Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yazid Fanani
"Kajian ini mengenai penanggulangan konflik tawuran antar warga yang sering terjadi di wilayah Matraman, Konflik horizontal dan berwujud sebagai tawuran antar warga masyarakat dan selalu disertai dengan penghancuran, perusakan dan pembakaran prasarana umum yang dilakukan oleh sekelompok warga masyarakat tersebut, adalah merupakan bentuk pertikaian massal yang bersifat primordial dan menyebabkan situasi tidak tertib, tidak aman, resah, serta mengakibatkan rusaknya sarana /prasarana sosial dan perekonomian yang telah lama dibangun. Upaya penanggulangan konflik, yang dilakukan oleh Polsek Matraman selama ini, terlihat tidak efektif dan kurang memberikan dampak yang berarti bagi penyelesaian dan penghentian konflik tersebut, sehingga konflik terus berlangsung berlarut-larut dengan meninggalkan berbagai kerusakan material yang besar dan bahkan disertai dengan korban jiwa.
Tidak efektifnya upaya penanggulangan yang dijalankan oleh aparat kepolisian ini, disebabkan karena penanggulangan yang dilakukan oleh Polsek kurang tepat sehingga tidak mampu mengakomodasikan segala kepentingan pihak-pihak yang bertikai. Kegiatan penanggulangan oleh Polsek Matraman tersebut hanya dilakukan dengan tindakan reaktif dan kasuistik sehingga tidak menyentuh esensi permasalahan yang menjadi sumber sengketa diantara mereka. Masih adanya adanya kesan bahwa Polisi kurang responsip dan tidak menyatu dengan masyarakatnya serta masih tersumbatnya saluran komunikasi yang dapat digunakan sebagai media penyelesaian konflik secara menyeluruh diantara kelompok yang bermusuhan, telah bermuara kepada munculnya kecurigaan dan prasangka buruk terhadap kelompok lain yang menjadi lawan mereka, kenyataan ini disatu sisi telah memunculkan konflik bertambah brutal dan pada kerangka yang lain semakin membuat ketidak percayaan masyarakat terhadap Polisinya.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa upaya penanggulangan konflik tawuran seperti ini, menjadi sangat efektif jika dilakukan dengan membuka saluran komunikasi dan mediasi diantara mereka yang terlibat konflik, karena dengan demikian tercipta sebuah kompromi yang saling menguntungkan dengan berlandaskan pada kesamaan pandangan, kepercayaan dan keadilan sehingga mereka menghentikan permusuhannya.
Guna memperoleh informasi yang akurat di dalam kajian ini, peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan pendekatan etnografi dan metode pengamatan terlibat, sehingga diperoleh pemahaman yang akurat dan mendalam berkenaan dengan gejala-gejala sosial yang ada untuk kemudian ditemukan hakekat dari permasalahan yang sedang dikaji."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T1760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfahmi
"Tawuran antar warga seperti yang terjadi antara Kampung Tambak dan Kampung Anyer di Pegangsaan, Jakarta merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dikaji secara mendalam, karena konflik terjadi diantara warga di dua perkampungan yang sebelumnya memiliki hubungan yang harmonis. Bahkan banyak diantara warga kedua kampung masih berhubungan keluarga karena banyak terjadi perkawinan diantara mereka. Konflik tersebut berlangsung cukup lama dan cenderung keras. Selama kurun 1990-1993, peserta konflik masih terbatas pada kalangan pemuda/remaja kedua kampung tersebut, namun sejak 1994 hingga 2001 peserta konflik meluas menjadi bersifat massal, sehingga berkembang menjadi tawuran antar kampung.
Konflik antar pemuda berawal dari menguatnya identitas kolektif masing-masing kelompok tersebut. Konflik berawal dari sikap arogansi sekelompok pemuda Kampung Tambak, salah satunya dengan menguasai kawasan Tugu Proklamasi dan sekitarnya tanpa memberi kesempatan pada pemuda Kampung Anyer ikut memanfaatkan lahan tersebut, memicu pecahnya konflik terbuka antara kedua kelompok pemuda tersebut. Di satu sisi Pemuda Kampung Tambak bersikap arogan ingin mendominasi pihak lain, sedangkan di sisi lain pemuda Kampung Anyer memberi perlawanan terhadap sikap tersebut.
