Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Belinda Rosalina
"Pemalsuan lukisan baik itu di Indonesia maupun di negara lain mulai merajalela. Hal ini disebabkan penghargaan manusia atas hasil karya lukisan meningkat. Lukisan Raden Saleh dapat bernilai milyaran Rupiah sehingga lukisannya menjadi sasaran untuk dipalsukan. Disayangkan Undang-Undang Hak Cipta yang ada di Indonesia kurang memberikan perlindungan terhadap karya lukis karena adanya batasan jangka waktu yang relatif cepat bagi suatu karya lukis. Perlindungan hanya diberikan untuk waktu selama seumur hidup pelukis ditambah dengan lima puluh (50) tahun. Pada Rancangan Undang-Undang tentang hak Cipta diberikan waktu tambahan menjadi seumur hidup Pencipta ditambah tujuh puluh (70) tahun dimana penambahan inipun dirasa kurang mencukupi. Konvensi Bern dalam pengaturan jangka waktu memberikan jangka waktu minimal (post mortum) seumur hisup pelukis di tambah lima puluh (50) tahun sehingga jangka waktu minimal ini dapat diubah sesuai dengan kebutuhan suatu negara. Lukisan Raden Saleh yang dipalsukan sekitar tahun 1880 tidak dapat ditanggulangi dengan Hak Cipta karena terhadap karya cipta tersebut jangka waktunya telah lama berakhir. Di sayangkan hal ini tidak dapat ditindak dengan tegas. Hukum Pidana Indonesia-pun tidak dapat menjangkau penanganan pemalsuan lukisan Raden Saleh di Eropa ini. Merupakan salah satu jalan keluar yaitu dengan menggugat secara perdata bagi si pemalsu, tetapi alangkah lebih baik apabila perundang-undangan mengenai Hak Cipta itu sendiri yang mengatasinya mengingat bahwa suatu lukisan itu merupakan hasil karya cipta seorang pelukis yang ekspresinya sangat dihargai karena bersifat unik dan seharusnya hanya ada satu di dunia. Sudah seharusnya untuk karya lukis lebih mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat dengan memberikan jangka waktu perlindungan selama-lamanya seperti penghargaan terhadap suatu budaya masyarakat, mengingat lukisan dapat menjadi salah satu kebanggan negara."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20797
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Ayasha
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S24341
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Margiyono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S24025
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gilderoy Lihardo Immanuel
"Perkembangan teknologi yang pesat menghasilkan pertukaran informasi yang semakin mudah tiap hari nya, hal ini tidak terlepas dengan kemudahan untuk mengakses karya cipta melalui akses internet. Kemudahan ini tidak membatasi terjadi nya pelanggaran terhadap karya cipta orang lain, dimana salah satu nya merupakan Tindakan pelanggaran terhadap font dan typeface yang kerap terjadi. Pengaturan terhadap font dan typeface merupakan hal yang penting dikarenakan pengaturan merupakan satu-satu nya metode perlindungan karena belum ada nya sistem perlindungan yang dapat melindungi font dan typeface dari tindakan pelanggaran. Untuk itu, penelitian ini akan menjelaskan terkait font dan typeface beserta pelanggaran yang dapat terjadi kepada font dan typeface. Selain itu penelitian ini juga akan menganalisis terkait pengaturan terhadap font dan typeface di Indonesia dan akan dilakukan perbandingan dengan peraturan di Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber penelitian dan data yang didapatkan melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pengaturan terkait font dan typeface belum diatur secara eksplisit pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (“UUHC”) dan dirasa perlu nya pengaturan lebih lanjut terkait aspek-aspek pada font dan typeface yang lebih medetail agar tercipta nya kepastian hukum. Sehingga, Indonesia dapat membuat pengaturan yang sesuai dengan kondisi di Indonesia dengan mengadopsi pengaturan yang telah berlaku di Amerika Serikat dan Inggris.

