Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hapsari Dwiningtyas Sulistyani
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji bagaimana interaksi komunikasi yang dilakukan oleh perempuan di dalam komunitas tertentu bisa mengindikasikan strategi kuasa yang mereka terapkan dan juga posisi mereka di dalam struktur sosial. Bahasa adalah sarana yang penting bagi perempuan untuk bisa berpartisipasi di dalam kuasa. Bahasa perempuan di dalam penelitian ini tidak hanya dipahami sebagai tuturan verbal saja tetapi juga berbagai bentuk ekspresi perempuan seperti: ekspresi tubuh, penggunaan kata, ruang, dan waktu. Secara spesifik penelitian ini mengkaji bahasa sehari-hari dari kelompok perempuan pekerja seks di resosialisasi Sunan Kuning, Semarang yang merupakan kelompok subaltern yang suaranya sering terabaikan. Subalternitas PSK juga ditunjukkan oleh banyaknya pihak yang berkepentingan untuk mengatur dan mengendalikan mereka.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menjelaskan hubungan kuasa di dalam bahasa perempuan yang berada pada posisi subaltern dan melihat potensi bahasa perempuan untuk mengkomunikasikan resistensi. Alur berpikir kerangka teoritis penelitian ini diawali dari pemikiran Bourdieu mengenai dominasi maskulin, teori posmodern feminis mengenai bahasa, dan teori subaltern. Selanjutnya teori speech codes digunakan untuk mempeproleh pemahaman mengenai kuasa dan resistensi perempuan yang berada pada posisi subaltern. Metode etnografi kritis menjadi alat yang digunan untuk mencapai tujuan penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan ciri khas speech codes dari kelompok PSK; lugas, terbuka, dan menggunakan bahasa Jawa Pesisir yang cenderung kasar. Penggunaan bahasa ?kasar? yang bersifat maskulin tersebut terutama terlihat ketika marah. Beberapa strategi bahasa yang digunakan untuk resistensi muncul dari analisis tematik dan speech codes seperti; memanfaatkan modalitas, mengadopsi bahasa maskulin, dan menyangatkan seksualitas perempuan yang tidak dipahami laki-laki.
Hasil penelitian juga menunjukkan kuasa dan resistensi yang terdapat pada tematema; hasrat, tubuh, ibu, dan spiritualitas. Kata kunci yang muncul ketika mengkomunikasikan hasrat adalah ?cepat? yang mengindikasikan seks dimaknai sebagai kerja. Subjek penelitian sering terjebak dengan wacana cinta sehingga tuturan mereka tentang cinta dengan lawan jenis cenderung bernuansa sedih dan ekspotatif. Menjadi ibu juga bisa menjadi sumber kekuatan perempuan untuk bisa bertahan dan tidak tergoda dengan jeratan cinta dan romantisme yang ditawarkan tamu. Secara spiritualitas mereka memiliki cara sendiri yaitu menggunakan ajaran Islam dan berbagai ritual Kejawen. Mereka memilih cara tersebut karena wacana dualisme di dalam agama formal tidak bisa mewadahi spiritualitas mereka. Jika pertanyaan teoritis yang muncul adalah ?Can subaltern speak?? maka penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang berada di dalam kelompok subaltern bisa bicara. Sebagai kelompok subaltern mereka bisa bicara namun seringkali suara mereka tidak bisa terdengar oleh sebab itu memahami bahasa perempuan terutama yang berada pada posisi subaltern perlu dilakukan dengan cara mendengar mereka dengan memahami berbagai ekspresi yang selama ini sering terabaikan karena berada di luar ekspresi kebahasaan yang dominan.

ABSTRACT
The research explores how women?s communication within a distinctive community signifies their power-relation strategies and asserts their positions in social structure. Language is an essential tool for women to participate in power. The women?s language in this regard was not merely measured as verbal speech, but also the various array of expression, such as gesture, wording and articulation, space, and time.
