Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhendra
"Kepailitan merupakan suatu peristiwa yang wajar dalam suatu perekonomian baik di Indonesia maupun di luar negeri, namun seharusnya tidak terjadi. Sumber kepailitan dapat berasal dari dalam perusahaan itu sendiri maupun dari luar. Sumber kepailitan merupakan masalah yang harus ditanggulangi. Namun permasalahan kompleks muncul di saat Pendekatan Keuangan dan Pendekatan Hukum, khususnya hukum di Indonesia, memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai Kepailitan sehingga tidak menimbulkan konflik. Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa Pendekatan Hukum, khususnya hukum di lt1donesia, sudah berjalan paralel dengan Pendekatan Keuangan.
Karya akhir ini akan menganalisis lebih lanjut mengenai apakah Pendekatan Keuangan dan Pendekatan Hukum sudah berjalan paralel dalam menyimpulkan suatu kepailitan atau berjalan berlawanan. Permasalahan ini semakin menarik di saat PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dinyatakan pailit karena PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia tidak membayar dividen sebesar Rp. 32.789.856.000,- kepada PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. (dalam pailit). Banyak pihak dari dalam dan luar negeri saling berargumentasi pro dan kontra terhadap putusan pailit PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia tersebut. Tingkat perkembangan Pendekatan Hukum dan Pendekatan Keuangan di dunia bisnis kadang berjalan tidak selaras. Ada yang berpendapat bahwa perkembangan Pendekatan Hukum harus menyesuaikan diri dengan Pendekatan Keuangan. Namun ada yang berpendapat bahwa Pendekatan Keuangan-lah yang harus menyesuaikan diri dengan Pendekatan Hukum. Proses penyelarasan Pendekatan Hukum dan Pendekatan Keuangan memang membutuhkan waktu.
Dalam kesempatan ini PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia akan dikaji berdasarkan Pendekatan Keuangan dan Pendekatan Hukum. Dengan Pendekatan Keuangan, laporan keuangan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia per 31 Desember 1999 dan 1998 (karena laporan keuangan ini yang dijadikan dasar kepailitan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia) akan dianalisis berdasarkan Stock-based Insolvency, Flow-based Insolvency, Solvency Margin, dan Model Z guna mencari tahu apakah PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia memang dikategorikan perusahaan yang solvent atau insolvent saat dipailitkan. Karya akhir ini menganalisis kinerja PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia secara tersendiri dan membandingkan kinerja keuangan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dengan perusahaan-perusahan asuransi jiwa lainnya, yakni PT Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912, PT Asuransi Jiwa Principal Indonesia, PT Asuransi Niaga Cigna Life, dan PT Metlife Sejahtera. Perbandingan ini dilaksanakan guna mengetahui kondisi keuangan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia seobyektif mungkin. Kecuali PT Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912, perusahaan-perusahaan asuransi jiwa lainnya tersebut adalah perusahaan yang memiliki induk perusahaan di luar negeri; sama halnya dengan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Dengan adanya perbandingan perusahaan-perusahaan yang sejenis, baik dari bidang usaha dan kepemilikan, maka kinerja PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dapat dilihat secara lebih obyektif.
Karya akhir ini mengacu putusan pailit PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia yang diputus oleh Pengadilan Niaga sebagai kajian Pendekatan Hukum. Berdasarkan Pendekatan Hukum, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri kemudian putusan pailit Pengadilan Niaga tersebut dikoreksi kembali oleh putusan kasasi Mahkamah Agung dengan alasan yang bersifat administratif, yakni kurator PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. (dalam pailit) belum memperoleh ijin dari Hakim Pengawas dan Panitia Kreditor. Apabila kuratof PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. (dalam pailit) telah memperoleh ijin dari Hakim Pengawas dan Panitia Kreditor maka Mahkamah Agung dapat memperkuat putusan Pengadilan Niaga.
