Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmaniwati Sulaiman
Abstrak :
Latar belakang. Hubungan antara pajanan timbal ditempat keija dengan peningkatan tekanan darah masih diperdebatkan. Oieh karena itu perlu dilakukan identifikasi faktor pajanan plumbum terhadap hipertensi. Metode. Desain penelitian ialah cross sectional Dengan tujuan untuk mengetahui risiko hipertensi pada pekeija yang terpajan timbal dalam darahnya. Data diambil berdasarkan kuesioner, pemeriksaan tekanan darah dan tinggi/berat badan. Pb darah diperiksa berdasarkan AAS(Atomic Absorption Spectrophotometry)-GV(Graphite Vamis). Penelitian dilaksanakan di antara karyawan yang positif kadar timbal dalam darahnya pada bagian welding dan painting pabrik motor PT X di Jakarta bulan Mei 2007 dengan jumlah responden 101 orang. Hasil. Diperoleh 18 orang penderita hipertensi dari 101 responden yang positif kadar timbal dalam darahnya. Jenis pekeijaan, lama bekerja, kebiasaan merokok, minum kopi, makan ditempat kega, cuci tangan sebelum makan tidak terbukti mempertinggi risiko hipertensi. Sedangkan umur, pendidikan, status gizi, penggunaan alat pelindung diri serta kadar timbal dalam darah berhubungan dengan risiko hipertensi (p<0,25). Berdasarkan hasil analisa multivariat didapatkan bahwa kadar timbal dalam darah yang rendah merupakan faktor protektif terhadap risiko menderita hipertensi 2,27 kali lipat dibandingkan yang kadar timbal tinggi [p=0,19 OR 2,27; 95%interval kepercayaan (CI) 0,66-7,78]. Kesimpulan. Dari penelitian ini didapatkan pajanan kronis timbal dalam darah tidak meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada pekeija yang terpajan timbal. Kadar timbal yang rendah memperkecil risiko menderita hipertensi. ......Background. To assess the relation between occupational lead exposure and elevated blood pressure was debated. Therefore, it is beneficiary to identify the risk factors. Methods. This study used cross sectional. To know the risk factor for hypertension in responden who had blood lead Data were collected by using questionaire, including standard measurement of blood pressure, body height/weight, and blood lead was analyzed by AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry)-GV(Graphite Varnis). This study was conduted on 101 responden who work in welding or painting of motorcycle factory in Jakarta. Results. Among 101 blood lead positive, there were 18 responden with hypertension. After considering all posible confounding variables, multivariate regression analyses demonstrated that age, education, body mass index, and masker used was not significant predictor for hypertension. And the blood lead low level (<3,99pg/dl) is protective factor for hypertension risk[p=0,19 OR 2,27; 95%interval kepercayaan (CI) 0,66-7,78]. Conclusions. The present study suggest that long term lead exposure, blood lead level, was not related to blood pressure change among workers who had been exposed at work to occupational lead. And the blood lead low level (<3,99pg/dl) is protective factor for hypertension risk.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2007
T59062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Elfrida Rinawaty Br.