The research purposely observed the daily talking of female prostitutes in Sunan Kuning boarding quarter of Semarang, of which was the neglected subaltern group. The subalternity nature of the group was also revealed by the fact that there are interests of parties surrounding the group tried to exert some control over the group.
The main point of the research was to explain the power relation of subaltern women?s language, and seek out its potentiality to express resistance. The logic of the theoretical framework drew on Bourdieu?s thought of masculine domination, feminist postmodern of language, and subaltern theory, whereas the speech code theory provided insight on power and women?s resistance as a subaltern group. Critical ethnography was the method used to attain the research objectives.
Findings pointed out that there were certain speech codes of the prostitute group: straight forward, blatant, and using the harsh tendency of northern-Javacoastal dialect. The harsh talking, which mostly associated to masculine nature, was mainly used to express anger. Few more speech strategies in uttering resistance were: utilizing modality, adopting masculine dialect, and exaggerating women sexualities that hardly understandable to men. Findings also revealed that power and resistance were found in themes of passion, body, maternity, and spirituality. The keyword of communicating passion was ?quick/hurried?, meant that sex is work. However, they often stuck in love-related circumstances with men that almost always bring about gloomy and exploitative relations. Maternity was also the cause of power for survival and means of resisting romanticism and love-related mesh drawn by their customers. They had their own way of spirituality that is worshiping and carrying out Islam or other Kejawen rituals. They picked their own manner for that the dualism discourse of official religions could not taking up their spirituality. Finally, considering the theoretical question ?Can subaltern speak??, this study disclosed that women from the subaltern groups were indeed speaks. As members of the groups however, their voices were barely heard. So, appreciating women language, particularly those among the subaltern, should be conducted with sensibly listen to them as we learn their numerous expressions that were commonly neglected because of the fact that those expressions were beyond the dominant languages.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1459
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintang Oktavia Ciptosunu
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas Perjalanan dari Organisasi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia PPPI yang berkembang menjadi Kongres Wanita Indonesia Kowani 1928-1950. Perjuangan yang dilakukan Kowani berfokus pada meningkatkan peran wanita didalam masyarakat dan usahanya dalam menyatukan organisasi-organisasi wanita Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Untuk hasil yang dicapai dari tulisan ini menunjukan peran organsasi PPPI sebelum tahun 1945 adalah memperbaiki kedudukan kaumnya seperti Pemberantasan Buta Huruf, mengupayakan tercapainya Undang-undang tentang perkawinan, serta Hak pilih Wanita. Untuk tahun 1945 sampai tahun 1949, peran organisasi Kowani adalah mengisi Kemerdekaan Indonesia seperti menyatukan seluruh organisasi wanita Indonesia, membuka hubungan dengan organisasi wanita internasional, dan mengirimkan delegasi-delegasi wanita kedalam setiap pertemuan wanita Internasional. Kata Kunci: PPPI, Kongres Perempuan, Kowani, Sejarah Perempuan Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the Journey of the Indonesian Women 39 s Society Engagement Organization PPPI which developed into the Indonesian Women 39 s Congress Kowani 1928 1950. Kowani 39 s struggle focuses on enhancing the role of women in society and its efforts in bringing together Indonesian women 39 s organizations in achieving independence. The method used in this paper uses historical methods consisting of heuristics, criticism, interpretation and historiography. For the results of this paper, the role of the PPPI organization prior to 1945 is to improve the status of its people, such as the Eradication of Illiteracy, to strive for the Law on Marriage, and Women 39 s Suffrage. From 1945 to 1949, the role of Kowani 39 s organization was to fill Indonesian Independence such as bringing together all Indonesian women 39 s organizations, opening relationships with international women 39 s organizations, and sending women 39 s delegations into every international women 39 s meetings. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephen Sherlock