Pendekatan Hukum yang dilakukan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tersebut tidak mempertimbangkan Pendekatan Keuangan atau tidak ada pendekatan kwantitatif-nya. Pendekatan Hukum tidak memiliki filter untuk memilah-milah apakah pengajuan pailit suatu perusahaan memang layak diproses oleh Pengadilan Niaga berdasarkait Hukum Pailit atau diproses oleh Pengadilan Negeri berdasarkan hukum perdata pada umumnya. Karya akhir ini bertujuan memberikan sumbangan praktis dan teoritis bagi perkembangan bidang keuangan dan bidang hukum."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Puspitaningtyas Faeni
"ABSTRAK
Dengan semakin majunya perekonomian Indonesia, maka semakin meningkat
pula taraf hidup masyarakat Indonesia. Hal tersebut mempunyai dampak yang positif
yaitu dengan semakin peka pula masyarakat Indonesia akan keinginan untuk
meningkatkan kwalitas hidup mereka. Perubahan hidup tersebut dapat dilihat dari
semakin meningkatnya kwalitas akan sandang, pangan, papan dan keamanan. Para
pengembang melihat kebutuhan akan papan atau tempat tinggal yang Iayak sebagai
peluang dalam industri properti. Sebagai akibatnya dimana-mana bermunculan proyek
proyek properti sehingga sampai suatu titik dimana persediaan melebihi akan
permintaan (over supply) dan pasar properti pada akhimya menjadi jenuh. Oleh karena
selama ini target market properti adalah warga negara Indonesia, pemerintah mencoba
untuk membuka peluang pasar baru dengan memberikan kepastian hukum kepada
warga negara asing untuk membeli properti di Indonesia. Maka pada tahun 1996
dikeluarkanlah Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempaf Tinggal Atau Hunian OIeh Orang Asing Yang
Berkedudukan Di Indonesia. Penelitian kami lakukan untuk melihat apakah peraturan
tersebut dapat mempengaruhi peningkatan kepemilikan properti oleh warga negara
asing di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan secara signifikan.
Setelah melakukan penelitian Iapangan, ternyata peraturan pemeritah tersebut
tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kepemilikan
Properti oleh warga negara asing di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
. kurangnya sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat, terutama warga
negara asing dan departemen-departemen yang terkait;
. warga negara asirig menganggap peraturan-peraturan di Indonesia
mempunyai prosedur yang berbelit-belit dan dapat memakan biaya
administrasi yang besar, sehingga di kalangan warga negara asing banyak
terjadi penyelundupan hukum;
. semenjak tahun 1997 keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia
mengalami kekacauan sehingga berpengaruh pada keamanan nasional dan
mengakibatkan kriminalitas meningkat sangat tajam. Rasa tidak aman ¡ni
yang mengakibatkan banyak warga negara asing yang pada akhimya pulang
atau diminta untuk pulang oleh pemerintah di negaranya;
. pergolakan politik di Indonesia dianggap oleh warga negara asing dapat
menciptakan ketidakpastian hukum;
Saran untuk permasalahan tersebut di atas adalah pemerintah harus berperan
aktif dalam mensosialisasikan peraturan dan mencoba untuk menjaga agar keadaan
politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia tetap stabil sehingga tercipta keamanan di
Indonesia. Warga negara asing yang berkeinginan untuk membeli properti di Indonesia
hendaknya mencari nformasi sejelas-jelanya mengenai kepemilikan properti bagi
Warga negara asing. Agen pemasaran properti juga diharapkan dapat membantu
melakukan usaha-usaha pemasaran dan memfokuskan target marketnya kepada warga
negara asing baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

"
2001
T1813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Muki Day
"ABSTRAK
Penerbitan Obligasi oleh Penguasa Daerah (selanjutnya disebut ?obligasi
daerah?) merupakan penerbitan obligasi sebagaimana layaknya dilakukan oleh
perusahaan swasta namun penerbitnya adalah Pemerintah Daerah sehingga
penerbitan obligasinya tersebut mengikuti kekhususan dari sebuah administrasi
negara dan daerah. Penerbitan obligasi daerah sebagaimana telah menjadi
kebiasaan di negara-negara maju telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.107
Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001.
Obligasi daerah dapat diterbitkan dengan dua cara, yaitu dengan melalui
penawaran umum kepada masyarakat atau melakukan penawaran terbatas kepada
institusi-institusi terbatas pula. Penerbitan obligasi daerah tersebut apabila
ditawarkan kepada masyarakat akan mengacu dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam Pasar Modal di Indonesia maupun Internasional bila
obligasi daerah tersebut akan dicatatkan di bursa efek di Indonesia maupun di
bursa efek di negara lain.