Semakin sering dan keras konflik, semakin banyak menyeret solidaritas dari warga sekampung lainnya untuk bersama-sama membela harga diri kampung mereka. Identitas kolektif tersebut dibangun secara sosial terutama atas dasar kesamaan teritorial, dimana terjadi interaksi sosial yang kontinyu. Melalui interaksi tersebut, atribut kesamaan secara simbolis dibangun dan didefinisikan, dari sinilah trust dan solidaritas berkembang diantara warga sekampung.
Konflik berlangsung keras karena konflik menyangkut isu-isu non-realistik, berupa nilai-nilai inti (core values) dan kepentingan kelompok yang samar-samar atau abstrak (vaguely defined class interest) yaitu harga diri dan dendam. Konflik juga berlangsung lebih lama karena tujuan konflik yang tidak jelas menyulitkan peserta konflik untuk mendefinisikan kapan mereka telah mencapai tujuan tersebut, sehingga konflik menjadi berlarut-larut. Selain itu, para pemimpin di masing-masing pihak kurang mampu membujuk warganya menghentikan konflik, hal ini disebabkan kerekatan hubungan antara warga dan para pemimpinnya cenderung lemah, selain itu juga masyarakat cenderung terpecah-belah karena kohesi sosial antar warga juga cenderung rendah. Intensitas konflik dan kerasnya konflik lambat laun makin mempertegas batas-batas pemisah antara warga kedua kampung dan meningkatkan solidaritas diantara warga sekampung untuk bersama-sama memerangi pihak lawan.
Berbagai upaya mengatasi konflik telah dilakukan oleh aparat pemerintah setempat, diantaranya dengan memfasilitasi pertemuan antar tokoh masyarakat dan pemuda setempat dari kedua pihak untuk membuat konsensus damai selain membentuk satgas yang terdiri dari sejumlah pemuda dari pihak-pihak yang berseteru, namun berbagai upaya tersebut belum mampu mengatasi konflik. Ini disebabkan konsensus tersebut tidak mampu merembes ke seluruh warga kampung karena kohesi sosial masyarakat yang cenderung rendah dan juga para tokoh dan pemuda yang dilibatkan bukanlah orang-orang yang berpengaruh dan memiliki kepemimpinan yang efektif di lingkungan komunitasnya.
Berbeda dengan upaya pemerintah tersebut, program resolusi konflik yang dikembangkan institusi lokal Forum Warga Cinta Damai (FWCD) ternyata cukup efektif meredam konflik. Sejak berdiri pada pertengahan 2001, forum tersebut menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan bersama dengan melibatkan warga yang berpengaruh dari berbagai social fieldnya, seperti kelompok bermain (peer group) pemuda, remaja, ibu-ibu, para bapak, serta kelompok pengajian, kelompok arisan dan sebagainya. Kegiatan tersebut membuat seluruh individu terhubung satu sama lain. Meski mereka berasal dari berbagai social field, namun hubungan antar mereka menjadi cikal bakal perekat antar social field dalam komunitas masyarakat yang berkonflik. Langkah ini cukup efektif merekatkan kembali hubungan sosial antar warga di kedua kampung yang bertikai, dan hasilnya selama tahun 2002 tawuran antar warga tak terjadi lagi.
Program community development tersebut merangsang antar individu dalam komunitas untuk menjalin kerjasama dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. Melalui program tersebut, dilakukan upaya merekonstruksi kembali hubungan sosial antar warga, dengan mendefinisikan ulang batas-batas kolektifitas antar warga kedua kampung. Seiring dengan tumbuhnya jaringan baru yang menjembatani berbagai golongan masyarakat, turut berkembang norma-norma baru yang mengedepankan prinsip hidup damai penuh persaudaraan dalam lingkungan ketetanggaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Antony
"Jakarta is, indeed a kampung and at the same time a kota. Jakarta is a complex city or city of contrasts: the traditional and modern, the rich and poor; the sacred and the worldly, often standing side by side in this bustling metropolis. Jakarta is a big city and as well a big kampung. Kampung is the traditional spontaneous, and diverse form of indigenous' urban development in Indonesia which has grown organically and incrementally over many years without planning guidance or regulations, building codes, coordinated service provision. Gotong rayon is one of the ancient traditions, the custom of cooperation, mutual self-help, the sharing of burdens, or solidarity in kampung communities. Gotong royong is a central ideological element of Indonesian nation-building or a concept of human relations.
