Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Patar Kristiono
Abstrak :
Istilah Parodi banyak dikenal dalam Hak Cipta namun seiring perkembangan zaman tidak hanya Hak Cipta yang menjadi target Parodi melainkan juga Merek. Saat ini semakin banyak pelaku usaha yang menggunakan Parodi Merek dalam produknya dan sebagian besar Parodi Merek tersebut dengan sengaja menirukan Merek pihak lain. Penggunaan Parodi Merek seperti itu berpotensi merugikan pihak pemilik merek. Saat ini Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UUMIG) belum mengatur secara eksplisit tentang Parodi Merek. Penulisan Tesis ini mengkaji mengenai bagaimana suatu Parodi Merek dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek berdasarkan Undang-Undang Merek Indonesia dan Undang-Undang Merek di Amerika Serikat beserta putusan-putusan pengadilannya serta perlindungan hukum terhadap pemilik merek atas tindakan Parodi Merek. Metode penerapan penulisan tesis ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Metode yuridis normative digunakan untuk melakukan pengkajian terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku terutama yang berkaitan dengan permasalahan Parodi Merek. Parodi Merek yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek berdasarkan UUMIG adalah Parodi Merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar/merek terkenal dan digunakan sebagai merek dalam barang/jasa sejenis. Berbeda dengan Indonesia, di Negara Amerika tetap dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek meskipun tidak digunakan pada kelas barang/ jasa yang sama. Berdasarkan UUMIG, pemilik merek yang dirugikan karena tindakan Parodi Merek dapat menempuh upaya hukum perdata, upaya hukum pidana, dan/atau upaya hukum melalui alternatif penyelesaian sengketa. Sedangkan di Negara Amerika terdapat upaya hukum tambahan bagi pemilik merek terkenal terhadap permasalahan Parodi Merek ini yaitu gugatan perusakan merek (tarnishment). Para Regulator sebaiknya menambahkan ketentuan tentang pelanggaran merek untuk barang/jasa tidak sejenis dan juga untuk merek/elemen merek yang penggunaannya bukan sebagai merek dan gugatan pelanggaran merek terkenal untuk barang/jasa tidak sejenis dalam UUMIG mendatang. Hal ini bertujuan agar UUMIG mendatang dapat mengakomodasi permasalahan Parodi Merek yang sebagian besar penggunaannya bukan sebagai merek. Perlu juga diatur konsep dilusi merek terutama tentang gugatan perusakan merek (tarnishment) sebagai tambahan upaya hukum untuk merek terkenal terhadap permasalahan Parodi Merek. ......The term parodi is widely known in copyright, but over time it is not only copyright that is the target of parodi but also trademarks. Currently, more and more business actors are using Brand Parodies in their products and most of these Brand Parodies are deliberately imitating other parties' trademarks. The use of such Brand Parodi has the potential to harm the brand owner. Currently, Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications (UUMIG) does not explicitly regulate Trademark Parodi.

This thesis examines how a trademark parodi can be categorized as a trademark infringement based on the Indonesian trademark law and United States trademark law and its court decisions as well as legal protection for trademark owners for trademark parodi actions. The application method of writing this thesis is normative juridical with a statutory approach. The normative juridical method is used to conduct an assessment of the applicable legal rules, especially those relating to the issue of Trademark Parodi. Trademark Parodi which can be categorized as a trademark infringement under UUMIG is a Trademark Parodi which has similarities in principle with a registered mark/famous mark and is used as a mark in similar goods/services. In contrast to Indonesia, in America it can still be categorized as a trademark infringement even though it is not used in the same class of goods/services. Based on UUMIG, brand owners who are harmed by Trademark Parodi's actions can take civil legal action, criminal law efforts, and/or legal remedies through alternative dispute resolution. Meanwhile, in America, there are additional legal remedies for well-known brand owners against this trademark parodi problem, namely a trademark tarnishment lawsuit. Regulators should add provisions regarding trademark infringement for dissimilar goods/services and also for brands/brand elements whose use is not as a mark and lawsuits for infringement of well-known marks for dissimilar goods/services in the upcoming UUMIG. This is intended so that the upcoming UUMIG can accommodate the problem of Trademark Parodi, most of which are not used as brands. It is also necessary to regulate the concept of trademark dilution, especially regarding a trademark tarnishment lawsuit as an additional legal remedy for well-known brands against the issue of Trademark Parodi.