"ABSTRACT
Although it has not yet reached an ideal composition, the adoption
of a 30% quota of women in elections in Indonesia has increased the
number of women in parliament, both at the central level (House of
Representative/DPR) and at the regional level (local legislative councils/DPRD). However, the issue of womens representation in parliament is not only a matter of representation based on sex, but also of substantive representation, where womens political agenda can be voiced. One of the concepts developed by feminist thinking is the concept of critical actors. This article seeks to explain how womens organizations and parliamentarians are critical actors that encourage womens involvement with parliament. This article explains how the involvement between womens organizations and parliament can strengthen the substantive representation of women in both the DPR and the DPRD. It is based on studies conducted on a model of strengthening the involvement of several womens organizations with the DPR and DPRD, which was developed by MAMPU and its partner organizations."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2019
305 JP 24:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cao Kim Lan
"ABSTRAK
The early years of the twentieth century introduced Vietnam, then a French colony, to feminism, which helped expose the problem of suicide among women, prostitution, and the trafficking. This article surveyed writings in three influential newspapers published for and by women, namely, Phu Nu Tan Van (PNTV) (Womans Newspaper) 1929 until 1934, Phu nu Thoi Dam (PNTD) (Womens Discussions on Topical Questions) 1930 until 1934, and Dan Ba (DB) (Women) 1939 until 1945. The writings were analyzed to illustrate how feminism was
perpetrated in this period, and how the writers were able to
reconcile it with prevalent Confucianism, which this paper
also argued as having put in place, gender inequality."
ISEAS/BUFS, 2019
327 SUV 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mien Rianingsih
"Suatu fenomena sosial yang menarik di Indonesian saat ini adalah meningkatnya jumlah kepala keluarga perempuan. Selama ini kepala keluarga yang kita kenal adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan nomor I tahun 1974, didalam pasal pasal 31 dan 34. Pengertian kepala keluarga saat ini mengalami pergeseran di tengah masyarakat. Nilai-nilai budaya dan ajaran Agama yang menetapkan pembagian peran antara suami dan istri mulai dipertanyakan kembali, karena sudah tidak relevan dengan kondisi nyata yang terjadi saat ini. Berdasarkan indikator sosial gender Biro Pusat Statistik 2000 menunjuk bahwa rumah tangga di Indonesia di kepalai oleh perempuan mencapai 13,4 %. Tingkat perceraian mencapai 12 % yang merupakan salah satu penyebab kondisi tersebut.
Berdasarkan pada fenomena sosial d iatas, penelitian ini bertujuan memberikan gambaran secara sosiologis tentang kehidupan perempuan yang berperan menjadi kepala ketuarga di Kecamatan Pacet - Jawa Barat. Untuk memberikan gambaran tersebut peneliti menganalis faktor-faktor dan struktur sosial yang berpengaruh dalam kehidupan perempuan kepala keluarga, analisis gender dan pengaruhnya dalam kehidupan perempuan kepala keluarga dan juga melihat implikasi teori dan hasil penelitiarr Penelitian ini adalah merupakan penelitian diskriptif dengan melalui pendekalan kualitalif yang berpersfektif feminis dengan menggunakan teori - teori feminis, dengan mengambil lokasi Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur - Jawa Barat.
Dari hasil penelitian bahwa faktor-faktor yang berbengaruh dalam kehidupan perempuan kepala keluarga terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah perempuan kepala keluarga dalam kondisi yang memprihatinkan bahkan terpuruk. Kemiskinan adalah kondisi hidup yang akrab dengan perempuan yang mans dapat dilihat pada aspek; pendidikan rendah ketrampilan terbatas, jumlah tanggungan anggota keluarga yang cukup besar, upah rendah,dll.
Faktor eksternal adalah kebijakan,Undang-Undang diantaranya UUP pasal 31 no. 1 tahun 1974, institusi-institusi dilingkungan perempuan kepala keluarga dari mulai intitusi keluarga, intitusi agama, ekonomi, pendidikan,dll. Faktor eksternal tersebut adalah merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan negara dan kalangan perempuan sebagai korbannya.
