersebut dapat mengganggu nilai-nilai kepercayaan tersebut dan pada gilirannya dapat timbul prasangka pada orang Amungme terhadap PTFI dan karyawannya yang hampir semuanya pendatang. Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi terhadap subjek. Analisis yang digunakan adalah analisis intra dan antarkasus. Dari hasil penelitian diketahui, sebagian besar subjek tidak berprasangka terhadap karyawan pendatang maupun PTFI. Walau demikian, ada satu subjek yang berprasangka terhadap karyawan pendatang dan tiga subjek berprasangka terhadap PTFI. Ditinjau dari teori cognitive balance, semua prasangka tersebut timbul dari ketidak seimbangan kognitif karena adanya gangguan terhadap kepercayaan suku Amungme dalam hal hubungan-hubungan antar manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan roh nenek moyangnya. Pada gilirannya, prasangka itu menimbulkan stereotip yang makin memperkuat prasangka lagi. Sumber gangguan ada beberapa jenis, mulai dari masalah pribadi (tidak diterima kerja), sampai masalah kepercayaan (PTFI merusak alam). Namun, pengaruh agama Kingmy (guna menghormati perjanjian antara suku Amungme dengan PTFI) bisa juga menjadi elemen kognitff baru yang justru menghilangkan ketidak seimbangan kognitif, pada salah satu subyek, sehingga tidak menimbulkan prasangka pada dirinya.
Jurnal Psikologi Sosial, Vol.12 (No.3) Mei 2006: 217-230, 2006
JPS-12-3-2006-217
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dumatubun, Agapitus Ezebio
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang masalah adalah, bahwa setiap program pembangunan yang direalisir pada orang Amungme masih banyak menunjukkan kurangnya peranserta aktif mereka. Timbul pertanyaan: Mengapa orang Amungme kurang berperanserta aktif dalam pembangunan ? Tulisan ini berusaha mengungkapkan pertanyaan tersebut dengan menunjukkan adanya perbedaan antara pola pembangunan yang ada dengan pola tradisional orang Amungme. Menurut peneliti perbedaan ini terletak pada perbedaan persepsi peranserta dan jenis peranserta orang Amungme dengan persepsi pelaksana pembangunan. Lebih lanjut peneliti mengungkapkan bahwa perbedaan itu terwujud dalam hubungan antara pola program pembangunan dengan aspek kekuasaan dalam keluarga, kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Studi ini berupaya mendeskripsikan, mencari, menjelaskan sistem peranserta, kepemimpinan, kekuasaan dan pengambilan keputusan orang Amungme. Analisa dilakukan secara kualitatif. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui teknik observasi langsung dan partisipasi serta wawancara. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, dan wawancara terbuka dilakukan juga terhadap berbagai orang dan pada berbagai kesempatan. Selain pengumpulan data di lapangan, dilakukan juga di perpustakaan dan lembaga-lembaga terkait di Irian Jaya dan Jakarta. Berdasarkan hasil analisis data lapangan, peneliti menemukan bahwa persepsi peranserta dalam pembangunan menunjukkan perbedaan. Persepsi peranserta orang Amungme dalam pembangunan lebih mengarah pada wujud gotong royong tolong menolong dalam berbagai aktivitas hidup yang dinyatakan dengan suatu perhitungan secara tajam dan spontanitas berdasarkan kategorisasi kegiatan. Sedangkan persepsi peranserta pelaksana pembangunan lebih mengarah pada upaya keterlibatan aktif penduduk dalam pengambilan keputusan, pengalokasian kebijaksanaan, dan distribusi serta implementasi perencanaan. Di sini dituntut bahwa orang Amungme harus terlibat dan memelira serta mengembangkan program pembangunan sebagai bagian untuk mereka. Dalam pelaksanaan, pelaksana pembangunan lebih banyak menerapkan bentuk kekuasaan paksaan atau coercive power. Dikaitkan dengan kekuasaan secara tradisional pada orang Amungme yang masih menerapkan bentuk kekuasaan konsensus atau consensual power, menujukkan adanya perbedaan. Selain itu peranan Me-ki sebagai pemimpin tradisional dalam pengambilan keputusan, kurang memainkan peranan penting. Kepala desa serta istrinya lebih banyak memainkan peranan dalam pengambilan keputusan. Akibat perbedaan tersebut di atas, maka orang Amungme kurang berperanserta aktif dalam segala program pembangunan yang direalisir.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muridan Satrio Widjojo
Abstrak :