Abstrak :
Bahaya potensial di Rumah Sakit mengakibatkan penyakit dan kecelakaan kerja bagi pekerjanya, risiko potensial bagi pengunjung, pasien dan lingkungan. Kejadian terpajan bahan pathogen pada pekerja di suatu Rumah Sakit Jakarta masih terjadi meskipun sudah pelatihan pencegahan infeksi. Akibat lain, tingginya biaya serta adanya kehilangan jam kerja akibat kecelakaan tersebut. Kecelakaan dan penyakit kerja tersebut seharusnya dapat dicegah.Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan jenis pelatihan dengan kejadian terpajan bahan pathogen dan faktor yang berhubungan, mengetahui insidensi kejadian terpajan bahan pathogen di suatu Rumah Sakit Jakarta pada 2008-2012. Penelitian menggunakan disain potong lintang. Populasi sebanyak 212 orang terdiri dari dokter, perawat, bidan dan analis laboratorium. Diperoleh 110 responden. Data didapatkan melalui kuesioner, pengamatan perilaku dan lingkungan kerja. Didapatkan insidensi kejadian terpajan bahan pathogen sebesar 15,5%. Terdapat hubungan bermakna antara perilaku kurang dan pekerjaan perawat dengan kejadian terpajan bahan pathogen. Perilaku kurang meningkatkan risiko 3,5 kali lebih besar serta merupakan faktor dominan terhadap kejadian terpajan bahan pathogen. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara faktor demografi, pekerjaan, jenis pelatihan, pengetahuan dan sikap dengan kejadian terpajan bahan pathogen. Dilakukan pengawasan praktek Kewaspadaan Standar dan pengadaan pelatihan pencegahan infeksi standar untuk mencegah kejadian terpajan bahan pathogen. ...... Potential hazards in hospitals lead to occupational illness and accidents for workers and potential risk for visitors, patients and the environment. Incidence of pathogenic material exposed healthcare workers at hospital Jakarta occur despite being given trainings. Another effects are the high costs and the loss of working hours due to the accident. Occupational illness and accidents caused by that incident could have been prevented. The objective is to asses the correlation between the incidence and other related factors, and to know the incidence of pathogen incidence of exposed materials in hospital Jakarta in 2008-2012. This study used cross sectional design. Found 110 subjects out of 212 (doctors, nurses, midwives, laboratory analysts). The data collected from questionnaires, workers practices and working environment observation. The incidence is 15,5%. Low practices factor and occupation (nurse) have meaningful relation. Low practices increases the risk 3,5 times greater, and is the dominant factor. There were no relation between factors of demographic, workings, types of infection prevention trainings, knowledge and attitude with the incidence. Conducted supervision of practices Standard Precaution and infection prevention trainings standard to prevent the incidence of pathogenic material exposed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Innosensius Ibnu Ishwara
Abstrak :
ABSTRAK
Nama :Innosensius Ibnu IshwaraProgram Studi :Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJudul :Hubungan Gerakan Berulang Lengan Atas Terhadap Intensitas Nyeri Bahu Pada Pekerja Pengemasan Bagian Produksi Manufaktur Dengan Belt ConveyorLatar Belakang :Nyeri muskuloskeletal menjadi penyebab utama gangguan kerja pada usia produktif. Nyeri bahu merupakan penyebab terbanyak ketiga penyakit nyeri muskuloskeletal. Keluhan nyeri bahu kebanyakan bersifat simptomatik tanpa diagnostik secara klinis, namun menurut beberapa penelitian lain hal tersebut dapat menjadi prediktor terhadap suatu dampak terjadinya penyakit bahu di masa depan. Kriteria nyeri bahu yang dipakai oleh peneliti adalah keluhan nyeri bahu subyektif dan pengukuran nyeri dengan Visual Analogue Scale.Metode :Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Penelitian dilakukan di perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang pangan di Bekasi pada bulan Desember 2016. Sampel dihitung menggunakan uji dua proporsi dengan kelompok terpapar dipilih secara total sampling dan kelompok tidak terpapar dipilih secara random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, kuesioner, pemeriksaan fisik dan rekaman video. Variabel yang diteliti adalah umur, tinggi badan, panjang lengan, kebiasaan merokok, olahraga, masa kerja, lama kerja, frekuensi gerakan berulang lengan atas, posisi sudut lengan atas terhadap bahu.Hasil :Dari total 80 orang responden, didapatkan prevalensi kejadian nyeri bahu sebanyak 38 responden 47,5 . Faktor masa kerja ge; 1 tahun OR=3,30 dengan 95 CI 1,25 ndash;8,74 , lama mini breaks < 5 menit dalam 1 jam OR=2,70 dengan 95 CI 1,07 ndash;6,81 dan gerakan berulang lengan atas dengan median 1140 180-4800 OR 1,002 dengan 95 CI 1,001 ndash;1,003 memiliki hubungan bermakna dengan kejadian nyeri bahu.Kesimpulan dan saran :Faktor risiko paling dominan terhadap kejadian nyeri bahu adalah gerakan berulang lengan atas dengan p=0,002 dan nilai OR 1,002 95 CI 1,001 ndash; 1,003 . Perlu dilakukan pengaturan terkait dengan rolling kerja dalam tim pada pekerja dengan gerakan berulang. Pekerja dianjurkan dan diajarkan mengenai gerakan relaksasi setelah bekerja.Kata kunci :Nyeri bahu, gerakan berulang