The rapid development of technology has resulted in an easier exchange of information every day, this is inseparable from the ease of accessing copyrighted works through internet access. This convenience does not limit the occurrence of violations of other people's copyrighted works, where one of them is a violation of fonts and typefaces that often occur. Regulations on font and typeface is important because those regulations is the only protection method available, because there is no protection system that can protect fonts and typefaces from violations. For this reason, this study will explain fonts and typefaces along with violations that can occur to fonts and typefaces. In addition, this study will also analyze the regulations related to fonts and typefaces in Indonesia and will be compared with regulations in the United States and United Kingdom. The research will be carried out using research sources and data obtained through literature studies. The conclusion that can be drawn is that the regulations related to fonts and typefaces have not been explicitly regulated in Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ("UUHC") and it is felt that further arrangements are needed regarding aspects of fonts and typefaces that are more detailed in order to create legal certainty. Thus, Indonesia can make arrangements that are in accordance with the conditions in Indonesia by adopting the arrangements that have been in force in the United States and the United Kingdom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inda Citraninda Noerhadi
"Perubahan sosio budaya yang terjadi di Indonesia pada abad ke-20 menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah memasuki era modernisasi. Berbagai unsur dan kebutuhan kehidupan modern, mulai dari sistem industri, teknologi, dan seni, khususnya seni lukis ikut dalam berbagai perubahan dan mengalami pembaruan. Seni baru-yang dikenal sebagai seni modern-memasuki gelanggang kehidupan pada masyarakat Indonesia.
Seni baru itu diciptakan dan dihidupkan oleh sekelompok anggota masyarakat yang membentuk suatu lingkungan tersendiri di kota-kota besar di Indonesia. Mereka yang mengerjakan seni ini pada mulanya berasal dari sanggar-sanggar yang mengajarkan pengetahuan seni modern, dan kemudian masuk ke berbagai perguruan tinggi di kota-kota besar. Sebagaimana terjadi perubahan dan pembaruan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, kehidupan seni modern berkembang dalam kehidupan pencipta dan pencintanya. Sejumlah seniman modern yang terdidik kemudian bermunculan dengan membawa fahamnya masing-masing, dan masyarakat elite Indonesia, kaum terpelajar, para 'connoisseurs' menjadikan seni modern sebagai suatu kebutuhan tersendiri.
Sejalan dengan semangat zaman, masa Orde Baru di Indonesia dengan spirit "pembangunan ekonomi" di berbagai sektor kehidupan telah membawa pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat, terutama para pelaku bisnis dan kaum elite. Di era tahun 1980-an, misalnya, kita mulai menyaksikan pertumbuhan sektor kehidupan bisnis yang berpengaruh pada perkembangan ekonomi di Indonesia. Pada beberapa sektor kehidupan bisnis, seperti perbankan, properti, perhotelan, dan sebagainya telah mempengaruhi kehidupan dunia seni lukis modern yang semula masih terbatas peminatnya. Setelah pemerintah melakukan deregulasi sektor perbankan tanggal 1 Juni 1983, dan upaya peningkatan ekonomi Pakto 1988, dengan kebijaksanaan ini telah berdiri bank-bank swasta nasional, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat, dimana pemberian kredit bank sangat mudah diperoleh, kita mulai menyaksikan munculnya suatu lapisan masyarakat yang berjaya di era ini. Mereka terdiri dari kalangan bisnis, bankir, atau para pengusaha yang sukses.
Kehidupan seni lukis modern Indonesia mau tidak mau terseret ke dalam gelanggang bisnis setelah lapisan masyarakat atas ini mulai membutuhkannya sebagai memiliki nilai investasi di masa depan. Di sisi lain, munculnya gedung-gedung perkantoran baru dan modern, seperti bank-bank dan hotel-hotel berbintang, apartemen-apartemen, menimbulkan kebutuhan yang semakin meningkat akan seni lukis modern. Meningkatnya bursa saham di pasar modal pada akhir 1980-an memberi efek yang besar ke dalam perdagangan seni lukis modern ini ke dalam "boom". Pembutuh lukisan semakin meningkat, dan sejumlah pelaku bisnis mulai terlibat untuk membuka galeri-galeri seni rupa modern yang memperjualbelikan seni ini ke dalam gelanggang bisnis yang milyaran. Timbulnya konglomerasi dan penumpukan modal serta produksi pada segelintir individu atau kelompok pada era ini mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan masyarakat miskin, berakibat pula terjadinya kesenjangan sosial.