Di bawah tekanan kondisi obyektif keberadaan PT Freeport Indonesia, program pembangunan pemerintah, dan juga operasi militer TM di wilayah Amungme sejak 1967 dan 1970-an, Amungme berjuang untuk mempertahankan keberadaan dan memperoleh pengakuan dari internal Amungme maupun dari pihak luar. Sebelum Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) berdiri pada 1994 perjuangan Amungme bersifat spontan individual. Kalau pun dalam kelompok sifatnya tidak terorganisasi. Strategi-strategi yang diterapkan secara dominan didasarkan pada habitus tradisional Amungme dan hasilnya justru lebih banyak merugikan Amungme. Sejak akhir 1980-an lapisan terdidik Amungme yang berdomisili di Timika dan Jayapura berinisiatif membuat lembaga adat, yaitu LEMASA yang berdiri pada 1994. Dalam perjuangannya memperoleh modal simbolis yakni pengakuan dan legitimasi baik secara internal maupun eksternal, Amungme memperbaharui dan memanfaatkan "adat" untuk membangun lembaga berbasis suku bangsa yang terbukti mampu mempersatukan dan memperjuangkan kepentingan Amungme. Solidaritas Amungme dapat dibangun kembali dan konflik berplatform separatis digeser menjadi masalah hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Dalam hubungannya dengan pihak luar Amungme membuka diri dan bekerjasama dengan pihak luar. Kemampuan Amungme untuk selalu mengembangkan strategi barunya diuntungkan oleh sejumlah unsur di dalam habitus habitus tradisional Amungme yang menempatkan pengetahuan dan kearifan sebagai nilai tertinggi serta terbuka pada kerjasama dengan pihak lain.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Tebay
Abstrak :
Salah satu masalah lingkungan Sosial yang dihadapi oleh PTFI ialah bagaimana memindahkan masyarakat Amungme dari Kampung Waa yang letaknya hanya 8 Km dari Kota Tambang Tembagapura ke Desa Harapan Kwamki Lama dan Masyarakat Kamoro Subsuku Nawaripi dari Kampung Kali Kopi ke Desa Nayaro, Kecamatan Mimika Baru, untuk menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat pengelolaan PTFI. Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua bekerjasama dengan PTFI untuk memindahkan masyarakat Amungme dan Kamoro dari lokasi lama ke lokasi pemukiman yang baru dengan tujuan, di samping menghindari kemungkinan terjadinya bahaya, agar mereka dekat dengan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi sehingga dapat melepaskan kebiasaan ladang berpindah, berburu, meramu, dan bergantung pada kemurahan alam dan berpenghasilan menetap. Dengan demikian ada perbaikan mutu kehidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan. Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud pada masyarakat Amungme, karena Bapak Kepala Suku Tuarek Natkime beserta para pengikutnya sejak awal tidak ikut pindah ke lokasi yang baru. Hal ini disebabkan karena menurut kepercayaan orang Amungme daerah kawasan tengah sampai kawasan pantai adalah kawasan yang terlarang, daerah pamali, tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya karena di kawasan inilah terdapat alat kelamin vital Ibu Amungme, yang selalu menyusui dan memberi mereka kehidupan. Daerah ini enak untuk dilihat karena panoramanya yang indah tetapi tidak untuk dihuni, hanyalah tempat untuk cari makan. Bila melanggar maka resikonya adalah mara bahaya, sakit malaria, dan berbagai macam penyakit panu, kurap, kadas, sipilis, aids, dan lainnya. Yang pindahpun bertahan selama bantuan Pemerintah dan PTFI masih mengalir. Setelah terhenti, sebagian lagi kena penyakit malaria dan mati, sebagian lagi karena takut kena konfrontasi antara TNI dan Gerakan OPM pada tahun 1977, mereka semua melarikan diri ke lokasi lama. Kemudian hanya sebagian kecil kurang lebih 12 KK yang kembali ke pemukiman baru pada tahun 1980. Memang disadari bahwa pemindahan masyarakat dari kawasan pegunungan ke kawasan tengah atau pesisir pantai membutuhkan daya adaptasi di lingkungan yang baru, apalagi secara budaya daerah ini dianggap sebagai daerah terlarang (pamali). Perbedaan iklim, jenis lahan pertanian, lingkungan alam dan sosial menjadi hambatan. Melalui penelitian ini ingin diketahui: 1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro yang berkaitan dengan upaya pemukiman kembali. 2. Pola adaptasi di lokasi yang baru. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola adaptasi tersebut. Sasaran penelitian adalah masyarakat Amungme dan Kamoro yang berada di lokasi lama maupun yang baru. Dalam penelitian ini diajukan dua hipotesis yaitu: 1. Keterikatan kepada leluhur, tingkat pendidikan, usia, dan penghasilan tidak berpengaruh terhadap pola adaptasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Amungme dan Kamoro dalam menghadapi perubahan lingkungannya. 