Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Syaharani
"Unsur persamaan pada pokoknya merupakan salah satu unsur yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pasal tersebut secara spesifik mengatur mengenai dasar penolakan merek secara relatif atau merek yang dapat ditolak. Pasal tersebut seringkali dimaknai berbeda dari berbagai pihak, hal ini menyebabkan ketidakpastian terhadap pendaftaran merek. Ketidakpastian tersebut berdampak terhadap merek untuk aplikasi e-commerce. Melalui beberapa contoh kasus diantara sesama merek aplikasi e-commerce yang terdapat dalam beberapa putusan, dapat terlihat ketidakpastian hukum dalam memutuskan kasus terkait. Hal tersebut dapat dilihat dari ketidaktepatan penerapan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penelitian ini akan memberikan tolak ukur untuk menentukan persamaan pada pokoknya terhadap merek aplikasi e-commerce, agar terciptanya kepastian hukum baik dalam tahap pendaftaran merek ataupun sengketa di pengadilan.

The element of principal similarities is one of the elements contained in Article 21 paragraph (1) letter a of Law Number 20 of 2016 about Trademark and Geographical Indications. This article specifically regulates the basis for rejecting trademark relatively or trademark that can be rejected. This article is often interpreted differently by various parties, this causes uncertainty regarding trademark registration. These uncertainties have an impact on e-commerce applications trademark. Through several examples of cases among fellow e-commerce applications trademark contained in several decisions, legal uncertainty can be seen in deciding related cases. This can be seen from the inappropriate application of Article 21 paragraph (1) letter a of Law Number 20 of 2016 about Trademark and Geographical Indications. This research will provide a benchmark to determine principal similarities to e-commerce application trademark, so as to create legal certainty both in the trademark registration and in court disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firizky Ananda
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pengaturan konsep persamaan pada
pokoknya dalam Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs, dan Undang-Undang No. 15
Tahun 2001 tentang Merek. Selain itu skripsi ini membahas pula mengenai
bagaimana penerapan konsep persamaan pada pokoknya pada kasus-kasus
pembatalan merek di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaturan
konsep persamaan pada pokoknya dalam Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs, dan
UU Merek 2001 dan penerapan konsep persamaan pada pokoknya sudah sesuai
dengan Konvensi Paris dan Persetujuan TRIPs.

ABSTRACT
This thesis focuses on how the regulation of likelihood of confusion concept in
Paris Convention, TRIPs Agreement, Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001.
Furthermore, this thesis also focuses on the application of the likelihood of
confusion in the cancellation of trademark registration cases. This research is
qualitative descriptive interpretive. The result of the research shows that
likelihood of confusion concept is regulated in Paris Convention, TRIPs
Agreement, and UU Merek 2001 and the application of likelihood of confusion
concept has been in accordance with Paris Convention and TRIPs agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43789
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Hartika Evani
"ABSTRAK
Pencemaran merek terkenal adalah konsep yang memberikan hak kepada pemilik merek terkenal untuk mencegah pihak yang tidak berwenang untuk menggunakan mereknya yang dapat melemahkan nilai daya pembeda dari merek terkenal tersebut, terlepas dari adanya unsur kebingungan konsumen.Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah apakah ketentuan mengenai persamaan pada pokoknya dan keseluruhannya pada merek terkenal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dapat dipersamakan dengan ketentuan dilution terhadap merek terkenal, serta apakah Undang-Undang Merek di Indonesia harus mengatur mengenai dilution terhadap merek terkenal.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan dan metode perbandingan.Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketentuan mengenai persamaan pada pokoknya dan keseluruhannya pada merek terkenal seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 maupun yang terdapat dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 belum dapat sepenuhnya dipersamakan ketentuan dilution terhadap merek terkenal, dan pengaturan mengenai dilution terhadap merek terkenal diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek terkenal.Penulis menyarankan agar dilution theory dapat digunakan dalam peraturan perundang-undangan mengenai merek untuk mengisi kekosongan hukum dan menjadi ketentuan hukum baru sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek terkenal.

