Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atagoran, Teresa Catharina Boi
"Wali sebagai pelaksana kekuasaan orang tua terhadap anak memiliki peran
yang signifikan dalam tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Namun jika pada
kenyataannya perwalian tidak berjalan sebagaimana mestinya, wali dapat dicabut
oleh Pengadilan setempat. Masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
pengertian dan pengaturan mengenai anak, perwalian, perbandingan pengaturan
pencabutan perwalian antara Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, serta perbandingan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor
302/Pdt.G/2012/PN.Mdo dengan ketentuan pencabutan perwalian dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan metode
analisa data kualitatif. Perbedaan antara pengaturan pencabutan wali dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali adalah lebih spesifiknya
pemohon pencabutan wali, yakni orang tua atau badan hukum atau orang yang akan
ditunjuk sebagai wali serta alasan-alasan pencabutan wali yang lebih mendetail dan
ada beberapa alasan baru, yakni wali melalaikan kewajibannya, wali tidak cakap
melakukan perbuatan hukum, menyalahgunakan kewenangan sebagai wali,
melakukan tindak kekerasan terhadap anak yang ada dalam pengasuhannya, dan
orang tua dianggap telah mampu untuk melaksanakan kewajibannya. Pertimbangan
hakim dalam Putusan Nomor 302/Pdt.G/2012/PN.Mdo seharusnya merujuk pada
Undang-Undang Perkawinan sebagai dasar hukum pencabutan wali, namun
keputusan hakim dalam kasus ini tetap tepat, karena hakim mempunyai wewenang
untuk menggali nilai keadilan dalam masyarakat, yang dilakukan dengan cara
mempertimbangan pendapat anak yang berada dalam perwalian. Alasan pencabutan
wali, prosedur pencabutan wali dan penunjukan wali baru dalam kasus ini telah
sesuai dengan ketentuan pencabutan wali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Solahuddin
"Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung memiliki konsekuensi adanya dua pihak yang terlibat dalam pemungutan pajak, yaitu penjual sekaligus menjadi pemungut pajak, sedangkan pembeli adalah pembayar pajak. Jika pembeli tadi masih dalam mata rantai maka suatu saat akan bertindak sebagai penjual (pemungut pajak) demikian terus mekanisme berlaku sampai penaggung pajak yang sesungguhnya adalah konsumen akhir. Ada pengecualian yang dilakukan dengan penunjukkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN. Dalam mekanisme yang lazim, maka penjual adalah pihak pemungut PPN, namun jika yang menjadi pembeli atau pengguna jasa adalah pemerintah, maka bendaharawan pemerintah yang memungut PPN. Pengecualian ini dimaksudkan untuk menjamin masuknya Pajak ke kas negara dengan lebih lancar.
Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan PPN menghendaki adanya bukti yang akurat tentang pemungutan pajak. Alat bukti adanya transaksi yang harus dipungut PPN adalah Faktur Pajak. Pada transaksi kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN, faktur pajak harus dibuat paling lambat pada saat dibuatnya tagihan/invoice. Dalam praktiknya Wajib Pajak yang melakukan pekerjaan/proyek dengan pemerintah, baik yang pembiayaannya dari pinjaman atau hibah luar negeri maupun dari APBN murni, pada saat melakukan penagihan kepada bendaharawan selalu membuat commercial invoice dan membuat faktur pajak dengan mengosongkan atau tidak mencantumkan tanggal faktur pajak, karena nanti akan diberikan tanggal pada saat tagihan tersebut dicairkan. Sementara tenggang waktu antara penagihan dengan pencairan tagihan biasanya memakan waktu yang cukup lama.
Masalah dalam penelitian ini yaitu apa latar belakang dikeluarkannya tata cara pembuatan faktur pajak? Bagaimanakah Implikasi dikeluarkannya ketentuan mengenai faktur pajak? Bagaimanakah cara mengantisipasi permasalahan pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Alternatif-alternatif kebijakan yang bagaimanakah yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan faktur pajak bagi pengusaha kena pajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Metode penelitian yang digunakan adalah metode diskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana pengawasan faktur pajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.

Value Added Tax as an Indirect tax gives an impact on the involvement of two parties in levying tax, namely the seller as the tax levier, and the buyer as the tax payer. If the buyer is part of the chain, it will be the seller (tax levier) later on and it continues until it comes to the last consumer as the tax payer. There is an exception done concerning the appointment of The Government Treasurer as the levier of VAT. In regular mechanism, the seller is the one who levies the tax, but if the buyer or the service user is government, then the tax will be levied by the Government Treasurer. Such exception is aimed to guarantee that the tax goes to the Government Treasury more smoothly.
