Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Nur Indah
Abstrak :
Saat ini terjadi ketidaksesuaian pengaturan mengenai kekayaan negara yang ada pada BUMN Persero, termasuk pengaturan mengenai piutang BUMN Persero karena masih berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang mengatur bahwa piutang negara meliputi pula piutang BUMN Persero. Walaupun telah terbit Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur bahwa BUMN Persero dapat melakukan pengurusan piutang sesuai mekanisme korporasi, namun pihak BUMN Persero tetap ragu-ragu untuk melakukan pengambilan keputusan strategis menyangkut penghapusan piutangnya karena dapat dianggap merugikan negara dan bisa dikenai tuduhan korupsi. Upaya pemerintah dengan meminta fatwa Mahkamah Agung, menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dan membuat pasal mengenai pengurusan piutang BUMN Persero dalam undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah melakukan upaya pembaharuan hukum di bidang piutang negara dengan menyusun rancangan undang-undang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Upaya pembaharuan hukum tersebut menjadi topik utama dalam penelitian yang menggunakan pendekatan yuridis normatif ini. Pendekatan tersebut dilakukan untuk menganalisis data dalam menggambarkan kedudukan piutang BUMN Persero dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia dan menjelaskan bagaimana perkembangan dan pembaharuan hukum di bidang piutang negara di Indonesia. ......Currently, there is a discrepancy regarding the regulations on state assets that exist in the State-Owned Enterprises (SOEs), including the regulation of SOEs receivables as the Law No. 49 Prp. 1960 on the State Receivable Affairs Committee is still enforced. The law stipulates that the state receivables also include state-owned enterprises receivables. Although Law No. 19 of 2003 on State-Owned Enterprises and the Law No. 1 of 2004 on State Treasury have been enacted to provide SOEs to manage their receivables in appropriate mechanisms of corporate governance, but the SOEs still hesitate to make strategic decisions making regarding write-off of their receivables as it would be considered detrimental to the state and may be subject to allegations of corruption. Government initiatives to ask fatwa (legal opinion) from Supreme Court, issued Government Regulation No. 33 of 2006 on Amendment of Government Regulation No. 14 of 2005 on the Write-Off Procedures of State/Regional Receivables, and made an article regarding the management of SOEs receivables in the law on State Budget doesn't solve the problem. Therefore, the government is conducting legal reform regarding state receivables by preparing a draft as amendment of Law Number 49 Prp. 1960. This effort to reform the law is the main topic in this research which uses normative juridical approach. This approach is performed to analyze the data in describing the legal standing of SOEs receivables within the framework of law in Indonesia and to explain the development and legal reform of the state receivables law in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30923
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ismail Alam Saputra
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kontradiksi antara dua putusan Mahkamah Konstitusi yakni putusan nomor 77/PUU-IX/2011 dan putusan nomor 43/PUU-XI/2013 terkait status kekayaan pada BUMN yang berasal dari modal negara. Pada putusan pertama, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan piutang Bank BUMN dari piutang negara karena kekayaan BUMN dianggap sebagai kekayaan perseroan. Namun pada putusan kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kekayaan BUMN bukan semata kekayaan perseroan melainkan termasuk kekayaan negara. Tesis ini akan mengulas lebih dalam mengenai ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi No 77/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 48/PUU-XI/2013 tentang status hukum keuangan BUMN serta  implikasi hukum dari kedua putusan tersebut terhadap pengurusan piutang Bank BUMN. Tesis ini disusun menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menjadikan peraturan perundang-undangan    sebagai sumber hukum primer dan kepustakaan sebagai bahan sekunder. Hasil dari tesis ini menunjukan dua temuan utama, yaitu; Pertama, Perbedaan ratio decidendi antara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 terletak pada perbedaan politik hukum yang mendasari masing-masing judicial review tersebut.  Kedua, dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 menyebabkan Bank BUMN dapat mengurus sendiri piutang yang dimilikinya. Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 tidak memberikan implikasi terhadap pengurusan piutang Bank BUMN yang telah diserahkan oleh PUPN kepada Bank BUMN untuk diselesaikan berdasarkan hukum perseroan. ......This research is motivated by the contradiction between the two decisions of the Constitutional Court, namely the decision number 77/PUU-IX/2011 and the decision number 43/PUU-XI/2013 regarding the status of wealth in SOEs originating from state capital. In the first decision, the Constitutional Court excluded BUMN Bank's receivables from state receivables because BUMN assets were considered as company assets. However, in the second decision, the Constitutional Court is of the opinion that the wealth of SOEs is not only company assets but includes state assets. This thesis will review in more detail the ratio decidendi of the Constitutional Court Decision No. 77/PUU-IX/2011 and the Constitutional Court Decision No. 48/PUU-XI/2013 regarding the legal status of SOEs' finances and the legal implications of these two decisions on the management of state-owned banks' receivables. This thesis is prepared based on normative juridical research that uses laws and regulations as the primary source of law and literature as secondary material. The results of this thesis show two main findings, namely; First, the difference in the ratio decidendi between the Constitutional Court's Decision Number 77/PUU-IX/2011 and the Constitutional Court's Decision Number 48/PUU-XI/2013 lies in the differences in the legal politics underlying each of these judicial reviews. Second, the issuance of the Constitutional Court Decision Number 77/PUU-IX/2011 caused state-owned banks to be able to manage their own receivables. The Constitutional Court's Decision Number 48/PUU-XI/2013 does not have any implications for the management of state-owned bank receivables that have been submitted by PUPN to state-owned banks to be settled based on company law.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naiborhu, Roslyna
Abstrak :
Roslyna Naibohu, 058122136.2, Tinjauan Yuridis Tentang Penyelesaian Kredit Macet pada Bank Rakyat Indonesia Melalui Panitia Urusan Piutang Negara Salah Satu Tugas BRI Selaku Bank Umum Pemerintah adalah menerima dana dari masyarakat yang berupa tabungan, deposito, atau giro dan menyalurkan dana kepada masyarakat melalui fasilitas pemberian kredit. Suatu pemberian kredit adalah suatu pemberian fasilitas oleh satu pihak (Bank) kepada pihak lain (Penerima Kredit), dan pihak yang menerima fasilitas tersebut berjanji akan mengembalikan fasilitas tersebut pada suatu masa tertentu yang akan datang yan disertai dengan contra prestasi (bunga). Dalam rangka pemberian kredit harus dibuatkan suatu perjanjian tertulis yang berbentuk Perjanjian Kredit dan ditandatangani sehingga mengikat dan sebagai Undang-undang bagi Bank dan Penerima Kredit. Kenyataannya pengembalian Prestasi (pinjaman) tersebut sering macet yang mana dapat disebabkan karena "tidak ada kemampuan" atau “tidak ada kemauan". Akibatnya timbul kredit macet. Dalam praktek perbankan adanya kewajiban bagi bank-bank Pemerintah untuk menyerahkan piutang-piutang (kredit macetnya) kepada Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana yang diadakan oleh UU No.49 Prp tahun 1960. Yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah secara yuridis (hukum) penyerahan penyelesaian kredit macet pada Panitia Urusan Piutang Negara, selaku Badan Hukum Publik, sudah tepat? mengingat tujuan hokum yang utama adalah menjamin adanya kepastian hukum dan tuntutan keadilan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20323
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyaningsih
Abstrak :
Jaminan Perorangan yang diberikan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai penanggung/penjamin debitur dalam pelunasan utang debitur merupakan salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada Bank Badan Usaha Milik Negara, manakala debitur ingkar janji (wanprestasi). Perjanjian perorangan/penanggungan tersebut bersifat asesor, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok, sehingga dapat diartikan bahwa tak akan ada penanggungan tanpa adanya perutangan pokok yang sah. Pada Bank Badan Usaha Milik Negara sebelum dikeluarkannya PP Nomor 14 tahun 2005 tentang Cara Pengapusan Piutang Negara / Daerah, yang kemudian diubah dengan PP Nomor 33 tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 tahun 2005, yang berwenang untuk menyelesaikan kredit macet adalah Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Undang-undang PUPN). Tindakan eksekusi terhadap jaminan perorangan oleh PUPN merupakan upaya terakhir untuk dilakukan, setelah dilakukan terlebih dahulu upaya penyitaan terhadap barang jaminan dan harta kekayaan debitur yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan pelelangan. Apabila dalam pelaksanaan eksekusi jaminan perorangan, ternyata penanggung utang tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya secara sukarela atau menyerahkan harta kekayaannya, maka PUPN akan melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Pencarian dan pemeriksaan (investigasi) terhadap kekayaan penanggung utang yang dapat digunakan untuk membayar utang, baik berupa barang tetap seperti tanah dan bangunan dan atau barang bergerak seperti kendaraan bermotor, tagihan/tabungan dan lain-lai; b. Pencarian data/dokumen (bukti kepemilikan) atas harta kekayaan penanggung utang melalui instansi/lembaga yang terkait, untuk digunakan sebagai pendukung dalam pelaksanaan eksekusi.