Struktur sosial masyarakat yang ada sangat berpengaruh dalam kehidupan perempuan kepala keluarga yang mana didalamnya terdiri dari pola prilaku dan pola hubungan, sistim-norma, nilai-nilai dan institusi keluarga. Struktur sosial diketahui selama ini telah terjadi proses dehumanisasi terhadap perempuan. Proses dehumanisasi tersebut dilakukan dalam waktu yang panjang sehingga menjadi suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya.
Menjadi janda adalah bukan pilihannya keadaanlah yang memaksa perempuan harus memutuskan untuk melakukan pilihan itu. Mereka bukanlah orang yang punya banyak pilihan. Kadang-kadang perempuan tidak melakukan pilihan, namun terpaksa harus menerima keputusan atas pilihan orang lain. Meskipun pilihan orang lain tersebut bertentangan dengan kemauan dirinya.
Gambaran kehidupan perempuan kepala keluarga melekat dengan kemiskinan. Karena kemiskinan maka perempuan kepala keluarga mengalami perkawinan muds dan perkawinan dilakukan berulang kali dengan harapan akan ada seorang laki-laki yang dapat membantu mengatasi persoalan ekonomi. Nampaknya hal tersebut hanya menjadi sebuah mimpi. Karena kemiskinan maka perkawinannya selalu dilakukan dibawah tangan yang berdampak tidak adanya perlindungan hukum pada perempuan kepala keluarga. Dengan tidak adanya perlindungan hukum, maka perempuan tidak dapat mengajukan gugatan untuk mendapatkan hak nafkah bagi anak dan anak juga tidak mendapat legalitas hukum, selain itu sepanjang hidupnya perempuan tidak punya kontrol meskipun terhadap dirinya sendiri.
Perpektif feminis melihat gambaran kehidupan perempuan kepala keluarga dalam kondisi yang ter-subordinasi dan tennarginalisasi yang disebabkan karena adanya perbedaan gender dan kelas yang dipengaruhi oleh idiologi partriarkhi Untuk itu perjuangan feminis yang harus diperangi adalah kontruksi visi dan idiologi masyarakat serta struktur dan sistim yang tidak adil karena bias gender dan bias kelas.
Pengalaman hidup perempuan kepala keluarga menjadi bagian yang tak terpisahkan Bari gerakan perempuan di Indonesia dan menjadi refleksi dan pelajaran berharga yang telah diperoleh dari kehidupan perempuan kepala keluarga. Berbagai strategi bertahan hidup dan keluar dari kemelut yang mereka terapkan merupakan pelajaran berharga yang tak kalah pentingnya untuk dicatat. Pengalaman empirik perempuan kepala keluarga dapat menjadi sumber perkembangan sebuah teori maupun limit pengetahuan baru dalam membangun pola relasi yang lebih adil.
Rekomendasi dari penelitian adalah (pertama) pada perempuan kepala keluarga diperlukan adanya keberanian untuk menyikapi prilaku budaya dan norma¬-norma yang tidak adil terhadap perempuan (kedua) pada negara perlu merubah kebijakan-kebijakan yang bias gender, bias kelas serta bertentangan dengan kenyataan sosial. (ketiga) pada Pemerintah Lokal dan Tokoh Agama perlu melindungi perempuan kepala keluarga agar mendapat perlinddungan hukum dan hak nafkah. (keempat} pada pemerhati perempuan perlu mendampingi perempuan untuk dalam melakukan perubahan dan memfasilitasi dalam peningkatan kapasitas perempuan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brooks, Ann
Buckingham: SRHE, 1997
378.12 BRO a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Andajani
"Abstrak
Indonesian womens leadership in the public domain is not well promoted and sustained.