Mechanism of crediting VAT input tax requires accurate evidence concerning tax levies. The evidence of the existence of a transaction in which tax must be levied is tax invoice. At transaction to Government Treasurer as VAT levier, tax invoice is made at the latest on the same date as the date of the invoice. In practice, tax payers who carry out projects with government and financed by loan, donation from other countries or merely by The National Budget always make commercial invoice and tax invoice by not putting the date of the tax invoice or by leaving it blank when they hand over the claim to the treasurer.
The problems in this research are: What is the background of the issue of tax invoice regulation? What is the implication of tax invoice regulation towards the implementation of VAT which involves the Treasurer as tax levier for tax payers as well as tax officers? How to anticipate the problems in implementing VAT which involves the Treasurer as VAT levier? What policy can be used as the best solution of the problem caused by the Treasurer as VAT levier? The research method used is descriptive method with both qualitative and quantitative approaches. Data collection is done by interview and library research.
The result of the analysis shows that the background of the issue of tax invoice regulation includes some aspects, namely: to play the role as the rules of implementation of VAT Law, to assure law certainty, to optimize tax invoice system, and to be an instrument to monitor tax invoice. The implication of tax invoice regulation making is difficult for taxable entrepreneur. The other hand, Directorate General of Tax must do extra monitoring in doing the obligation of taxable entrepreneur.It is suggested that the appointment of the Treasurer and KPPN as VAT levier be eliminated since it does not go with the concept and the characteristics of VAT."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24608
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dioputra Ilham
"Party Autonomy Principles ensure that arbitration remains flexible in its nature and by ensuring an integral part of the proceedings namely the parties ability to tailor the procedure of their arbitration to their needs. This autonomy also includes the basic right of parties to be able to freely appoint, constitute, challenge and remove arbitrators commonly referred to as Rules Governing Arbitrators. BANI, the oldest arbitral institution in Indonesia, however, is known for having policy and implementation in its governing regulations which undermine party autonomy. This research discusses firstly, the differences of party autonomy in regulations governing BANI Arbitration Centre (hereinafter shall be called BANI) proceedings in comparison to Singapore International Arbitration (SIAC) proceedings in both arbitration law and rules. Secondly, this research discusses the necessity in the reform of regulations governing BANI proceedings. By conducting a juridical normative legal research, applying a comparative approach, it can be concluded that institutional arbitration at BANI still hinders party autonomy by having increased thresholds of qualifications for arbitrators and challenge requirements as well as inability to be able to nominate a presiding arbitrator, making the usage of BANI unpopular in the region as opposed to SIAC. Secondly, regulations governing BANI proceedings must be reformed for reasons of flexibility, certainty and efficiency. The suggestion would be to reform in terms of arbitration law, for Indonesia to adopt with modifications provisions in regard to the appointment, selection and challenge of arbitrators in the UNCITRAL Model Law.

Prinsip party autonomy, kemampuan para pihak untuk menyesuaikan prosedur arbitrase mereka dengan kebutuhan dan maksud mereka dan mencakup hak dasar para pihak untuk dapat secara bebas menunjuk membentuk majelis mengajukan keberatan terhadap; dan memecat arbiter, dalam arbitrase memastikan bahwa proses arbitrase tetap fleksibel namun BANI, sebagai institusi arbitrase tertua di Indonesia, terkenal mempunyai pengaturan dan implementasi yang merendahkan party autonomy. Penelitian ini membahas perbedaan yang berkaitan dengan party autonomy dalam peraturan perundang-undangan dan arbitration rules yang mengatur proses beracara di BANI dibandingkan dengan SIAC. Penelitian ini juga membahas keperluan reformasi peraturan yang mengatur proses beracara di BANI. Penelitian dengan metode yuridis normatif yang menggunakan pendekatan komparatif ini menyimpulkan bahwa arbitrase institusional di BANI berbeda dengan SIAC, yang mana arbitrase institusional di BANI masih menghalangi party autonomy dalam hal ambang kualifikasi untuk arbiter, persyaratan keberatan terhadap arbiter dan ketidakmampuan untuk dapat menunjuk atau bahkan menominasikan seorang arbiter ketiga dalam suatu sidang membuat penggunaan BANI sangat tidak populer di wilayah Asia dibandingkan dengan SIAC. Peraturan yang mengatur proses beracara di BANI harus direformasi untuk meningkatkan fleksibilitas, kepastian hukum dan efisiensi dalam prosedur beracara BANI. Saran dalam penelitian ini adalah untuk merevisi UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan beracara di BANI dengan mengadopsi UNCITRAL Model Law.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernat S Turnip
"Dalam pelaksanaan sinergi pada entitas bisnis berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
seringkali dilakukan dengan metode menunjuk langsung penyedia/vendor barang dan jasa
dimana penunjukan tersebut biasanya di serahkan kepada UMN lainnya maupun anak
perusahaan BUMN (subsidiary) serta perusahaan terafiliasi BUMN, kondisi tersebut
diperbolehkan sepanjang telah sesuai prosedur/peraturan pengadaan barang dan jasa yang
diatur dalam peraturan pengadaan barang/jasa masing-masing perusahaan dan tidak
bertentangan dengan peraturan presiden dan peraturan menteri mengenai pengadaan barang
dan jasa dan tidak melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang tidak sehat khususnya
pelanggaran terhadap praktek diskriminasi dan persekongkolan dalam tender.