An individual guarantee provided by a third party acting as a debt guarantor/avalist in settling debtor?s debt constitute an alternative settlement for bad debts with State Owned Corporations, in case of defalt by debtor. Said individual guarantee is of the assessor type, meaning it is continually linked to a principal agreement, with the consequence that it can be defined as having no guarantee without an existing legal principal debt. The previously issued Government Regulation Number 14 years 2005 at the State Owned Corporation regarding the Writing Off Process of State/Regional Claims, which was further amended by Government Regulation Number 33 year 2006 regarding the Amendment of Government Regulation Number 14 year 2005, appointing the State Claims Affairs Committee (PUPN) as the authorized party to settle bad credits based on Law Number 49 Prp year 1960 regarding State Claims Affairs Committee (PUPN Law). Execution measure against individual guarantee by the PUPN will be effected as the last resort by the PUPN, after prior confiscation of the debtor?s collateral and assets which is further followed by its auctioning off. If during the execution of the individual guarantee, there is an indication that guarantor has no intention of a voluntary settlement of the liability or to surrender his/her assets, the PUPN shall resort to the following actions : a. investigation and examination of the guarantor?s assets that can be employed as debt payment, either consisting of fixed goods such as land and buildings or movable goods such as motorized vehicles, collections/savings and others; b. Finding data/documents (proof of ownership of guarantor/s assets through related instances/institutions to support the execution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T 02301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handayani
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana kedudukan hak privilege negara terhadap hak preferensi pemegang Hak Tanggungan apabila objek yang dibebani Hak Tanggungan dilakukan penyitaan terkait tindak pidana. Untuk menjelaskannya penulis menjabarkan bagaimana objek HT dapat dilakukan sita oleh negara sehingga mengalihkan status hukum dari benda jaminan menjadi benda sitaan negara dan berada dibawah kewenangan negara. Lalu penulis mengaitkan proses peralihan status tersebut dengan hak istimewa (privilege) yang dimiliki negara, yang timbul karena objek jaminan yang disita negara termasuk dalam lingkup piutang negara yang dapat mengesampingkan preferensi pemegang HT. Oleh karena itu penulis juga menjabarkan bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang HT yang harus mengalah terhadap privilege negara. Hasil dari skripsi ini bahwa atas penyitaan objek HT kedudukan hak privilege negara diutamakan dari preferensi pemegang HT. Namun penyitaan objek HT masih menimbulkan perdebatan oleh Para Ahli terutama mengenai kedudukan yang harus didahulukan antara pemegang HT dan Negara atas objek jaminan yang terkait hasil tindak pidana korupsi. Seiring dengan berkembangnya modus kejahatan berdalih jaminan Hak Tanggungan, maka saran dari penulis perlu pengaturan yang tegas dalam UUHT atas penyitaan objek yang dibebani Hak Tanggungan dan batasan ruang lingkup yang jelas atas definisi Piutang Negara yang dinyatakan dalam penjelasan umum angka 4 UUHT.