Tujuan penerbitan obligasi daerah tersebut harus selaras dengan haluan
negara yaitu menciptakan pembangunan daerah yang merupakan bagian integral
dan pembangunan nasional, yang mempuriyai tujuan untuk meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan rakyat secara nasional dan terpadu baik antar sektor
maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh
daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian daerah dan
kemajuan yang merata di seluruh pelosok tanah air.
Obligasi daerah sampai saat ini belum pernah diterbitkan di Indonesia
sehingga perlu analisis mendalam mengenai penerbitan obligasi daerah tersebut.
Analisis tersebut akan mencakup tata caralproses penerbitan obligasi daerah,
permasalahan hukum sehubungan dengan kondisi peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia serta permasalahan pengawasan terhadap penggunaan
dana obligasi daerah tersebut mengingat bahwa popularitas birokrat pemerintah di
Indonesia sangat buruk sehingga peringkat resiko Indonesia sangat tinggi dan
menjadi pertanyaan serius bagi investor serta juga menjadi sebuah permasalahan
yang cukup rumit.
"
2002
T1343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Harry Santoso
"Krisis yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak negatif terhadap Perbankan Indonesia. Permulaan krisis pada perbankan dimulai dengan bergejolaknya nilai tukar rupiah dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang besar pada perbankan. Situasi tersebut kemudian diperberat oleh lemahnya kondisi intemal sektor perbankan, terutama sebagai dampak dari lemahnya manajemen, konsentrasi kredit yang berlebihan, moral hazard, terbatas dan kurang transparannya informasi kondisi keuangan bank, serta belum efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Kondisi perbankan kemudian menjadi semakin rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana antar bank secara besar-besaran akibat semakin merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, khususnya sejak adanya kebijaksanaan pemerintah mencabut izin usaha 16 bank pada awal November 1997.
Krisis tersebut telah mengakibatkan perbankan tidak dapat beroperasi secara normal. Pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian meningkat, keculmpan likuiditas dan permodalan perbankan menurun dengan drastis, dan ketergantungan perbankan kepada bantuan likuiditas dari Bank Indonesia semakin meningkat. Berbagai perkembangan ini mengakibatkan proses intermediasi oleh perbankan menjadi terganggu, hal ini memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi perekonomian secara keseluruhan.
Untuk lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mempercepat proses penyehatan sistem perbankan, pemerintah menempuh langkah-langkah reformasi di bidang perbankan yang lebih menyeluruh. Reformasi perbankan tersebut merupakan salah satu aspek penting dalam program restrukturisasi dan reformasi ekonomi yang didukung oleh IMF.
Melalui hasil dari due diligence terhadap seluruh bank yang ada di Indonesia, temyata hanya. bank-bank kecil non devisa yang relatif bisa hidup lebih baik dibandingkan dengan bank devisa yang besar.
Untuk melihat dampak dari krisis yang berlangsung pada sektor perbankan, penulis akan melihat dan meneliti mengenai perkembangan perbank:an di masa krisis serta pengaruhnya terhadap kinerja Bank X sebagai salah satu bank non devisa, yang telah berdiri sejak tahun 1993 dan pada saat dilakukan due diligence, masuk dalam kategori A, yaitu bank-bank yang tetap beroperasi tanpa mengikuti rekapitalisasi. Bank-bank ini dinilai telah memenuhi persyaratan modal minimum yang ditetapkan Bank Indonesia dan dapat beroperasi tanpa bantuan modal Pemerintah.
Dampak dari perkembangan perbankan di masa krisis temyata mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kinerja Bank X, dimana pada awalnya adalah Bank dengan kategori A Dengan berlanjutnya krisis tersebut, telah menyebabkan Bank X pada tahun 1999 harus menyetor kembali modalnya untuk masuk kembali dalam kategori A Definisi permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah strategi yang dilakukan Bank X dalam menghadapi krisis yang teijadi di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dan ak:ibat yang timbul terhadap kineija Bank X dari perkembangan perbankan di masa krisis dan untuk mengetahui bagaimana strategi Bank X pada saat krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia dan hasilnya.