Kondisi pengadaan barang/jasa di lingkungan PT Angkasa Pura I (Persero) yang dilakukan
dengan metode penunjukan langsung kepada anak perusahaannya terbukti telah dilakukan
praktek diskriminasi dan persekongkolan karena penerapan sinergi BUMN tidak
menciptakan efisiensi bagi perusahaan dan terbukti memenuhi seluruh unsur dalam
ketentuan pada “Pasal 19 d dan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”, namun tidak otomatis mengakibatkan
batalnya kontrak investasi pembangunan sarana pada bandara yang berada di lingkungan
PT Angkasa Pura 1 oleh karena para pihak yang merasa dirugikan harus memintakan
permohonan batalnya kontrak tersebut kepada Pengadilan Negeri sesuai ketentuan yang
berlaku.

In the implementation of synergies in business entities in the form of State-Owned
Enterprises (BUMN) it is often carried out by the method of directly appointing
providers/vendors of goods and services where the appointment is usually handed over to
other UMNs as well as BUMN subsidiaries (subsidiaries) and BUMN affiliated companies,
this condition is allowed. as long as it complies with the procedures/regulations for the
procurement of goods and services regulated in the regulations for the procurement of
goods/services of each company and does not conflict with presidential regulations and
ministerial regulations regarding the procurement of goods and services and does not
violate the principles of unfair business competition, especially violations of discriminatory
practices and conspiracy in tenders.
The condition of the procurement of goods/services within PT Angkasa Pura I (Persero)
which is carried out by the method of direct appointment to its subsidiaries is proven to
have carried out discriminatory practices and conspiracy because the implementation of
SOE synergy does not create efficiency for the company and is proven to meet all the
elements in the provisions in "Article 19 d and Article 22 of Law Number 5 of 1999
concerning the prohibition of monopolistic practices and unfair business competition", but
it does not automatically result in the cancellation of the investment contract for the
construction of facilities at the airport located within PT Angkasa Pura 1 because the parties
who feel aggrieved must request the cancellation request. the contract to the District Court
in accordance with the applicable provisions.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denni Aristonova
"Penelitian ini membahas mengenai dampak tidak adanya ujian pengangkatan notaris sebagai salah satu syarat dalam pengangkatan Notaris, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 50 P/HUM 2018. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah pengaturan terkait proses dan syarat pengangkatan Notaris dan dampak Putusan Mahkamah Agung tersebut terhadap calon Notaris. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif, menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen terhadap data sekunder dengan penelusuran literatur. Pendekatan analisis menggunakan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan peraturan baru yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 tahun 2019, serta dampak Putusan Mahkamah Agung itu sendiri ialah tidak ada lagi Ujian Pengangkatan dan ujian tersebut diganti menjadi pelatihan untuk para calon Notaris, dimana 10 peserta terbaik yang mengikuti pre test dan post test pada akhhir pelatihan akan mendapatkan kesempatan memilih wilayah kerjanya dalam wilayah D yang diberikan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Diharapkan Nantinya Ujian Pengangkatan Notaris jika Undang-Undang Jabatan Notaris jadi untuk direvisi dapat ditambahkan dalam pasal 3 Undang-undang tersebut, yaitu ditambahkan kalimat Notaris diangkat setelah lulus Ujian Pengangkatan Notaris yang dilakukan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia.