Gotong royong is the traditional concept of the relationsip among people in kampung; forming its socio-cultural form. At present, however, gotong royong has gradually become less prominent, and even lost from the everyday life of people in kampung. it could be swamped by social conflicts occurring between one kampung and another; or between kampung and quota. This paper explores the significance of gotong royong and how it works in the socio-cultural form of kampung.
"
Jurnal Teknologi, 2005
JUTE-19-1-Mar2005-48
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sarojini Imran
"Penelitian ini mengkaji aspek-aspek yang mendasari perubahan fungsi ruang publik, di lingkungan pemukiman padat perkotaan, dan memahami faktor-faktor penyebab terjadinya konflik. Penelitian ini mencoba untuk menemukan bagaimana jaringan sosial serta pola organisasi sosial komunitas perkampungan kota, berperan dalam penguasaan ruang publik dan dalam persoalan konflik-konflik yang ada. Penelitian ini juga untuk memahami persepsi dan makna ruang publik bagi komunitas perkampungan kota.
Unit analisisnya adalah warga komunitas pemukiman ekonomi lemah perkotaan (perkampungan), sebagai studi kasus yaitu komunitas perkampungan Manggarai khususnya RW.02 dan RW.03 kelurahan Manggarai, kec. Tebet, Jakarta Selatan. Dengan memanfaatkan pengetahuan warga masyarakat setempat sebagai pedoman untuk melihat gejala-gejala yang ada, pengkajian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan etnik dengan perspektif fenomenologi, yaitu pendekatan yang berusaha melihat gejala-gejala yang ada sesuai dengan makna yang diberikan oleh warga masyarakat. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan metode pengamatan, pengamatan terlibat dan wawancara. Analisa data dilakukan melalui aktifitas yang dilakukan secara simultan dengan pengumpulan data, interpretasi data dan narasi dari laporan tertulis.
Dalam tahap penelitian ini ruang publik dikaji sebagai teritorial tempat berkumpulnya kelompok sosial, dan juga berfungsi sebagai sumber daya yang berharga, baik bagi kepentingan sumber mata pencaharian maupun bagi kepentingan kegiatan kehidupan sehari-hari termasuk kepentingan kedekatan warga dalam jaringan hubungan sosialnya, yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial warga komunitas yang tergolong miskin dan tingkat pengangguran yang tinggi.
Penelitian ini juga mengungkapkan bagaimana konflik terjadi akibat pertemuan antara kelompok sosial yang memiliki pola perilaku yang berbeda dari kebudayaan yang berbeda di dalam suatu ruang publik, dan adanya penguasaan ruang publik yang bukan di dalam Batas teritorialnya. Dan konflik itu berkembang sebagai suatu bentuk agresi (tawuran), ketika menyangkut masalah solidaritas yang dimiliki warga komunitas tersebut. Solidaritas terbentuk melalui jaringan hubungan sosial yang kuat, dan terbina dalam kebersamaan mereka setiap harinya pada ruang publik, tempat mereka berkumpul."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Dirk Wabiser
"Konflik tanah merupakan gejala universal yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembanguan di Indonesia.
Kasus konflik tanah di Irian Jaya pada umumnya, dan di Sentani khususnya menarik untuk dikaji karena tidak hanya bersifat horizontal, tetapi juga vertikal. Asumsi dasar dari konflik tanah ini adalah bahwa konflik tanah terjadi karena dua pihak atau lebih mempunyai klaim yang sama atas sebidang tanah. Klaim yang sama mencerminkan adanya interpretasi yang berbeda-beda tentang hak kepemilikan tanah, misalnya kasus konflik tanah Kampung Harapan yang melibatkan masyarakat adat sendiri (Ohee-Ongge dan Walli) dan Pemerintah Daerah Irian Jaya. Ketiga pihak yang berkonflik mempunyai klaim yang sama sebagai pemilik tanah yang sah atas tanah Kampung Harapan yang pernah dikuasai oleh pemerintah Belanda, sejak berakhirnya Perang Dunia II (1946).