ABSTRACT
Dilution of well known marks is a concept giving the owner of a well known trademark standing to forbid the unauthorized party using that mark in a way that would lessen its uniqueness of the trademark that need not be accompanied by an element of likelihood of confusion.Problems area in this thesis are, is the provision about the similarity in its essential part or in its entirety of well known marks that contain in Law No. 20 Year 2016 Concerning Trademark and Geographical Indication can be equalized with dilution of well known marks, and is Indonesian Law regarding marks should have regulation about protection against dilution of the well known mark.The method which is used in this research is normative judicicial with statute approach and comparative approach.Conclusion in this research are the provision about the similarity in its essential part or in its entirety of well known marks that contain in Law No. 20 Year 2016 Concerning Trademark and Geographical Indication and The Minister of Law and Human Rights Regulation No. 67 of 2016 cannot be equalized with dilution of well known marks, and a regulation of dilution of well known trademark is needed to give legal security for the owner of well known trademark.According to this research, the writter suggest to use dilution theory as a new provision in Indonesian Law regarding marks to give legal security for the owner of well known trademark."
2017
T49732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Zahara Ichsan
"Parodi merek terkenal merupakan tindakan mentransformasikan merek terkenal dengan mengambil ciri khas merek terkenal yang diparodikan menjadi sesuatu yang baru dengan tujuan menimbulkan kesan kejenakaan, sindiran, cemoohan, ataupun kritik. Parodi merek terkenal yang didaftarkan sebagai merek dagang ini dapat menimbulkan persamaan pada pokoknya dan persamaan keseluruhan. Hal ini merupakan pelanggaran dari hukum merek Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pelanggaran merek dalam parodi merek terkenal yang didaftarkan sebagai merek dagang dan upaya hukum yang dapat dilakukan merek terkenal yang dirugikan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian bersifat yuridis-normatif artinya penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data-data sekunder seperti peraturan perundangundangan, literatur, doktrin atau pendapat para ahli, dan hasil penelitian terdahulu. Lebih lanjut, fenomena parodi merek terkenal yang dianalisis adalah Supirmu dan Pecel Lele LELA berpotensi termasuk ke dalam pelanggaran persamaan pada pokoknya yang seharusnya ditolak menurut Pasal 21 UU MIG. Parodi ini juga dapat berisiko dikategorikan sebagai dilusi, counterfeit, passing off, dan free riding. Oleh karena itu, pemilik merek terkenal yang mengalami kerugian dapat mengajukan berbagai upaya hukum.

A Well-known mark parody is an act of transforming a well-known mark into something new by taking its characteristics to create the impression of humor, satire, ridicule, or criticism. Parodies of a well-known mark that are registered as trademarks could lead to similarities in essence and overall similarities. This is a violation of Indonesian trademark law. The purpose of this research are to analyze trademark violations in well-known marks parodies that are registered as trademarks and the legal remedies that can be taken by the well-known marks as the aggrieved party. This research was conducted using a juridical-normative form of research, by examining secondary data such as laws and regulations, literature, doctrine, or expert opinion, as well as the results of previous research. Furthermore, the well-known trademark parody that being analyzed are Supirmu and Pecel Lele LELA, which have the potential to be included in similarities in essence and should have been rejected under Article 21 of the MIG Law. This parody can also risk being categorized as dilution, counterfeit, passing off, and free riding. Therefore, well-known mark owners as the aggrieved party can file various legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Sehsisura Solidar Karina
"Sengketa penolakan Permohonan Pendaftaran Merek “Predator + Logo” dengan Nomor Agenda D002017047770 dan Merek “PAYFAZZ AGEN KEUANGAN NUSANTARA” dengan Nomor Agenda D002017052269 diawali oleh Pemohon beritikad baik yang hendak mendaftarkan mereknya namun ditolak oleh Direktorat Merek dan Indikasi Geografis dengan alasan memiliki Persamaan Pada Pokoknya dengan Merek yang telah terdaftar lebih dahulu. Unsur-unsur yang ada pada satu Merek dengan Merek lain dapat dikatakan berbeda, terlebih terdapat penafsiran para penegak hukum di bidang Merek yang berbeda dalam menilai apakah terdapat unsur Similarity of Appearance dalam Persamaan Pada Pokoknya pada Permohonan Pendaftaran Merek “Predator + Logo” dan Merek “PAYFAZZ AGEN KEUANGAN NUSANTARA”. Dengan metode yuridis-normatif, peneliti akan menganalisis bagaimana penerapan unsur Similarity of Appearance dalam Persamaan Pada Pokoknya di dalam sengketa Merek “Predator + Logo” dan Merek “PAYFAZZ AGEN KEUANGAN NUSANTARA”.