This research discusses the elimination of the Notary Appointment Examination as one of the requirements for the appointment of a Notary, based on the Supreme Court Decision Number 50 P/HUM 2018. The issues raised in this research are the arrangements related to the process and requirements for the appointment of a Notary and the impact of the Supreme Court Decision on candidates. Notary Public. This research is a normative juridical study, using data collection tools in the form of document studies of secondary data by searching the literature. The analysis approach uses qualitative. The results of this study are that the Ministry of Law and Human Rights issued a new regulation, namely the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 19 of 2019, and the impact of the Supreme Court Decision itself is that there are no more Appointment Exams and these exams are changed to training for Notary candidates. where the 10 best participants who take the pre test and pro test at the end of the training will have the opportunity to choose their work area in area D given by the Ministry of Law and Human Rights. It is hoped that the Notary Appointment Test will be added if the Notary Position Law is made to be revised, it can be added in article 3 of the Law, namely the notary is added after passing the Notary Appointment Exam conducted by the Minister of Law and Human Rights."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajib Rakmawanto
"Tujuan penelitian ini; pertama, menganalisis peran Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat Yang Berwenang dalam sistem pembinaan ASN sebagaimana tertuang dalam UU ASN; kedua, mengidentifikasi implementasi sistem pembinaan PNS yang telah dijalankan instansi pemerintah. Pendekatan penelitian yang digunakan deskriptif kualitatif dengan informan akademisi SDM publik dan praktisi pengelola SDM ASN di beberapa instansi pemerintah. Teknik pengambilan data penelitian dengan cara FGD dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan; pertama, sistem pembinaan ASN dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yang berperan sebagai pengambil kebijakan dan Pejabat Yang Berwenang yang berperan sebagai pelaksana teknis kebijakan; kedua, implementasi pembinaan PNS di instansi pemerintah yang telah berjalan selama ini kurang obyektif karena mengabaikan prinsip merit dan banyak kepentingan politik. Rekomendasi penelitian; pertama, menciptakan kode etik penyelenggaraan pembinaan ASN, dan adanya koordinasi antara Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat Yang Berwenang dalam mejalankan peran, tugas, dan fungsinya masing-masing. Kedua, lembaga pengawas (Deputi Pengawasan dan Pengendalian BKN) melakukan pemantauan secara intensif terhadap pembinaan pegawai ASN, dan memberikan sanksi tegas terhadap segala bentuk pelanggaran dalam penyelenggaraan manajemen ASN."
Lengkap +
Kementerian Dalam Negeri Ri,
JBP 7:3 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Putri Fathania Nur Ranti Faisal
" ABSTRAK
Penunjukan langsung sebagai metode pengadaan badan usaha pelaksana KPBU baru diperkenalkan dalam Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2015 setelah selama ini hanya terdapat satu metode yakni pelelangan umum. Sebagai metode baru, maka perlu dikaji hal-hal terkait bagaimana hukum Indonesia mengatur mengenai hal tersebut, implementasi dan pengaruhnya terhadap regulasi sektoral serta mengkaji mekanisme penunjukan langsung tersebut jika ditinjau dari sudut praktik terbaik dari pengadaan infrastruktur. Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Berdasarkan peninjauan hukum yang telah dilakukan terhadap peraturan-peraturan tersebut, hukum Indonesia telah mengatur mengenai pengadaan badan usaha pelaksana sejak di Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 dan perubahannya. Kemudian implementasi metode penunjukan langsung pengadaan badan usaha pelaksana belum dapat dilihat hasilnya sebab sampai saat ini belum ada proyek KPBU yang menggunakan metode penunjukan langsung ini. Sejauh ini syarat kondisi tertentu dalam penunjukan langsung di Indonesia sudah cukup baik. jika dibandingkan dengan syarat kondisi tertentu yang dimiliki oleh Negara lain. Pelaksanaan pengadaan badan usaha pelaksana dengan metode lelang maupun penunjukan langsung harus diawasai agar pelaksanaannya sesuai dengan prinsip pengadaan dan dapat mencapai nilai manfaat uang terbaik.