Manfaat penulisan ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat adat untuk mengambil langkah-langkah bijaksana, guna meaekan konflik tanah, serta mengatasi masalah tanah sedemikian rupa, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk membahas kasus konflik tanah Kampung Harapan, digunakan dua teori, yaitu Teori Integrasi Kelompok dan Teori Konflik, untuk mengkaji konflik antara masyarakat adat. Karena konflik ini melibatkan pemerintah, maka digunakan perspektif Lewis A.Cosser. Kedua teori ini dianggap relevan, karena integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat dapat merupakan sebab terjadinya konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Namun, dapat pula terjadi bahwa konflik yang terjadi dengan kelompok luar/lain dapat meningkatkan integrasi internal kelompok.
Konflik tanah antara Ohee-Ongge, Wally, dan Pemerintah Daerah Irian Jaya, bersumber pada perbedaan interpretasi tentang Staat van UitbetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. dan proses verbal tanggal 27 Februari 1957. Pihak Ohee-Ongge dan Wally berpendapat bahwa perabayaran sebesar f.10.000 (Duizend Gulden) yang dibayar oleh pemerintah Belanda (Nederlands Nieuw Guinea), hanya menyangkut pembayaran tanaman anak negeri, seperti yang tercantum dalam Staat van UitoetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. Jadi, tidak termasuk tanahnya, sebagaimana tercantum dalam proses verbal.
Bersamaan dengan itu, Pemda Irian Jaya berpendapat, bahwa pembayaran f.1O.000 sebagai ganti-rugi terhadap tanaman anak negeri beserta tanahnya. Oleh sebab itu, tanah sengketa menjadi tanah negara.
Untuk menyelesaikan kasus ini, digunakan Cara musyawarah dan peradilan formal. Masyarakat adat (Ohee-Ongge) mengambil inisiatif untuk menyelesaikan kasus ini dengan Pemda Irian Jaya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melalui peradilan formal. Di Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya, gugatan pihak Ohee-Ongge dinyatakan menang, dan pihak Wally dan Pemda Irian Jaya dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena adanya fasilitas, maka kasus ini dilanjutkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya, ke Mahkamah Agung (MA), dan kembali kasus ini dimenangkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya. Pada kenyataan ini, pihak Ohee-Ongge tidak tinggal diam, mereka juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir dalam menempuh proses peradilan formal ke Mahkamah Agung. Dengan PK ini, pihak Ohee-Ongge kembali dinyatakan menang, dan kepada pihak Pemda Irian Jaya dituntut untuk mengganti/memberikan ganti rugi. Ternyata putusan PK MA tidak digubris sama sekali oleh Pemda Irian Jaya. Sikap Pemda ini diperkuat lagi dengan turunnya Surat Sakti Ketua MA yang membatalkan putusan MA yang memenangkan pihak Ohee-Ongge."
2001
T11421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monim, Harold A. D.
"Tulisan ini mengkaji pergantian pemimpin tradisional (Ondoafi) pada masyarakat Sentani di kampung Puay, Kecamatan Sentani Timur, Kabupaten Jayapura-Papua. Tujuannya menjelaskan, bahwa tatanan kehidupan masyarakat adat menjadi tidak stabil atau tidak terstruktur karena terjadi penyimpangan dalam pranata adat pergantian (alih) pemimpin tradisional (Ondoafi). Timbul pertanyaan, mengapa terjadi penyimpangan dalam prinsip pergantian (alih) pemimpin tradisional (Ondoafi) dan bagaimana dampak penyimpangan tersebut terhadap kehidupan masyarakat adat dalam aspek sosial, politik dan hukum. Untuk memahami masalah tersebut, digunakan beberapa konsep untuk mengarahkan penjelasan: pemimpin, tipe pemimpin, komponen kekuasaan pemimpin dan penyimpangan pergantian pemimpin. Pengumpulan keterangan (data) di lapangan menggunakan metode kualitatif dengan tehnik pengamatan, pengamatan terlibat dan wawancara.
