Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cathleya Anjani Pramodawarddhani
"Undang-undang mengatur bahwa bentuk perusahaan asuransi di Indonesia terbagi atas: Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Usaha Bersama (Mutual). AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya perusahaan berbentuk mutual dan merupakan perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Meskupin demikian, terjadi kekosongan hukum yang cukup lama terhadap badan usaha berbentuk mutual ini yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Seperti dalam Putusan Perkara No. 356/Pid.Sus/2021/PT DKI di mana seorang direktur melakukan suatu perbuatan pidana yang diputus dengan menggunakan UU Asuransi. Sedangkan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XVIII/2020, telah menyatakan bahwa AJB Bumiputera 1912 tidak tunduk pada UU Asuransi dan harus dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai usaha bersama. Terhadap Putusan Perkara No. 356/Pid.Sus/2021/PT DKI, maka Direktur AJB Bumiputera tersebut seharusnya dikenakan kepada KUHP, bukan kepada UU Asuransi. Mengenai pengaturan terhadap AJB Bumiputera 1912 dengan kondisi kekosongan hukum tersebut mengacu pada KUH Perdata, KUHD, dan KUHP.

The law stipulates that the form of insurance companies in Indonesia is divided into: Limited Liability Companies, Cooperatives, and Mutual Company. AJB Bumiputera 1912 is the only mutual company and is the oldest insurance company in Indonesia. Thus, there is a long legal vacuum for this mutual business entity which causes legal uncertainty. As in Verdict No. 356/Pid.Sus/2021/PT DKI where a director commits a criminal act that is decided using the Insurance Law. Meanwhile, referring to the Constitutional Court Decision No. 32/PUU-XVIII/2020, it has been stated that AJB Bumiputera 1912 is not subject to the Insurance Law and must make a separate law regarding Mutual Company. Regarding Case Decision No. 356/Pid.Sus/2021/PT DKI, the Director of AJB Bumiputera should be subject to the Criminal Code, not to the Insurance Law. Regarding the regulation of the 1912 Bumiputera AJB with the condition of a legal vacuum, it refers to the Civil Code, the Business Code, and the Criminal Code."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggia Dyarini M.
"Tesis ini membahas mengenai analisa yuridis sistem pertanggung jawaban pelaku usaha perangkat lunak terhadap konsumennya sebagai bentuk perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan yang didukung dengan pendekatan konsep dan perbandingan, yaitu dengan menelaah dan mengkaji ketentuan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta membandingkannya dengan teori hukum dan sistem hukum di negara lain untuk mengetahui sistem pertanggung jawaban hukum yang melindungi kepentingan konsumen perangkat lunak di Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di dunia telah memungkinkan dilakukannya transaksi internasional yang melampaui batas Negara dan waktu untuk pengalihan lisensi perangkat lunak sebagai komoditi. Namun permasalahan terhadap perangkat lunak timbul saat perangkat lunak tersebut tidak dapat mengakibatkan komputer bekerja untuk melakukan fungsinya berdasarkan kebutuhan konsumen, atau bahkan mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Selain itu, minimnya kesadaran dan pengetahuan konsumen serta lemahnya peraturan perundangundangan di Indonesia kadangkala dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dengan mengesampingkan kewajiban dan tanggung jawab hukum pelaku usaha. Kepastian hukum juga merupakan permasalahan yang kerap muncul dalam sistem pertanggungjawaban hukum,perangkat lunak. Berbagai peraturan terkait sebagai substansi hukum perlindungan konsumen di Indonesia belum dapat dikatakan sempurna dalam memfasilitasi kaidah pertanggungjawaban hukum, khususnya terhadap produk perangkat lunak. Timbulnya beragam penafsiran terhadap peraturan perundangundangan di Indonesia menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pertanggungjawaban produk perangkat lunak. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi dalam sistem hukum perlindungan konsumen perangkat lunak di Indonesia baik dari segi substansial, struktural dan kultural.