ABSTRACT Direct appointment as public private partnership PPP procurement of the implementing business entity method newly introduced in Presidential Regulation number 38 year 2015 after all this time, public tender is the only method. As a new method, it is necessary to examines how Indonesian law regulated related matters, the implementation and the effect on sectoral regulations and assess the direct appointment method in best practices on the provision of infrastructure. This research uses a normative juridicial study. Based on the review of the law that have been committed against these regulations, the law of Indonesia has been regulating about procurement of implementing business entity since at Presidential Regulation number 67 year 2005 and its amendments. Then, the implementation of procurement of the implementing business entity through direct appointment cannot be seen the results yet because thus far, there is no PPP project that uses direct appointment method. The certain conditions in terms of direct appointment in Indonesia has been quite good when it compared to the terms of certain conditions that are owned by other States. Procurement of the implementing business entity through public tender or direct appointment should be supervised to ensure the implementation in accordance with the principles of procurement and to achieve best value for money."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S65756
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Deriani
"Studi ini membahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu tunggu pasien dan bagaimana pelaksanaan appointment system di unit rawat jalan RS Awal Bros Pekanbaru. Metode kuantitatif digunakan menganalisis lamanya waktu tunggu dan hubungan faktor keterlambatan dokter, status kepegawaian dokter, pola kedatangan pasien, karakteristik perjanjian, jenis pembayaran, lama pelayanan rekam medis dan jenis poliklinik dengan jumlah sampel 625 pasien. Metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam kepada beberapa informan untuk mengetahui tentang pelayanan rawat jalan dan appointment system. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu tunggu rawat jalan adalah 136,02 menit, masih melebihi standar pelayanan minimal ≤ 60 menit. Hasil bivariat dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan seluruh faktor mempunyai hubungan yang bermakna dengan lama waktu tunggu. Hasil multivariat dengan menggunakan regresi logistik didapatkan tidak ada hubungan bermakna antara keterlambatan dokter dan status kepegawaian dokter dengan lamanya waktu tunggu. Dari metode kualitatif diketahui bahwa appointment system belum berjalan dengan baik.

This study discusses the factors associated with patient waiting times and how the implementation of the appointment system in the outpatient unit Awal Bros Hospital Pekanbaru. Quantitative methods are used to analyze the long waiting time and the relationship between physicians arrival delay time, physician’s employment status, the pattern of the patient's arrival, the characteristics of the appointment, type of payment, length of medical records service and type of clinic with patient waiting times, with a sample of 625 patients. The qualitative method by conducting in-depth interviews to several informants to find out about outpatient services and appointment system. The results showed that outpatient waiting time was 136.02 minutes, still exceeding the minimum service standards ≤ 60 minutes. The results of the bivariate using Chi Square test obtained all the factors have a meaningful relationship with a long waiting time. Results of multivariate logistic regression there is no significant relationship between physicians arrival delay time, physician’s employment status, with long waiting times. From a qualitative method is known that the appointment system has not gone well."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandita
"Kebijakan SIPPT diterapkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1971 awalnya sebagai suatu kebijakan pengendalian pembebasan tanah dan pengadaan infrastruktur FASOS FASUM di DKI Jakarta. Seiring dengan makin tertibnya bukti kepemilikan tanah, maka saat ini SIPPT lebih berperan sebagai kebijakan pengadaan infrastruktur FASOS FASUM.
Setelah kebijakan berjalan selama lebih dari 35 tahun dan telah menetapkan 2247 Pemegang SIPPT diseluruh Jakarta baru 11,9 % yang menyerahkan kewajiban sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam SIPPT. Ketidakberhasilan ini disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu ; landasan filosofis, peraturan perundangan dan jenis, besaran dan standar FASOS FASUM. Pada bagian saran penyempurnaan, ketiga faktor utama diatas dirangkai dengan beberapa sub faktor turunannya, kemudian dilakukan wawancara kepada pakar yang menguasai permasalahan SIPPT, hasil dianalisis dengan metode Analythic Hierarchy Program.
Hasil akhir solusi didapat bahwa kebijakan SIPPT harus dirubah menjadi Keputusan Gubernur sehingga lebih kuat dalam menerapkan sanksi. Substansi jenis, besaran dan standar FASOS FASUM juga harus direview sehingga tidak menyebabkan multitafsir seperti selama ini terjadi. Pada masa yang akan datang, kebijakan SIPPT sebagai salah satu sarana pengadaan aset infrastruktur FASOS FASUM memegang peranan pentingtidak hanya bagi penghuni kawasan namun juga harus memberi dampak positif bagi semua stake holders. Berdasar hal ini, maka filosofi, peraturan perundangan dan jenis, besaran serta standar harus direview ulang guna mewujudkan kota Jakarta yang adil bagi segenap warganya.