This thesis discusses how the privileged position of state against the preference position of mortgage right holder when collateral objects are confiscated by state - related to the crime. The author describes by explaining how the collateral object could be confiscated by the state which had divert the legal status of collateral objects into confiscated objects under the authority of the state. Then author describes how the transition process of object with special rights (privilege) held by state, which is confiscated, emphasize on the scope of national accounts so have to override the preference of mortgage holders. Therefore, the authors also describe how the legal protection is given to creditors as mortgage right holders, which has correlation with collateral objects confiscated by the state in corruption cases and the legal action could be done by the creditors. The result of this thesis is that preference position of mortgage right holder is under the privileged position of state when collateral objects are confiscated by state. Meanwhile, the Confiscation of mortgage is still debating within the expert, due to the conflict of interest between the state and the creditors (the state is considered more important than the creditors). Along with the development mode of mortgage fraud over the past few years, the suggestion that the author can give is the need for clear regulation in the Mortgage Law about confiscation of collateral objects and also clear limits the scope of National Accounts definitions set out in item 4 general description of UUHT.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62101
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Setyawan
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perlakuan akuntansi atas piutang negara berdasarkan Buletin Teknis 16, PMK 69/2014, dan PP 71/2010 khususya SAP 01 dan SAP 04. Evaluasi tersebut dilakukan terhadap empat instansi pemerintah yaitu DJSDPPI, DJKI, Setjen Kemenlu, dan RSUP Persahabatan, yang masing-masing mewakili pengelola Piutang Bukan Pajak dengan karakteristik berbeda-beda. DJSDPPI misalnya, mengelola Piutang PNBP BHP Frekuensi Radio dengan nilai yang sangat besar. DJKI mengelola Piutang PNBP Biaya Pemeliharaan Paten dimana sebagian besar debiturnya berada di luar negeri. Setjen Kemenlu mengelola piutang pinjaman dan piutang TP/TGR yang umumnya dicatat dalam mata uang asing. Sedangkan RSUP Persahabatan mengelola piutang yang berasal dari pengakuan pendapatan Kegiatan Operasional BLU. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif melalui observasi lapangan dan wawancara. Hasil evaluasi menunjukan bahwa proses pengakuan, pengukuran, dan penyajian piutang negara pada keempat instansi tersebut telah didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Buletin Teknis Nomor 16, PMK 69/2014, dan PP 71/2010. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dikarenakan kondisi piutang negara yang dilaporkan pada Neraca Laporan Keuangan menunjukkan nilai perbandingan piutang bruto dengan penyisihan piutang tidak tertagih yang signifikan. Hal ini mengindikasikan adanya kendala-kendala dalam pengelolaan piutang negara seperti tidak efektifnya kebijakan pengelolaan piutang negara pada masing-masing instansi ataupun upaya penagihan yang belum optimal. ......This study aims to evaluate the accounting treatment of state receivables based on Buletin Teknis No. 16, PMK 69/2014, and PP 71/2010, especially SAP 01 and SAP 04. The evaluation was carried out on four government agencies, namely DJSDPPI, DJKI, Secretariat General of the Ministry of Foreign Affairs, and Persahabatan Hospital Jakarta. Each of which represents Non-tax Receivables managers with different characteristics. DJSDPPI, for instance, manages Radio Frequency Right-of-Use Fee with a very large value. DJKI manages Patent Annual Fee where most of debtors are abroad. Secretariat General of the Ministry of Foreign Affairs manages receivables which mostly in foreign currency. Meanwhile, Persahabatan Hospital Jakarta manages receivables originating from the recognition of revenue from its Operational Activities. The research was conducted using a qualitative descriptive method through field observations and interviews. The evaluation results show that the process of recognizing, measuring, and presenting state receivables in these four agencies is based on the provisions regulated as mentioned above. However there are several things that need attention because the state’s receivables reported in the Financial Report shows a significant comparison of gross receivables with the allowance for uncollectible accounts. This indicates that there are obstacles in managing state receivables, such as ineffective policies in each agency or collection activities that are not yet optimal.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Ardiyani
Abstrak :