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Aprilia Adani
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan perkembangan teknologi, semua aktivitas manusia menjadi lebih efisien. Salah satunya dalam hal jual beli. Teknologi internet memungkinkan penjual dengan konsumen untuk jual beli tanpa tatap muka, yaitu lewat perdagangan elektronik (e-commerce). Seiring dengan perkembangan proses penjualan beli, semakin banyak masalah yang ada. Salah satu masalahnya adalah pelanggaran merek. Di platform e-niaga online Ada tiga pihak di pasar, yaitu Penyedia Platform, Pedagang, dan Konsumen. Jika terjadi pelanggaran pada platform e-commerce, Penyedia Platform sering dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran itu Skripsi ini membahas tentang latar belakang terciptanya safe harbour kebijakan yang dibentuk untuk melindungi penyedia platform e-commerce yang sering dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran di platform serta analisis komparatif dari tanggung jawab Penyedia Platform ECommerce terhadap konten pelanggaran merek di Indonesia (Safe Harbor Policy) dengan Amerika (The Digital Millenium Act) dan China (Hukum E-commerce) berdasarkan lima indikator yaitu regulasi, tindakan, hukuman, batas waktu dan set tipe platform.
ABSTRACT
With the development of technology, all human activities have become more efficient. One of them is in terms of buying and selling. Internet technology allows sellers and consumers to buy and sell without face to face, namely through electronic commerce (e-commerce). As the buying and selling process progresses, more and more problems arise. One of the problems is brand infringement. In the online e-commerce platform There are three parties in the market, namely Platform Providers, Traders and Consumers. If there is a violation on the e-commerce platform, the Platform Provider is often considered to be the party responsible for the violation. This thesis discusses the background of the creation of a safe harbor policy that was formed to protect e-commerce platform providers who are often considered the party responsible for violations. on the platform as well as a comparative analysis of the responsibilities of ECommerce Platform Providers for brand infringement content in Indonesia (Safe Harbor Policy) with America (The Digital Millenium Act) and China (E-commerce Law) based on five indicators, namely regulations, actions, penalties, time limits and the platform type set.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rakananda Defiano Jusuf Firmano
Abstrak :
Merek fiksi pada dasarnya dilindungi ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, kerap ditemukan upaya pendaftaran merek fiksi oleh pelaku usaha yang bukan merupakan pemegang hak cipta. Merek fiksi yang tidak didaftarkan sebagai merek membuka kesempatan bagi pelaku usaha lain untuk mendaftarkan merek fiksi tersebut sebagai merek terdaftar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis terkait bagaimana hukum merek di Indonesia dan Amerika Serikat mampu melindungi pendaftaran merek fiksi oleh pihak lain tanpa persetujuan pemegang hak cipta. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atas norma hukum tertulis. Perbandingan putusan pengadilan di Amerika Serikat dijelaskan untuk memberikan pemahaman terkait pelindungan merek terhadap merek fiksi di negara lain. Kesimpulan dari penelitian ini adalah merek fiksi dapat dilindungi di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagai ciptaan. ......Fictional marks are protected by Indonesian Copyright Law, Law No, 28 of 2014. However, attempts to register fictitious marks are often found by business owners who are not copyright holders. A fictional trademark that is not registered as a trademark opens up opportunities for other business owners to register the fictional mark as a registered mark. This study aims to analyze how trademark law in Indonesia and the United States is able to protect fictional trademark registration by other parties without the consent of the copyright holder. This study uses normative legal research on written legal norms. A comparison of court decisions in the United States is explained to provide an understanding regarding trademark protection for fictional marks in other country. The conclusion of this study is that fictional marks can be protected under Indonesian Copyright Law, Law No, 28 of 2014 and Indonesia Trademark and Geographical Indications Law, Law No. 20 of 2016 as creation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Dinnah Putri Prabowo
Abstrak :