Situasi di atas saat ini telah kita lihat berlangsung di beberapa sektor ril, antara lain dunia perbankan, pasar modal dan perhotelan. Kegiatan-kegiatan ini sangat terikat pada sistem global dengan bantuan dan sarana teknologi informasi yang memungkinkan dunia bisnis berjalan begitu cepat. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan konsumen untuk memesan, membeli dan menjual produksi lukisan. Keterkaitan antarnegara dalam kegiatan ekonomi tidak lagi terbatas pada aspek jual beli, tetapi juga pada aspek produksi.
Pembentukan pasar bebas di kawasan ASEAN juga telah memberi dampak bagi perkembangan seni iukis yang merupakan karya intelektual manusia di bidang ilmu seni, saat ini dianggap sebagai komoditas dan melalui perdagangan global memberi peluang pasar yang besar karena memiliki nilai jual yang tinggi. Semua masalah yang berhubungan dengan proses perdagangan karya senipun tidak terlepas dari hukum suatu negara, terlebih lagi apabila karya-karya seni lukis tersebut diperdagangkan antarnegara. Perkembangan ekonomi internasional dengan kecenderungan globalisasi ini jelas akan mempengaruhi perekonomian nasional Indonesia. Banyak peluang tercipta, akan tetapi tidak mustahil akan banyak pula tantangan yang dihadapi.
Berbagai upaya tentu akan dilakukan untuk memperoleh kembali karya seni lukis yang telah dicuri atau hilang, apalagi jika karya tersebut dipalsukan oleh pihak-pihak yang tidak berlangsung jawab, sementara karya-karya lukis modern Indonesia beberapa tahun terakhir ini banyak diperdagangkan di luar wilayah Indonesia. Pada gilirannya diperlukan perlindungan hukum yang efektif dari segala tindak pelanggaran.
Berbagai peristiwa yang menyangkut perdagangan seni lukis menjadi perhatian masyarakat. Di antaranya telah terjualnya sebuah lukisan karya Raden Saleh berjudul "Berburu Rusa" yang dibuat di Paris tahun 1846, melalui Dalai Lelang Christie's di Singapura dengan harga mencapai nilai 5,5 miliar rupiah. Harga lukisan ini memegang rekor tertinggi dengan menyisihkan 135 lukisan karya seniman Indonesia lainnya, serta 34 lukisan karya seniman Singapura dan Malaysia. Dalam lelang tersebut telah terjual pula lukisan karya Hendra Gunawan tanpa tanda tangan dengan harga 1,3 miliar rupiah, dan sebuah?."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
D490
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virza Roy Hizzal
"Dikotomi antara perlunya tindakan tegas dalam memberantas terorisme dengan kewajiban melindungi HAM yang tidak bisa dinafikan begitu saja, menimbulkan diskursus di kalangan akademisi, praktisi, stake holder, pemerintah maupun pembuat udang undang yang tak kunjung menemukan persepsi sama dalam menghadapi bahaya terorisme. Keberagaman dari unsur "cara" teroris dalam melaksanakan aksi dan tujuannya, membuat perlunya suatu bentuk definisi yang mampu meng-cover unsur-unsur tindak pidana terorisme secara komprehensif Terorisme dari sudut pandang pelaku atau aktor, tidak saja. dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh negara (state terrorism). Pernyataan ini diambil dari realita bahwa terhadap sesuatu yang menimbulkan peristiwa teror (adanya ancaman, intimidasi, rasa ketakutan, tidak aman, dan lain-ain), dapat diakibatkan oleh upaya massive yang gencar dilakukan pemerintah dalam memberantas terorisme. Kebijakan yang dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan merupakan acuan bagi pelaksananya dalam menjalankan apa yang telah digariskan sesuai dengan normanorma yang berlaku. Akan tetapi, ada kalanya suatu peraturan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, maupun tidak sejalan dari tujuan semula ketika peraturan tersebut dilaksanakan. Bahkan tidak jarang terjadi penyimpangan maupun salah penafsiran dari apa yang telah digariskan oleh peraturan tersebut akibat tidak dibuat dengan sungguh-sungguh dan tidak memparhatikan aspek historis, sosiologis, maupun yuridis yang ada pada masyarakat Kebijakan dalam penanggulangan terorisme, tidak boleh hanya memandang bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa sehingga harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Ada hal lain yang harus