Pada lembaga keuangan perbankan, kredit macet merupakan persoalan serius. Salah satu upaya bank untuk menanggulangi kredit macet tersebut dengan melakukan penyelesaian secara damai berdasarkan kesepakatan antara bank dengan debitor yang masih mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan pinjamannya, Alternatif penyelesaian kredit macet secara paksa dapat dilakukan dengan jalan menyerahkan piutang¬piutang negara tersebut kepada Pengadilan negeri untuk dimintakan upaya eksekusi atas objek jaminan kredit atau menyerahkan permasalahan kredit melalui lelang oleh DJKN. Lelang eksekusi Hak Tanggungan yang dimintakan oleh pemegangnya sangat jarang terjadi, hal ini karena terkadang sulitnya proses pengosongan objek lelang serta keengganan dari pemohon lelang untuk membuat surat pernyataan bersedia bertanggung jawab apabila timbul gugatan,yang sering menjadi permasalahan adalah jika objek lelang ternyata adalah milik pihak ke tiga sehingga objek tidak dapat dilakukan lelang eksekusi. Tesis ini membahas tentang alternatif penyelesaian kredit maces melalui eksekusi objek Hak Tanggungan di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dengan studi kasus di Kantor Wilayah V DJKN Bandar Lampung. Penulis berkesimpulan bahwa penyelesaian kredit macet melalui eksekusi objek jaminan kredit di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara telah banyak membantu dalam menyelesaikan permasalahan kredit macet. Hal ini dikarenakan penyelesaian masalah kredit maces melalui lelang lebih cepat dan efektif. Metode penelitian yang digunakan adalah kepustakaan bersifat yuridis normatif dengan cara mempelajari berbagai literatur dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan penelitian ini, hasil penelitian dituangkan dalam simpulan berbentuk Deskriptif Analistis dengan harapan dapat menjadi rekomendasi untuk meningkatkan minat masyarakat untuk memanfaatkan jasa lelang dalam menyelesaikan masalah kredit macet serta meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Kekayaan Negara khususnya di Kantor Wilayah V Bandar Lampung untuk lebih meningkatkan pelayanan pada masyarakat dibidang lelang. ......In certain banking financial institutions, non-performing loans or bad debts are considered to be a serious banking problem. This is because the banks are facing fresh capital difficulties due to the continuing scarce of capital. That is the reason why the non-performing loans are to be dealt with effectively, so that banking operations would not be in jeopardy. One way for banks to deal with this problem is through negotiated settlement that is a credit settlement based on agreement between the Bank and the debtor who is still having good faith in settling its loans. On the other hand, a forced settlement to the bad debts still can be done through the submission of the State receivables to the local District Court in order to apply to the Court to execute the credit security object. It can also be done alternatively through the auction of the object by the Directorate General of State Wealth. The execution through the auction of fiduciary rights is in fact seldom happen. This is because wide spread perception in the society that bad debt settlement through fiduciary rights auction is so bureaucratic and a difficult process. In most cases, the object to be auctioned is difficult to be freed from a third party physical control, especially when it is jointly owned by the third party. In this case, the realization of the auction is very much problematic. In other cases, the applicant of the auction is generally not willing to make statutory declaration that he or she be responsible should there be a law suit on this matter in the Court. This thesis will try to analyze alternative settlement of non-performing loans (bad debts) through the execution of credit security object (fiduciary rights) held by the Dir.Gen. of State Wealth (a case study at the Regional Office V of the DGSW in Bandar Lampung). The Author concludes that the settlement of bad debts through the execution of credit security object is in reality a good way in settling the non-performing loans. This is due to the fact, that this kind of settlement is generally faster and effective. Auction document is legally an authentic act and in the same time can be used as a legal basis for the transfer of land rights or the change of owners name. This thesis applies library research method, with juridical and normative approach to the literature and relevant legal documents. The research is reported in the form of evaluative findings and analytical conclusions. It is hoped that this study would serve as a practical recommendation for the public in settling bad debts through the auction of credit security object held by Dir. Gen. of State Wealth. At the same time, it is also hoped that this would enhance the working performance of Dir. Gen. of State Wealth in general.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T 02319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yedija Bungaria Septiphanie
Abstrak :
Tesis ini membahas kedudukan hukum tindakan pemblokiran terhadap proses pemberesan harta pailit. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis dengan menggunakan kajian hukum normatif dan tipologi pendekatan kasus. Hasil penelitian adalah tindakan pemblokiran yang dilakukan negara dalam rangka pengurusan piutang negara harus tunduk dengan ketentuan perundang-undangan kepailitan yang berdasarkan pada asas sita umum kepailitan. Namun pada kenyataannya negara tidak tunduk terhadap ketentuan perundang-undangan kepailitan, sehingga tindakan pemblokiran oleh negara tidak dicabut meskipun terhadap PT KIA Timor Motors telah dinyatakan pailit. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan revisi atas pengertian piutang negara yang dapat dilakukan pengurusan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 128/PMK.06/2007, yaitu bahwa piutang negara yang berasal dari perjanjian tidaklah termasuk dalam piutang negara yang dapat dilakukan pengurusan sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 128/PMK.06/2007.