Persaingan curang merupakan fenomena yang kerap ditemui dalam dunia perdagangan. Konvensi Paris mengatur mengenai persaingan curang dan mewajibkan negara peserta untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap tindakan persaingan curang. Indonesia sebagai negara peserta dari Konvensi Paris belum mengatur persaingan curang secara khusus dan komprehensif dalam undang-undang. Berbeda halnya dengan Korea Selatan yang juga merupakan negara peserta Konvensi Paris mengatur persaingan curang dalam undang-undang yang dinamakan Unfair Competition Prevention Act (“UCPA”). Pengaturan persaingan curang sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada pemilik merek terhadap tindakan persaingan curang dalam bidang merek. Melalui penelitian yuridis-normatif, peneliti menganalisis hubungan antara persaingan curang dengan merek, khususnya unsur persaingan curang pada pelanggaran merek. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu dibentuk Undang-Undang Persaingan Curang di Indonesia untuk dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif kepada pelaku usaha sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Paris. ......Unfair competition is a phenomenon that is often encountered in the world of trade. Paris Convention regulates unfair competition and requires participating countries to provide effective protection against unfair competition. Indonesia as a participating country of the Paris Convention has not specifically and comprehensively regulated unfair competition in its national law. In contrast, South Korea, which is also a participating country of the Paris Convention, regulates unfair competition in an act called the Unfair Competition Prevention Act (“UCPA”). The regulation of unfair competition is very necessary to provide protection to trademark owners against acts of unfair competition in the field of trademarks. Through juridical-normative research, the researcher analyzes the relationship between unfair competition and trademarks, especially the element of unfair competition in trademark infringement. The results suggest that it is necessary to establish an Unfair Competition Act in Indonesia in order to provide more effective protection to business owners as mandated by the Paris Convention.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhil Athallah Sakti
Abstrak :
Pengunaan dan pendaftaran/ pencatatan Logo yang tidak tepat marak menjadi sengketa antara pengguna hak cipta dan merek, hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai perlindungan dari kedua hak tersebut. Pada dasarnya Perlindungan Hak Cipta hanya diterapkan untuk komersialisasi Ciptaan. Sedangkan, perlindungan Merek pada dasarnya memiliki tujuan untuk melindungi produk berupa barang atau jasa. Adanya Pasal 65 dalam Undang-Undang Hak Cipta membuat sebuah hak cipta Logo tidak dapat didaftarkan menjadi Merek Terdaftar jika memiliki kesamaan. Pengaturan tidak memperbolehkan pedaftaran hak cipta logo yang memiliki kesamaan dengan merek terdaftar menghindari adanya pelanggaran merek persamaan pada pokoknya dengan sebuah Merek Terdaftar. Persamaan pada pokoknya sendiri merupakan adanya kesamaan arti, bunyi dan tampilan dengan tujuan membuat kebingungan konsumen secara nyata. Namun dalam pengenaan pelanggaran persamaan pada pokoknya sebuah merek harus digunakan terlebih dahulu oleh pihak lain. Tidak adanya pengaturan mengenai pengenaan sanksi persamaan pada pokoknya terhadap objek kekayaan intelektual lain mengakibatkan pemilik Merek Terdaftar mengalami kerugian yang besar dengan tidak dapat menjalankan periklanan dan promosi produk secara maksimal. Dalam praktiknya membuat pemilik hak cipta berbentuk logo dapat melakukan penyelewengan penggunannya dengan melakukan peniruan logo dalam bentuk tampilan dengan melakukan pemasaran ciptannya. Maka sebuah logo seharusnya tidak dapat dimiliki oleh pemilik hak cipta dan Merek secara bersamaan, perlu adanya pilihan yang harus ditentukan dengan pertimbangan yang tepat. Jika ingin melakukan untuk komersialisasi Ciptaan gunakanlah perlindungan hak Cipta. Namun gunakanlah perlindungan Merek bila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk dari adanya peniruan, penjiplakan dan pemalsuan oleh pihak lain yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat karena merusak repurtasi produk. ......Inappropriate use and registration of Logos are rife in disputes between copyright and trademark users, this is due to a lack of understanding regarding the protection of these two rights. Copyright Protection only applies to the commercialization of Works. Meanwhile, trademark protection aims to protect products in the form of goods or services. The existence of Article 65 in the Copyright Act makes a Logo copyright cannot be registered as a Registered Mark if it has similarities. The arrangement of not obtaining a logo copyright registration that has similarities with a registered mark avoids any trademark infringement in essence with a Registered Mark. The similarity in essence is the similarity in meaning, sound, and appearance to create real consumer confusion. However, in the imposition of an equality violation, in essence, a mark must be used first by another party. The absence of regulations regarding the imposition of equal sanctions in principle against other intellectual property objects results in the owner of the Registered Mark experiencing a large loss by not being able to run product advertising and promotion to the fullest. In practice, creating a copyright owner in the form of a logo can misuse its use by imitating the logo in the form of a display by marketing the creation. So a logo should not be owned by the copyright owner and the Mark simultaneously, there needs to be a choice that must be determined with proper consideration. If you want to commercialize a work, use copyright protection. However, use Mark protection if you want to protect a product from imitation, plagiarism, and falsification by other parties which can lead to unfair business competition because it damages product's reputation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Zahara Ichsan