Berdasarkan hasil analisa data di lapangan menunjukan, bahwa keabsahan seorang Ondoafi di dasarkan pada prinsip primogenitur patrilineal, artinya garis keturunan yang ditarik melalui garis lurus dengan tokoh leluhur (pendiri kampung) dan adalah anak laki-laki sulung dari Ondoafi sebelumnya. Prinsip ini merupakan bagian dari sistem keOndoafian dan sekaligus sebagai fakes dari kebudayaan masyarakat Sentani, serta di jadikan norma adat yang dipatuhi sebagai acuan hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan dalam arti yang luas dari generasi ke generasi. Pranata adat ini memberikan jaminan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dalam perkembangan masyarakat, pranata adat pergantian (alih) pemimpin tradisional (Ondoafi) mengalami penyimpangan, karena tidak lagi berdasarkan prinsip primogenitur patrilineal.
Kondisi tersebut di atas terjadi karena adanya pengaruh ekstern dan intern. Pengaruh ekstern: (a) rekrutmen pengurus LMII tidak mengakomodir kepentingan seluruh warga kampung ; (b) institusi agama (gereja) dan pemerintah (Pemerintah rasa) cenderung berpihak pada salah satu kelompok; (c) uang dipergunakan sebagai sarana untuk mendapat legitimasi dari masyarakat. Pengaruh intern: (a) penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya kehidupan kolektif secara individu; (b) adanya penggalangan yang dilakukan oleh para pemimpin (R.F. dan Y.A.) ke dalam (intern warga kampung) dan keluar (warga masyarakat dari kampung lain) untuk mendukung kepemimpinannya.
Dalam mewujudkan masing-masing pemimpin agar eksistensinya diakui oleh pengikutnya dan pihak luar serta dapat survive dalam persaingan yang sedang terjadi, ditempuh cara-cara damai tetapi juga konflik. Cara-cara seperti ini memberi dampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat terutanva aspek sosial, politik dan hukum. Dampak terhadap aspek sosial: (a) terjadi disintegrasi dan disorganisasi dalam masyarakat; (b) rasa solidaritas sebagai satu komunitas adat yang berasal dari satu pangkal keturunan (satu nenek moyang) digeser oleh solidaritas kelompok yang sempit yang didasari oleh kepentingan yang sama sebagai satu kelompok kepentingan dalam konflik yang terjadi; (c) timbul sikap apatis (apriori) oleh sebagian warga masyarakat terhadap program-program pembangunan di kampung. Dampak terhadap aspek politik dan hukum: (a) muncul 2 (dua) pihak yang berbeda saling memperebutkan satu struktur pemerintahan adat dalam masyarakat, akibatnya terjadi ketidakpastian hukum dalam pemanfaatan dan pelepasan tanah adat kepada pihak luar; (b) rekrutmen pembantu Ondoafi (khoselo) dalam struktur pemerintahan adat tidak mengacu pada prinsip primogenilur patrilineal, akibatnya muncul kelompok elit politik Baru yang merupakan lapisan sosial baru dalam masyarakat; (c) institusi yudikatif tidak dapat menegakan hukum adat dan keadilan, akibatnya pihak ketiga dipilih sebagai mediator dalam menyelesaikan setiap konflik dalam masyarakat.
Kesimpulan dari kajian ini yaitu, proses pergantian (alih) pemimpin tradisional (Ondoafi) tidak berjalan sesuai pranata adat yang berlaku (prinsip primogenilur patrilineal). Penyimpangan ini ditandai dengan munculnya dua pemimpin (Ondoafi) yang memiliki pengikut dan mendapat legitimasi dari pengikutnya dan pihak luar, menyebabkan koflik horisontal yang mengakibatkan masyarakat terpecah menjadi dua kelompok.