The dispute over the rejection of the Application for Registration of the “Predator + Logo” Mark with Agenda Number D002017047770 and the Mark “PAYFAZZ AGEN KEUANGAN NUSANTARA” with Agenda Number D002017052269 was initiated by a good faith Applicant who wanted to register their Mark but was rejected by the Directorate of Trademarks and Geographical Indications on the grounds that it had Similarities in Essence with the Trademark that had been registered first. Some of the elements contained in one Mark with another Mark can be said to be different, moreover there are different interpretations of law enforcers in the Mark sector in assessing whether there is an element of Similarity of Appearance in the Similarity in Essence in the Application for Registration of the “Predator + Logo” Mark and the Mark “PAYFAZZ AGEN KEUANGAN NUSANTARA”. With the juridical-normative method, the researcher will analyze the Application of the element of Similarity of Appearance on Trademark dispute of the “Predator + Logo” Mark and the Mark “PAYFAZZ AGEN KEUANGAN NUSANTARA”."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihania Ariani
"Merek Go Travel + Logo dengan Nomor Agenda: DID2019013608 diajukan oleh Pemohon merek beritikad baik yang hendak mendaftarkan mereknya namun telah ada merek lain yang mendaftarkan Merek Go Travel + Logo lebih dulu. Sehingga melalui Ketetapan Direktur Merek Nomor KI/4/010/2018 dan Keputusan Komisi Banding Merek Nomor 233/KBM/ HKI/ 2021, permohonan Merek Go Travel + Logo dengan Nomor Agenda: DID2019013608 dinyatakan ditolak dengan alasan persamaan pada pokoknya. Unsur-unsur yang ada pada kedua merek tersebut dapat dikatakan berbeda, terlebih Pemohon Merek Go Travel + Logo dengan Nomor Agenda: DID2019013608 merupakan Pemohon beritikad baik. Dengan metode yuridis-normatif, peneliti akan menganalisis mengenai penerapan prinsip persamaan pada pokoknya di dalam Merek Go Travel + Logo sebagai alasan atau dasar penolakan yang digunakan oleh Pemeriksa Merek dan Komisi Banding Merek dalam Ketetapan Direktur Merek Nomor KI/4/010/2018 dan Keputusan Komisi Banding Merek Nomor 233/KBM/ HKI/ 2021.