Metodologi Pengumpulan Data yang dipergunakan dalam penyusunan karya akhir ini adalah dengan melalui penelitian lapangan secara langsung di Bank X dan melalui telaah pustaka.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, strategi yang dilakukan Bank X pada saat krisis bisa dikatakan sangat baik dan tepat untuk dilaksanakan dalam menghadapi krisis yang terjadi, namun karena krisis yang terjadi berlangsung cukup lama dan menyentub hampir semua sektor perekonomian Indonesia dan sektor perbankan merupakan yang terkena pengaruh cukup besar, dengan situasi demikian maka basil yang diperoleh tidak dapat maksimal dan cukup memerlukan waktu dalam perbaikannya.
Untuk tetap dapat bersaing dalam perbankan di masa yang akan datang, Bank X, sebaiknya mulai merubah komposisi penerimaan terbesar mereka dari kredit menjadi Fee Base Income dengan segera merubah diri dari Bank Non Devisa menjadi Bank Devisa, dan pemberian kredit yang diberikan oleh Bank X sebaiknya lebih diarahkan kepada sektor retail, dimana terbukti pada saat terjadinya krisis, penunggakan pembayaran bunga dan pinjaman terbesar dilakukan oleh sektor corporate.
Untuk dapat bersaing di masa datang, Bank X sebaiknya meningkatkan permodalannya untuk memperluas bidang usahanya atau melakukan merger dengan bank lain yang mempunyai pengalaman di bidang retail.
Kerangka penulisan karya akhir ini akan dibagi dalam lima (5) bab, yaitu : Pendahuluan, T elaah Pustaka, Bank X, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernardi Utomo
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rico Jusuf Moegandi
"ABSTRAK
Karya Akhir ini ditujukan untuk mengetahui aspek hukum yang berkenaan dengan
project finance pembangun jalan tol ruas Cikampek-Padalarang khususnya masalah
jaminan yang diberikan oleh PT Citra Ganesha Marga Nusantara (CGMN) selaku
debitor sekaligus sebagai pengelota kekayaan unit ekonomi ruas jalan tol tersebut
kepada para kreditor.
Metode penelitian yang digunakan dalam rangka menyelesaikan Karya Akhir ini adalah
dengan metode penelitian skunder, yaitu dengan cara penelitian dokumen-dokumen
hukum dalam rangka project finance nias jalan toi Cikainpek-Padalarang.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa para kreditor menggunakan tiga bentuk
instrumen jaminan yaitu gadai sahani CGMN yang diberikan oleh para pemegang saham
dalam CGMN, akses kontrol terhadap manajemen CGMN dan kepastian bahwa ruas
jalan tol tersebut tetap akan dapat beroperasi secara komersial untuk mengembalikan
pinjaman manakala CGMN dinyatakan default oleh para kreditor. Ketiga bentuk
jaminan tersebut dituangkan dalam berbagai dokumen perjanjian dan dokumen jaminan
sebagaimana diuraikan di dalam karya akhir ini
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuzul Ayni
"ABSTRAK
Dewasa ini, perkembangan perbankan syariah telah menjadi suatu fenomena baru yang perkembangannya cukup mengejutkan perbankan konvensional, di mana bank-bank besar non muslim seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank ikut meramaikan sektor ini dengan membuka Islamic Window. Sistem perbankan syariah muncul akibat keragu-raguan yang muncul akibat pennasalahan bunga pada bank konvensional. Keberadaan perbankan syariah di Indonesia secara yuridis telah diakui sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998, di mana perbankan konvensional diperbolehkan untuk mem buka kantor cabang syariah.