Rekomendasi bagi penyelesaian masalah ini, yaitu dengan dilandasi pemahaman bahwa masyarakat adat di kampung Puay merupakan satu komunitas adat yang berasal dari satu pangkal keturunan (nenek moyang), perlu diberikan kewenangan yang penuh kepada mereka untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah retak (hancur), melalui musyawarah adat yang dilandasi oleh jiwa keterbukaan, adil dan jujur, agar hasil yang akan disepakati bersama dirasakan adil berdasarkan perasaan keadilan yang diciptakan mereka sendiri. Karena nilai-nilai agama Kristen telah membudaya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pihak gereja (Pendeta/Guru Jemaat) dapat dipercaya sebagai mediator, sebab mereka percaya, bahwa Pendeta/Guru Jemaat adalah Hamba Tuhan (Wakil Tuhan) yang diutus o1ehNya ketengah-tengah kehidupan masyarakat untuk menyampaikan berita damai, kasih, sukacita, dan sejahtera bagi umat Tuhan yang sedang dilandasi berbagai persoalan hidup."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Anggarani Purbaningtyas
"Konflik atas sumber daya hutan terjadi secara meluas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena implementasi kebijakan pemerintah yang membatasi akses warga kampung hutan untuk ikut serta mengelola hutan sekaligus mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut. Konflik yang diuraikan ini sebenarnya hanya merupakan bagian dari konflik secara keseluruhan yang dihadapi warga kampung hutan dalam kehidupan mereka.
Dengan melihat konflik sebagai suatu proses rangkaian kejadian dimana masing-masing pihak yang berkonflik berusaha memenangkan kepentingan masing-masing dengan pilihan Cara masing-masing, kajian ini mengupas pilihan pranata yang diambil oleh warga kampung hutan dalam mekanisme penanganan konflik yang mereka hadapi, termasuk konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dapat dirumuskan seagai kemanan dan kenyamanan pihak yang terlibat dalam menangani konflik dengan tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai tujuannya.
Kajian mengenai konflik ini didasarkan pada sejumlah kasus konflik yang ditemukan pada saat penelitian lapangan dan kemudian dituliskan kembali dalam bentuk ilustrasi rangkaian kejadian konflik dengan satu konteks tertentu. Konflik yang disajikan berupa konflik yang berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan lahan baik di areal warga maupun di kawasan hutan negara, konflik seputar renovasi masjid Al - Iman di Kampung Baru, konflik pengelolaan kawasan hutan berupa peremajaan kopi dan pengarangan dalam kawasan hutan negara dan konflik-konflik pencurian.
Dari kajian ini ditemukan bahwa warga kampung hutan mendasarkan pilihan pranata berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang paling mendasar adalah ketersediaan pranata dalam masyarakat setempat. Dari pranata-pranata tersebut, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat memilih lebih dari satu pranata dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan posisi mereka dan tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada kondisi dimana aturan dan mekanisme penanganan konflik tidak tersedia, warga kampung, dengan dibantu oleh pihak luar ataupun tidak, mampu menciptakan pranata baru melalui musyawarah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan. Kehadiran pihak luar sebagai pihak yang menyadarkan para. pihak yang berkonflik dan menggerakkan para pihak itu untuk bersama-sama menangani konflik, sekaligus menjadi teman belajar bersama untuk menemukan suatu bentuk pranata yang sesuai untuk menangani konflik yang terjadi dapat mempercepat proses pembangunan pranata ini.
Berdasarkan hasil dari kajian ini, dapat diambil suatu pemahaman baru mengenai konflik masyarakat kampung hutan. Pada umumnya, konflik yang terjadi pada masyarakat kampung hutan terjadi karena adanya ketidaksepahaman yang dibiarkan berlanjut dan diejawantahkan dalam sikap terbuka atau terselubung dalam berbagai arena social. Oleh karena itu, walaupun konflik yang terjadi tidak serta merta dapat difragmentasi sebagai konflik kehutanan atau non-kehutanan. Dengan melihat konflik masyarakat kampung hutan sebagai suatu kesatuan, dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa ternyata, konflik warga kampung hutan dengan pihak Dinas Kehutanan sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan lahan dalam kawasan hutan negara hanya merupakan satu bagian kecil dari satu konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kampung hutan.