This thesis discusses the legal status of the act of blocking by state against the bankruptcy assets settlement process. The study is a descriptive analytical study using normative legal studies and typologies case approach. The results of the study are the actions undertaken in the framework of the state administration of the state claims should be subject to the provisions of the bankruptcy law is based on the principle of the general confiscation bankruptcy. But in fact the state does not comply the provisions of the law of bankruptcy in Indonesia, so that the act of blocking by the state claims to do the maintenance of the Regulation of Minister of Finance No. 128/PMK.06/2007, namely that the state claims based on the agreement is not included in the state's claim which is settled by Minister of Finance Regulation No. 128/PMK.06/2007.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Sutriani
Abstrak :
Penelitian ini merupakan studi kasus yang bertujuan untuk menganalisis efektivitas dari pengelolaan Piutang Negara Piutang TP/TGR yang dilakukan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian PUPR. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan identifikasi atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan piutang yang tidak dapat ditagih, mengungkapkan bagaimana perlakuan yang seharusnya secara akuntansi atas piutang yang tidak dapat ditagih, dan selanjutnya peneliti mencoba mengungkapkan hal-hal yang mungkin bisa digunakan oleh Kementerian PUPR untuk meminimalisir terbentuknya piutang yang tidak dapat ditagih. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan pengelolaan piutang TP/TGR yang dilakukan oleh Kementerian PUPR belum dilakukan dengan efektif. Kondisi ini bisa terlihat dari besarnya jumlah pembentukan piutang TP/TGR yang tidak dapat ditagih yang mencapai separuh dari keseluruhan jumlah piutang. Kurang efektifnya pengelolaan piutang TP/TGR antara lain disebabkan oleh kesalahan dalam sisi akuntasi, dan kurangnya sistem pengendalian internal SPI. Dalam menyusun saran terkait peningkatan efektivitas pengelolaan piutang yang dilakukan, peneliti membandingkan pengelolaan piutang sektor publik dengan sektor privat, serta menjabarkan konsekuensi terkait ketidaktertagihan piutang TP/TGR agar Kementerian PUPR menyadari urgensi terkait perbaikan pengelolaan piutang ini. Kata kunci: Pengelolaan piutang; piutang negara; piutang tak tertagih; penyisihan piutang. ......This study is a case study that aims to analyze the effectiveness of the management of Government Receivables Receivables of Treasury Demand Receivable Claims of Compensation conducted at the Ministry of Public Works and Housing. In this study, the researcher identifies the factors that influence the formation of receivables that can not be collected, reveals how the accounting treatment should be, and then the researchers try to reveal what might be used by Ministry of Public Works and Housing to minimize the formation of receivables that can not be collected. The results of the research show that the management of receivables has not been done effectively. This condition can be seen from the large amount of the formation of receivables that can not be collected which reached half of the total number of receivables. Ineffective management of accounts receivable is partly due to errors in the accounting side, and the lack of an internal control system. In preparing suggestions related to improving the effectiveness of the management of receivable, researchers compared the management of public sector receivables with the private sector, as well as describe the consequences related to uncollectible receivables so that the Ministry of Public Works and Housing realizes the urgency of improving the management of these receivables. Keywords Receivables management state receivables bad debts allowance for receivables receivable.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desriza Gustina
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah pengelolaan piutang di Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah dilaksanakan sesuai dengan best practices manajemen piutang dan untuk menganalisis apakah pengendalian intern atas piutang tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan instrumen penelitian berupa observasi, wawancara dengan menggunakan purposive technique, dan dengan analisis dokumentasi yang dimiliki oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Penelitian ini dilakukan pada pengelolaan empat jenis piutang PNBP yaitu piutang Biaya Hak Penyelenggaran Telekomunikasi, piutang Tarif Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal/Universal Service Obligation, piutang Biaya Hak Penyelenggaraan Frekuensi Radio untuk Izin Stasiun Radio, serta Biaya Hak Penyelenggaraan Izin Pita Frekuensi Radio. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengelolaan piutang di Kementerian Komunikasi dan Informatika belum dilaksanakan sesuai dengan best practices manajemen piutang dan pengendalian intern yang selama ini berjalan belum cukup memadai. Oleh karena itu masih diperlukan beberapa perbaikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam pengelolaan piutangnya sebagai bentuk akuntabilitas dari pengelolaan kekayaan publik.
ABSTRACT
This study is aimed to analyze whether the management of accounts receivable in the Ministry of Communications and Information Technology has been implemented in accordance with the best practices receivable management and to analyze whether internal control over these receivables have been implemented effectively in accordance with Government Regulation No. 60, 2008. The method used is qualitative research with research instruments are observation, interviews using purposive technique, and with the analysis of the documentation which is owned by the Ministry of Communications and Information Technology. This research was conducted on four types of accounts receivable management of non tax revenues, they are Cost of Providing Telecommunication Rights, Receivables Rates Contributions Universal Service Obligations Universal Service Obligation, Rights Fees Receivable Provision for Radio Frequency Radio Station License and Operation License Fee of Radio Frequency Band. The results of this study indicate management of receivable at the Ministry of Communications and Information has not been carried out in accordance with best practices receivable management and internal control during this run has not been sufficient. Therefore, it still needed some improvements by the Ministry of Communications and Information Technology in the management of their receivables as a form of accountability of the management of public wealth.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>