This research examined womens perspectives on female leaderships in Indonesia, barriers to
womens leadership and qualities of an ideal female leader. Qualitative interviews, focus group
discussions and informal dialogues were conducted with 30 female community members, university students, lecturers, professionals, and womens activists. Respondents were between
19 and 60 years of age, literate, and were working or living in Jabodetabek Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi areas. Findings from this study suggest a narrow symbolic idealization of a heroic woman leader. Womens perspectives and inspiration were also explained by an embodiment of female gendered qualities of being patience, sincere, being approachable and having a strong interest women focused issues. In turn, this conceptualization may also poses barriers to a large scale of creative social change process in womens empowerment in public leadership. This research offers in depth understanding of the complexity of current barriers to and consistent stigmatization against womens leaders in Indonesia."
Jakarta: YJP Press, 2016
305 IFJ 4:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adik Wibowo
"Pelita V di bidang kesehatan merupakan suatu era di mana perhatian dan upaya ditujukan kepada peningkatan keselamatan dan kesehatan ibu (Gerakan Safe Motherhood). Tekad yang telah digalang adalah menurunkan kejadian kematian ibu di Indonesia yang sekarang ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara-negara di Asia.
Telah pula dibuktikan oleh para ahli, bahwa angka kesakitan dan kematian ibu meningkat drastis selama kurun kehamilan, melahirkan dan pascalahir. Kehamilan, yang pada dasarnya merupakan suatu proses fisiologis, ternyata dapat terganggu oleh berbagai macam penyakit dan kelainan yang dapat membahayakan kesehatan ibu ataupun janin. Oleh karena itu, setiap keadaan selama hamil yang mengganggu kesehatan dan keselamatan jiwa ibu maupun janin haruslah diketahui sedini mungkin sehingga dapat dilakukan pencegahan ataupun pengobatan yang sebaik baiknya. Pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu cara terbaik.
Pemeriksaan kesehatan selama hamil, yang dalam dunia medis lebih dikenal dengan istilah "pelayanan antenatal", diartikan sebagai suatu rangkaian tindakan pengamatan, pemeriksaan, dan bimbingan kesehatan yang terencana bagi ibu yang sedang hamil (Ingalls:1975). Tujuan pelayanan antenatal adalah dicapainya keadaan-keadaan sebagai berikut:
kehamilan dengan gejala dan keluhan fisik dan psikis minimal; persalinan dengan status kesehatan ibu dan bayi di dalam keadaan prima; lahirnya bayi sehat tanpa kelainan; tertanamnya kebiasaan hidup sehat yang memberi manfaat bagi anggota keluarga yang lain; penyesuaian yang baik terhadap keadaan pascamelahirkan.
Harapan jangka panjang dari pemeriksaan kehamilan ini adalah membantu menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Jellife (1976) secara lebih spesifik menjabarkan tujuan pelayanan antenatal sebagai berikut:
1. pengawasan dan pemeliharaan kesehatan ibu selama hamil melalui pemeriksaan kesehatan dan kehamilannya secara berkala;
2. penemuan sedini mungkin gejala atau kelainan yang diperkirakan dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin;
3. perlakuan tindakan tepat guna termasuk pengobatan bila ibu hamil dideteksi masuk kedalam kelompok risiko tinggi;
4. penyediaan kesempatan penyuluhan kesehatan khususnya yang menyangkut pemeliharaan kesehatan ibu selama hamil (penyuluhan gizi, kebersihan perorangan, dan persiapan dalam pemeliharaan bayi);
5. perencanaan persalinan sehingga dilahirkan bayi yang sehat dan ibu berada dalam keadaan selamat.