diperhatikan secara kompleks, terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi korban akibat "perang melawan terorisme" tersebut. Sebenamya, pihak yang paling rentan menjadi korban dari "histeria" terorisme adalah masyarakat. Oleh karena itu, bagaimanapun hebatnya penggalangan opini maupun kebijakan reprrssive dalam memberantas terorisme, tidaklah boleh mengabaikan rasa aman dan kebebasan masyarakat itu sendiri. Proses penyelidikan dan penyidikan, sebagai pintu gerbang dalam pemberantasan terorisme, merupakan hal yang paling rentan terjadinya pelanggaran HAM data kesewenang-wenangan aparat (abuse of power). Selain itu, undang-undang anti-terorisme juga membuka intervensi badan intelijen yang nota bene bukan badan yudisial, dengan melegitimasi laporan intelijen sebagai bukti permulaan. Hak Asasi Manusia yang melekat secara indivual pada setiap orang, tidak memandang perlu atau tidaknya terorisme diberantas, akan tetapi hak-hak tersebut merupakan kemutlakan yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab negara. Begitu pula dengan hak-hak tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme. Masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme juga mempunyai hak yang sama untuk diperlakukan sesuai dengan standar HAM yang berlaku secara universal. Oleh karena itu yang sangat penting untuk dijadikan agenda utama bagi negara kita adalah bagaimana kebijakan pengaturan tindak pidana terorisme harus berada dalam dua titik keseimbangan, yakni keselarasan antara prinsip "security" dan "libertty''.

Dichotomy between necessary acts of force in fighting terrorism with the obligation to protect Human Rights (HR) cannot be easily ignored, and have created discourse among academic, practitioners, stakeholder, government and legislator and policy maker. Until now they still can find the same perception in facing the danger of terrorism. The variety of element "way" of terrorist in mode of their action and their aim, make important to have one definition that can covered elements on came of terrorism comprehensively. Terrorism from point of view terrorists or actor, can be viewed that terror is not only can conduct by individual or group, but also conduct by State (state terrorism). This statement is taken from reality that things that can create condition of terror (presence of treat, intimidation, fear, insecure, etc) can be caused by massive efforts that has been rapidly done by government to fight against terrorism_ Regulation policy is the reference for operational act on what have been accepted as norms. Although sometimes, a rule or regulation cannot accustomed with what have been goal to, and also disharmony with the primary aim on how to be conducted. And it is not rare that deviant or wrong interpretation from what have meant to be by the regulation is caused by unprepared regulation or without fully considering historical aspect, sociology, and existed jurisdiction in society. Policy to over come terrorism cannot only by viewing that terrorism is extraordinary crime, but also have to be eliminate from its roots. There is other things that have to be concern, as complexity of it, specially in related with society rights that can be in any time to be a victim cause by "war against terrorism. Actually the most vulnerable victim of "hysteria" terrorism is society. Because of that, no matter how great opinion maker and repressive policy to abolish terrorism, it cannot be practice by ignore security and freedom of society. The investigation process and crime scene investigation, as one gate to eliminate terrorism, and can be a vulnerable space for HR violation and abuse of power by apparatus_ Beside, Anti Terrorism Law can open way to board intelligent to intervene, while this is not a judicial board. Where legitimate report from intelligent body is accept as preliminary evident Human Rights embedded individually with everyone, regardless necessary or not necessary that terrorism ought to eliminate, it is absolutely government responsibility to fulfill its rights. It is also the rights of suspect/convicted crime of terrorism. Society can be at anytime suspect/convict crime of terrorism have to be treated equally according to universal HR standard. By that guarantee it is important that primary agenda for our State to ensure that regulation policy on terrorism crime stay in two point of balance, a principle harmony of "security" and "liberty"."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handi Nugraha