Sistem perbankan syariah yang mengharamkan bunga terbukti bertahan pada Elasa krisis karena terhindar dari negative spread. Dengan fenomena tersebut, laju perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini terlihat dari jumlah bank syariah yang semakin bertambah dalam periode 1999-2001, dana yang terhimpun serta pembiayaan yang dilakukan bank syariah. Jika pada tahun 1996 dana masyarakat yang terhimpun pada perbankan syariah mencapai Rp 396,58 milyar, pada tahun 2000 telah mencapai Rp 1, 04 trilyun, hingga Juni 2001 telah mencapai 1, 45 trilyun. Demikian dari sisi pembiayaan, di mana pada tahun 1996 hanya mencapai Rp 312,15 milyar, pada tahun 2000 melonjak menjadi 1,27 trilyun, dan pada Juni 2001 telah mencapai Rp 1, 7 4 trilyun. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia mulai tertarik pada pembiayaan yang dijalankan oleh bank syariah. Hal inipun memacu PT Bank Bukopin ikut meramaikan perbankan syariah dengan membuka kantor cabang syariahnya pada akhir 2001.
Sektor pembiayaan pada bank syariah pada dasamya berlandaskan tiga konsep: ( 1) jual beli, (2) bagi hasil dan (3) qard. Pada saat ini, pembiayaan yang menjadi primadona bagi kebanyakan nasabah PT Bank Bukopin Cabang Syariah adalah pembiayaan murabahah, yang berlandaskan konsep jual beli. Hal ini terlihat dari pembiayaan murabahah pada PT Bank Bukopin Cabang Syariah yang pada bulan Juni 2003 mencapai Rp 68 milyar, sedangkan pembiayaan mudharabah hanya mencapai Rp 908 juta.
Di dalam pembiayaan murabahah yang berlandaskan prinsip jual beli, bank mengambil keuntungan dari mark up atas harga dasar barang yang dijual kepada nasabah. Sementara pada pembiayaan murabahah, bank memperoleh keuntungan berdasarkan bagi hasil dari pendapatan proyek nasabah yang telah disepakati kedua belah pihak pada awal perjanjian, dengan memperhitungkan internal rate of return (IRR) atas bagi hasil tersebut
Pada pembiayaan murabahah, jaminan disyaratkan sementara pada pembiayaan mudharabah, jaminan tidak disyaratkan karena dalam hal ini bank ikut melakukan investasi, sehingga risiko kerugian pun akan ditanggung oleh bank. Hal ini berarti tingkat risiko yang dihadapi oleh bank syariah dalam pembiayaan mudharabah lebih tinggi dibandingkan dengan pembiayaan murabahah, karena pembiayaan mudharabah sangat tergantung pada pendapatan nasabah.
Namun demikian, untuk plafond, jangka waktu dan rate yang sama, pembiayaan mudharabah lebih menguntungkan dibandingkan dengan pembiayaan murabahah, walaupun risiko ketidakpastiannya tinggi.
"
2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Aryo Wijanarko
"ABSTRAK
Dalam lingkup perdagangan internasional, masing-masing pihak yang terlibat didalamnya akan mempunyai suatu 'kepentingan' yang bisa dinilai secara komersial. Terjadinya wan prestasi atau tidak terpenuhinya unsur-unsur dalam pelayanan di bidang transportasi laut maupun peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan yurisdiksi negara atau konvensi internasional akan menjadi suatu konflik yang dalam istilah pelayaran didefinisikan sebagai sengketa maritim. Dengan adanya ketentuan Konvensi Internasional 1999 Tentang Penahanan Kapal, telah diatur bahwa penahanan kapal milik pihak tergugat bisa dilakukan menurut hukum nasional masing-masing negara guna memperoleh security/jaminan penyelesaian sengketa maritim yang mempunyai kekuatan eksekutorial atas putusan p,rbitrase maupun patusan pengadilan. Permasalahan yang menjadi wacana menarik ialah bagaimanakah keterkaitan antara sengketa maritim dengan ancaman penahanan kapal ? bagaimanakah implikasi pemberlakuan konvensi tersebut bagi industri pelayaran ? serta bagaimanakah suatu sengketa maritim itu bisa diselesaikan dan diantisipasi ?
Penelitian ini bersifat deskriptif karena bermaksud memberikan gambaran mengenai suatu permasalahan tertentu secara sistematis dengan metode kualitatif sehingga prasangka maupun penilaian subjektif dari penulis tertuang secara argumentatif. Data-data primer diperoleh melalui informan, institusi terkait maupun para ahli sedangkan data-data sekunder diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti peraturan perundang-undangan, artikel maupun korespondensi. Penelitian ini dilakukan melalui prosedur pengamatan, wawancara sampai dengan penelusuran dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian.