ABSTRACT
Name Innosensius Ibnu IshwaraStudy Program Postgraduate Program Occupational Medicine, Faculty of Medicine, University of IndonesiaTitle The relation of repetitive motion of upper arm with the intensity of shoulder pain among packing workers at manufacture company that using belt conveyor. Background Muscle pain is the most caused of disruption due to work relation at productive ages. Shoulder pain is the third common in muscle pain. Mostly, the shoulder pain is symptoms only without specific diagnostic. But in many researches, that symptom can be useful for shoulder pain predictor in the future. The shoulder pain criteria is subjective symptom and self pain measurement with Visual Analogue Scale.Method This study uses cross sectional design with total sampling and simple random sampling. It was conducted in manufacture company in Bekasi during December 2016. Data collection was conducted by interview with subject, questionnaire, physical examination and video recording. Variables studied are age, height, length of arm, smoking habit, sport habit, phase of work, duration of work, repetitive motion of upper arm and the maximum angle of upper arm to shouder. Result The studied recruited 80 workers, with the prevalence of shoulder pain is 38 workers 47,5 . A risk factor identified, were length time of work ge 1 years OR 3,30 , minibreaks duration
2017
T55699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Nurfauziah Br.
Abstrak :
Latar belakang: Musculoskeletal disorders (MSDs) berkontribusi 42-58% dari total penyakit akibat kerja dan 40% dari total biaya kesehatan kerja secara global. Tingginya angka gangguan musculoskeletal pada pekerja khususnya nyeri bahu menuntut adanya metode terapi dan pencegahan agar terhindar dari penyakit akibat kerja dan peningkatan produktivitas kerja, terutama nyeri bahu di antara pengemudi bus. Untuk mengurangi penyakit terkait pekerjaan dan untuk meningkatkan tingkat produktivitas, dipilih Active Isolated Stretching (AIS). Dengan pelatihan sistematis dan pengamatan untuk melakukan AIS setiap hari, studi di antara pengemudi bus kampus terbukti mengurangi rasa sakit dan meningkatkan fleksibilitas bahu. Metode: Penelitian ini merupakan quasi-eksperimen. Penelitian dilakukan di salah satu kampus universitas di Jakarta selama 14 bulan berturut-turut. Mulai mengumpulkan data sebelum melakukan AIS (T1), 18 supir bus kampus sebagai subyek penelitian dilatih dan diamati oleh perawat terlatih untuk melakukan AIS secara teratur sebelum memulai mengemudi. Data dikumpulkan setiap 2 minggu oleh dokter medis yang terlatih (T1-T5). Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan fisik, observasi, kuesioner, pemeriksaan neurologis dan wawancara. Hasil: Ada 18 pengemudi bis yang memiliki rata-rata VAS (Visual Analogue Score) dari T1 (rata-rata awal VAS) adalah 5,5 (0-10) dan meenurun secara bertahap menjadi 2 (0-6) pada minggu ke-8. Hasil rata-rata Apley Scratch Test (AST) T1 adalah (-9,122+11302) dan menjadi lebih baik secara bertahap ke T5 (-3,833+9,133). Semua ROM bahu memiliki peningkatan yang signifikan dari T1 ke T5. Pada Fleksi ada peningkatan rata-rata dari (166,22+7,697) menjadi (177,94+2,838). Abduksi dari 165 (160-180) menjadi 177 (165-180), Abduksi endorotasi dari 168,5 (150-165) menjadi 180 (170-180), Abduksi eksorotasi dari (162,56+4,605) menjadi (173,39+5.521), Ekstensi dari (42,11+6,747) menjadi (54,89+8,366), Adduksi dari 25 (20-40) menjadi 39 (30-45), Endorotasi dari (62,67+8,717) menjadi (80,67+10,738), Eksorotasi dari (71,28+9,670) menjadi (89,22+5,694). Ada juga korelasi yang signifikan antara kelompok usia dengan endorotasi bahu ROM p <0,05 dan r-0,474 dan abduksi eksorotasi bahu dengan p <0,05 dan r-0,477. Kesimpulan dan saran: Hasil analisis menunjukkan bahwa ada penurunan rerata VAS dan peningkatan rerata ROM dan rerata Apley Scratch Test. Hasil ini menunjukkan bahwa AIS terbukti sebagai terapi dan pencegahan nyeri bahu, tetapi penelitian lebih lanjut pada populasi masyarakat pekerja lain diperlukan.