The Go Travel Mark + Logo with Agenda Number: DID2019013608 is submitted by a good faith trademark applicant who wants to register his mark but there is already other trademark that have registered the Go Travel + Logo Mark first. Thus, through the Decree of the Director of Mark Number KI/4/010/2018 and the Decision of the Mark Appeal Commission Number 233/KBM/HKI/2021, the application for the Go Travel + Logo Mark with Agenda Number: DID2019013608 is declared rejected due to the similarities on the substantive principles. Some of the elements contained in the two brands can be said to be different, especially the Applicant for the Go Travel Mark + Logo with Agenda Number: DID2019013608 is an Applicant with good faith. With the juridical-normative method, the researcher will analyze the existence of the principle of Similarity in the Go Travel + Logo Mark as the reason or basis used by the Mark Appeal Commission in the Decree of the Director of Mark Number KI/4/010/2018 and the Decision of the Mark Appeal Commission Number 233/KBM/HKI/2021."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Dewi Anggiassyifa
"Penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana kemungkinan kebingungan (likelihood of confusion) dapat menjadi suatu alasan untuk membatalkan Merek terdaftar. Likelihood of Confusion terkandung di dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement sebagai syarat suatu Merek dapat ditolak atau dibatalkan pendaftarannya. Syarat ini dianut oleh negara Amerika Serikat dan Inggris dalam regulasi perlindungan Mereknya. Akan tetapi, Indonesia tidak mengatur mengenai syarat likelihood of confusion dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Walaupun demikian, terdapat pertimbangan Majelis Hakim di Indonesia yang mencoba mempertimbangkan likelihood of confusion sebagai alasan pembatalan Merek, yakni pada Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis-normatif berdasarkan data yang diperoleh dari data kepustakaan. Penelitian ini pertama-tama akan membandingkan pengaturan dan penerapan terkait likelihood of confusion di Negara Amerika Serikat dan Inggris berdasarkan kasus. Kemudian akan dibandingkan dengan pengaturan di Indonesia yang selaras dengan likelihood of confusion dan bagaimana hal tersebut diterapkan dalam Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Pada prinsipnya, likelihood of confusion selaras dengan persamaan pada pokoknya yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, namun hanya bersandar pada ada atau tidaknya kemiripan pada Merek dan jenis barang/jasa. Padahal, likelihood of confusion dapat dilihat dari sudut pandang lain apabila Majelis Hakim bersedia meluaskan cara penilaiannya terhadap persamaan pada pokoknya sebagaimana dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris. Selain itu, Indonesia juga diharapkan dapat menyertakan klausul kebingungan (confusion) untuk menolak dan membatalkan Merek agar pertimbangan sebagaimana dalam Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst dapat menjadi suatu ratio decidendi atau legal reasoning yang memadai.

This research is aimed to discuss how the doctrine of Likelihood of Confusion may be applied as grounds for the cancellation of a registered trademark. Likelihood of Confusion is contained within Article 16 (1) TRIPS Agreement as a prerequisite to refuse or cancel a trademark’s registration. This prerequisite is also mirrored within the United States of America and United Kingdom’s trademark regulation. However, Indonesia has not adopted this likelihood of confusion prerequisite in Law Number 20 of 2016 regarding Trademark and Geographical Indication. Even so, there exist a judge’s consideration which has adapted to include the likelihood of confusion as a ground for cancelling a registered trademark, namely Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. This research will adopt the juridical-normative approach based on literature data. This research will be firstly served by comparing the regulation and application of likelihood of confusion within cases found in the United States of America and the United Kingdom.  Then comparison with regulations in Indonesia relating to likelihood of confusion will be made and how it is adapted into Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Essentially, the Trademark Law of Indonesia only depends on whether similarity can be found within the mark and the types of goods/services. In fact, the likelihood of confusion can be seen from another perspective if the judges are willing to expand their assessment of the similarities in essence as is done in United States and the United Kingdom. Apart from that, Indonesia can hopefully include a confusion clause for refusing and cancelling trademarks in order to make the judges consideration found within Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst as a ratio decidendi or an ample legal reasoning."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Destianti
"Prinsip yang dianut oleh hukum merek adalah first to file principle atau sistem pendaftaran, dimana prinsip perlindungan merek untuk pemohon yang pertama kali mengajukan pendaftaran merek akan dianggap sebagai pihak yang berhak sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Prinsip tersebut mengakibatkan setiap permohonan merek akan melalui tahapan pemeriksaan substantif, suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa untuk membandingkan permohonan merek dengan merek yang telah dimohonkan lebih dahulu atau merek terdaftar. Permohonan merek yang akan diberikan perlindungan merek apabila memiliki daya pembeda. Apabila permohonan merek dianggap tidak memiliki daya pembeda maka pemeriksa akan memberikan penolakan sesuai dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kriteria penentuan merek memiliki persamaan pada pokoknya yaitu persamaan secara konseptual, fonetik atau bunyi ucapan, dan visual atau tampilan yang ditampilkan pada permohonan merek (overall impression) dengan merek yang dimohonkan lebih dahulu atau terdaftar. Sedangkan, penentuan merek memiliki persamaan secara keseluruhan yaitu identik, tidak ada perbedaan diantara merek yang dibandingkan. Apabila permohonan yang diajukan dianggap memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan, pemohon dapat dianggap memiliki iktikad tidak baik karena berniat untuk meniru, mengecoh konsumen suatu produk untuk mendapatkan keuntungan.