Siklus kegiatan usaha (business cycle) dalam industri pelayaran sangat dipengaruhi oleh maju mundurnya perekonomian negara-negara industri utama dan seiring dengan hal itu, konflik antar perusahaan juga semakin berkembang dan bermacam-macam jenisnya. Keterkaitan antara sengketa maritim dengan ancaman penahanan kapal terletak pada security/jaminan yang dipakai oleh pihak penggugat untuk menaikkan posisi tawar dalam bemegosiasi pada tahap-tahap mediasi. Ketentuan ini menjamin kepastian hukum bagi penggugat atas kasus sengketa maritim yang dihadapi dan sebaliknya industri pelayaran dengan segala karakteristiknya harus memiliki prediksi jangka panjang dan strategi dalam menghadapi resiko maupun konflik intemasional.
Dari hasil penditian dapat disimpulkan bahwa, walaupun kasus sengketa maritime sedang dalam proses negosiasi maupun sidang, pihak penggugat tetap bisa mengajukan permohonan penahanan kapal milik tergugat sebagai jaminan. Bagi pemilik kapal, tentu saja hal ini sangat merugikan dan mengganggu kegiatan operasional perusahaan karena adanya ancaman loss on asset, loss of trust dan loss of earning sebagai akibat penahanan kapal. Besamya kerugian ini bisa lebih besar daripada nilai yang disengketakan itu sendiri. Apapllil h&sil putusan akhir, potensial loss ini tidal( bisa dialihkan kepada siapapun termasuk perusahaan asuransi karena coverage yang diberikan sangat terbatas dan belum tentu menjamin resiko ini.
Implikasi atas pemberlakukar. konvensi ini lebih menempatkan pemilik kapal selaku tergugat kedalam posisi yang dirugikan. lmplikasi tersebut bisa berupa implikasi secara finansial (membengkaknya biaya untuk retensi resiko), ekonomis (Loss of earning), bisnis (pengaruh terhadap kompetisi dan pemasaran) dan psikologis (image dan ketakutan yang berlebihan). Untuk itu diperlukan strategi-strategi khusus untuk
menyelesaikan kasus sengketa maritim serta strategi untuk melakukan antisipasi terhadap kemungkinan penahanan kapal atau resiko maritim lainnya.
Penyelesaian sengketa maritim bisa dilakukan melalui jalur pengadilan maupun jalur arbitrase atau jalur mediasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase atau mediasi sifatnya tertutup sedangkan putusannya final dan langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemampuan dalam melakukan pendekatan dan negosiasi merupakan strategi kunci penyelesaian sengketa. Pendekatan bisa dilakukan baik dalam hal pemberian jaminan/security, pembuatan rumusan security wording maupun pada saat
sidang. Masalah biaya dan waktu merupakan faktor utama yang mendorong para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan kasus di luar jalur pengadiian dan sccara umum penanganan kasusnya terbukti lebih efektif dan efisien.
Sengketa maritim ialah resiko bisnis. Diperlukan kemampuan manajemen untuk melakukan minimalisasi resiko maupun penghilangan resiko. Gugatan berantai dalam suatu . sengketa maritim menyebabkan pelaku bisnis melakukan tindakan defensif dan antisipatif. Pemilik kapal bisa menerapkan tahapan-tahapan konsep manajemen resiko guna melakukan identifikasi dan analisis resiko sehingga interval resiko dalam perusahaan bisa terjangkau oleh manajemen. Konsep ini sangat berguna bagi manajemen
untuk mengambil keputusan apakah tindakan antisipasi terhadap sengketa maritim cukup dilakukan dengan retensi sendiri (self insurance) atau mengalihkan resiko terse but kepada pihak lain (institusi asuransi).
"
2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armada Wardhana, Author
"ABSTRAK
Bank N merupakan salah satu bank swasta yang terkemuka di Indonesia untuk masa lebih dari empat dekade, berhasil bangkit dari krisis keuangan di Asia untuk menjadi bank ritel unggulan dengan portofolio nasabah consumer, bisnis dan korporasi yang proporsional serta kinetja keuangan yang baik.