Background: Musculoskeletal disorders (MSDs) contribute 42-58 % of total occupational illnesses and 40% of total occupational healthcare costs globally. There were high numbers of MSDs among workers, those need special treatment for therapy and prevention, especially of shoulder pain among bus drivers. To reduce work related illnesses and to increase productivity rate, active isolated stretching (AIS) was selected to be aplicated in every day. By systematic trainings and observations to do AIS every day, the study among campus bus drivers proved to reduce the pain and to increase the shoulder flexibilities. Method: This research was a quasi-experiment. The study was conducted in a campus of University in Jakarta for 14th months continuously. Started to collect the data before did the AIS (T1),18 campus bus drivers as study subjects were trained and observed by trained nurse to do AIS regularly before start the day. Data were collected every 2 weeks by trained medical doctors (T1-T5). The data collection procedures was done by an observation check list, questionnaire, neurological examination and interview. Result: There were 18 bus drivers who had average VAS (Visual Analogue Score) of T1 (initial VAS average) was 5,5 (2-10) and reduce gradually to 2 (0-6) at week 8th (p<0,05). The results of average Apley Scratch Test (AST) of T1 was (-9,122+11,302) and became better gradually at T5 to -3,833 +9,133) p<0,05. All shoulder ROMs have a significant improvement from T1 to T5. On Flexion there is an average increase from (166,22+7,697) to (177,94+2,838). Abduction from 165 (160-180) to 177 (165-180), Abduction of endorotation from 168.5 (150-165) to 180 (170-180), Abduction of exorotation from (162.56+4,605) to (173,39+5,521), Extension from (42,11+6,747) to (54,89+8,366), Adduction from 25 (20-40) to 39 (30-45), Endorotation from (62,67+8,717) to (80,67+10,738), The exorotation from (71.28+9.670) to (89.22+5.694) p<0,05. There was also significant correlations between ages group with shoulder endorotation ROM p<0.05 and r -0.474 and abduction of shoulder exorotation with p <0,05 and r-0,477. Conclusion and suggestion: The experimental study proved that there was a decrease of average VAS and an increase of average ROM and average Apley Scratch Test. These results suggest that AIS is best used as a therapy and prevention of shoulder pain, but further research on other working populations is needed.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T54389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutik Ernawati
Abstrak :
Tesis ini membahas korelasi antara asupan folat dengan kadar folat serum bayi sehat usia 6-8 bulan dan faktor-faktor yang berhubungan di kelurahan Kampung Melayu. Jakarta Timur tahun 2010. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional dan merupakan bagian dari penelitian Medical Research Unit FKUI mengenai Efek Pemberian Makanan Pendamping ASI Tinggi Protein terhadap Tumbuh Kembang Bayi usia 6-11 bulan. Subyek penelitian 55 bayi dan 55 responden yang merupakan ibu subyek penelitian. Data subyek penelitian yang dikumpulkan meliputi panjang badan, berat bedan, asupan kalan, asupan protein, asupan folat, kadar hemoglobin, dan kadat fulat serum. Adapun data yang dikumpulkan dan responden meliputi usia, pekerjaan, pendidikan. pendapatan keluarga dan pengetahuan, sikap serta perilaku respunden tentang ASI dan MPASI. Subyek terdiri dari 35 bayi; laki-laki dan 20 bayi; perempuan. Subyek penelitian memililh median usia 6~84 dengan usia termuda 6.04 bulan dan usia tertua 8,84 bulan. Rerata usia responden 29±4,93 tahun. sebagian besar