"Penelitian tentang perlindungan hak moral dalam UU hak cipta ini pada awalnya timbul karena adanya rasa penasaran penulis atas pernyataan dari International Intellectual Property Allience (IIPA) yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 24 (2) Jo. Pasal 55 (c),(d) UUHC 2002, telah melebihi ketentuan Article 6bis(l) Konvensi Berne yang mengatur tentang hak moral, sehingga perlu direvisi. Selanjutnya, penulis juga melihat terdapat kejanggalan dalam pengaturan hak moral dalam UUHC 2002, di mana dalam penjelasan umum UUHC 2002 ini disebutkan bahwa Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights) . Di sini, hak moral diartikan sebagai hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan (inalienable rights). Sedangkan bila merujuk Pasal 3 UUHC 2002 menunjukkan bahwa hak cipta merupakan hak kebendaan yang dapat beralih atau dialihkan berdasarkan hal-hal tertentu baik seluruhnya ataupun sebagian. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerancuan konsepsi mengenai hak moral dalam UUHC 2002. Terlebih tidak ada satu pasal pun yang mengatur hak moral bagi palaku dalam UUHC 2002. Lalu bagaimanakah konsep hak moral itu sesungguhnya, dan benarkah ketentuan hak moral dalam UUHC 2002 telah melebihi Pasal 6bis Konvensi Berne?. Berdasarkan hasil penelitian, konsepsi hak moral ternyata tidaklah sama meskipun di negara-negara yang menjadi anggota Konvensi Berne, baik dari segi sifat maupun ruang lingkupnya. Bahkan, di negara asal konsepsi hak moral ini yaitu Perancis, pengaturan hak moral jauh melebihi ketentuan dalam Konvensi Berne. Sehingga, rekomendasi IIPA tersebut di atas adalah sangat tidak relevan. Selain itu, Hak moral ternyata tidak sama dengan hak cipta dan juga bukan merupakan bagian dari hak cipta. Hak moral lebih merupakan hak pelengkap atau hak tambahan {additiona1 rights) bagi pencipta dan/atau pelaku."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erik Meza Nusantara
"ABSTRAK
Di kalangan umat Kristiani perkembangan musik rohani mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Penulis ingin mengetahui bagaimana
perlindungan Hak Cipta pencipta lagu rohani dan hak terkait produser rekaman
berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta serta bagaimana peran
Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) sebagai badan yang mengumpulkan
royalti sehubungan dengan perlindungan Hak Cipta di bidang lagu rohani.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian
deskriptif analistis. Pada musik rohani pun berlaku hal yang sama dimana banyak
pencipta lagu maupun produser rekaman rohani mengeluhkan mengenai
pelanggaran Hak Cipta. Muncul dilema dari pencipta lagu bahwa mereka tidak
perlu melakukan penuntutan karena selain tidak mengetahui hukum juga tidak
ingin kasus mereka diekspos di media massa. Sampai saat ini belum ada kasus
pelanggaran Hak Cipta di bidang lagu atau musik rohani yang sampai pada jalur
pengadilan. Umumnya mereka lebih memilih jalur mediasi perdamaian. YKCI
mempunyai peran mengawasi petforming rights pencipta lagu. Dalam hal
menyerahkan kaiya ciptanya ke lembaga pengumpul royalti atau collecting
society, pencipta lagu rohani ada beberapa yang menyerahkan pengawasannya ke
YKCI. Tetapi di lapangan seringkali ‘kebablasan’ dalam hal pengawasannya.
Dalam hal pengaturan untuk melindungi Hak Cipta dan hak terkait bidang lagu
atau musik sudah cukup baik. Dengan diberlakukannya UU No. 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta, Indonesia mempunyai perangkat perundang-undangan
nasional yang lebih sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasional dan lebih
kuat dasar hukumnya bagi penegakan perlindungan hukum. Tetapi dalam
pelaksanaannya masih ditemukan kendala-kendala penegakan hukum Hak Cipta
lagu atau musik.