Perkembangan ekonomi di dalam dunia usaha, memberikan dampak pada para pengusaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sejalan dengan itu peningkatan pembangunan di sector perindustrian juga membutuhkan sumber penyediaan dana yang semakin besar. Sehingga dibutuhkan suatu penilaian yang lebih matang untuk mencari peluang dalam memperoleh dana untuk pengembangan usaha. Untuk memenuhi kebutuhan dana, usaha yang dapat dilakukan dapat berupa penyediaan dana yang berasal dari sumber internal perusahaan seperti laba ditahan dan sumber eksternal, yaitu penerbitan saham, penjualan obligasi, juga pinjaman kredit kepada lembaga perbankan.
Kebutuhan Industri dalam penyediaan dana menyebabkan peranan lembaga keuangan sebagai pemberi kredit kepada rnasyarakat juga ikut rneningkat. Lembaga keuangan seperti perbankan seperti perbankan sebagai salah satu pelaku ekonomi memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung kegiatan rnasyarakat dan membantu pemerintah di dalam menyediakan dana terutama dalam bentuk pemberian kredit agar dapat mendorong laju dan kesinambungan pembangunan ekonomi.
Untuk itu, pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang disebut Pakto'88 yaitu paket Deregulasi 27-10-1988. Dunia perbankan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini ditandai dengan berdirinya bank-bank baru. Hal ini disebabkan oleh adanya kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk mendirikan bank-bank baru. Pakto '88 juga telah mengubah lingkungan usaha perbankan menjadi lebih kompetitif dalam dunia usahanya untuk mendapatkan dana masyarakat dan debitur yang potensial.
Pakto'88 menetapkan batas maksimum pemberian kredit (legal Lending limit) yaitu batas/limit maksimum yang ditetapkan untuk pemberian suatu kredit, sebesar maksimum 20 % dari modal bank. Penentuan limit ini, diharapkan tidak ada lagi perorangan/ perusahaan baik individual maupun suatu group yang menguasai bank artinya agar dapat menghilangkan kemungkinan dapat digunakannya dana hanya untuk kepentingan individual. Suatu bank dalam menjalankan fungsinya yaitu sebagai sumber pembiayaan alternatif perusahaan, tidak terlepas dari resiko. Resiko yang ditanggung oleh bank disebabkan oleh keterlambatan debitur dalam pengembalian pinjaman atau tidak tertagihnya piutang sehingga menimbulkan kredit macet. Oleh karena itu, penilaian terhadap permohonan kredit yang akan diberikan harus dilakukan secara teliti, agar bank tidak mengalami kesulitan dalam menarik atau menerima kredit yang telah diberikan, karena adanya resiko tidak terbayarnya kewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman ataupun pembayaran bunga.
Dengan melihat perkembangan kredit di Indonesia akhir-akhir ini, persaingan antar bank, suku bunga deposito semakin rendah, yang mengakibatkan suku bunga kredit ikut turun pula, sehingga ada kecenderungan orang lebih senang melakukan investasi untuk pembelian rumah ataupun tanah, maka pihak bank pun berlomba-lomba untuk mengucurkan kredit dengan bunga yang relatif kecil.
Dari basil penelitian yang terjadi di tahun 2003 pada karya akhir ini diharapkan dapat melihat apakah kebijakan kredit yang ada di bank N, khususnya pada KPR, sudah cukup efektif dan bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut dapat diimplementasikan sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi acuan dalam menghadapi persaingan kredit di masa yang akan datang.
"
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurianatama, Author
"ABSTRAK
Hukum mengatur berbagai aspek dalam kegiatan usaha. Oleh sebab itu hokum yang berlaku di suatu negara merupakan salah satu faktor penting bagi suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya. Salah satu aspek hukum yang perlu menjadi perhatian pelaku usaha di Indonesia adalah Hukum Kepailitan yang diatur dalam Undang-undang Kepailitan.
Undang-undang Kepailitan baik Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, keduanya memberikan persyaratan yang sama bahwa debitor yang patut dipailitkan adalah debitor yang memiliki utang lebih dari satu dan salah satu utangnya telah jatuh waktu dan belum dibayar.