The first to file principle is adopted in trademark law, which means the protection has applied to an applicant who first applies for trademark registration until it can be proven otherwise. The principle cause every trademark application will be examined in substantive examination, a process to compare the application with the registered mark or senior mark. The trademark protection will be given to a trademark that has distinctive marks. If the examiner found the trademark has an element of similarities in principle and/or identical with the registered or senior mark, the application would be given rejection as stipulated in Article 20 and 21 of Law Number 20 the Year 2016 Regarding Trademark and Geographical Indications. The criteria of the trademark have similarities in principle are similarities on conceptual, phonetic, and visual or impression from a trademark (overall impression) with the registered mark or senior mark. The criteria of the trademark have similarities in whole is identical. If an application has been filed with similarities, the applicant may be deemed to have bad faith because the applicant intends to imitate, give misleading to consumers of their product to obtain a profit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Sindy
"Penelitian ini dilatarbelakangi sengketa yang melibatkan penggunaan merek terkenal dengan unsur "persamaan pada pokoknya". Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, bersifat deskriptif, dan pendekatan perundang-undangan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka atas bahan-bahan hukum, baik primer, sekunder, maupun tersier. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang  Merek tidak mengatur dengan jelas mengenai istilah "persamaan pada pokoknya". Istilah "persamaan pada pokoknya" justru muncul terkait dengan merek yang harus ditolak pendaftarannya oleh Direktorat Jenderal HKI; 2) Terhadap pelanggaran merek yang berujung sengketa, maka pemilik merek dapat melakukan upaya-upaya hukum yaitu mengajukan gugatan secara perdata melalui Pengadilan Niaga, atau melaporkan adanya pelanggaran tindak pidana pelanggaran merek kepada aparat kepolisian; 3) Terjadinya perbedaan dalam putusan No. 557 K/Pdt.Sus-HKI/2016 dengan No. 591 K/Pdt.Sus-HKI/2016, disebabkan oleh fakta bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada satu asas saja.