2. Kegiatan PTFI tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan kelima fungsi sosial lingkungan hidupnya dan penyesuaian diri masyarakat Amungme dan Kamoro. Yang menjadi responden penelitian ini adalah para Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM baik yang ada di lokasi lama maupun lokasi yang baru sebanyak 84 orang. Data diperoleh melalui wawancara berstruktur, menggunakan kuesioner, wawancara mendalam melalui tokoh-tokoh: Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM yang ada di lokasi lama dan lokasi yang baru serta pengamatan di lapangan. Data sekunder di peroleh dari DSRID PTFI, dan berbagai lembaga Pemerintah di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua. Sikap dan pola adaptasi masyarakat Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali dianalisis dengan membandingkan keteguhan melaksanakan upacara adat, pendidikan, usia (tua/muda), dan tingkat penghasilan di pemukiman lama dan baru. Pola adaptasi masyarakat juga dianalisis ada-tidaknya kegiatan PTFI yang telah menimbulkan dampak lingkungan yang pada gilirannya mendorong masyarakat Amungme dan Kamoro untuk menyesuaikan diri kembali terhadap perubahan ke lima fungsi sosial lingkungan hidupnya. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan jawaban para responden terhadap dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah: 1. Yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap warga Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali di Desa Harapan Kwamki Lama dan Desa Nayaro, ialah: a, keterikatan yang cukup kuat terhadap leluhur yang ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Para kepala keluarga yang kembali terbukti secara signifikan lebih terikat kepada leluhur. b. pendidikan formal kepala keluarga terbukti ikut mempengaruhi sikap mereka terhadap pemukiman kembali; Artinya kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal (walau hanya sampai kelas III SD) cenderung menerima upaya pemukiman kembali dan menetap di lokasi baru. 2. Adaptasi warga Amungme dan Kamoro di Kwamki Lama dan Desa Nayaro lebih cepat terjadi pada aspek sosial ekonomi dari pada budaya kebersihan lingkungan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh: a. perubahan pola pertanian dari pola subsistem ke tingkat produksi untuk pasar, perubahan pola pemanfaatan waktu luang dengan mencari penghasilan tambahan. Dengan demikian pendapatan rata-rata perkapita warga Amungme dan Kamoro di Desa Kwamki Lama dan di Desa Nayaro mengalami peningkatan hampir 75% di bandingkan dengan warga Amungme di lokasi lama. b. perubahan makanan pokok sudah terjadi pada warga masyarakat Amungme dan Kamoro dengan menganggap nasi adalah makanan pokok ideal. Walau pun dalam kenyataan sebagian besar masih memakan umbi-umbian, karena keterbatasan keadaan ekonomi. c. perubahan bentuk rumah, dapat dilihat dari rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen, artinya mereka sudah meninggalkan bentuk rumah bulat dan panggung (inokep) dari lokasi lama. d. budaya kebersihan lingkungan di lokasi baru belum di terima. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan yang masih membudaya pada masyarakat Amungme dan Kamoro di lokasi baru yaitu membuang hajat tidak di MCK. 3. Pelaksanaan upacara-upacara ritual oleh warga Amungme dan Kamoro dapat di kelompokkan atas dua kategori yaitu: a. upacara yang masih sering dilakukan yaitu upacara "Perang", "Perdamaian", "Pembayaran Kerugian Perang", "meminta kesuburan ", "kesejahteraan , "Kekayaan ", "Ibodewin ", dan "Hai". Kemudian "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Ti: Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Sikap terhadap pelaksanaan upacara tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia dan penghasilan. Mereka yang berusia lanjut dan berpenghasilan lebih baik, memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara. Dalam hal ini terlihat bahwa upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial di samping fungsi sarana "penghubung" dengan leluhur, selain sebagai media pertemuan antar kerabat, baik yang ada di Waa maupun Kwamki Lama dan Nayaro. b. upacara yang sudah mulai ditinggalkan yaitu upacara perang, pembayaran kerugian perang, ibodewin dan Hai pada masyarakat Amungme dan upacara kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Upacara-upacara perang, perdamaian, pembayaran kerugian perang, ibode win dan hal pada masyarakat Amungme sudah mulai ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan pada masyarakat Kamoro lainnya seperti rumah bujang dilarang oleh Belanda dan sudah hilang secara total, dan Heni Tarapao, Qfo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao mulai hilang karena tambelo yang biasanya dipergunakan dalam upacara adat ini mulai punah