Abstrak :
Parodi merek terkenal merupakan tindakan mentransformasikan merek terkenal dengan mengambil ciri khas merek terkenal yang diparodikan menjadi sesuatu yang baru dengan tujuan menimbulkan kesan kejenakaan, sindiran, cemoohan, ataupun kritik. Parodi merek terkenal yang didaftarkan sebagai merek dagang ini dapat menimbulkan persamaan pada pokoknya dan persamaan keseluruhan. Hal ini merupakan pelanggaran dari hukum merek Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pelanggaran merek dalam parodi merek terkenal yang didaftarkan sebagai merek dagang dan upaya hukum yang dapat dilakukan merek terkenal yang dirugikan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian bersifat yuridis-normatif artinya penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data-data sekunder seperti peraturan perundangundangan, literatur, doktrin atau pendapat para ahli, dan hasil penelitian terdahulu. Lebih lanjut, fenomena parodi merek terkenal yang dianalisis adalah Supirmu dan Pecel Lele LELA berpotensi termasuk ke dalam pelanggaran persamaan pada pokoknya yang seharusnya ditolak menurut Pasal 21 UU MIG. Parodi ini juga dapat berisiko dikategorikan sebagai dilusi, counterfeit, passing off, dan free riding. Oleh karena itu, pemilik merek terkenal yang mengalami kerugian dapat mengajukan berbagai upaya hukum. ......A Well-known mark parody is an act of transforming a well-known mark into something new by taking its characteristics to create the impression of humor, satire, ridicule, or criticism. Parodies of a well-known mark that are registered as trademarks could lead to similarities in essence and overall similarities. This is a violation of Indonesian trademark law. The purpose of this research are to analyze trademark violations in well-known marks parodies that are registered as trademarks and the legal remedies that can be taken by the well-known marks as the aggrieved party. This research was conducted using a juridical-normative form of research, by examining secondary data such as laws and regulations, literature, doctrine, or expert opinion, as well as the results of previous research. Furthermore, the well-known trademark parody that being analyzed are Supirmu and Pecel Lele LELA, which have the potential to be included in similarities in essence and should have been rejected under Article 21 of the MIG Law. This parody can also risk being categorized as dilution, counterfeit, passing off, and free riding. Therefore, well-known mark owners as the aggrieved party can file various legal remedies.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rico Reynardo
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis pertanggungjawaban game developer sebagai penyedia platform user-generated content terhadap pelanggaran merek yang dilakukan oleh penggunanya dan perbandingan antara pengaturan pertanggungjawaban game developer sebagai penyedia platform user-generated content terhadap pelanggaran merek yang dilakukan oleh penggunanya di Indonesia dengan Jerman dan Amerika Serikat. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Game developer sebagai penyedia platform UGC kemudian berkewajiban untuk memastikan platform-nya aman, andal, dan bertanggung jawab, sehingga game developer bertanggung jawab terhadap segala konten yang diunggah oleh pengguna game. Apabila terjadi pelanggaran merek, game developer perlu melakukan notice and takedown sebagaimana diatur dalam Permenkominfo 5/2020 dan apabila game developer tidak melaksanakan ketentuan tersebut, maka game developer dapat dimintai pertanggungjawaban menggunakan prinsip contributory infringement atau vicarious liability. Setelah dilakukan perbandingan, diketahui bahwasanya tidak terdapat perbedaan signifikan dalam pengaturan pertanggungjawaban game developer terhadap pelanggaran merek pada game UGC mengingat bahwasanya ketiga negara sama-sama menggunakan mekanisme notice and takedown. Namun, Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan khusus mengenai penggunaan doktrin contributory infringement dalam hukum positif Indonesia, berbeda dengan Amerika Serikat yang sudah tercantum dalam putusan Majelis Hakim sebagai yurisprudensi dan Jerman yang sudah menganut ketentuan dari EU Directive. Hal ini juga berlaku dalam vicarious liability, bahwasanya tidak ada pengaturan vicarious liability secara khusus dalam UNU MIG dan peraturan turunannya. ......This thesis analyzes the accountability of game developers as providers of user-generated content platforms for trademark infringements committed by their users. It also compares the arrangements for the accountability