Upaya untuk mencegah dan menangani konflik yang terjadi Dapat dilakukan secara efektif jika masyarakat memiliki pranata yang kuat sebagai tempat mereka berpaling dan bersandar. Keberadaan pranata yang kuat juga dapat menjadi sarana komunikasi antara warga dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah juga dapat dijadikan bagian dari pranata ini dengan cara menyederhanakan proses dan bahasa aturan tersebut. Kiranya, inilah cara yang paling efektif yang dapat dilakukan untuk proses sosialisasi peraturan dan kebijakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karuwai, George
"Sampai saat ini hampir tidak satupun wilayah di Indonesia yang tidak mengenal konflik, baik dari konflik yang sifatnya Un Manifest (belum muncul ke permukaan) maupun konflik yang Manifest (sudah menjadi konflik terbuka). Di daerah Sentani dapat terlihat bahwa implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh antara hukum negara (nasional) dan hukum adat (lokal) mengakibatkan konflik tanah adat antara sesama komunitas adat Sentani, antara warga dan pendatang, antara warga dan pemerintah, antara pemerintah setempat dengan pemerintah yang lebih besar (tinggi). Konflik yang terjadi di daerah Sentani merupakan konflik laten maupun konflik kekerasan yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada jenis-jenis konflik, akar penyebab pemicu konflik, sumber-sumber penyebab konflik, bentuk dampak dari konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Di dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sebagai prosedur yang tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati dan diarahkan pada latar dari individu serta organisasi secara holistik (utuh).
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yakni menggambarkan tanah adat dan potensi konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Sentani dan pendatang maupun masyarakat dan pemerintah serta pemerintah dan pemerintah di daerah Sentani dengan desain penelitiannya adalah studi kasus.
Dengan adanya konflik atau sengketa tanah adat memungkinkan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap baik, diperdebatkan kembali sehingga muncul pandangan baru. Hal yang tebih penting lagi yaitu untuk menguji gagasan dan nilai kinerja kelompok institusi-institusi yang ada dalam masyarakat adat Sentani sehingga penanganan konflik atau sengketa yang dilaksanakan selama ini secara sadar dan pemecahannya dapat diterima oleh semua pihak, dapat memberikan sumbangan yang berupa pola-pola atau pegangan-pegangan baru dalam penyelesaian konflik atau sengketa di daerah Sentani.
Akibat adanya konflik-konflik tanah adat tersebut memunculkan dampak konflik negatif dan konflik positif di daerah Sentani yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan komunitas lokal itu sendiri antara lain : retaknya hubungan sosial, terhambatnya fungsi sosial masyarakat, dan rapuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan pada masyarakat Sentani, adanya inovasi (pembaharuan) dan perkembangan-perkembangan dari kebudayaan lokal (adopsi) serta pranata sosial di dalam komunitas adat Sentani itu sendiri maupun pemerintah Kabupaten Jayapura.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat, menyuluruh serta terpadu (komprehensif) di dalam komunitas adat Sentani (struktur dan sistem adat) maupun di pihak pemerintah (mengimplikasikan kepentingan-kepentingan adat setempat) dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait tersebut.
(VI Bab, xxiv, 303 Halaman, 3 Tabel, 1 Peta, 4 Bagan, 3 Foto, Bibliografi : 58 Buku, 4 Peraturan Pemerintah, 2 Tesis, 2 Skripsi, 7 Makalah, 3 Jurnal, 2 Lampiran)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marion Lukman
"Permasalahan kemiskinan pascakonflik sosial sudah berlangsung beberapa tahun, akan tetapi proses untuk merehabilitasi masyarakat tersebut belum berhasil secara optimal. Masyarakat pascakonflik sosial membutuhkan suatu upaya pemberdayaan yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat itu kembali ke keadaan semula, bahkan lebih baik.
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pemberdayaan masyarakat pascakonflik sosial melalui program Community Based Livelihood Initiatives (CBLI) di desa Lalubi, kecamatan Crane Timur, kabupaten Halmahera Selatan, propinsi Maluku Utara. Program ini dijalankan oleh sebuah lembaga non pemerintah, yaitu Yayasan Tanggul Bencana (YTB).