ABSTRACT
Among Christians Gospel Music undergoes rapid development: The purpose this
thesis is to search on Copyright protection for gospel songwriters and the
neighboring rights o f recording producers according to UU No 19 Tahun 2002 On
Copyright Law; as well as the role o f YKCI as the collecting society in relation to
Copyright protection in gospel music. This is qualitative research using descriptive
analytic research method. The same goes from gospel music where many songwriters
as well as recording producers complain about Copyright infringement. Dilemmas
emerge from songwriters who refrain from prosecuting due to ignorance concerning
valid laws and reluctance towards media exposure. To date no cases in gospel music
copyright infringement has reached the court. In most cases the parties involved
prefer alternative dispute resolutions. YKCI plays the role in scrutinizing the
performing rights songwriters. In licensing there works to royalty collecting societies,
some songwriters consign scrutiny to YKCI. However in practice the rules o f the
game are often breached in the scrutiny. In the scrutiny to protect Copyright and
neighboring rights in general music, the practice is already satisfactory. With the
passing o f UU No. 19 Tahun 2002 in Copyright Laws, Indonesia has a set o f national
laws that is more in line with international obligations and a stronger legal
foundation for the enforcement o f the law. However the problems are still found in
the practice o f enforcing copyrights laws in song or music."
2008
T37249
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Barry Maheswara
"Dalam suatu transaksi merger, pemegang saham minoritas cenderung tidak memiliki banyak opsi untuk mengambil peran pengambilan keputusan. Undang- Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengamanatkan bahwa dalam melakukan merger, kepentingan dari pemegang saham minoritas harus menjadi salah satu perhatian utama. Dalam pelaksanaannya, jika pemegang saham minoritas menolak ikut serta dalam merger, maka dia memiliki hak untuk menjual sahamnya, dan perusahaan wajib membeli saham tersebut dengan harga yang wajar.
Dalam penelitian ini penulis akan meneliti bagaimanakah proses penentuan harga yang wajar tersebut dan mencari tahu apakah terhadap proses penentuan nilai wajar tersebut hak-hak dari pemegang saham minoritas tetap menjadi perhatian. Penulis akan menggunakan contoh kasus pada merger dari PT Bank OCBC NISP Tbk dengan PT Bank OCBC Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis.
Hasil penelitian penulis menemukan bahwa dalam penentuan nilai pasar wajar untuk konversi saham dalam suatu transaksi merger, tidak ditemukan adanya ruang yang secara tegas diatur oleh hukum yang memberikan kesempatan bagi pemegang saham minoritas untuk menegosiasikan nilai pasar wajar atas saham-saham mereka dalam hal mereka hendak menjual saham tersebut. Hal yang ditemukan oleh penulis adalah ruang penyelesaian sengketa yaitu menggunakan hak pemegang saham minoritas untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.

In a merger transaction, the minority shareholder tends to not to have lots of option for taking a decision-making role in the transaction. The Law No. 40 year 2007 regarding Limited Liability Company addressed that in executing a merger, the minority shareholders right must be taken into serious consideration. In the implementation, if there?s any minority shareholders that decides to not take part in the merger process, he have the rights to sell his shares and the company is obliged to buy that particular shares in a fair market value.
This thesis is going to find out what is the process in determining a fair market value and will try to finding out whether the rights of the minority shareholders is still considered to put into account on determining the fair market value. The writer will use an example of the merger of PT Bank OCBC NISP Tbk with PT Bank OCBC Indonesia. This research is a qualitative research with analytical descriptive design.
As a result of this research, the writer finds out that in the process of determining a fair market value for the share conversion in a merger transaction, there are no governing law that gives a room for the minority shareholders to negotiate the price for their shares in the event if they want to sell their shares to the majority by way of not agreeing with the merger plan. What the writer found is that the minority shareholders can use the court to settle the dispute over the fair market value by using his rights to submit a lawsuit to the court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44137
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>