of game developers as providers of user-generated content platforms for trademark infringements committed by their users in Indonesia, Germany, and the United States. This thesis is conducted using a juridical-normative research method. Game developers, as providers of UGC platforms, are obligated to ensure that their platforms are safe, reliable, and responsible. Therefore, game developers are responsible for all content uploaded by game users. In the event of a trademark violation, game developers need to perform a notice and takedown procedure as regulated by Permenkominfo 5/2020. If game developers fail to comply with these provisions, they can be held accountable using the principles of contributory infringement or vicarious liability. After the comparison, it is found that there is no significant difference in the arrangement of game developer accountability for trademark infringements on UGC games since all three countries use the notice and takedown mechanism. However, Indonesia has not explicitly and specifically regulated the use of contributory infringement doctrine in positive Indonesian law, unlike the United States, which is stated in the judges' decision as jurisprudence, and Germany, which adheres to the provisions of the EU Directive. This also applies to vicarious liability, where there is no specific regulation of vicarious liability in the MIG Law and its derivative regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Tiku Sarungu
Abstrak :
Undang-Undang Merek No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan definisi merek yang menyatakan bahwa Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/ atau 3 {tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa. Merek dijadikan sebagai unsur pembeda pada sebuah produk dan jasa. Perekonomian dan pengaruh globaliasi yang berkembang menyebabkan kemajuan terhadap berbagai sektor. Penulisan ini mengambil 3 (tiga) pokok permasalahan yaitu bagaimana pengaturan hukum merek terkait dengan pelanggaran merek berupa penjualan produk palsu, bagaimana kebijakan dalam penyedia sarana perdagangan di Indonesia terkait tindakan notice and takedown serta kasus yang terkait dengan tindakan notice and takedown di China dan Filipina, dan bagaimana batasan serta implementasi dari tindakan notice and takedown pada penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik bila terjadi pelanggaran merek berupa penjualan produk palsu pada penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif yang menitikberatkan pada penggunaan norma hukum secara tertulis dan didukung dengan dengan hasil penelitian atas penggunaan norma yang berlaku. Kesimpulan yang didapatkan adalah tindakan notice and takedown yang dilakukan oleh penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik tidakah cukup untuk mengatasi pelanggaran merek secara online karena akan menimbulkan adanya potensi terjadinya pelanggaran merek berupa penjualan barang palsu. Serta dimungkinkan pula adanya potensi permintaan ganti rugi yang akan diajukan oleh pemilik merek kepada penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik. ......Law of the Republic of Indonesia number 20 of 2016 on Marks and Geographical Indications has gi en the definition which states that Mark means any sign capable of being represented graphically in the form of drawings, logos, names, words, letters, numerals, colors arrangement, in 2 (two) and/or 3 (three) dimensional shape, sounds, holograms, or combination of 2 (two) or more of those elements to distinguish goods and/or services produced by a person or legal entity in trading goods and/or services. Trademark is used as a distinguishing element in a product and service. The economy and the growth of globalization have led to advances in various sectors. This paper takes 3 (three) main issues, first is how the legal provisions for trademarks are related to trademark infringement in the form of selling counterfeit goods. Second is how are the policies in trading facilities providers in Indonesia are related to notice and takedown actions, and cases related to notice and takedown actions in China and the Philippines. Lastly, how to limit and implement the notice and takedown actions for providers of trading facilities through electronic systems in the event of a trademark infringement in the form of selling counterfeit goods to providers of trading facilities through electronic systems in Indonesia. The research method used is juridical-normative which focuses on the use of legal norms in writing and is supported by research results on the use of applicable norms. The conclusion is that notice and takedown actions carried out by providers of trading facilities via electronic systems are not sufficient to overcome online trademark infringement because they will cause a potential for trademark infringement in the form of selling counterfeit goods. It is also possible for the potential compensation request to be submitted by the trademark owner to the trading facility provider through an electronic system.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library