This thesis discusses the juridical analysis of software producers legal liability toward their consumers as the way to protect the consumers in Indonesia. This descriptive research uses doctrinal research method with constitutional approach supported by conceptual and comparative approach, that is, by analysing and study the legal law such as statutes of electronic information and transaction and statutes of consumer protection, and also comparing it with the legal theory and legal system in another country to know about the legal liability system which protects the interest of software consumers in Indonesia. The rapid development of science and technology in the world has enabled the society to do the borderless and timeless international transaction to shift the lisence of software as the commodity. However, the problems emerge when the software failed to make the computer work properly and functionally as the consumers? need or even causes damages on consumers. In addition, the low awareness and knowledge of the consumers and the weakness of regulation in Indonesia sometimes enable the producers to make use of this condition to put aside their law obligation and responsibility as the producer. The rule of law also becomes problem which often emerge in the system of software legal liability. Various related rules or regulations as the law subtance of consumer protection is said to be imperfect yet to facilitate the legal liability law, especially for software product. The various emergence of interpretation of the rules or regulation in Indonesia causes the failure on the rule of software legal liability law. Therefore, It is necessary to reform the legal system of consumer protection for software in Indonesia in terms of legal substance, structure, and culture."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28068
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Purnawan
"ABSTRAK
Pertanggungjawaban hukum Kepala Daerah merupakan pertanggungjawaban karena
adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Kepala Daerah.
Pertanggungjawaban hukum Kepala Daerah juga disebut sebagai
pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam arti luas, yakni pertanggungjawaban
dengan sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi administratif, sanksi pidana,
dan/atau sanksi perdata. Dalam pertanggungjawaban hukum ini, Kepala Daerah
dituntut untuk mempertanggungjawabkan secara hukum pelanggaran hukum yang
dilakukannya berdasarkan penilaian hukum dan pembuktian oleh hakim.

ABSTRACT
Legal liability of head and deputy of region is a liability due to deed of againsting the
law committed by head and deputy of region. Legal liability of head and deputy of
region is also referred to as head and deputy of region?s liability in a broad sense,
namely liability with sanctions. The sanctions may include administrative penalties,
criminal penalties, and / or civil sanctions. In this legal liability, Head and Deputy of
region legally required to accountable for his violations of the law based on legal
assessment and verification by the judge.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43872
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Mey Cendy
"Skripsi ini membahas mengenai peredaran vaksin palsu yang terjadi pada tahun 2016 di rumah sakit swasta di wilayah Jabodetabek dan pertanggungjawaban hukum di rumah sakit terkait peredaran vaksin palsu. Peredaran vaksin palsu itu sendiri telah terjadi selama lebih kurang 13 tahun di Indonesia yang menunjukkan kurangnya atau bahkan tidak adanya pengaturan dan/atau penegakkan hukum yang dapat mengatasi permasalahan mengenai peredaran vaksin palsu di Indonesia. Dalam penulisan skripsi ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai prosedur peredaran vaksin di Indonesia dan juga pertanggungjawaban hukum rumah sakit terkait peredaran vaksin palsu di rumah sakit. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara komprehensif mengenai prosedur peredaran vaksin di Indonesia dan juga mengenai pertanggungjawaban hukum yang dapat dikenakan kepada rumah sakit adalah tergantung daripada persoalan atau kasus yang terjadi. Dalam hal ini rumah sakit dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum administrasi, pertanggungjawaban hukum perdata maupun pertanggungjawaban hukum pidana. Bahkan terhadap rumah sakit dapat dikenakan ketiga jenis pertanggungjawaban hukum tersebut secara berbarengan.