akibat pencemaran air limbah oleh PTFI. Di sisi lain upacara ini sudah mulai ditinggalkan karena sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sosial ekonomi, pendidikan formal, faktor usia, dan penghasilan warga Amungme dan Kamoro di lokasi yang baru. Artinya para kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal, berusia muda, dan penghasilan lebih baik mempunyai kecenderungan meninggalkan tradisi tersebut. Sebagai pengakuan hak ulayatnya jumlah dana rekognisi yang di alokasikan adalah dana 1% untuk 7 suku dan dana perwalian sebesar 500 ribu dollar Amerika setiap tahun selama 25 tahun diberikan kepada suku Amungme (masyarakat di kawasan pegunungan). Sedangkan Suku Kamoro atas alih fungsi lahan 5000 hektar dusun sagu, tempat berburu, sungai sebagai tempat cari ikan, (kehilangan sungai, sampan, dan sagu) diberikan dana Rekognisi sebesar 25 Juta dollar Amerika selama 5 tahun yaitu mulai tahun 1998 - 2003 nanti. Walau pun mendapat pengakuan hak ulayat masyarakat adat namun masih dipermainkan oleh pihak ketiga. Sedangkan kerugian yang diderita tak ada bandingannya dengan nilai uang sebesar itu sehingga tak dapat menutupi segala kerugian yang dideritanya akibat pengelolaan PTFI. Kalau ada bandingan jika disediakan Dana Abadi bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung untuk sekian generasi yang akan datang. Implikasi Penelitian 1. Di lokasi yang baru (Di Desa Harapan Kwamki Lama maupun di Desa Nayaro) warga Amungme dan Kamoro merasa diri "tidak aman" akibat pelayanan di segala sendi kehidupan yang mereka peroleh terutama perlakuan dari aparat keamanan di PTFI maupun operasi DOM dari TNI dan POLRI, dan Pemerintah. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghilangkan kesan ini demi suksesnya upaya pemukiman kembali oleh PTFI, Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua. 2. Membiarkan warga Amungme tetap di lokasi lama, mengingat mereka lebih memiliki falsafah kearifan lingkungan, dengan menganggap alam bagaikan seorang Ibu yang memberi makan, dan menyusui mereka setiap saat tanpa kenal lelah. 3. Untuk menghindari perusakan lingkungan, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang kebiasaan bertani secara menetap, berladang dengan Cara terrasering, memakai pupuk alam, bibit unggul, dan penghijauan kembali lahan-lahan yang pemah diolah. 4. PTFI telah memberikan program REKOGNISI untuk menjamin keberhasilan penduduk setempat memelihara, meningkatkan kesejahteraan, dan kemampuan penduduk untuk mengembangkan pola-pola adaptasi (Strategic Behavior). Perubahan pada fungsi lingkungan yang drastis menuntut pengembangan strategic behavior maupun adaptive behavior secara perorangan maupun kolektif dengan mengembangkan ketrampilan dan keahlian kerja di luar sektor tradisional. ......Environmental Changes Within The PT. Freeport Indonesia Mining Area (Studi of Adaptation Amungme community resettlement to Harapan Kwamki Lama regency and Kamoro community resettlement to Nayaro regency, District Mimika, Papua Province)The expansion of wasteland environmental sosial issues changes and disturbance of the PTFI is how to Amungme community resettlement at Kwamki Lama villages and Kamoro community resettlement at Nayaro villages in the middleland probably antisipation changes impact from PTFI operation area. This is an important issue in environmental problem management. Depsos, Depnakertrans, and Governor Papua Province joint with PTFI for Amungme and Kamoro community resettlement a new location in middleland Kwamki Lama and Nayaro. Purpose is antisipation to probably pra accident near the central economic development, and the lost of semi nomads community from the highlands to the middleland which changes their way of living as nomade communities into permanent settlers. It is hoped, that as middleland settlers they would changes their method of slash and burn of into modern agriculture, and central economic development. In reality, Mr. Tuarek Natkime, Kepala Suku Amungme and several community people to choose to the still live in Waa village, because their believed one place (Danau Wanagon) is holy place and middle place until lowland place is bad place, many of them went back to their, former settlement during the first phase of the government's resettlement program, because they could not adapt their way of life to the new environmental conditions at the New location. Differences in climate, conditions of farmsland and social environment make it hard for them to adapt their way in the new settlement. Their considerat resettlement community from highland to middleland, theirs need adaptation in the new environment, because culture community people this place is bad condition area. This research was held with several objectives: 1. Factors that influence the attitude of the resettled community to wards the settlements project. 