ibu tidak bekerja (81,8%) dan berpendidikan rendah (56,4%). lbu dengan usia di atas 35 tahun, yang merupakan risiko tinggi untuk melahirkan masih ada sebenyak 14,5%. Penghasilan berdasarkan upah minimum rata-rata, didapatkan 54,5% berada di bawah UMR. Tingkat pengetahuan responden mengena; ASI dan MP ASI sebagian besar masih kurang (47,3%), sedangkan untuk sikap sebagian besar dalam kategori cukup (54,5%) dan untuk tingkat perilaku sebagian besar masih kurang (45,5%). Rerata PB subyek 68,!2±3,12 cm dan median BB 7,5 kg dengan BB terendah 5,75 kg dan BB tertinggi 14,5 kg. Dari penilaian BMB terdapat 5,5% bayi kurus (Z score <-2 SD), Sedangkan untuk indikator PBIU dengan Z score<-2 SD, didapatkan 3,6% bay! pendek (Slunting). Dari indikator BBIU didapatkan 9,1% bay; dengan z-score <-2 SD. Data asupan eneergi dan food recall yaitu 833,28±I94,54 kkaI per hari dan dan FFQ semikuantitatif 836,88±211,31 kkal perhari, sedangkan asupan protein dari food recall sebesar 17,62±7,98 g perhari dan dan FFQ semikuantitatif diperoIeh median sebesar 17,2 g per hari dengan asupan terendah sebesar 4,8 g dan asupan tertinggi sebesar 46,4 g. Untuk asupan folat dari FFQ semikuantitatif lebih besar dibanding dari food recall dengan median 35,24 ~g per bari, asupan terendah sebesar 0,84 ~g dan asupan tertinggi 182,5 ~g, Asupan folat dari food recall diperoleh median 26,04 pg per hari dengan asupan terendah 0,84 ~g dan asupan terrtinggi sebesar 204,66 ~g. Median kadar folat serum 43,05 nmol/L, dengao kadar folat serum terendah 19,92 nmol/L dan kadar folat serum tertinggi 104,24 nmol/L, Tidak ada subyek yang memiliki kadar folat serum kurang. Rerata kadar Hb sebesar IO,82±I,I2 gldL. Terdapat 25 (45,5%) bayi; anemia. Antara kadar folat serum dengan asupan folat dari FFQ semikuantitatif memllw korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang cukup (r ~ 0,435) dan bermakna (p = 0,001). Demikian juga antara asupan folat dari food recall dengan kadar folat serum memiliki korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang cukup (r = 0,329) dan bermakna (p ~ 0,014). Hasil penelitian ini diperoleh korelasi yang bermakna antara asupan folat dengan kadar folat serum baik dan foad recall maupun dan FFQ semikuantitatif bayi sehat usia 5-8 bulan di kelurahan Kampung Melayu tahun 2010. ......This tesis investigated the correlation between folate intake and serum folate level among health infants aged 6-8 months and its related factors in Kampung Melayu village, East Jakarta 2010. This study used cross-sectional design with infants aged 6-8 months who met the study criteria as the subjects. The respondents were mothers of the infants. Data collected included sex. age. length/height, weight, energy, protein and folate intake (based on a one-month semi quantitative FFQ and I day :24-hour food recall). folate and hemoglobin levels, Data collected from respondents included age, education, income based on average minimum monthly wage (UMR), knowledge. attitude and behavior on infants feeding. This results was significant positive correlation (p < 0.05) between the folate levels and folate intake, Based on food recall was (r ~ 0,329) and significant (p ~ 0.014), Similarly, between the folate intake from the semiq uantitative FFQ and serum folate levels, there was also a positive correlation (r= 0.435 and p = 0.001). This conclusion was significant correlation between serum folate levels and folate intake among health infants aged that months.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32868
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Selma Avianty
Abstrak :
ABSTRAK