This Research is motivated by disputes involving the use of well known brands with the element "principle of similarity". Type of research is normative juridical, descriptive, and statute approach. Data collection techniques are carried out through literature studies on legal materials, both primary, secondary and tertiary. The results show: 1) Law No. 15 of 2001 concerning Trademarks does not clearly regulate the term "principle of similarity". The term "principle of similarity" actually appears related to the brand that must be refused registration by the Directorate General of Intellectual Property Rights; 2) With regard to brand violations that lead to disputes, the brand owner may make legal remedies, namely filing a lawsuit through the Commercial Court, or reporting violations of criminal offenses of brand violations to the police; 3) The difference in decision No. 557 K/Pdt.Sus-HKI/2016 with No. 591 K/Pdt.Sus-HKI/2016, caused by the fact that a judge in examining and deciding cases is not always fixed on one principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52388
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haykal Mulyaharja
"Berdasarkan Pasal 20 huruf (b) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, bahwa merek yang sama atau memiliki keterkaitan dengan barang atau jasa tertentu tidak dapat didaftarkan. Hal ini sesuai dengan konsep dari merek deskriptif yang hanya bersifat menyebutkan salah satu fitur dari produk yang bersangkutan. Unsur kata yang digunakan dalam merek deskriptif merupakan kata umum. Melalui penemuan hakim dalam beberapa yurisprudensi, maka merek deskriptif dimungkinkan untuk didaftarkan apabila mampu membuktikan keberadaan secondary meaning melalui penggunaan merek dalam kegiatan perdagangan. Pemilik merek deskriptif memiliki hak eksklusif terhadap kata yang bersifat umum, sehingga keberadaan hak ini dapat membatasi pelaku usaha lainnya untuk menggunakan kata serupa untuk kepentingan komersial. Sebagaimana dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 5/Pdt.Sus- HKI/Merek/2019/PN.Niaga.Sby., bahwa Penggugat selaku pemilik merek "Imperial" untuk produk kasur pegas, mengajukan gugatan pelanggaran merek terhadap Tergugat yang telah menggunakan kata "Imperial" sebagai nama dari salah satu tipe produk dengan jenis yang serupa. Tergugat menggunakan kata "Imperial" dengan alasan untuk mengadopsi makna dari kata terkait yang merepresentasikan nuansa kerajaan atau kekaisaran. Melalui pertimbangan hakim, maka telah ditetapkan bahwa penggunaan kata "Imperial" sebagai salah satu tipe produk bukan merupakan pelanggaran merek. Akan tetapi, pertimbangan tersebut tidak didasari dengan alasan yang jelas dan dasar hukum tertentu. Dengan demikian, Penulis akan melakukan analisis dengan menggunakan salah satu doktrin yang dikenal dalam hukum merek Amerika Serikat, yaitu doktrin descriptive fair use. Merujuk pada Section 33 (b) (4) Lanham Act, doktrin ini berperan untuk membatasi hak eksklusif pemilik merek terhadap kata deskriptif yang digunakan oleh pelaku usaha lainnya bukan sebagai merek serta atas dasar iktikad baik. Dengan melakukan peninjauan putusan terkait berdasarkan unsur descriptive fair use, maka dapat diketahui apakah penggunaan kata deskriptif oleh Tergugat merupakan tindakan yang wajar atau melawan hukum.

According to Article 20 letter (b) of Act No. 20 of 2016 about Trademark and Geographical Indications, trademarks that are identical or related to certain goods or services can't be registered. This matter align with the concept of descriptive mark, which merely indicate one of features of the relevant product. The terms used in descriptive mark is a common word. Through judges founding in several jurisprudence, descriptive mark may be eligible for registrations if trademark owner able to prove secondary meaning by the use of the trademark in trade. The owner of descriptive mark have an exclusive rights to a common words, which can limit other competitor from using similar words for commercial purposes. Based on Surabaya District Court Decision No. 5/Pdt.Sus- HKI/Merek/2019/PN.Niaga.Sby., the Plaintiff as the owner of trademark named "Imperial" for spring bed product, filed a trademark infringement lawsuit towards the Defendant who used the word "Imperial" as one of their spring bed product types. The reason behind Defendant on choosing "Imperial" as the name for one of product type is to adopted the meaning of the word that represent a royal nuance. Through the judges consideration, it has been determined that the use of the word "Imperial" as one of the product types does not constitute trademark infringement. However, those statement was not based on a clear reason or existing legal grounds. Therefore, the Author will analyse the case with an approach based on one of the doctrines known in United States trademark law, which is descriptive fair use. According to Section 33 (b) (4) of Lanham Act, this doctrine aim to limit the exclusive rights of trademark owners towards descriptive terms that used by other competitors not as trademarks and based on good faith. By reviewing the related court decision in Indonesia based on the main elements of descriptive fair use, it can be determined whether the Defendant's use of the descriptive word was reasonable or unlawful."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>