2. The adaptation patterns in their new location 3, Factors that influence the adaptation patterns Respondents were chosen numbering of 80 family heads, from the Amungme 40 family heads and 40 family heads from Kamoro. Primary data for this research were obtained by questionaires, next to depth interviews with the community leaders as Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Government, and LSM in both locations. Secondary data were obtained from the OSTRID, PTFI, LEMASA, LEMASKO, District Mimika, and Papua Provincial Government Publications. Research hypothesis that were tested in this research, were: 1. The bond between the resettled population and their ancestors, the level of formal education, age, and income factor not influence on the adaptation pattern, social, economic, and culture to the Amungme and Kamoro community in to face in the changes environment. 2. The activity PTFI operations have not grown environmental impact to motivate community some time to adapt to the changes social environment function. The member's attittude of both Amungme and Kamoro communities to wards the resettlement program were analyzed by comparing the upper Amungme and Kamoro community with the middle Amungme and Kamoro community in consistency of performing their traditional rites, level of educations and age. Analysis were made by The Sign Tests Statistics, with two independent samples. Research findings 1. Positive influence as factor in attittude formation for decision to resettle at Kwamki Lama and Nayaro: a) Strong bond between respondents and their ancestors was the primar influencing factor for the community member to return to their old settlement. b) Family Head's formal education has a strong correlation with decision to resettle. There were tendencies, that the family's head who went to the primary school could receive the resettlement program and therefor moved to Kwamki Lama and Nayaro 2. Adaptation of the middle Amungme dan Kamoro community was faster in socio-economic aspects than in cultural aspects especially at the environmental hygiene. These findings were concluded from: a) The average per capita incomes were higher 75% for the middle Amungme and Kamoro community much than the average incomes for the upper Amungme and Kamoro community 50%. Income was raised by changing agricultural technology from subsistence practices to the market production approach. Their spare time was also used more effectively used by doing labour jobs at the local market outside the Waa and Kali Kopi villages. b) Change also happened at their staple food composition. The middle Amungme and Kamoro community had chosen rice as their main staple food, instead of sweetpotatoes, cassava and taro. Only lack of money, forced members of the Amungme and Kamoro community to choose non-rice as their main staple food. c) Changes also took place at their house's construction form. The middle Amungme and Kamoro community has expanded their rowhouses, rather than restored into their traditional houses. d) The habit to make cleanliness as part of their way of life was still not accepted. The middle Amungme and Kamoro community still did not use the latrines. 3. Performance of traditional rites can be categorized into two classes: a) Traditional rites are still performed as usual, such as: "war", "peace", "paying to loss war", "to request to propose richness", "successful", "riches", "Ibodewin", "Hai", from Amungme community and "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao from Kamoro community. Age and Income of family heads had stronger correlation with attitude in performing those rites than level of education. b). Old age and better income in the Amungme and Kamoro Community were strong reasons for following those rites. These rites have social and spiritual meaning for them apart from fuel filling social functions of social; gathering meeting the upper Community relations. c) Abandoned traditional rites, such as "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" from Amungme community and "kware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" from Kamoro community., because these rites were not compatible with the new way of life as a result of the resettlement program, and not relevant