Promosi tanpa disadari membentuk pola pemilihan makanan dimana banyak diantaranya tidak sehat. Studi ini melihat promosi makanan, penerimaan strategi promosi makanan, dan kebiasaan makan penyedia makanan rumah tangga berpendidikan tinggi di Jakarta, mengingat mereka lebih terpapar promosi makanan. Menganalisis data dari International Study of the Families and Food Survey 2014 oleh Deakin University, dilengkapi dengan wawancara mendalam 16 informan yang memiliki kemiripan demografis. Hasil menunjukkan promosi makanan bukan faktor utama mempengaruhi kebiasaan makan. Dikarenakan daya tarik promosi hanya pada hal yang diperlukan; faktor lain seperti kesehatan, pilihan keluarga, lingkungan kerja, dan delivery makanan juga menjadi perimbangan dalam memilih makanan
ABSTRACT
Food marketing shaped food preferences provides unhealthy food. This study aimed to assess food marketing exposure, approval, and food practices among highly-educated household food providers in Jakarta, as they were more exposed by integrated food marketing. This study analyzed International Study of the Families and Food Survey 2014 by Deakin University, complemented with in-depth interview among 16 demographically similar informants. This study showed that food marketing exposure was less associated with food practices, due to the lure of promotion only on necessary things; other factors such health, family preference, working environment, and advance delivery technology were among the considerations
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Selvine Wantania
Abstrak :
ABSTRAK Nama : Imelda Selvine Wantania Program Studi : Magister Kedokteran Kerja Judul : Pengaruh Pemberian Latihan Fisik Submaksimal Akut Prapenyelaman Tunggal Dekompresi terhadap Perubahan Kadar Interleukin-10 pada Penyelam Laki-Laki Terlatih. Latar Belakang : Gelembung gas yang terdapat dalam pembuluh darah dan jaringan tidak selalu merupakan penyebab penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi dapat juga disebabkan oleh disfungsi endotel dengan hilangnya hemostasis endotel yang disebabkan oleh reaksi inflamasi saat di kedalaman. IL-10 adalah sitokin antiinflamasi dan merupakan antioksidan yang dapat mencegah reaksi inflamasi. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa latihan fisik submaksimal yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman dapat mencegah penurunan IL-10 akibat penyelaman. Metode : Penelitian ini menggunakan disain eksperimen murni dengan subyek penyelam laki-laki terlatih yang terbagi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan melakukan latihan fisik submaksimal 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dengan bottom time 80 menit. Kelompok kontrol hanya melakukan penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dengan bottom time 80 menit. Pemeriksaan kadar IL-10 dilakukan tiga kali yaitu awal penelitian, sebelum dan sesudah penyelaman. Hasil : Latihan fisik submaksimal akut yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi efektif mencegah penurunan kadar IL-10 setelah penyelaman pada kelompok perlakuan dengan rerata awal penelitian 0,36 0,08-0,98 pg/ml dan sesudah penyelaman 0,36 0,08-0,98 pg/ml p=0,065 . Pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar IL-10 dengan rerata awal penelitian 0,61 0,21 pg/ml dan sesudah penyelaman 0,39 0,21 pg/ml p=0,000 . Kesimpulan : Latihan fisik submaksimal yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi dapat mencegah penurunan IL-10 setelah penyelaman. Dilain pihak, pada subyek yang tidak melakukan latihan fisik submaksimal 24 jam sebelum penyelaman terjadi penurunan IL-10.