This thesis discusses about the distribution of fake vaccines at private hospitals in the Jabodetabek region on 2016 and the liability of hospitals with regards to the distribution of fake vaccines. The distribution of fake vaccines has been going for approximately 13 years in Indonesia which shows lack or even absence of regulation and or law enforcement to solve this problems regarding to the fake vaccine rsquo s distribution in Indonesia. In conducting this thesis, the writer uses juridical normative research methods. Based on the background, the issues in this thesis are the procedure of vaccines rsquo distribution in Indonesia and also the liability of hospital with regards to the distribution of fake vaccines. The conclusions are the absence of legislation that regulates comprehensively about the procedure of fake vaccines rsquo distribution in Indonesia and the liability of hospital depends on the cases or the issues. In this case, the hospital can be imposed by the administrative, civil or criminal legal liability, even the hospital can be imposed by these three types of legal liability simultaneously depends on the cases or the issues.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66163
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahadian Bahri
"Sejak menjalani kehamilan sampai persalinan, seorang ibu haruslah mendapatkan perawatan dan pemantauan kesehatan yang baik. Hal ini juga berlaku bagi janin yang dikandung. Namun tidak semua Ibu bisa mendapatkan pelayanan kesehatan ini. Dengan adanya TeleCTG dan aplikasi Bidan Sehati yang dikeluarkan oleh PT Zetta Sehati Nusantara, pelayanan kesehatan dan pemantauan perkembangan kehamilan dapat didapatkan semua Ibu dimana pun mereka berada. Dalam pelaksanaannya, TeleCTG melibatkan Bidan pengguna aplikasi dan Dokter Spesialis Kandungan yang bekerja sama dengan Aplikasi. Dengan adanya inovasi ini, terdapat permalasahan hukum mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan berbasis telemedicine ini, terlebih dengan adanya Permenkes mengenai penerapan telemedicine. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan pembahasan mengenai pertanggungjawaban hukum penyelenggaraan TeleCTG. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa. Penyedia Aplikasi bertanggung jawab atas tingkat mutu pelayanan aplikasi yang berpangku pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan Dokter Spesialis Kandungan dan Bidan bertanggung jawab melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat mereka bekerja, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019. Peraturan tersebut tidaklah secara langsung menyebutkan pertanggungjawaban tiap pihak dalam penyelenggaraan telemedicine. Sehingga, seharusnya terdapat Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur lebih rinci mengenai pertanggungjawaban, juga kedudukan Penyedia Aplikasi.

From pregnancy to childbirth, a mother must get good health care and monitoring. This also applies to the child conceived. However, not all mothers can get this service. With the TeleCTG and Bidan Sehati application, made by PT Zetta Sehati Nusantara, health services and monitoring of pregnancy development can be obtained by all mothers wherever they are. In its implementation, TeleCTG involves Midwives, who use the application, and Obstetricians who cooperate with the Application. With this innovation, there are legal issues regarding who is responsible for telemedicine-based health services. The purposes of this study is to find the legal liability of the implementation of TeleCTG. The research uses normative-juridical method. The results of the study stated that the Application Provider is responsible for the level of quality of application services that is subject to the Information and Electronic Transaction Law. Gynecologists and Midwives are responsible through the Health Care Facilities where they work, based on Minister of Health Regulation No. 20 of 2019.  However, the regulation does not directly state the responsibility of each party in the telemedicine implementation. Therefore, there should be regulation regarding liability and responsibility more details, also legal standing of Application Provider."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Jessica Abigail Hasianty
"Chiropractic merupakan perawatan kesehatan yang berfokus pada sistem neuromuskuloskeletal yang di dalamnya terdapat penekanan pada teknik-teknik manual, termasuk penyesuaian dan/atau manipulasi sendi, dengan fokus khusus pada subluksasi. Penelitian skripsi ini dilatarbelakangi untuk mengetahui kedudukan hukum serta bentuk pertanggungjawaban hukum dari pemberi layanan chiropractic ini. Hal ini dilakukan mengingat layanan chiropractic ini merupakan layanan yang mulai banyak diminati masyarakat, akan tetapi sering kali masih tidak diketahui dengan jelas baik bentuk maupun keamanan layanannya. Berangkat dari hal tersebut muncul beberapa rumusan masalah antara lain: (1) Kedudukan pemberi layanan terapi chiropractic atau chiropractor berdasarkan hukum kesehatan; (2) Kedudukan hukum klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan pemberi layanan chiropractic berdasarkan hukum kesehatan; dan (3) Pertanggungjawaban hukum dari pemberi layanan chiropractic di klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan hukum kesehatan?. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan metode yuridis-normatif, tipe penelitian deskriptif, pendekatan kualitatif, dan bahan hukum primer, sekunder, serta tersier. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara. Kedudukan pemberi layanan terapi chiropractic atau chiropractor berdasarkan hukum kesehatan dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mana Chiropractic tergolong sebagai pengobatan tradisional sebagaimana yang tercantum Pasal 47 ayat (1). Kedudukan hukum klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan pemberi layanan chiropractic, dapat dikategorikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan komplementer dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional Komplementer. Pertanggungjawaban hukum dari pemberi layanan chiropractic di klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan yaitu secara administrasi, pidana, maupun perdata

Chiropractic is health care that focuses on the neuromusculoskeletal system in which there is an emphasis on manual techniques, including joint adjustments and/or manipulation, with a special focus on subluxations. The background of this research is to find out the legal standing and forms of legal responsibility of this chiropractic service provider. This is done considering that this chiropractic service is a service that is starting to be in great demand by the public, but it is often not clear whether the form or safety of the service is known. Departing from this, several questions arise, including: (1) What is the standing of the chiropractic therapy service provider or chiropractor based on health law?; (2) What is the legal position of clinics and health care facilities providing chiropractic services based on health law?; (3) How is the legal responsibility of chiropractic service providers in clinics and health care facilities based on health laws? The research was conducted by researchers using juridical-normative methods, descriptive research types, qualitative approaches, and primary, secondary, and tertiary legal materials. The data collection tools used were literature studies and interviews. The position of a chiropractic therapy service provider or chiropractor based on health law can be found in Law no. 36 of 2009 concerning Health, where Chiropractic is classified as traditional medicine as Article 47 paragraph (1). The legal status of clinics and health service facilities providing chiropractic services can be categorized as complementary health service facilities in the Regulation of the Minister of Health Number 15 of 2018 concerning the Implementation of Complementary Traditional Medicine. Legal responsibility of chiropractic service providers in clinics and health care facilities, namely in administrative, criminal and civil terms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerard Kawun
"ABSTRAK
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kesehatan. Jika individu sakit, maka ia akan mencari cara untuk kembali sehat dan memperolehnya lewat pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan umumnya dibagi ke dalam pelayanan medis dan pelayanan nonmedis. Pelayanan nonmedis ini merupakan pelayanan kesehatan tradisional yang tumbuh dan berkembang dari kepercayaan dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Penyedia pelayanan kesehatan tradisional ini terbagi menjadi tenaga kesehatan tradisional dan penyehat tradisional. Penyehat tradisional ini menarik untuk dibahas sebab memiliki batasan wewenang upaya kesehatan yaitu upaya preventif dan promotif saja. Walaupun memiliki batasan, penyehat tradisional tetap memiliki tanggung jawab hukum terhadap klien melalui transaksi terapeutik antara kedua belah pihak. Pelanggaran terhadap hak klien oleh penyehat tradisional tentu harus ditindaklanjuti. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini akan mengambil Putusan sebagai bahan analisa kasus. Kasus akan membahas seorang penyehat tradisional melakukan tindakan asusila terhadap klien ketika sedang berpraktik. Berdasarkan kasus ini, maka tanggung jawab hukum seorang pengobat tradisional dapat dilihat berdasarkan tiga rumusan masalah. Pertama bagaimana wewenang yang dimiliki penyehat tradisional, kedua bagaimana bentuk hubungan dan tanggung jawab penyehat tradisional dan klien. Ketiga bagaimana bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap penyehat tradisional. Dapat disimpulkan masih terdapat penyehat tradisional yang belum memenuhi standar kompetensi sehingga mereka melakukan pelanggaran terhadap kliennya. Peraturan perlu mengatur kompetensi lebih terperinci seperti kompetensi dan standardisasi pendidikan supaya penyehat tradisional berpraktik dengan benar sesuai kompetensinya dan hak klien untuk mendapat pelayanan kesehatan yang layak dan sesuai kebutuhan dapat terpenuhi.