Permasalahan ini diambil karena sudah begitu banyak pola pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Semuanya itu turut berperan dalam pembangtinan, sekecil apa pun peran mereka, termasuk program CBLI yang ditangani oleh YTB.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan berusaha untuk menggali informasi secara mendalam mengenai pola pemberdayaan masyarakat melalui program CBLI. Pemilihan informan merupakan informan yang lebih mengetahui secara teknis dan Iangsung sebagai sumber data yang dicari. Untuk pengumpulan data tersebut menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview), partisipan observasi, dan studi dokumentasi. Ketiga teknik itu digunakan untuk saling melengkapi sehingga dapat mengungkapkan realita sesungguhnya dari berbagai jawaban informan.
Adapun teori yang dijadikan rujukan dan kerangka analisis dalam penelitian ini adalah konsep pemberdayaan oleh tentang pendekatan pemberdayaan dalam upaya menumbuhkembangkan peranan stakeholders dan mengembangkan metodologi pembinaan dalam pelaksanaan pemberdayaan itu sehingga menjadikan masyarakat berdaya yang berarti juga kemandirian masyarakat. Selain itu konsep Intervensi Kesejahteraan Sosial menurut Cox (2001) yang merupakan tahapan pemberdayaan dari tahapan persiapan, pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan terminasi program.
Hasil penelitian menunjukkan suatu hubungan peranan yang terjadi antara peran pemerintah desa, peran tokoh agama, peran organisasi non pemerintah yang dalam hal ini adalah YTB mempunyai peranan dalam penyediaan sarana dan prasarana serta program yang realistis bagi kebutuhan masyarakat.
Hasil penelitian dari wawancara mendalam adalah melalui pendekatan kelompok terjadi proses penguatan di dalam masyarakat. Masyarakat menentukan sendiri pengurus kelompoknya, membuat aturan-aturan, membuat sanksi-sanksi yang disepakati, pemecahan masalah secara musyawarah, kesadaran untuk mengembalikan dana pinjaman, dan adanya tabungan kelompok.
Dikaitkan dengan kebijakan YTB, hasil penelitian mendalam dari program CBLI belum sepenuhnya sesuai dengan konsep pemberdayaan yang mengarah kepada kemandirian, yang terlihat sangat kuat adalah pemberdayaan ekonomi. Akan tetapi variabel adanya menumbuhkembangkan kerja sama dan keterpaduan antara unsur stakeholders, menumbuhkembangkan fungsi partisipasi masyarakat dalam kelompok sasaran, peningkatan kesadaran, dan peningkatan motivasi sudah berjalan dengan baik. Sedangkan peningkatan sumber daya manusia (intelektual) melalui peningkatan ketrampilan belum sesuai dikarenakan kebutuhan yang baru berjalan dari proses pelaksanaan program hanya kepada pembimbingan administrasi pembukuan yang sederhana.
Penelitian ini juga menemukan, bahwa proses pelaksanaan program CBLI memiliki tahapan-tahapan dan relevan dengan tahapan Intervensi Kesejahteraan Sosial yang dirumuskan oleh Cox (2001). Meskipun dalam aktivitasnya berbeda, tetapi secara substansi pola penanganan program CBLI dan Cox relatif sama.
Kendala yang dihadapi lembaga dalam pemberdayaan masyarakat melalui program CBLI terkait dengan koordinasi secara strulctural dari pemerintah daerah dalam mengembangkan pembangunan di desa Lalubi, faktor internal dari WG yang secara personal hanya ditangani oleh satu orang saja, yang mengakibatkan CO hanya menunggu petunjuk dari WG, dan pada kelompok sasaran, dimana motivasi dan kepercayaan terhadap anggota kelompok yang lain belum sepenuhnya.
Berdasarkan temuan penelitian tersebut, maka disarankan agar lembaga melakukan konsolidasi pengurus WG yang difasilitasi oleh YTB, CO juga diberikan kepercayaan dalam mengelola kelompok. Saran kepada Kelompok Sasaran adalah pertemuan kelompok perlu terus dijaga agar menghindari ketidakpercayaan dan turunnya motivasi untuk mengembangkan diri, kelompok juga perlu menjaga aturan-aturan kelompok yang disepakati bersama, dan perlunya saling membantu dan mendukung semacam rantai agar anggota kelompok yang sudah menjalankan usaha dapat membeli dan menjual sehingga terjadi putaran uang yang lancar. Saran kepada Pemerintah Daerah adalah meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library