ABSTRACT Name Imelda Selvine Wantania Study Programe Master of Occupational Medicine Title Effect Of Acute Submaximal Exercise Pre Single Decompression Dive on Changes in IL 10 Consentration In Trained Male Divers Background Gas bubbles contained in the blood vessels and tissues is not always the cause of decompression sickness. Decompression illness can also caused by endothelial dysfunction with loss of endothelial hemostasis caused by an inflammatory reaction when at depth. IL 10 is an anti inflammatory cytokine and antioxidant that prevent inflammatory reaction. The purpose of this study to prove that physical exercise submaximal done 24 hours before the decompression dive can prevent a decrease in IL 10. Methods This research uses pure experimental design with trained male divers as a subject who were split into two groups, treatment and control. Treatment group perform acute submaximal exercise 24 hours before single decompression dives 280 kPa with the bottom time of 80 minutes and the control group dive without perform an acute submaximal exercise but do single dive decompression. Assessment of the level of IL 10 conducted three times, at the beginning of the study, before and after the dive. Result Acute submaximal exercise conducted 24 hours before a single decompression dive effectively prevent IL 10 decrease levels after dive in treatment group with the early treatment group average research 0.36 0.08 0.98 pg ml and after dive 0.36 0.08 0.98 pg ml p 0,065 . In the control group, decreased levels of IL 10 with the early treatment average research 0,61 0.21 pg ml and 0.39 0.21 pg ml dives after p 0.000 . Conclusion Submaximal physical exercise done 24 hours before a single decompression dive can prevent a decrease in IL 10 after dive. The dive performed without submaximal physical exercise before diving decreased IL 10. Keyword single decompression dive IL 10 acute submaximal physical exercise.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ratna Mutu Manikam
Abstrak :
Glucagon-like peptide-I (GLP-I) adalah hormon yang disekresikan oleh sel usus yang berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa setelah makan, serta peran tersebut masih dapat dipertahankan pada keadaan diabetes metitus (DM). Sekresi GLP-I di usus dapat ditingkatkan oleh hasil fermentasi dari ftuktooligosakarida (FOS). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian FOS terhadap kadar GLP-I dan glukosa darah dua jam posprandial (2 JPP) pada DM tipe 2. Penelitian ini merupakan studi pre-post test design pada pasien DM tipe 2 yang berobat jalan. Sejumlah 33 orang pasien menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini, dan di akhir penelitian terdapat 30 subyek (90,9%) yang mengikuti penelitian ini hingga selesai. Subyek diberikan 10 gram FOS satu kali per hari selama empat minggu berturut-turut disertai dengan konseling gizi. Data yang dikumpulkan meliputi wawancara, pemeriksaan antropometri, penilaian asupan energi, karbohidrat, lemak, serat dan FOS menggunakan food recall 1 x 24 jam (sebelum perlakuan) dan food record (selama perlakuan). Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar GLP-I dan glukosa darah 2 JPP dilakukan sebelum dan sete1ah perlakuan. Rerata usia subyek 60,3 ± 8,26 tahun, dengan 76,7% diantaranya adalah perempuan. Indeks massa tubuh (IMT) pada 23,3% subyek dikategorikan normal, 26,7% berat badan lebih, dan 50% obes. Data yang didapatkan dari food recall 1 x 24 jam memperlibatkan asupan energi, karbohidrat, lemak, dan serat memiliki rentang yang luas, sementara asupan FOS dari bahan makanan sumber sangat rendah. Data food record memperlihatkan persentase asupan energi terbadap kebutuban pada 50% subyek tergolong cukup, asupan karbohidrat pada 43,3% subyek termasuk kategori rendah, asupan lemak pada 63,3% subyek termasuk kategori tinggi, dan asupan serat pada 96,7% subyek termasuk kategori kurang, sedangkan asupan FOS meningkat. Kadar GLP-I (puasa, menit ke-1O dan 120 setetah makan) tidak meningkat bermakna (P>0,0S), dan kadar glukosa darah 2 JPP tidak menurun bermakna (p>0,0S). Pemberian FOS belum terbukti dapat meningkatkan kadar GLP-I dan menurunkan kadar glukosa darah 2 JPP. ......Glucagon-like peptide-I (GLP-I) is a gut hormone that functions in lowering of prandial glucose level and its response still preserved in type 2 diabetes mellitus (DM). Secretion of GLP-I could increase through fermentation product of fructooligosaccharide (FOS). This study aimed to assess the influence of FOS supplementation on GLP-Ilevel and two-hours postprandial (2h PP). This onearmed clinical trial involved type 2 DM patients