Land Use Appointment Permit (SIPPT) policy was imposed in 1971 by Governor of Ali Sadikin, initially as land acquisition control policy and provision for Public Utility and Public Infrastructure (FASOS/FASUM) in DKI Jakarta. As land ownership documentation improving, SIPPT was used more on infrastructure provision for FASOS/FASUM.
After more than 35 years implementing SIPPT policy and issued 2247 SIPPT holder, only 11,9 % SIPPT holder handed over their obligation as stated in SIPPT. This underachievement was triggered by three main factors; philosophical, law and regulation, unit and standard of FASOM/FASUM. In ?Suggestion for Improvement? chapter, those three main factors were combined with sub factors, followed with interview with experts in SIPPT subject.
Result of interview then analyzed using ?Analytic Hierarchy Program?. Final conclusions suggested that SIPPT policy should be reinforced into Governor Decree to enable stringent law enforcement. Substance of type, units, and standard must be reviewed to avoid ambiguity. In future, SIPPT policy as means for provision of infrastructure asset for FASUM/FASOS will play important role not only for the residence in an area but also to bring positive impact for all stakeholders. Base on those facts, then philosophy, law and regulation, type, units, and standards of FASUM/FASOS must be reviewed to create Jakarta as egalitarian city for all residence."
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daintywise
"ABSTRAK
Tesis ini membahas hubungan distributor sebagai perantara yang membantu prinsipal dalam menyalurkan produk kepada masyarakat. Hubungan ini dinyatakan dalam perjanjian distribusi. Dalam suatu perjanjian distribusi terdapat klausul mengenai penunjukan distributor baru dengan salah satu syaratnya terdapat perubahan kebijaksanaan dan strategi distribusi perusahaan. Pada saat dilaksanakan menyebabkan kerugian kepada distributor lama. Kerugian pada keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh sebagaimana biasanya menjadi batal karena langganan menolak barang dari distributor lama dengan alasan telah menerima barang dari distributor baru. Oleh karenanya, penunjukan distributor baru sebaiknya disetujui oleh distributor lama. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis ini mengenai klausul perubahan kebijaksanaan dan strategi distribusi perusahaan sebagai salah satu syarat penunjukan distributor baru berkaitan dengan pengaturan tentang perjanjian distribusi menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, pelaksanaan perjanjian distribusi menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, serta mengenai pertimbangan hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 377 PK/Pdt/2019 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 141/Pdt/2017/PT.BTN terhadap pelaksanaan perjanjian distribusi. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian yang dilakukan secara eksplanatoris. Analisis didasarkan pada prinsip iktikad baik objektif yang mengutamakan keadilan bagi para pihak dalam perjanjian. Dalam analisa kasus ini diketahui bahwa dalam perjanjian distribusi keadilan bagi para pihak belum tergambarkan secara baik. Penulis menyarankan agar dalam membuat perjanjian distribusi memperhatikan segi keadilan dari berbagai sudut pertimbangan.

ABSTRACT
This thesis discusses the relations of distributors as the middleman who assists principals in distribution products to the public. This relation is stated in the distribution agreement. In a distribution agreement there is a clause regarding appointment new distributors with one of the conditions there is a change in company policy and distribution strategy. At the time of implemented cause losses to the old distributors. Losses on the expected profit will be obtained as usual be void because customer rejects the products from the old distributors upon the reasons that products have received from the new distributors. Therefore, appointment new distributors should be approved by the old distributors. Issues raised in this thesis on a clause of change in company policy and distribution strategy as one of the conditions for appointment new distributors concerning the regulations of distribution agreement in according to applicable legal provisions in Indonesia, implementation of distribution agreement in according to applicable legal provisions in Indonesia, also regarding the consideration of judges on the Supreme Court Republic Indonesia's Decision Number 377 PK/Pdt/2019 juncto Appellate Court Banten's Decision Number 141/Pdt/2017/PT.Btn in the implementation of the distribution agreement. To answer the issues used research methods juridical normative with research type that carried on explanatory. The analysis is based on the principle of objective good faith which prioritizes justice for the parties on the agreement. In this case analysis, it is known that in the distribution agreement the justice has not yet well described. Writer advise in make a distribution agreement noticed perspective of justice from various angles of consideration."
Lengkap +
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>