with the present. The missing mollusca Tambelo to begin exterminated the impact from PTFI operation. Level of education, age and income have strong association with attittude in performing the "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" and "kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" rites. Young family's heads have stronger tendencies in abandoning the "ceremonys" rite. Research Implications 1. The middleland Amungme and Kamoro Community at Kwamki Lama and Nayaro, felt that they belong into the category of "underprivileged", because of the less attention given to them, compared to other ethnic group of the same village. Thus, the village officials need to change their attittude in this respect, to ensure success of the resettlement program. 2. The allocated land to the original group, was not calculating the high birt rate after resettlement. In this case, a solution must be formed to solve the land problem to ensure economic progress of the resettlement program. It is also hoped, that the Upper Amungme community would become attracted to be resettled at Waa village. 3. Another option is to let care the Upper Amungme and Kamoro community live at Kwamki Lama and Nayaro into new function such as managers of the forest ecosystem. To ensure that the environment won't be harmed, the Government can educate them with proper knowledge in agricultural methods. 4. Recognitive have to supported from the Freeport Indonesia company but cannot be abble to succesfully community in increase their living such as calculate from Government, FTFI Company, NGO's, without develop strategic behavior from community. Because drastis changes to environmental function to demand individual although collective developing strategic behavior and adaptive behavior with developing skill, and training programme the another traditional sector.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Auri, Nikanor
Abstrak :
Kemerosotan lingkungan hidup Etnik Amungme dan Kamoro dalam tiga dimensi lingkungan hidup manusia, yaitu kemerosotan Lingkungan AIam/Fisik, Kemerosotan Lingkungan Budaya, dan Kemerorosotan Lingkungan Sosial, mengindikasikan adanya distorsi pembangunan di Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Kemerosotan lingkungan alam/fisik suku Amungme dan Kamoro, berupa : Pertama, terlenyapkannya puncak-puncak gunung (ErtsAerg, dan Grasberg), perubahan bentangan alam, adanya terowongan di dalam beberapa puncak gunung. Kedua, terjadinya longsoran, pecahnya danau Wanagong dan tercemarnya air danau Wanagong oleh air asam tambang, serta tercemamya air permukaan maupun air tanah. Ketiga, tercemarnya air sungai Wanagong, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan kali Kopi oleh tailing penambangan bijih dari pabrik pengolahan dan dibuang Iangsung ke sungai-sungai tersebut. Dan Keempat, penyempitan lahan sebagai ruang hidup serta penyangga kehidupan warga suku Amungme dan Kamara masa kini, maupun generasi mereka masa depan. Kemerosotan lingkungan budaya etnik Amungme dan Kamoro, terwujud dalam tiga hal, Pertama, goncangan Kosmologi suku Amungme dan Kamoro, Kedua, Kekaburan Penghayatan diri Amungme dan Kamorowe dengan Lingkungan Hidup, dan Ketiga, Kearifan Lokal (Local Wisdom) : Modal Pembangunan Altematif yang Terkacau-balaukan. Kawasan puncak-puncak gunung (ninggok), dijadikan kawasan proteksi dengan menjadikannya sebagai daerah keramat. Kawasan yang ramah untuk ditinggali dan dihuni serta kaya dengan sumber daya alam untuk kehidupan mereka (Menomarin) dijadikan kawasan ekonomi. Kawasan dataran rendah (Onisa), dimana mereka tidak terbiasa hidup dan menemukan banyak kesulitan dijadikan daerah penyangga antara kehidupan mereka dengan pihak luar. Local wisdom ini sangat sesuai dengan konsep pengelolaan lingkungan hidup modem yang kits pelajari saat ini, namun telah dikacaubalaukan, berkenaan dengan kehadiran PT. FIC. Penggambaran struktur, lingkungan dan tatanan sosial suku Amungme maupun Kamoro sebelum kehadiran PT. FIC dan setelah kehadirannya, memperlihatkan suatu fenomena perubahan sosial, yakni perubahan pada struktur sosial maupun fungsinya yang menata pola-pola interaksi antar individu dalam lingkungan sosial keluarga, individu dengan sesama anggota dan, dan individu dengan sesama anggota phratry, maupun individu dengan sesama anggota moiety. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang tidak terarah, alias perubahan sosial dan budaya yang kacau-balau dan membawa petaka berkepanjangan dalam kehidupan mereka. Berhubung hasil-hasil penelitian dan diagnosis teoribsnya mengukuhkan asumsi yang mendasari penelitian ini, yakni "adanya distorsi pembangunan dan kemerosotan lingkungan hidup Etnik Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika-Papua", maka saran-saran yang dikemukakan penulis dalam rangka mewujudkan pembangunan yang tidak menyimpang adalah sebagai berikut : 1. Transformasi Paradigma Pembangunan Menyadari kelemahan paradigma Growth Centre , yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas nilai manusia dan lingkungan, maka transformasi paradigma Growth Centre ke People Centre Development tidak dapat ditawar lagi.Transformasi paradigma pembangunan clan sberpugit pertumbuhan ke berpusat manusia menaruh perhatian penting pada model pembangunan yang mensinkronisasikan pembangunan yang memfokuskan perhatian kepada peningkatan kualitas hidup manusia, keberlanjutan ekologi, dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dalam pembangunan yang terfokus pada manusia, didalamnya juga terkandung unsur partisipasi rakyat, lntegrasi sosial, otonomi personal serta komunitas, demokratisasi dan Ham, pemberdayaan dan multikultur. 2.Transformasi Arti "Pembangunan" Redefrnisi Pembangunan, Menyadari adanya pendangkalan makna "pembangunan" yang sesungguhnya (meaningful!) sebagaimana yang berkembang dalam paradigma pertumbuhan ekonomi, maka definisi pembangunan yang lebih berorientasi kerakyatan, mengartikan pembangunan sebagai proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber-sumber daya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dalam kualitas hidup yang sesual dengan aspirasi mereka, periu dianut dan diterapkan. Berarti, perlu transformasi konsep pembangunan yang semata-mata memaknai "pembangunan" sebagai pertumbuhan ekonomi, atau lndustrialisasi, termasuk modernisasi bahkan westernisasi, menjadi suatu proses perubahan yang lebih berorientasi pada peningkatan Kapasitas perorangan dan institusional, atau yang lebih dikenal dengan konsep "people centre development?. Kapasitas perorangan yang dimaksud disini ialah kapasitas/kemampuan manusia, sedangkan institusional bukan organisasi atau lembaga, tetapi adanya pranata-pranata, nilai-nilai dan norma-norma budaya yang tahan lama dan menata sikap, perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam suatu masyarakat atau komunitas. 3. Transformasi Indikator Keberhasilan Pembangunan Upaya terfokus pada pembangunan manusia memunculkan paradigma baru pembangunan manusia yang diukur dengan menggunakan Human Development Index (HDI). Munculnya index pembangunan manusia ini bukan berarti mengesampingkan peran indikator makro ekonomi seperti GNP/PDRB, tetapi justru sebagai upaya menterjemahkan peningkatan GNP/PDRB tersebut kedalam pembangunan manusia. Pergeseran kebljaksanaan pembangunan provinsi Papua yang menempatkan pembangunan manusia Papua sebagai prioritas utama, sebagaimana tertera didalam tisi pembangunan provinsi Papua : "Mewujudkan Orang Papua Menjadi Tuhan di Negerinya , sangat membutuhkan alat ukur baru. HDI atau Index Pembangunan Manusia (IPM) merupakan jawaban untuk keperluan itu dengan konsep pembangunan manusianya. Apalagi telah muncul reaksi penolakan terhadap indikator keberhaslian pembangunan yang semata-mata didasarkan pada GNP/PDRB suatu wilayah karena indikator dimaksud sesungguhnya belum menggambarkan keadaan kualitas manusia yang telah dicapai melalui suatu proses pembangunan. HDI/IPM mencakup tiga dimensi pembangunan manusia yang dianggap memiliki nilai strategis. Ketiga dimensi itu adalah (1) longevity/usia hidup, (2) knowledge (pengetahuan), dan (3) decent living (standard hidup layak). Tidak cukup disini, HDI/IPM terns menerus mengalami pergeseran seiring dengan tuntutan keadaan masyarakat yang disponsori oleh IJNDP, yaitu dengan adanya penambahan tiga dlmensi baru menurut model UNDP dalam Humman Development Report, 1993 (Britha Mikkelsen 2001), yakni (4) Human Freedom Index (Index Kebebasan Manusia) yang diukur dengan Political Freedom Index (Index kebebasan Politik) termasuk Kepekaan Gender, (5) Dimensi Nilai-Nilai Budaya, dan (6) Dimensi Kesinambungan Lingkungan. Jelas bagi kita bahwa usaha terus-menerus untuk memperbaiki HDI agar iebih jelas menggambarkan situasi kehidupan yang nyata, yakni dipertimbangkannya kebebasan politik, faktorfaktor budaya dan kepekaan terhadap lingkungan merupakan upaya terfokus yang lebih peka dalam menggambarkan situasi pembangunan manusia yang lebih obyektif dan relevan dengan visi maupun prioritas program pembangunan di provinsi Papua.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library