Pada awal abad ke-20, pelayanan antenatal yang dilakukan baik oleh dokter maupun oleh perawat hanya ditujukan pada kebutuhan fisik ibu saja. Dengan berjalannya waktu, makin diketahui bahwa suatu proses kehamilan dan kelahiran melibatkan faktor psikis sehingga pendekatan pelayanan antenatal yang modern berubah kearah pendekatan fisiopsikologi yang melihat ibu hamil dan keluarga sebagai suatu kesatuan yang utuh (Walker:1974)?"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1992
D421
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Madjid Sallatu
"ABSTRACT
Representation of women in the legislature is important. The presence
of women members of parliament (MPs) does not only balance the
number of parliamentarians (gender balance), but also encourages
womens issues to be a priority, so that various gender sensitive policies are born. This study focuses on women legislator in nine regencies/cities of Eastern Indonesia, namely: Maros Regency, Bone Regency, Tana Toraja Regency, Parepare City, Mataram City, East Lombok Regency, Kendari City, Belu Regency and Ambon City. This study looks at women legislators portraits in nine research areas, obstacles in implementing main tasks and functions as women legislator and relations with various related groups. This study applies a phased mixed method design that focuses on qualitative studies. Data collection is done througt document review, surveys, and in-depth interviews. This research found that in order to guarantee the struggle for womens political agenda, capacity building was needed for Parliamentary Members of Women in Eastern Indonesia."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2019
305 JP 24:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Yuliantini
"ABSTRAK
Kehadiran perempuan sebagai kepala keluarga Pekka merupakan fakta kontradiktif terhadap tatanan nilai masyarakat patriarkal. Pekka memiliki peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, dan pengambil keputusan dalam keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengalaman Pekka terkait otonomi dan keterlibatannya dalam kegiatan simpan pinjam baik secara individu maupun kolektif. Penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada Pekka baik dalam keterlibatannya pada kegiatan simpan pinjam maupun relasi sosial lainnya dengan keluarga dan komunitas, serta memberikan usulan dan rekomendasi kebijakan kepada pihak terkait seperti pemerintah, NGO Non Govermental Organization , swasta, dan akademisi terkait persoalan Pekka secara spesifik di lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berspektif perempuan dengan menerapkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam in depth interview dan studi literatur. Temuan penelitian ini adalah: 1 Peningkatan otonomi individu Pekka tidak diikuti dengan peningkatan kolektif perempuan dalam kelompok, oleh karenanya untuk mencapai otonomi individu dan kolektif perempuan, persoalan perempuan harus secara eksplisit tertuang dalam visi misi lembaga pemberi kredit; 2 Kelompok simpan pinjam lebih berfungsi sebagai wadah bagi penyediaan akses terhadap kredit sehingga Pekka mengalami peningkatan pada otonomi individual terhadap otoritas pengambilan keputusan dalam penggunaan anggaran rumah tangga termasuk membayar utang, kelompok tidak berperan dalam meningkatkan posisi tawar perempuan kepala keluarga dalam lingkup masyarakat dan kebijakan pada tingkat desa. 3 Kapitalisasi yang dialami oleh Pekka terjadi pada dua hal yakni eksploitasi dalam keluarga dan kelompok/bank.

ABSTRACT
The role of women headed household Pekka is a contradictory fact of patriarchal society. Pekka have roles and responsibilities as breadwinners, household managers, and family decision makers. This study examines Pekka rsquo s experience in relation to their autonomy and their involvement on saving and loan activities both as individual and as group members collectively. This study also aims to figure out inequalities and discriminations occur to Pekka both in their involvement in savings and loan activities and other social relationships, as well as provides recommendations and suggestions to related parties such as government, NGOs, private, and academics on the Pekka issues specifically in the field. This research uses qualitative approach bases on women rsquo s perspective by data collecting observation, in depth interview and literature study. The findings of the study are Pekka rsquo s autonomy as individual does not correlate with the women rsquo s autonomy as member of community collective , therefore to increase individual and collective autonomy, their specific concern must be integrated in the visions and missions of saving loan institution Credit Saving Group that meant to help women serves only as a forum to loan money to improve individual autonomy, to increase decision making authority in the use of household expenditures including debt payment, but the group does not have role in improving bargaining position in the community and policy at the village level. Pekka experience of being exploited in two forms exploitation in the family and group vis a vis bank. "
2018
T51480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>