ABSTRACT
Everyone has the right to health. If the individual become ill, then he she will find a way to get back his her health and get it through health care. Health services generally divided into medical services and nonmedical services. This nonmedical service is a traditional medicine that grows and evolves from the beliefs and traditions of the community. These traditional medicine providers are divided into traditional medicine Practitioners and Complementary Medicine Practitioners. This Traditional medicine Practitioner interesting to be discussed because it has limitation for its healh effort, which is only preventive and promotive effort only. Despite its limitations, they still have legal responsibility to clients through therapeutic transactions between the two parties. Violations of Clients rsquo rights by the traditional medicine practitioner must be followed up. This research is analytical descriptive with normative juridical approach. This research will use Verdict as the case analysis material. The case will discussed a traditional medicine practitioners performs immoral acts against clients while practicing. Based on this case, the legal responsibility of Traditional Medicine Practitioners can be seen based on three problem formulations. First, what is the authority that traditional medicine practitioners have, secondly what forms of relationships and responsibilities of the traditional medicine practitioners and client. Third is how the form of supervision and guidance to the traditional medicine practitioners. It Can be concluded there are still traditional medicine practitioners who have not met the competency standards so that they violate the client. Regulations needs to regulate more detailed competencies such as standardization of education in order for traditional medicine practitioners to properly practice and the rights of clients to obtain appropriate medical services will be fulfilled. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Fajri
"ABSTRAK
Perlindungan hukum bagi pekerja, terutama terhadap anak yang bekerja pada pengusaha telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam praktek yang terjadi pada PT Panca Buana Cahaya Sukses diketahui mempekerjakan anak dalam produksi kembang api. Permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana bentuk perlindungan terhadap anak yang bekerja, bagaimana pengawasan dalam praktek anak yang bekerja di Provinsi Banten, serta untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pengusaha yang mempekerjakan anak berkaitan dengan peristiwa ledakan pabrik kembang api di Kosambi. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah yuridis normatif, metode analisa data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang menghasilkan data bersifat deskriptif analisis dan jenis sekunder, serta alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan didukung dengan wawancara pada informan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi anak yang bekerja berkaitan dengan usia, jenis pekerjaan, waktu kerja, syarat dan kondisi kerja sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Konvensi tentang perlindungan bagi pekerja anak. Pengawasan terhadap pekerja anak belum maksimal, hal tersebut terlihat pada musibah yang terjadi terdapat pekerja anak yang bekerja menjadi korban ledakan yang di sertai kebakaran pabrik kembang api. Selanjutnya bentuk pertanggumgjawaban hukum terhadap pengusaha yang melanggar tersebut dapat di proses oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan melalui penyidik pegawai negeri sipil dan kepolisian.

ABSTRACT
Legal protection for employee, especially for children who work for entrepreneurs, has been regulated in Law Number 13 of 2003 on Manpower. In practice occurring at PT Panca Buana Cahaya Sukses is known to employ children in the production of fireworks. The problems of this research are how to protect the children who work, how the supervision of children working in Banten Province, and to know the form of accountability of employers who employ children related to the explosion of fireworks factory in Kosambi. Approach method used in writing this research is normative juridical, data analysis method used is qualitative approach which produce descriptive data analysis and secondary type, as well as data collection tool used is document study and supported by interview on informant. The conclusions of this study are legal protection for children working in relation to age, type of employment, working hours, terms and conditions of employment as set forth in Law Number 13 of 2003 on Manpower and the Convention on the Protection of Child Labor. Supervision of child labor has not been maximized, it is seen in the unfortunate that happened there are child labor who work become victim of explosion which accompanied by fire fireworks factory. Furthermore, the form of legal liability to the violating entrepreneur may be processed by the employee of inspector of labor through the investigator of civil servant and the police. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Raymon Zamora
"Tugas arsitek di era pembangunan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Seorang Profesi Arsitek mengemban tugas perancangan dan perencanaan dalam suatu konstruksi bangunan yang dilakukan sebelum dimulainya konstruksi bangunan. Dalam pelaksanaan konstruksi terdapat kemungkinan terjadinya kegagalan bangunan baik yang terjadi di tengah konstruksi atau pasca konstruksi. Untuk meminimalisir hal tersebut, seorang arsitek tentu perlu memerhatikan berbagai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangundangan serta Kode Etik keprofesian yang menjadi pedoman berpraktik arsitek. Tujuan ditulisnya penelitian ini adalah agar pembaca dapat memahami pertanggungjawaban arsitek sebagai pencipta karya arsitektur yang mengalami kegagalan bangunan serta kepemilikan karya arsitektur yang mengalami kegagalan bangunan tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana seorang arsitek sebagai pencipta karya arsitektur bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan yang terjadi pada karyanya serta status kepemilikan karya arsitektur yang mengalami kegagalan bangunan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa dalam menentukan status kepemilikan hak cipta karya arsitektur diperlukan pemenuhan setiap unsur dari objek hak cipta yang salah satunya perwujudan karya (Fiksasi). Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan simpulan bahwa arsitek ikut bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan menurut instrumen UndangUndang Jasa Konstruksi yang didukung dengan teori terkait dengan pertanggungjawaban.