Undang-undang Kepailitan juga menuntut agar pembuktian dari syarat pengajuan permohonan pailit dilakukan secara sederhana. Yang dimaksud dengan "fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besamya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Selama persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Kepailitan telah dipenuhi dan dibuktikan secara sederhana maka debitor menjadi layak atau patut dipailitkan.
PT Prudential Life Assurance (PLA) adalah perusahaan asuransi yang berasal dari lnggris, mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 1995. Pada tanggal 23 April 2004 PT Prudential Life Assurance dinyatakan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
Ketika dinyatakan pailit, kekayaan (harta) PLA berjumlah Rp 1.567.658.000.000 (satu trilyun lima ratus enam puluh tujuh milyar enam ratus lima puluh delapan juta rupiah). Sedangkan kewajibannya (utangnya) adalah Rp 1.373.000.000 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh tiga milyar rupiah). Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) PLA ketika dinyatakan pailit adalah 255% atau 155% lebih tinggi dari yang diwajibkan Pemerintah dalam KMK Nomor 424 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Putusan pailit yang diberikan Pengadilan Niaga bertentangan dengan kenyataan yang ada. PLA tidak berada dalam keadaan insolven sehingga patut dinyatakan pailit. sebaliknya PLA berada dalam keadaan yang sangat sehat (sangat solven) berdasarkan pencapaian Batas Tingkat Solvabilitas Minimum yang diatur Menteri Keuangan.
Dalam penulisan ini akan dibahas mengapa perusahaan yang secara keuangan sehat (salven) dapat dinyatakan pailit oleh Undang-undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data-data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi peraturan perundang-undangan dan berbagai bahan bacaan yang berasal dari buku, jurnal, harian termasuk internet.
Aspek yang dianalisis adalah konsep insolvensi (ketidakmampuan membayar) menurut Undang-undang Kepailitan dan konsep insolvensi (ketidakmampuan membayar) menurut Teori keuangan. Pemenuhan syarat "insolvensi (tidak mampu membayar)" berdampak pada patut atau tidaknya perusahaan dinyatakan pailit.
Penelitian menunjukkan bahwa menurut Undang-undang Kepailitan debitor yang memiliki utang yang jatuh waktu dan belum dibayar menempatkannya pada posisi debitor yang tidak mampu membayar (insolven). Untuk itu permohonan pailit atas Debitor yang demikian akan dikabulkan.
Penelitian menunjukkan bahwa Teori Keuangan memberikan persyaratan yang berbeda. Tidak dibayarnya suatu utang yang telah jatuh waktu, tidak menempatkan perusahaan dalam posisi tidak mampu membayar (insolven). Perlu diselidiki lebih lanjut konsisi harta (kekayaan) debitor terhadap kewajibannya. Debitor yang memiliki nilai perusahaan positif yaitu nilai harta (kekayaanlaset) lebih besar daripada kewajibannya (utang/liability), adalah debitor yang salven yang tidak patut dinyatakan pailit. Hanya jika nilai bersih perusahaan menjadi negatif yaitu nilai
kewajiban. (utang/libility) lebih besar daripada harta (kekayaanlasetnya), debitor tersebut menjadi patut dinyatakan pailit.
Undang-undang Kepailitan memiliki indikator ketidakmampuan membayar (insolvensi) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh Teori Keuangan. Hal ini mengakibatkan perusahaan yang secara keuangan sehat (salven) dapat dinyatakan pailit menurut Undang-undang Kepailitan.
Pernyataan pailit atas perusahaan yang sehat menimbulkan kerugian baik bagi debitor maupun bagi masyarakat. Scbab kepailitan mcmiliki biaya, baik biaya langsung (direct cost) maupun biaya tak langsung (indirect cost). Untuk itu perbedaan indikator ketidakmampuan membayar antara Undang-undang Kepailitan dan Teori Keuangan perlu dijembatani. Beberapa hal dapat dilakukan yaitu, mengamandemen Undang-undang Kepailitan, menghimbau agar Hakim Pengadilan Niaga tidak menerapkan Undang-undang Kepailitan secara mekanistis melainkan melakukan tafsiran yang bedandaskan filosofi Undang-undang Kepailitan itu sendiri, dan memberikan pelatihan kepada Hakim Pengadilan Niaga tentang perspektif teori keuangan terhadap kepailitan
"
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>