in an outpatient setting. Out of 33 patients who obtained informed consent, 30 subjects (90,9%) had completed the study. Subjects received 1O gram of FOS per day during four weeks as well as nutritional counselling. Data collected consisted of interviews, anthropometry measurements, dietary assessment using 24 hour food recall (before intervention) and food record (during the intervention). Whereas. examination for GLP-I and 2h PP were carried out before and after the intervention. Mean of age was 60,3 ± 8,26 years, while 76,7% were females. Body mass index in 23,3% subjects were normal, 26,7% obverweight, and 50% obese. Data collection using 24 haur food recall showed intake of energy, carbohydrate, fat, and fiber had a wide range, while FOS intake was very low. Food record represented infake percentage to energy requirement were sufficient in 50% subjects, carbohydrate were low in 43,3% subjects, fat were high in 63,3% subjects, and fiber intake were low in 96,7% subjects. The level of GLP-I (fasting, 10 minutes, and 120 minutes postprandial) did not significantly (p>0,05) increase, and there was also no significantly (p>0,05) decreased in 2h PG as well. Thus, FOS supplementation not been proven yet in increasing the level of GLP-I and decreasing 2h PP.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T21181
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Erni
Abstrak :
Abstract The Effect of Vitamin C and E Suplementations on Serum CReaetive Protein Level in Moderate-Severe Bum Patients. To study the effect of vitamin C 1000 mg i.v and E 400 mg oral supplementation on serum c-reactive protein level as parameter of inflammation in bum patients. This study was a one group pre post test that gave i. v 1000 mg vitamin C and ond 400 mg vitamin E supplementations to thirteen moderate-severe bum patients, with percentage of bum less than 60%, in bum unit Cipto Mangunkusumo Hospital. Data were collected using questionnaire, medical record, anthropometric measurement, dietary assessment using fol.lf consecutive days food record. Laboratory test for serum vitamin C, E and serum c-reactivc protein levels were evaluated before and after supplementations. Differences in mean values were assessed by Wilcoxon for the not normal distribution. Results Among thirteen subjects, seven (53.80%) subjects were female, median of age 35 (18-55) years. Body mass index in most subjects (69.2%) were categorized as normal. The median percentages of bum injury 22 (5-57}%, and the frequency of severe bum was 61.50%, while the most cause of bum was flame (76.9%). Level of vitamin C after treatment was increased, but not significant. Level of vitamin E after treatment was significantly increased (!Pi),OI6). Level of CRP after supplementation significantly increased (!Pi).04). Conclusion There was significantly reduced of level serum CRP after four days vitamin CI 000 mg i. v dan E 400 mg ond supplementations.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32813
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Erni
Abstrak :
ABSTRACT Objective : To study the eH`ect of vitamin C 1000 mg i.v and E 400 mg oral supplementation on serum c-reactive protein level as parameter of inflammation in burn patients. Methods: This study was a one group pre post test that gave i.v 1000 mg vitamin C and oral 400 mg vitamin E supplementations to thirteen moderate-severe burn patients, with percentage of burn less than 60%, in burn unit Cipto Mangunkusumo Hospital. Data were collected using questionnaire, medical record, anthropometric measurement, dietary assessment using four consecutive days food record. Laboratory test for serum vitamin C, E and serum c-reactive protein levels- were evaluated before and after supplementations. Differences in mean values were assessed by Wilcoxon for the not normal distribution. Results: Among thirteen subjects, Seven (53.80%) Subjects were female, median of age 35 (18-55) years. Body mass index in most subjects (69.2%) were categorized as normal. The median percentages of burn injury 22 (5~57)%, and the frequency of severe burn was 6l.50%, while the most cause of burn was flame (76.9%). Level of vitamin C after treatment was increased, but not significant. Level of vitamin E after treatment was significantly increased (p=0,016). Level of CRP after supplementation significantly increased (p=0.04). Conclussion: There was significantly reduced of level serum CRP after four days vitamin C1000 mg i.v dan E 400 mg oral supplementations.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32877
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>