The task of an architect in the era of infrastructure development is closely related to the development and needs of an increasingly complex society. An Architect Profession carries out design and planning tasks in building construction that is carried out before the start of building construction. In the implementation of construction, there is a possibility of building failure either in the middle of construction or after construction. To minimize this, an architect certainly needs to pay attention to various provisions regulated in laws and regulations as well as the professional Code of Ethics which guides the practice of architects. The purpose of this research is so that readers can understand the responsibility of architects as creators of architectural works that experience building failures and ownership of architectural works that experience building failures. By using normative juridical research methods, this paper will analyze how an architect as a creator of architectural works is responsible for building failures that occur in his work and the ownership status of architectural works that experience building failures based on positive law in force in Indonesia. This research concludes that in determining the copyright ownership status of architectural works, it is necessary to fulfill every element of the copyrighted object, one of which is the embodiment of the work (fixation). In addition, this research also concludes that architects are also responsible for building failures according to the instruments of the Construction Services Act which are supported by theories related to responsibility."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Lukman Nurhakim
"Tulisan ini menganalisa bagaimana penerapan etika kemanusiaan dalam pemanfaatan artificial intelligence untuk penyusunan kontrak. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Artificial intelligence pada hakikatnya merupakan suatu alat yang diciptakan manusia untuk membantu dan memudahkan pekerjaan manusia. Artificial intelligence adalah teknologi berupa mesin yang mampu mereplikasi perilaku manusia dan dikembangkan dengan menggunakan pengetahuan tentang cara berpikir manusia, sehingga mampu menjalankan proses berpikir seperti manusia. Dalam perkembangannya, pemanfaatan artificial intelligence telah merambah dunia hukum. Pemanfaatan sebuah alat untuk mengerjakan pekerjaan manusia tentu menimbulkan permasalahan etika serta pertanggungjawaban. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji pemanfaatan artificialdalam penyusunan kontrak dengan menelaah bagaimana artificial intelligence dapat menggantikan pekerjaan manusia yang memiliki etika dalam hal menyusun sebuah kontrak, serta bagaimana pertanggungjawaban ketika artificial intelligence melakukan kesalahan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perlu adanya standarisasi etika yang diterapkan baik untuk pengguna maupun untuk artificial intelligence yang nantinya akan diprogramkan kedalam artificial intelligence namun dalam hal ini tetap ada pengawasan dari pengguna artificial intelligence, serta untuk pertanggungjawaban jika artificial intelligence melakukan kesalahan akan dibebankan kepada pengguna atau pengembang artificial intelligence tersebut.

This paper analyzes how the application of humanitarian ethics in the use of artificial intelligence for contract drafting. This paper is prepared by using doctrinal research method. Artificial intelligence is essentially a tool created by humans to help and facilitate human work. Artificial intelligence is a technology in the form of a machine that is able to replicate human behavior and is developed by using knowledge of how humans think, so that it is able to carry out human-like thought processes. In its development, the use of artificial intelligence has penetrated the legal world. The utilization of a tool to do human work certainly raises ethical and liability issues. Therefore, this research examines the utilization of artificial intelligence in contract drafting by examining how artificial intelligence can replace human work that has ethics in terms of drafting a contract, as well as how liability when artificial intelligence makes mistakes. The results of this study state that there is a need for standardization of ethics applied both to users and to artificial intelligence that will be programmed into artificial intelligence but in this case there is still supervision from artificial intelligence users, and for accountability if artificial intelligence makes mistakes will be charged to the user or developer of the artificial intelligence."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>